Halaman

Minggu, 25 Januari 2015

SURAT IJAZAH eps CAP JARI

          Pagi datang tiba-tiba. Sambutanku pada matahari; melenguh dan mengeluh. Lebih-lebih semalam habis turun hujan. Pekerjaan bersih-bersih menjadi bertambah-tambah.
          Ceceran air menggenang dibeberapa sudut ruang seperti air kencing kuda. Aku lupa menyuruh Agus memperbaiki genteng bocor. Kebocoran terparah berada di ruang kelas tepat disebelah kamarku. Disitu air tak lagi menggenang, tapi sudah membentuk kubangan. Setelah aku periksa keatas ternyata air hujan semalam menggenang diatas atap kanopi, meresap dan merembes masuk melalui retakan. Rupa-rupanya pipa saluran airnya mampet. Ranting-ranting dan daun-daun kering dari pohon belimbing memenuhi saluran air itu. Aku sodok-sodok menggunakan besi panjang. Tak berhasil. Lalu aku menyodoknya dari bawah. Sia-sia. Sampahnya terlalu padat.        
          Juga diatas lantai banyak kecoa sekarat. Entah dimana liang mereka berada. Ketika turun hujan lebih banyak kecoa berkeliaran didalam rumah. Terutama di dapur.
          Pekerjaan bersih-bersih pagi ini benar-benar membunuhku. Rasa-rasanya aku lebih baik tidur lagi saja seperti sekelompok pemuda dan anjingnya yang ditidurkan berabad-abad lamanya dalam sebuah gua. Lalu, bangun-bangun keadaannya baik-baik. Syukur-syukur menjadi kisah yang menginspirasi banyak orang seperti kisahnya sekelompok pemuda tersebut yang tertulis dalam kitab suci.
           Bukankah lebih hebat dari apapun sepanjang hidup tidur melulu tapi dapat memberikan motivasi? Lalu, bagaimana pula nasibnya ijazahku nanti? Ah, orang tidur tak perlu ijazah. Apalagi mati.
          Pukul sepuluh pagi Agus baru datang. Seperti kemarin-kemarin ia minta jatah mieku. Katanya ia belum makan sejak sore kemarin. Karena tak ada uang, akhir-akhir ini makan Agus tak teratur dan perutnya lebih sering kosong. Badan jangkungnya tampak kering seperti ikan asin dibawah jemuran. Mungkin saja ia mengidap cacingan.
          Tiap satu jam sekali telepon berdering. Lagi-lagi dari Pak Mamet. Ia perintahkan Agus menagih uang kursus pada anak-anak yang belum bayar. “Ini sudah lewat seminggu. Semuanya harus sudah bayar. Ditagih, Gus. Kalau tidak nanti kebiasaan”.
          Melulu Pak Mamet mengomel. Sampai-sampai Agus menggerutu kesal. Mungkin telinganya sudah panas mendengar pamannya itu menelepon dan menyuruh-nyuruhnya.
          Ia robek beberapa lembar berkas surat tagihan dari bundelan. Ia bubuhkan nama-nama siswa yang belum bayar. “Begini caranya menagih uang kursus sama anak-anak”, katanya padaku. “Tidak bertanya atau menagih langsung sama anak yang bersangkutan. Tapi kasih surat tagihan buat orangtuanya. Nah, kalau ada yang bayar sekarang, kemungkinan kita bisa gajian”.
         Agus tampak bersemangat. Barangkali pikirannya berharap ada yang bayar uang kursus hari ini. “Kalau gajian, Nom, uangnya buat apa? Mau kemana?”.
          Aku jawab, “Gajiku disini cuma tiga ratus ribu sebulan. Setengahnya buat bayar tunggakan ijazah, setengahnya lagi masuk kantong. Buat apa lagi kalau bukan buat makan sehari hari. Itupun kurangnya kemana-mana. Paling-paling beli mie lagi banyak-banyak. Sedikit menutupi kebosanan lidah, mungkin aku beli sebungkus roti tawar”
          Aku tertawa-tawa. “Menyedihkan nasibmu, anak Adam”, ledeknya.
