Sebuah tangga kayu, miring, dan
menempel pada dinding di ruang tengah. Tangga itu menjurus langsung pada lubang
di langit-langit ruangan. Dibalik langit-langit itu, didalam para-para,
dibuatkan sebuah kamar tidur. Ukurannya tak seberapa luas, sempit, dan sesak.
Tak ada ranjang di kamar ini. Keempat
sisi dindingnya dibiarkan polos tanpa hiasan. Kasur busa langsung digelar
diatas lantai berkarpet. Diujung kasur berdiri sebuah rak kecil. Buku-buku dan
botol-botol minyak wangi disimpan disana. Lemari pakaiannya adalah susunan tiga
kotak plastik besar. Lebih mirip disebut laci ketimbang lemari. Di kamar
Santoso inilah aku dan Agus menginap. Kami tidur diatas karpet berselimutkan
kain sarung. Santoso, anak sulung Pak Mamet itu, tidur diatas kasur busa.
Santoso anak yang pendiam. Saking
diamnya, guratan wajah dan matanya tampak banyak bicara. Ia terlihat seperti
orang yang selalu berpikir dan memiliki banyak pikiran. Persis seperti
bapaknya. Barangkali dalam keluarga ini ada satu masalah besar. Sebagai anak,
ia merasa wajib ikut mencarikan jalan keluarnya. Atau barangkali itu faktor
bawaan, pengaruh keturunan.
Sepertinya juga Santoso merasa
keberatan kami tidur didalam kamarnya.
Usiaku dengannya tak jauh terpaut.
Kami bisa berteman. Tapi kami tak mengobrol sama sekali. Dengan Agus saja
berbicara seadanya. Itupun sesekali. Kelihatannya ia anak yang tertutup dan
sulit. Begitu lampu kamar dimatikan, kami langsung tidur. Aku berguling ke
kanan dan kiri. Cemas. Sulit mata terpejam ditempat seasing ini.
Begitu cahaya fajar pertama menembus
jendela, diam-diam aku keluar kamar. Rasanya aneh dan tak sopan berkeliaran
didalam rumah yang baru pertama kali aku masuki. Tapi kandung kemihku penuh.
Tak baik ditahan-tahan. Di dapur Nina tengah sibuk didepan kompor. Seorang
diri. Pintu kesempatan seolah-olah terbuka lebar untukku. Nina tengah sibuk
memasak air dan menyiapkan sarapan pagi.
Begitu keluar pintu kamar mandi, tak
sengaja sepasang mata kami berpapasan. Ia tersenyum padaku. Aku terengkuh. Ia
sungguh mempesonakan aku. Padahal penampilannya masih berantakan. Belum mandi
pula. Wajahnya asli tanpa riasan. Keadaan seadanya itu seperti contok kemurnian
dari seorang perempuan.
Nina pandai membuatku salah tingkah
seakan-akan aku kehilangan pegangan. Untuk berbasa-basi, apa yang mesti aku
tanyakan; apa kabar? Sedang apa? Bisa saya bantu? Tak ada pertanyaan tepat
untuk mengusik Nina sepagi ini.
“Ternyata kamu rajin juga. Sepagi ini
sudah sibuk di dapur”, kataku gugup. Tak tahu apakah tadi terkesan memuji atau
sekedar basa-basi.
Nina tersenyum manis. Sepertinya ia
agak tersipu, malu-malu berada didekatku. “Beginilah sehari-hariku”, tandasnya.
“Pak Mamet sangat baik sama kami. Dialah yang membiayai sekolah aku dan Agus
sampai lulus SMA. Kami bukan berasal dari keluarga kaya. Orangtuaku juga sudah
bercerai. Bapak di Brebes. Ibu pindah ke Bangka dengan suami barunya. Kami
cukup beruntung punya paman seperti Pak Mamet. Dalam keluarga kami, dialah yang
paling sukses”.
Pertama kali bertemu Nina adalah di
PKBI Citeureup. Ia gantikan Mia memegang pembukuan administrasi disana. Entah
mataku dibutakan atau memang rabun, aku merasa Nina adalah wanita tercantik
yang pernah aku temui. Seluruh pesona dimuka bumi ini terkumpul dalam dirinya.
Hanya dia pemiliknya seorang. Tak pernah aku lupakan senyum pertamanya padaku
serta sapa lembutnya. Berada didekatnya aku merasa kehilangan nuansa.
Berpura-pura dan berusaha mengendalikan diri. Barangkali inilah yang dinamakan
orang jatuh cinta; cinta pertama.
