Halaman

Senin, 26 Januari 2015

SURAT IJAZAH eps BULU KAKI

          Sebuah tangga kayu, miring, dan menempel pada dinding di ruang tengah. Tangga itu menjurus langsung pada lubang di langit-langit ruangan. Dibalik langit-langit itu, didalam para-para, dibuatkan sebuah kamar tidur. Ukurannya tak seberapa luas, sempit, dan sesak.
          Tak ada ranjang di kamar ini. Keempat sisi dindingnya dibiarkan polos tanpa hiasan. Kasur busa langsung digelar diatas lantai berkarpet. Diujung kasur berdiri sebuah rak kecil. Buku-buku dan botol-botol minyak wangi disimpan disana. Lemari pakaiannya adalah susunan tiga kotak plastik besar. Lebih mirip disebut laci ketimbang lemari. Di kamar Santoso inilah aku dan Agus menginap. Kami tidur diatas karpet berselimutkan kain sarung. Santoso, anak sulung Pak Mamet itu, tidur diatas kasur busa.
          Santoso anak yang pendiam. Saking diamnya, guratan wajah dan matanya tampak banyak bicara. Ia terlihat seperti orang yang selalu berpikir dan memiliki banyak pikiran. Persis seperti bapaknya. Barangkali dalam keluarga ini ada satu masalah besar. Sebagai anak, ia merasa wajib ikut mencarikan jalan keluarnya. Atau barangkali itu faktor bawaan, pengaruh keturunan.
          Sepertinya juga Santoso merasa keberatan kami tidur didalam kamarnya.
          Usiaku dengannya tak jauh terpaut. Kami bisa berteman. Tapi kami tak mengobrol sama sekali. Dengan Agus saja berbicara seadanya. Itupun sesekali. Kelihatannya ia anak yang tertutup dan sulit. Begitu lampu kamar dimatikan, kami langsung tidur. Aku berguling ke kanan dan kiri. Cemas. Sulit mata terpejam ditempat seasing ini.
          Begitu cahaya fajar pertama menembus jendela, diam-diam aku keluar kamar. Rasanya aneh dan tak sopan berkeliaran didalam rumah yang baru pertama kali aku masuki. Tapi kandung kemihku penuh. Tak baik ditahan-tahan. Di dapur Nina tengah sibuk didepan kompor. Seorang diri. Pintu kesempatan seolah-olah terbuka lebar untukku. Nina tengah sibuk memasak air dan menyiapkan sarapan pagi.
         Begitu keluar pintu kamar mandi, tak sengaja sepasang mata kami berpapasan. Ia tersenyum padaku. Aku terengkuh. Ia sungguh mempesonakan aku. Padahal penampilannya masih berantakan. Belum mandi pula. Wajahnya asli tanpa riasan. Keadaan seadanya itu seperti contok kemurnian dari seorang perempuan.
          Nina pandai membuatku salah tingkah seakan-akan aku kehilangan pegangan. Untuk berbasa-basi, apa yang mesti aku tanyakan; apa kabar? Sedang apa? Bisa saya bantu? Tak ada pertanyaan tepat untuk mengusik Nina sepagi ini.
          “Ternyata kamu rajin juga. Sepagi ini sudah sibuk di dapur”, kataku gugup. Tak tahu apakah tadi terkesan memuji atau sekedar basa-basi.
         Nina tersenyum manis. Sepertinya ia agak tersipu, malu-malu berada didekatku. “Beginilah sehari-hariku”, tandasnya. “Pak Mamet sangat baik sama kami. Dialah yang membiayai sekolah aku dan Agus sampai lulus SMA. Kami bukan berasal dari keluarga kaya. Orangtuaku juga sudah bercerai. Bapak di Brebes. Ibu pindah ke Bangka dengan suami barunya. Kami cukup beruntung punya paman seperti Pak Mamet. Dalam keluarga kami, dialah yang paling sukses”.
         Pertama kali bertemu Nina adalah di PKBI Citeureup. Ia gantikan Mia memegang pembukuan administrasi disana. Entah mataku dibutakan atau memang rabun, aku merasa Nina adalah wanita tercantik yang pernah aku temui. Seluruh pesona dimuka bumi ini terkumpul dalam dirinya. Hanya dia pemiliknya seorang. Tak pernah aku lupakan senyum pertamanya padaku serta sapa lembutnya. Berada didekatnya aku merasa kehilangan nuansa. Berpura-pura dan berusaha mengendalikan diri. Barangkali inilah yang dinamakan orang jatuh cinta; cinta pertama.
