Kembali aku terkurung didalam rumah ini.
Tak ada kisah apapun disini kecuali angan-anganku menciptakannya sendiri. Aku
selalu berharap dan berdoa suatu saat nanti angan-angan itu hidup dalam
genggaman tangan dan langkah kakiku.
Aku gelar matras tidur diatas lantai.
Rapat-rapat, melalui balik dinding kamar, dari konveksi sebelah masih terdengar
suara mesin jahit menderu-deru. Diantara suara bising itu terdengar juga suara
dua-tiga orang perempuan berbicara. Kerja lembur. Kedengarannya mereka begitu
serius dan lelah. Mungkin mengejar target produksi. Sementara waktu terasa
lebih cepat bergerak daripada deru gerak mesin jahit.
Betapa jauh berbeda kehidupan
memisahkan kelas-kelas masyarakat. Tak terkecuali semuanya mengikuti alur
ekonomi. Padahal jarak mereka tak sejauh beberapa jarak. Disebelah sana
kumpulan remaja tertawa-tawa gembira. Disebelah sini para pekerja bersusah
payah menghadapi kenyataan. Ditengah-tengahnya aku bagaikan perpaduan dari
kedua sisi tersebut.
Sampai larut malam begini, ketika mata
mulai merabun, setiap persendian mulai pegal-pegal, pekerjaan mesti segera
mereka selesaikan. Begitu keras orang-orang mencari nafkah. Lebih-lebih,
kebanyakan pegawai konveksi itu adalah perempuan muda. Mungkin seorang istri
atau anak yang baru lulus sekolah. Selebihnya berjenis kelamin laki-laki.
Mungkin alasan para perempuan itu bekerja sederhana saja; membantu suami atau
orangtua menutupi kebutuhan hidup. Jelas saja bekerja sampai larut begini bukan
sekedar menutupi tapi mengisi.
Kesibukan konveksi disebelah sana
telah memperlihatkanku sebuah kenyataan baru. Rupa-rupanya tak hanya aku saja
yang mengalami hidup begini. Di luar sana lebih banyak orang yang berjuang dan
bertarung melawan kekuatan nasib. Tiap-tiap manusia memiliki doa dan usahanya
masing-masing untuk memenuhi pengharapannya. Aku tak sendiri.
Mataku mulai terkantuk-kantuk.
Sejumlah nyamuk berdengung-dengung mengusik pendengaranku. Satu dua nyamuk
diam-diam hinggap dikulitku. Aku tepuk. Luput. Kemudian nyamuk-nyamuk itu
kembali bermanuver disekitarku menunggu kesempatan lain. Lama-lama rumah ini
tak lagi menjadi duniaku, tapi lebih menyerupai kuburanku.
Sekonyong jendela kaca kamar diketuk.
Keras-keras. Aku terkesiap dari tidurku yang belum penuh ini. Rupanya Abidin
yang mengetuk. Dari balik kaca, sekedar menggerakkan bibir tanpa suara ia
bilang, “Buka!”. Telunjuknya menuding kearah pintu depan. Segera aku ambil
kunci, nyalakan lampu, dan membuka pintu.
“Sudah tidur? Ganggu ya?”, ucapnya
basa-basi.
“Masuk saja”, kembali aku menutup dan
mengunci pintu.
Belum lama aku mengenal lelaki
bernama Abidin ini. Dahulu ia juga pernah bekerja di rumah kursus ini. Nasibnya
kurang lebih persis seperti keadaanku sekarang. Ia merupakan bekas murid Pak
Mamet di sekolah negeri Citeureup. Ia sekelas bersama Heni dan Dinda. Barang
beberapa bulan lalu sebelum aku kerja disini, ia mengundurkan diri. Ia pindah
kerja ke konveksi sebelah. Pastinya kerja di konveksi lebih terjamin daripada
disini.
Baru aku tahu ternyata rumah kursus
ini dijadikan semacam batu loncatan bagi bekas murid Pak Mamet.
