Agus, Heni, juga Dinda pulang. Mereka
menumpang mobil Pak Mamet. Kebetulan rumah mereka searah. Tinggal aku disini,
hening sendiri.
Malam perlahan berlarut-larut.
Seorang-dua orang melintas didepan jalan sana. Aku seorang diri; tak ada yang
memperhatikanku. Pintu-pintu rumah tetangga tertutup semua. Hanya cahaya lampu
teras menandakan ada kehidupan didalam sana. Sekolah TK yang biasanya ramai
kini mati dalam lingkaran gelap malam. Wahana-wahana permainan, bercat
warna-warni, tak lagi berdecit-decit. Alam dan segala isinya seperti kehilangan
nyawa. Sepi melompong tiada terisi.
Malam di kompleks perumahan ini
sungguh sunyi, terlalu sunyi bagi seorang remaja sepertiku. Seharusnya diusia
belasan ini aku tumbuh dalam banyak pergaulan.
Tepat di rumah tetangga sebelah,
melalui dinding-dinding, sayup-sayup aku dengar suara petikan gitar. Itu suara
seorang remaja lelaki. Aku sering melihatnya main basket di lapangan depan
kompleks. Teman-temannya juga sering mengunjunginya kemari. Mungkin ia seumuran
denganku.
Selain suaranya, aku dengar juga suara
teman-temannya ikut bernyanyi. Mereka tertawa ceria dibalik dinding sana.
Masa-masa muda yang menyenangkan. Berkumpul dan berbagi. Diisi pula dengan segala
kemudahan dan kegemilangan. Aku seorang diri disini, berusaha menggapai-gapai
hidup. Itupun belum tentu melahirkan kecemerlangan, kecuali aku kembali bangkit
dan bangkit lagi setelah jatuh gagalnya.
Usiaku barulah delapan belas tahun, tapi entah kenapa hidupku terasa
terlalu tua.
Berbahagialah mereka-mereka itu.
Banyak teman dan bebas. Hidup terjamin. Sesuka hati mengobrak-abrik dunia,
berpetualang dengan kenakalan dan keingitahuan. Tak kurang sesuatu apapun.
Tinggal aku bengong-bengong sendiri.
Sebagai remaja, belum satupun tempat aku jelajahi. Tak ada penemuan dan
wawasan. Hidupku terlingkup dalam keprihatinan. Barangkali itulah penjelajahan
terbesarku.
Aku setel radio dan mendengarkan lagu.
Inilah sedikit pengisi jiwa untuk meramaikan. Malam-malam begini apakah bakal
ada orang datang kemari sebagai pendaftar kursus baru?
Merasa bosan aku coba telepon seorang
teman. Idul namanya. Dialah temanku satu-satunya. Ia tempatku melepaskan
curahan isi hati. Kami bertemu saat kelas perdana di PKBI. Orangnya kurus,
berkulit kuning, sedikit pendiam, satu tahun lebih tua dariku. Lebih-lebih ia
merupakan anak bungsu. Kesemua kakaknya sudah menikah dan punya anak. Kedua
orangtuanya sudah berhaji. Jadilah di rumah ia seperti anak tunggal, menjadi
anak yang paling dimanja orangtua.
Tapi ia tak pernah bersekolah dan
mengikuti ujian nasional seumumya. Ia belajar di rumah, bukan di sekolah.
Ijazah SD dan SMP-nya ia peroleh dari ikut ujian kesetaraan. Juga ijazah
SMA-nya ia peroleh dari mengikuti ujian kejar paket C.
Aku tak tahu mengapa ia menempuh
pendidikan sekolah seperti itu. Aku juga tak pernah menanyakan. Padahal
orangtuanya cukup mampu menyekolahkannya secara normal hingga sarjana. Otaknya
juga cukup encer. Apabila masuk sekolah umum pastilah ia mampu meraih nilai
tertinggi di kelasnya, berprestasi sebagai bintang kelas. Barangkali ini
terkait-kait kehendak orangtuanya juga, apalagi terhadap putra bungsu.
Melalui sambungan telepon aku utarakan
keluh kesahku padanya. Aku ceritakan semua yang telah terjadi padaku, terutama
perkara gaji dan menu makananku sehari-hari. Dari suaranya yang terdengar
bersahaja, ia sabar-sabarkan aku. Kamu pasti bisa, Anom, itulah katanya. Ia
memang hanya mampu menolongku melalui kata, tapi setidaknya itu mampu membuatku
barang sesaat lupa akan permasalahanku.
“Dul, besok kamu datang ke PKBI
Citeureup, nggak?”, kataku mengingatkan kembali apa yang telah Pak Mamet
perintahkan padaku. “Buat cap jari dan tanda tangan ijazah”.
“Pasti datang. Kamu?”
“Nggak bisa, Dul”, ucapku menyesal.
“Aku mesti jaga rumah kursus PKBI Wanaherang ini. Sebenarnya tadi aku mau cap
jari dan tanda tangannya disini, tapi Pak Mamet lupa bawa ijazahnya. Mungkin
hari Minggu aku kesana buat cap jari dan tanda tangannya”.
Diseberang telepon sana Idul
membulatkan mulutkanya sambil mengangguk-ngangguk.
“Kapan mau main kesini, ke PKBI
Wanaherang?”, mintaku, yang lebih terdengar menuntut, untuk kesekian kalinya.
“Ajak juga yang lainnya. Kita ngobrol-ngobrol disini. Kali saja kalau kalian
datang kemari bawa suasana baru”.
“Teman-teman juga sebenarnya mau
kesana. Cuma mereka sibuk-sibuk”.
“Kalau kemari jangan lupa bawa
makanan”, aku berkata sambil cengengesan, “kue-kue atau apalah. Yang penting
bisa dimakan”.
Lagi asyik-asyiknya telepon, jam sudah
menunjukkan pukul sembilan malam. Tak terasa kami mengobrol sudah satu jam
lebih. Bahaya. Padahal sedari tadi kupingku sudah terasa panas, tapi aku tak
peduli. Cepat aku tutup telepon. Mudah-mudahan tagihan telepon bulan ini tak
membengkak.
Kalau sudah asyik ngobrol, pasti keterusan. Nggak nyadar kalau ngobrolnya lewat telepon.
BalasHapusTidak apa-apa tagihan membengkak, tidak setiap hari koq ngobrol sama teman
BalasHapusHP Yitno dan Edi Pramono begitulah. kalo curhat2an selalu lupa waktu
BalasHapus