          Awal-awal aku tak percaya ketika Agus mengakui Nina adalah adik kandungnya. Beda jauh. Tak ada mirip-miripnya. Entah tersembunyi dimana letak kemiripannya itu. Warna kulit Nina lebih terang. Tak seperti Agus berlidah Jawa, aksen bicara Nina biasa-biasa saja. Baru aku percaya mereka itu bersaudara ketika aku menanyakan langsung kepada Nina. Sedikit kecewa. Bisa-bisa, apabila aku jadian sama Nina, mau tak mau Agus bakal jadi kakak iparku.
         “Sebenarnya lulus sekolah aku mau cari pekerjaan diluar”, sambung Nina. Nada bicaranya terdengar lara. “Di pabrik atau restoran. Punya penghasilan sendiri dan mengirim sama orangtua di kampung. Lalu tinggal di rumah kontrakan. Hidup mandiri. Tak boleh hidup melulu begini. Tapi kami juga mesti tahu diri. Anak-anak Pak Mamet masih kecil dan bersekolah. Kami sepatutnya balas budi padanya. Lebih-lebih keadaan PKBI juga makin memburuk. Jadi aku bertahan disini, menggantikan Mia di PKBI Citeureup”.
         “Kan kerja sama Pak Mamet juga digaji”.
         Nina tersenyum sendu. Barangkali gaji disini tak cukup untuk mengirim sama orangtua di kampung. Barangkali akhir-akhir ini juga, karena PKBI tengah mengalami krisis keuangan, ia sama sekali tak punya penghasilan.
        Sarapan dimulai sebelum pukul tujuh pagi. Menunya mirip tadi malam; telur dadar dan mie rebus. Benar-benar krisis PKBI sangat berimbas. Seluruh anggota keluarga sarapan sama-sama, kecuali Nina. Ia masih sibuk bolak-balik kamar mandi dan dapur. Ia seperti pembantu disini.
          Dengan mobil Suzuki Carry, Pak Mamet mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Istrinya juga ikut. Barangkali sekalian ke pasar. Agus pergi mandi. Tinggallah aku dan Nina disini. Waktu sepertinya sengaja memberikan kami kesempatan untuk saling menikmati pesona masing-masing. Masing-masing? Kelihatannya hanya aku seorang yang tertarik padanya. Tapi bagaimanapun juga, pedalaman hati wanita itu lebih misterius daripada kuburan keramat, lebih dalam dari samudera. Tinggal aku yang mesti pandai mengorek-ngoreknya.
         Nina masih belum bersiap-siap. Ia masih perlu mengepel lantai. Katanya ia akan datang ke PKBI Citeureup begitu semua pekerjaan rumahnya selesai. Ia memang pembantu. Aku keluar dan duduk tenang didepan teras.
          Nina mendorong embernya keluar pintu. Ia hendak mengepel lantai teras. Cepat-cepat aku naikkan kakiku keatas bangku. Pagi sungguh saat-saat sibuk baginya.
         Sekali lagi ia tersenyum padaku. Ia tampak merasa tak nyaman aku perhatikan. Tapi tetap aku perhatikan juga. Jarang-jarang waktu dan keadaan memberikanku kesempatan seperti ini. Mubazir aku melewatkannya. Caranya menggosok-gosok lantai memperlihatkan bahwa ia memiliki bentuk badan yang ideal. Ini benar-benar membakar geloraku.
           Dasar kau lelaki mesum! Begini saja pikiranmu diisi kejorokan-kejorokan. Indahnya sepasang bola mata itu senilai berlian berkarat-karat. Alisnya melengkung meneduhi sepasang berlian dibawahnya itu. Kedua pipinya montok dan halus. Sepasang bibirnya merah merekah menggoda. Tapi begitu aku rendahkan pandanganku tiba-tiba aku tersentak kaget. Lenyap semua pujian-pujian itu. Seorang perempuan? Tidak mungkin kakinya berbulu. Tapi Nina memilikinya. Memang tumbuh jarang-jarang, tapi tetap lebih menjijikan melihat kaki perempuan berbulu. Itu pertanda ia kurang merawat diri. Barangkali ia tak sempat mencukurnya.
          Syukurnya ini hanya cinta monyet. Jadi aku tak terlalu kecewa dengan perasaan ini.

         Mulai pada saat itu aku menilai kecantikan seorang perempuan sesungguhnya terletak pada kakinya. Apabila kakinya jenjang dan bersih, dipastikan ia juga merawat seluruh bagian tubuh dan wajahnya.

Baca juga lainnya di: Sebelumnya-Berikutnya

1 komentar:

  1. waduh,.. kaki perempuan berbulu dikatakan tidak cantik,..? padahal itu kan takdir. lalu bagaimana jika ajaran suatu keyakinan melarang seorang mencukur rambutnya ,..?

    BalasHapus