Awal-awal aku tak percaya ketika Agus
mengakui Nina adalah adik kandungnya. Beda jauh. Tak ada mirip-miripnya. Entah
tersembunyi dimana letak kemiripannya itu. Warna kulit Nina lebih terang. Tak
seperti Agus berlidah Jawa, aksen bicara Nina biasa-biasa saja. Baru aku
percaya mereka itu bersaudara ketika aku menanyakan langsung kepada Nina.
Sedikit kecewa. Bisa-bisa, apabila aku jadian sama Nina, mau tak mau Agus bakal
jadi kakak iparku.
“Sebenarnya lulus sekolah aku mau cari
pekerjaan diluar”, sambung Nina. Nada bicaranya terdengar lara. “Di pabrik atau
restoran. Punya penghasilan sendiri dan mengirim sama orangtua di kampung. Lalu
tinggal di rumah kontrakan. Hidup mandiri. Tak boleh hidup melulu begini. Tapi
kami juga mesti tahu diri. Anak-anak Pak Mamet masih kecil dan bersekolah. Kami
sepatutnya balas budi padanya. Lebih-lebih keadaan PKBI juga makin memburuk.
Jadi aku bertahan disini, menggantikan Mia di PKBI Citeureup”.
“Kan kerja sama Pak Mamet juga
digaji”.
Nina tersenyum sendu. Barangkali gaji
disini tak cukup untuk mengirim sama orangtua di kampung. Barangkali akhir-akhir
ini juga, karena PKBI tengah mengalami krisis keuangan, ia sama sekali tak
punya penghasilan.
Sarapan dimulai sebelum pukul tujuh
pagi. Menunya mirip tadi malam; telur dadar dan mie rebus. Benar-benar krisis
PKBI sangat berimbas. Seluruh anggota keluarga sarapan sama-sama, kecuali Nina.
Ia masih sibuk bolak-balik kamar mandi dan dapur. Ia seperti pembantu disini.
Dengan mobil Suzuki Carry, Pak Mamet
mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Istrinya juga ikut. Barangkali sekalian
ke pasar. Agus pergi mandi. Tinggallah aku dan Nina disini. Waktu sepertinya
sengaja memberikan kami kesempatan untuk saling menikmati pesona masing-masing.
Masing-masing? Kelihatannya hanya aku seorang yang tertarik padanya. Tapi
bagaimanapun juga, pedalaman hati wanita itu lebih misterius daripada kuburan
keramat, lebih dalam dari samudera. Tinggal aku yang mesti pandai
mengorek-ngoreknya.
Nina masih belum bersiap-siap. Ia
masih perlu mengepel lantai. Katanya ia akan datang ke PKBI Citeureup begitu
semua pekerjaan rumahnya selesai. Ia memang pembantu. Aku keluar dan duduk
tenang didepan teras.
Nina mendorong embernya keluar pintu.
Ia hendak mengepel lantai teras. Cepat-cepat aku naikkan kakiku keatas bangku.
Pagi sungguh saat-saat sibuk baginya.
Sekali lagi ia tersenyum padaku. Ia
tampak merasa tak nyaman aku perhatikan. Tapi tetap aku perhatikan juga.
Jarang-jarang waktu dan keadaan memberikanku kesempatan seperti ini. Mubazir
aku melewatkannya. Caranya menggosok-gosok lantai memperlihatkan bahwa ia
memiliki bentuk badan yang ideal. Ini benar-benar membakar geloraku.
Dasar kau lelaki mesum! Begini saja
pikiranmu diisi kejorokan-kejorokan. Indahnya sepasang bola mata itu senilai
berlian berkarat-karat. Alisnya melengkung meneduhi sepasang berlian dibawahnya
itu. Kedua pipinya montok dan halus. Sepasang bibirnya merah merekah menggoda.
Tapi begitu aku rendahkan pandanganku tiba-tiba aku tersentak kaget. Lenyap
semua pujian-pujian itu. Seorang perempuan? Tidak mungkin kakinya berbulu. Tapi
Nina memilikinya. Memang tumbuh jarang-jarang, tapi tetap lebih menjijikan
melihat kaki perempuan berbulu. Itu pertanda ia kurang merawat diri. Barangkali
ia tak sempat mencukurnya.
Syukurnya ini hanya cinta monyet.
Jadi aku tak terlalu kecewa dengan perasaan ini.
Mulai pada saat itu aku menilai
kecantikan seorang perempuan sesungguhnya terletak pada kakinya. Apabila
kakinya jenjang dan bersih, dipastikan ia juga merawat seluruh bagian tubuh dan
wajahnya.
Baca juga lainnya di: Sebelumnya-Berikutnya
Baca juga lainnya di: Sebelumnya-Berikutnya
waduh,.. kaki perempuan berbulu dikatakan tidak cantik,..? padahal itu kan takdir. lalu bagaimana jika ajaran suatu keyakinan melarang seorang mencukur rambutnya ,..?
BalasHapus