“Hati-hati dan waspada”, bisik Agus
diam-diam memperingatkanku. Matanya melirik tajam kearah Abidin. Itulah saat
pertama kali aku bertemu Abidin. Kami berkenalan saling lempar senyum dan jabat
tangan.
Aku sendiri tak mengerti apa yang
Agus maksudkan. Cukup aku dengar saja. Rasa-rasanya ada masalah pelik terjadi
antara mereka. Menurutku Abidin sama sekali tak terlihat seperti orang licik
ataupun culas. Dalam kesehariannya ia selalu mengenakan kemeja bahkan koko.
Celananya menggantung diatas mata kaki. Wajahnya selalu terlihat tenang,
pandangan matanya teduh, keningnya menghitam, bicaranya pelan penuh hati-hati.
Dibawah dagunya ia pelihara janggut yang tumbuh jarang-jarang. Sikap dan
penampilannya itu jelas menandakan bahwa ia adalah orang taat beragama.
“Dia suka khotbah. Dia seperti orang
yang tahu segala-galanya perihal agama”, tukas Agus tepat dilubang telingaku.
“Lebih dari itu ia suka mengadu. Beberapa kali aku sering adu mulut dengannya.
Kalau dibenarkan sudah aku tonjok tampang lugunya itu. Untung aku orangnya
sabar”.
Wawasan keagamaan orang-orang seperti
Abidin biasanya tak perlu diragukan; halal-haram, hitam-putih, boleh-tidak,
dosa-amal, haq-bathil. Kata-katanya selalu penuh ajaran dan larangan. Saat
bercanda sekalipun yang bisa asyik tanpa aturan, ia selalu menyisipkan
ayat-ayat didalamnya. Itu memang bagus sekaligus menjenuhkan. Dibelakangnya,
Agus diam-diam menyebutkan Abidin itu menjengkelkan dan menganggapnya perusak
suasana.
Barangkali karena itulah Abidin
termasuk orang jujur. Saking jujurnya membuat pribadinya lebih mirip sebagai
tukang ngadu daripada pembela kebenaran. Bahkan tiap kali kemari Pak Mamet
selalu menyempatkan diri mengunjungi Abidin. Bisa jadi Pak Mamet menjadikan
Abidin semacam mata-mata tak resmi. Ia bertanya bagaimana tingkah polah
keponakannya itu dan menjawab seperti yang dilihatnya. Maka dari itu, Agus
kembali memperingatkan, aku juga mesti waspada.
Akhirnya Agus menganggap Abidin
adalah sosok yang sudah tak tahu lagi mana yang harus dibicarakan dan mana yang
harus disembunyikan. “Mulut itu lebih menyukai kata”, tandasnya padaku, yang
sebenarnya lebih ia tujukan pada Abidin. “Perbuatan terbesar mulut itu hanya
sebatas menelan makan dan minum. Sementara kata tak pernah jahuh-jauh dari
drama. Sebagaimana drama, barangkali, Abidin tak menyadari apakah ia telah
menambahi atau mengurangi apa yang telah diceritakannya”.
Katakan saja Agus itu mewakili
golongan sekuler. Pada suatu kesempatan ia pernah cerita padaku. “Kalau aku ke
Jakarta, main ke rumah salah seorang temanku disana, mereka suka mengajakku
minum. Sebenarnya aku sudah tobat. Tapi biar setetes aku harus ikut minum juga.
Sekedar menghormati teman. Toh, tidak sampai mabuk juga”.
Itulah kata-kata Agus tanpa
memikirkan apakah temannya itu menghormati pertobatannya juga. Dilain hari
terkadang kata-kata yang keluar dari mulutnya persis seperti orang religius.
Tapi ia lebih meninggi-ninggikan dirinya sendiri bahwa ia termasuk orang tahu
agama dan menaatinya seakan-akan tak ada yang lebih tahu dan taat daripada
dirinya.