         Nasib Agus sendiri tak kurang-kurangnya seperti aku. Gajinya dua ratus ribu lebih besar. Ia senior disini sekaligus juga keponakan Pak Mamet. Dengan adanya hubungan darah, itu takkan membuatnya terlalu pusing menghabiskan uang sebesar itu dalam waktu cepat. Mudah saja baginya minta uang lagi apabila tahu Pak Mamet mengambil uang kas pemasukan kursus itu. Aku, kesenangan apapula yang dapat aku peroleh dari uang sebesar itu. Itu hanya sedikit membantuku untuk bertahan ditengah segala himpitan dan cekikan hidup. Kesenanganku hanya terletak pada kata syukur dan ikhlas. Sebatas itu.
          Makin sore telepon itu makin sering berdering. Rasa-rasanya tiap lima menit sekali telepon itu bersuara. Untung Agus yang menerimanya. Ia bertugas mengangkat telepon itu karena takut-takut ada calon pendaftar baru yang berminat belajar kursus di PKBI ini. Ia lebih tahu seluk-beluk dan sejarah rumah kursus PKBI ini. Jadi setiap pertanyaan dapat ia jawab dengan baik.
         “Halo, PKBI selamat sore”, sapa Agus ramah tiap kali menempelkan gagang telepon dikupingnya seperti operator telepon. Dikiranya yang menelepon itu calon pendaftar, tapi ternyata orangnya itu-itu juga; Pak Mamet.
         Tak tahu apa yang terjadi dengan Pak Mamet diseberang telepon sana. Kedengarannya ia tengah frustasi. “Sudah ditagih? Ada yang bayar? Berapa anak? Berapa duit?”, tanyanya bertubi-tubi.
         “Tadi ada tiga anak bayar. Sisanya, setelah diberi surat tagihan, mungkin besok”, kata Agus. Tapi mulutnya masih bergerak-gerak cepat tanpa suara selepas kalimat terakhir diucapnya. Ia menggerutu. Ia kesal Pak Mamet melulu meneleponnya. Tanyanya juga tak jauh-jauh dari soal uang dan uang. Barangkali Agus merasa didikte secara berlebihan.
          “Selepas maghrib, kalau sudah tak ada kelas lagi, tutup saja PKBI Wanaherang”, perintah Pak Mamet kemudian. “Kamu langsung ke rumah Bapak. Bawa semua uangnya. Ajak juga Anom. Dia belum cap jari dan tanda tangan ijazah. Besok Bapak mau ke pemda Bogor. Ijazah-ijazah itu harus segera ditanda-tangani Kepala Dinas Pendidikan”.
         Cepat aku dan Agus bergilir masuk kamar mandi. Perintah Pak Mamet tadi membuat kami bersemangat. Sepertinya kami bakal mendapat gaji malam ini. Saking semangatnya aku langsung rebus dua mie instant. Buat aku dan buat Agus.
          “Makan mie itu enaknya langsung dua bungkus. Sebungkus kurang nendang”. Mangkuk mie Agus sudah kosong. Ia teguk kuah terakhir mienya langsung dari mangkuknya, kemudian mengelus-elus perutnya. Kelihatannya ia masih berminat dengan jatahku yang tinggal kuahnya saja ini. Lekas saja aku habiskan.
          Telepon masih saja berdering. Agus diam saja. Suara dering telepon itu lama-lama mengusik kupingku juga. “Nggak diangkat?”.
         “Biar”, cegah Agus tak acuh. “Palingan juga Pak Mamet. Kalau kita angkat dia malah tambah ngomel. Kalau tidak, dia pasti nyangkanya kita sudah berangkat”.
         Akhirnya kita berangkat juga menuju rumah Pak Mamet di Tarik Kolot, Citeureup. Dari sini kami naik angkot. Lalu lintas agak tersendat-sendat begitu keluar dari perempatan Cicadas. Banyak karyawan pabrik yang baru pulang kerja. Perjalanan jadi lebih lama. Telepon di rumah kursus PKBI sana pasti terus berdering dan Pak Mamet menunggu kesal di rumahnya. Roman-romannya kesabaran Pak Mamet sudah hilang.
         Kami turun didepan pasar Citeureup. Pedagang-pedagang kaki lima berjajar memanjang di seluaran pasar. Lalu lintas semrawut dan tak kenal aturan. Angkot-angkot berwarna biru bercampur dengan angkot warna hijau di jalanan, berbaris membentuk kemacetan. Kendaran-kendaraan roda dua sibuk mencari celah jalan, salip sana, sodok sini. Pada sebuah jalan kecil yang diapit lapak-lapak pedagang kaki lima, kami melangkah memasuki bagian dalam pasar.
        Pasar sepi. Toko-toko sudah tutup dan dirapikan. Begitu tiba dibelakang pasar, kami mencari tukang ojek. Banyak motor-motor yang menganggur. Beberapa diantaranya menawarkan jasa kepada kami. Agus menolak. Matanya memandang jauh kedepan, tengok kanan-kiri. Entah apa yang dicarinya ditengah gelap malam begini.
         “Hati-hati, Nom”, ucapnya memperingatkan. “Malam-malam begini, dibelakang pasar pula, banyak orang jahat. Belum tentu orang yang deketin kita itu orang baik-baik. Bisa jadi ojek itu kedok mereka saja”. Ternyata Agus orangnya paranoid juga. Barangkali ia punya pengalaman buruk. “Mungkin mereka orang baik. Tapi harap diingat keadaan dan adanya kesempatan membuat seseorang dapat berlaku kriminal”.
          Begitu melihat seorang pemuda yang menuntun motornya, Agus langsung lambaikan tangan dan memanggilnya. Aku pikir pemuda itu temannya. Ternyata tukang ojek juga. Jadilah kami menggunakan ojek ini. Satu ojek untuk dua orang penumpang. Kami berdesak-desakkan di jok belakang.
         Laju motor cukup kencang. Beberapa kendaraan berhasil didahului. Angin berhembus-hembus menampar mukaku. Dingin dan menekan. Kakiku kehilangan pijakan, menggantung diatas aspal jalan. Lima belas menit kemudian akhirnya kami tiba di tempat tujuan.
         Dari seberang jalan rumah Pak Mamet tampak senyap, menyaingi senyapnya PKBI Wanaherang. Rumah itu beratap rendah. Sepertinya tak ada lampu yang cukup silau untuk menerangi halaman rumah itu. Terasnya yang sempit terhalang seluruhnya oleh badan mobil Suzuki Carry. Gelapnya malam terasa mengucilkan rumah ini dari lingkungan tetangga sekitarnya.
          Masuk kedalam rumah ini terasa menyesakkan seperti ikut menghisap nafas kami. Kentara sekali rumah ini dibangun sekedar asal jadi. Tanpa rencana dan rancangan. Dengan mengesampingkan kenyamanan, yang terpenting, rumah ini dapat digunakan sebagai tempat bernaung baik dalam keadaan panas maupun hujan.
          Segala perabotan didalamnya besar-besar, menyita banyak tempat untuk kami bergerak. Lebih-lebih disalah satu ruang terdapat bertumpuk-tumpuk berkas kertas, koran, majalah, dan buku. “Barang jualan. Lumayan buat tambah-tambah uang belanja dapur”, kata Pak Mamet
         Ukuran ruang yang terbatas ini diam-diam terasa mencekikku. Pengap udara didalam.
         Meski begitu Pak Mamet telah membangun keluarga kecilnya di rumah ini. Bersama seorang istri, dua putra, dan seorang putri. Ia sangat bangga pada putra sulungnya. Tidak seperti badannya yang pendek dan buncit seperti kekurangan pengembang kue, ia berharap putra sulungnya tinggi seperti ibunya. Putranya itu dua tahun lebih muda dibawahku. Baru duduk dibangku kelas satu SMA. Kelihatannya memang lebih tinggi daripada bapaknya. Hanya saja kulit sawo matangnya menyerupai dirinya.
         Tiba di rumah sederhana ini kami langsung menghampiri Pak Mamet. Ia tengah bermain dengan putra bungsunya yang baru bisa merangkak itu. Ia tampak kusam dan tak berbahagia. Kelesuannya selalu awet menggurati garis-garis wajahnya pertanda ia punya beban pikiran. Penampilannya cukup bersarung dan bersinglet tanpa lengan. Mungkin sedikit kegembiraannya akhir-akhir ini hanya didapatnya dari putra bungsunya itu.
         Setelah bersalam-salaman, ia menggiring kami ke ruang depan, duduk di sofa. “Akhirnya kalian tiba juga”, katanya seraya menatapku. “Jauh, Nom?”. Aku tersenyum. Lekas ia menengadahkan tangannya kepada Agus. “Mana uangnya, Gus?”.
         Agus keluarkan uang kursus itu dari dalam saku celananya. Masih dibungkus amplop. Sesaat ia mengintip isi amplop itu dan menghitungnya. “Mana buku catatannya? Biar saya tanda-tangani sekarang”.
          Buku catatan itu besar dan tebal. Isinya adalah laporan keuangan mengenai pemasukan dan pengeluaran---catatan penghasilan dan belanja. Seharusnya buku itu di tanda-tangani setiap sebulan sekali. Tapi karena sekarang tiap ada uang Pak Mamet mengambilnya, buku itu tiap minggu diperiksa. Kami lupa membawa buku itu.
          “Tidak apa-apa”, tukas Pak Mamet. “Kebetulan besok Bapak juga mau ke Cikuda. Mau lihat-lihat keramik buat gedung baru nanti”.
         Diluar perkiraan Pak Mamet langsung mengantongi amplop tersebut. Kami tak diberi barang selembarpun. Katanya, dengan menyesal, ia masih belum bisa menggaji kami. Masih ada kebutuhan lain yang lebih penting dan mesti segera ditutupi. Sekali lagi kami dipaksa hidup prihatin dan sabar, karena kebutuhan lain itu tak bisa diajak mengerti. Yaitu kebutuhan untuk membangun gedung baru.
         Ia mengambil tas besarnya dari atas meja. Ia keluarkan ijazah milikku dan membuka kotak tinta stempel. Dibantu olehnya, ketiga jari bagian tengahku, ia tekankan pada kotak tinta stempel. Permukaan dalam ketiga jariku dilumuri tinta biru. Lalu Pak Mamet menekan-nekan jariku diatas permukaan ijazah tepat dibawah foto hitam putih. Sidik jariku tercetak disana. Kemudian ia memberikanku sebatang pulpen. “Tanda tangannya harus kena fotonya”, ucapnya memberitahu.
         Aku tanda-tangani dengan hati-hati. Ijazah ini sumber harapan masa depanku. “Pak, aku bisa kan melanjutkan kuliah dengan menggunakan ijazah ini?”, tanyaku. Aku merasa sedikit ragu dengan keabsahan ijazah kesetaraan ini.
               Keraguan ini dilandasi bahwa nilai-nilai yang tertera dalam ijazah ini sama sekali bukan nilai murni. Bukan hasil usaha dan pemikiran sendiri. Sebelum ujian dilaksanakan semua peserta ujian berkumpul didepan kantor PKBI Citeureup. Kami diberikan selembar kunci jawaban. Tentu saja lembar jawaban itu tak diberikan secara cuma-cuma. Tiap kunci jawaban satu mata pelajaran dikenai biaya Rp 20.000-. Semua peserta ujian wajib membayarnya tanpa kecuali.
         Habis itu, barulah kami menuju sekolah yang ditunjuk sebagai tempat penyelenggaraan ujian kejar paket C ini. Di sekolah ini tidak hanya peserta ujian dari PKBI saja, tapi digabung dengan peserta ujian dari tempat lainnya di seluruh kecamatan Citeureup. Seperti kami, mereka juga punya kunci jawaban yang sama. Alhasil, selama ujian berlangsung situasi tenang hening. Antara peserta dan pengawas ujian terjalin hubungan kerjasama dan rahasia tahu sama tahu.
         Baru kali ini aku merasakan ujian bebas mencontek. Tak perlu repot-repot pula.
         Adalah wajar kami mencontek dan diberikan contekan secara resmi. Waktu belajar yang singkat dan pendek membuat penyampaian materi kurang mendalam. Kebanyakan waktu diisi dengan bekerja. Modul pun dibaca hanya iseng-iseng saja. Kondisi yang serba darurat membuat persentasi kelulusan peserta ujian sangat kecil.
          Ujian kejar paket C akhirnya tak lain dari ajang jual-beli ijazah kesetaraan.
         Tinggal aku sendiri yang kelabakan. Semua peserta mengerjakan soal-soal ujian dengan kemampuan kantong mereka. Sementara aku lebih suka menggunakan kemampuan kepala. Ini bukan karena aku cerdas apalagi jujur. Tetapi aku tak punya cukup uang untuk membeli kunci jawaban.
          Ada enam mata pelajaran yang diujikan. Tiap kunci jawaban dari satu mata pelajaran dihargai Rp 20.000. Dihitung-hitung aku mesti menyiapkan dana sebesar Rp 120.000. Itu harus dibayar ditempat. Tak boleh dihutang ataupun diangsur. Sementara tunggakanku pada PKBI saja masih jauh dari kata lunas. Beruntung Bu Atiek membantuku. Ia salah seorang peserta ujian juga dari PKBI. Tanpa aku minta ia menalangi biaya tersebut. Ia sangat baik. Mungkin sebagai seorang guru TK, ia memiliki kepekaan seorang ibu.
          Begitu nilai-nilai hasil ujian diumumkan ada kesan-kesan ganjil juga yang kami rasakan. Nilai kami dibelakang koma berbeda-beda. Tapi rata-rata semua nilainya tujuh. Aku yakin kunci jawaban yang diberikan itu sama semua. Kami memang berpura-pura serius mengerjakan soal, para pengawas berpura-pura pula mengawasi, lalu apakah orang-orang dari dinas juga berpura-pura memeriksa lembar jawaban kami? Asal tembak nilai?
          Sebelum ujian, salah seorang guru pengajar kami bilang, “Lembar jawaban ujian kalian akan diperiksa secara komputerisasi. Tak cukup jawaban benar saja, tapi kerapihannya juga. Apabila saat melingkari jawaban, lalu kalian mencoretnya sampai keluar garis lingkaran, meski jawabannya benar akan dianggap salah. Komputer tak dapat diajak kompromi”.
          Jadilah hampir semua peserta membeli penggaris yang memiliki lubang lingkarannya. Rata-rata perempuan. Tidak bagi peserta laki-laki. Mereka sudah cukup punya pensil 2B. Penghapus dan serutan saja mereka pinjam dari bangku sebelah.
          Barangkali inilah penyebab nilai kami berbeda-beda dibelakang komanya; faktor kerapihan. Memang di negeri ini lebih butuh orang rapih daripada orang pura-pura.
          “Bisalah”, jawab Pak Mamet kemudian. “Malahan ijazah paket C ini ditanda-tangani langsung Kepala Dinas Pendidikan. Tidak oleh kepala sekolah. Makanya besok Bapak mau ke pemda Bogor untuk melegalisasikan ijazah ini. Kasih tahu yang lain kalau ijazahnya dapat diambil sekitar minggu depan”.
          “Baik, Pak”. Tentu saja aku belum bisa mengambil ijazahku minggu depan nanti. Waktuku masih panjang untuk melunasi tunggakan ijazah tersebut.
          Tak lama kemudian kami makan bersama. Tikar digelar tepat dihadapan layar televisi. Hasil olahan istri Pak Mamet dan Nina diletakkan ditengah-tengah lingkaran. Juga piring dan sendoknya. Menunya semur telur ceplok dibelah dua dan sepanci mie rebus. Mie lagi, pikirku. Rasa-rasanya aku tak bisa lepas dari makanan instant ini. Barangkali rumah tangga ini tengah melakukan penghematan besar-besaran. Setidak-tidaknya kali ini aku dapat makan nasi.

            Dengan malu-malu aku tambah makanku. Diam-diam juga aku mencuri-curi pandang kepada Nina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar