Halaman

Rabu, 21 Januari 2015

SURAT IJAZAH eps TEMAN CURHAT

         Agus, Heni, juga Dinda pulang. Mereka menumpang mobil Pak Mamet. Kebetulan rumah mereka searah. Tinggal aku disini, hening sendiri.
          Malam perlahan berlarut-larut. Seorang-dua orang melintas didepan jalan sana. Aku seorang diri; tak ada yang memperhatikanku. Pintu-pintu rumah tetangga tertutup semua. Hanya cahaya lampu teras menandakan ada kehidupan didalam sana. Sekolah TK yang biasanya ramai kini mati dalam lingkaran gelap malam. Wahana-wahana permainan, bercat warna-warni, tak lagi berdecit-decit. Alam dan segala isinya seperti kehilangan nyawa. Sepi melompong tiada terisi.
          Malam di kompleks perumahan ini sungguh sunyi, terlalu sunyi bagi seorang remaja sepertiku. Seharusnya diusia belasan ini aku tumbuh dalam banyak pergaulan.
         Tepat di rumah tetangga sebelah, melalui dinding-dinding, sayup-sayup aku dengar suara petikan gitar. Itu suara seorang remaja lelaki. Aku sering melihatnya main basket di lapangan depan kompleks. Teman-temannya juga sering mengunjunginya kemari. Mungkin ia seumuran denganku.
         Selain suaranya, aku dengar juga suara teman-temannya ikut bernyanyi. Mereka tertawa ceria dibalik dinding sana. Masa-masa muda yang menyenangkan. Berkumpul dan berbagi. Diisi pula dengan segala kemudahan dan kegemilangan. Aku seorang diri disini, berusaha menggapai-gapai hidup. Itupun belum tentu melahirkan kecemerlangan, kecuali aku kembali bangkit dan bangkit lagi setelah jatuh gagalnya.
           Usiaku barulah delapan belas tahun, tapi entah kenapa hidupku terasa terlalu tua.
           Berbahagialah mereka-mereka itu. Banyak teman dan bebas. Hidup terjamin. Sesuka hati mengobrak-abrik dunia, berpetualang dengan kenakalan dan keingitahuan. Tak kurang sesuatu apapun.
          Tinggal aku bengong-bengong sendiri. Sebagai remaja, belum satupun tempat aku jelajahi. Tak ada penemuan dan wawasan. Hidupku terlingkup dalam keprihatinan. Barangkali itulah penjelajahan terbesarku.
         Aku setel radio dan mendengarkan lagu. Inilah sedikit pengisi jiwa untuk meramaikan. Malam-malam begini apakah bakal ada orang datang kemari sebagai pendaftar kursus baru?
          Merasa bosan aku coba telepon seorang teman. Idul namanya. Dialah temanku satu-satunya. Ia tempatku melepaskan curahan isi hati. Kami bertemu saat kelas perdana di PKBI. Orangnya kurus, berkulit kuning, sedikit pendiam, satu tahun lebih tua dariku. Lebih-lebih ia merupakan anak bungsu. Kesemua kakaknya sudah menikah dan punya anak. Kedua orangtuanya sudah berhaji. Jadilah di rumah ia seperti anak tunggal, menjadi anak yang paling dimanja orangtua.
          Tapi ia tak pernah bersekolah dan mengikuti ujian nasional seumumya. Ia belajar di rumah, bukan di sekolah. Ijazah SD dan SMP-nya ia peroleh dari ikut ujian kesetaraan. Juga ijazah SMA-nya ia peroleh dari mengikuti ujian kejar paket C.
          Aku tak tahu mengapa ia menempuh pendidikan sekolah seperti itu. Aku juga tak pernah menanyakan. Padahal orangtuanya cukup mampu menyekolahkannya secara normal hingga sarjana. Otaknya juga cukup encer. Apabila masuk sekolah umum pastilah ia mampu meraih nilai tertinggi di kelasnya, berprestasi sebagai bintang kelas. Barangkali ini terkait-kait kehendak orangtuanya juga, apalagi terhadap putra bungsu.
         Melalui sambungan telepon aku utarakan keluh kesahku padanya. Aku ceritakan semua yang telah terjadi padaku, terutama perkara gaji dan menu makananku sehari-hari. Dari suaranya yang terdengar bersahaja, ia sabar-sabarkan aku. Kamu pasti bisa, Anom, itulah katanya. Ia memang hanya mampu menolongku melalui kata, tapi setidaknya itu mampu membuatku barang sesaat lupa akan permasalahanku.
         “Dul, besok kamu datang ke PKBI Citeureup, nggak?”, kataku mengingatkan kembali apa yang telah Pak Mamet perintahkan padaku. “Buat cap jari dan tanda tangan ijazah”.
         “Pasti datang. Kamu?”
         “Nggak bisa, Dul”, ucapku menyesal. “Aku mesti jaga rumah kursus PKBI Wanaherang ini. Sebenarnya tadi aku mau cap jari dan tanda tangannya disini, tapi Pak Mamet lupa bawa ijazahnya. Mungkin hari Minggu aku kesana buat cap jari dan tanda tangannya”.
         Diseberang telepon sana Idul membulatkan mulutkanya sambil mengangguk-ngangguk.
         “Kapan mau main kesini, ke PKBI Wanaherang?”, mintaku, yang lebih terdengar menuntut, untuk kesekian kalinya. “Ajak juga yang lainnya. Kita ngobrol-ngobrol disini. Kali saja kalau kalian datang kemari bawa suasana baru”.
         “Teman-teman juga sebenarnya mau kesana. Cuma mereka sibuk-sibuk”.
        “Kalau kemari jangan lupa bawa makanan”, aku berkata sambil cengengesan, “kue-kue atau apalah. Yang penting bisa dimakan”.

         Lagi asyik-asyiknya telepon, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tak terasa kami mengobrol sudah satu jam lebih. Bahaya. Padahal sedari tadi kupingku sudah terasa panas, tapi aku tak peduli. Cepat aku tutup telepon. Mudah-mudahan tagihan telepon bulan ini tak membengkak.

3 komentar:

  1. Kalau sudah asyik ngobrol, pasti keterusan. Nggak nyadar kalau ngobrolnya lewat telepon.

    BalasHapus
  2. Tidak apa-apa tagihan membengkak, tidak setiap hari koq ngobrol sama teman

    BalasHapus
  3. HP Yitno dan Edi Pramono begitulah. kalo curhat2an selalu lupa waktu

    BalasHapus