Barangkali karena aliran yang
berseberangan, terjadi perang dingin antara Agus dan Abidin. Diam-diam mereka
memasang kebencian. Itu bukan urusanku. Apapun yang mereka katakan padaku,
apabila hati tak mau menurut, cukupkanlah itu sebagai tambahan pengetahuan
saja. Tak lebih. Mungkin saja suatu saat nanti berguna sebagai pembenaran untuk
kebenaran itu sendiri.
Abidin meletakkan bungkusan diatas
lantai dan membukanya. “Sudah makan?”, tawarnya padaku.
“Sudah”, aku pura-pura, kembali masuk
kamar.
“Ayolah”, paksanya. Ia menarikku
keluar. “Aku tahu. Tiap hari kamu makan mie. Pasti masih lapar”.
Diatas lantai sudah tergeletak
segunung nasi, berlauk tahu kuning, ikan asin, dan sedikit sambal. Cukup kuasa
melelehkan air liurku.
“Ala kadarnya”, Abidin merendah. “Catering dari konveksi”.
Malu-malu aku ikut nimbrung juga.
Akhirnya aku dapat makan nasi malam ini. Meski sebungkus berdua dan seadanya,
rasanya lebih nikmat daripada makan sebungkus mie sendiri. Lebih mengenyangkan.
Tapi belum benar-benar kenyang, nasi dan lauknya sudah tandas. Barangkali ini catering karena ikut kerja lembur.
“Pinjam komputer lagi ya”, Abidin
remas-remas bungkus nasi itu, berjalan menuju dapur dan ambil minum. “Kamu
jangan bilang sama Pak mamet kalau aku pakai komputer disini”.
Apakah itu artinya aku disuruh
berbohong oleh orang setaat Abidin? Tentu saja tidak karena Pak Mamet takkan
menanyakan.
“Pasti”, kataku.
Beberapa hari ini, selalu malam-malam,
Abidin datang kemari. Kehadirannya cukup membantuku mengisi warna hidup.
Tujuannya kemari mengetik tugas-tugas kuliah. Ia berkuliah setiap hari Sabtu
dan Minggu, kelas khusus karyawan. Kampusnya sendiri berada disekitar kawasan
pemda kabupaten Bogor. Sedikit banyak aku bertanya mengenai kuliah dan
kampusnya. Entah kapan aku dapat memasuki bangku kuliah.
Karena baru makan, aku temani Abidin
mengetik, mengambil kursi tepat didepan layar komputer. Tak baik sehabis makan
langsung tidur.
“Kamu bisa main komputer?”, tanya
Abidin. Jari-jarinya bergerak diatas tombol-tombol huruf.
“Kalau sekedar ngetik doang sih bisa”.
“Kenapa gak nyoba ngetik juga?”.
Aku tertawa rendah. “Buat apa?”.
“Terserah. Mau nulis yang jorok-jorok
juga, silahkan”.
Aneh Abidin bisa bicara begitu. Rupanya
ia masih punya juga sisi kemanusiaan yang menyenangkan.
“Nanti ada yang baca”.
“Kalau begitu tulis saja apa-apa yang
ada dipikiranmu. Juga apa yang tengah kamu rasakan. Ya, sekedar mengusir sepi”.
Baru aku yakin sarannya yang tadi,
yang jorok itu, hanya pancingan belaka agar aku punya minat menulis.
Abidin menyalakan komputer untukku.
Kemudian aku tegak menghadap layar komputer yang bersinar terang. Sesaat mataku
terpicing menyesuaikan dengan pancaran silau itu. Jari-jariku terasa gugup
memulai. Tak tahu harus menulis apa. Aku berpikir-pikir. Diatas kepalaku,
terdengar suara ketukan dari permukaan genteng. Semakin rendah semakin
terdengar riuh. Diluar hujan turun menderas. Ketika ada yang terlintas dikepala
dan hendak mengetikkannya listrik padam. Lampu-lampu dan layar komputer mati.
Seisi rumah gelap seluruhnya. Bahkan bayang-bayang pun tak terlihat lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar