Pak Mamet kembali lagi setelah
mengantarkan anak-anak dan istrinya. Kami berangkat menuju Wanaherang
meninggalkan Nina yang sibuk sendiri di rumah. Agus duduk di bangku depan
sebelah Pak Mamet. Aku dibelakang mereka. Pak Mamet menyetir tenang-tenang.
Motor-motor berseliweran mendahului.
Pagi terasa teramat sibuk. Alam
pelan-pelan membuka ruang-ruangnya. Tapi alam yang cerah sama sekali tak
menghapus kemuraman wajah Pak Mamet. Sepanjang perjalanan kami diam-diam saja.
Akhirnya aku memutuskan, Pak Mamet begitu bukan karena ia banyak pikiran
melainkan bawaan genetik.
Pak Mamet berharap pembangunan gedung
PKBI ini cepat dirampungkan. Apabila selesai dibangun inilah gedung PKBI
miliknya sendiri, tak perlu sewa tempat lagi, memindahkan lokasi lama PKBI
Citeureup kemari. Persoalannya ia belum memiliki cukup dana untuk merampungkan
pembangunan gedung ini. Jadinya ia sulit mengira-ngira kapan gedung ini
selesai. Ia mesti mencicil dan pelan-pelan. Gaji beberapa pegawainya saja,
termasuk aku, mesti ia abaikan. Kebutuhan rumah tangganya juga kena imbas
penghematan. Semuanya ia ajak prihatin. Hampir seluruh pemasukan kas ia gunakan
untuk mencapai ambisinya. Sisanya ia pinjam dari bank dengan jaminan-jaminan.
Itupun masih kurang kemana-mana. Ia masih perlu suntikan dana.
Pak Mamet sangat yakin dengan
ambisinya ini. Segala-galanya ia rela korbankan. Menurutnya gedung PKBI ini
dibangun diatas tanah yang cukup strategis. Berada dipinggiran jalan baru dan
hanya berjarak lima belas menit jalan kaki dari lokasi lamanya.
Jalan baru ini hanya memiliki satu
jalur, memanjang sepanjang satu-dua kilometer dari ujung ke ujungnya. Jalan ini
dibangun untuk mengurai kemacetan disekitar pasar Citeureup dan perempatan
Jagorawi. Karena punya satu jalur saja, semua kendaraan yang dari dan ke tujuan
manapun mesti memutar melewati jalan ini. Disepanjang jalan ini juga berdiri
sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Boleh dikatakan disinilah pusat
pendidikan kecamatan Citeureup. Dengan kondisi semacam ini, Pak Mamet optimis
bisnisnya dibidang pendidikan pasti berkembang dan maju.
Setelah beberapa meter keluar dari
suasana semrawut pasar Citeureup, mobil memasuki gerbang toko material. Pak
Mamet memarkir mobilnya tepat didepan toko tersebut. Seraya ia turun dan kami
menunggu. Seorang lelaki keturunan Tionghoa yang berdiri dibalik etalase kaca
bergegas menyambut kedatangan Pak Mamet. Habis bertransaksi, kembali Pak Mamet
melajukan mobilnya menuju Wanaherang. Tiba di PKBI Wanaherang aku diturunkan.
Sementara Agus dan Pak Mamet melanjutkan perjalanan menuju Cikuda untuk
memilih-milih keramik. Katanya keramik di Cikuda banyak pilihannya dan lebih
murah pula.
Kembali dari Cikuda ia sempatkan
mampir di rumah kursus PKBI Wanaherang ini. Ia melihat-lihat keadaan rumah
kursus ini. Kepadaku, ia suruh ini dan itu. Ia seperti sengaja mencari-cari
kekurangan, lalu memerintahku seenaknya. Dan aku hanya mengangguk-ngangguk
rendah dan bodoh. Ia tanda-tangani laporan keuangan dari buku catatan yang ia
tagih malam tadi. Tak ketinggalan juga, sempat-sempatnya, ia mendatangi Abidin
yang tengah bekerja di konveksi sebelah. Entah apa keperluannya. Barangkali
dahulunya Abidin murid paling baik di sekolah dan menjadi kesayangannya. Lalu,
Pak Mamet dan Agus akhirnya pergi. Pak Mamet hendak ke pemda Bogor untuk
mengurus ijazah-ijazah paket C. Dan Agus mulai hari ini ditugaskan mengawasi
para kuli bangunan yang bekerja membangun gedung PKBI disana.
Praktis, aku seorang diri menjaga
rumah kursus ini. Tak ada lagi Agus yang menemani. Tapi setidaknya, persediaan
mieku cukup aman sekarang.
Pukul dua sore tiba-tiba hujan turun
deras. Padahal siang tadi cuaca panas menyengat. Gumpalan awan-awan putih
memenuhi langit. Lalu sekonyong hujan membuatku merasa terkepung dalam posisi
serba terjepit. Air turun beruntun menghantam genteng rumah, menciptakan
kebisingan yang membuat suasana hati makin terasa sunyi.
Aku tatapi hujan itu dengan mata
kosong. Pikiranku melayang entah kemana. Air hujan terus menumpah tanpa
takaran. Got-got disepanjang sisi jalan airnya meluap kemana-mana. Jalanan yang
selalu berdebu berubah menjadi aliran sungai deras setinggi mata kaki. Tak
terbayangkan banjir terjadi disini.
Di teras depan TK sana, kulihat Pak
Jono tengah berteduh sendirian. Ia melamun sendiri seperti aku disini. Tak tahu
apa yang telintas dalam pikirannya. Tak kurang-kurangnya aku senasib dengannya
dan hujan seperti membatasi kami.
Pak Jono mengenakan jas hujan berwarna
kuning. Ia biarkan air hujan menciprat-ciprat kearahnya. Ia tampak kedinginan.
Bagiku ia sesosok lelaki tangguh. Kulitnya alot dan hitam, terlalu hitam karena
sering terpapar sinar matahari langsung. Lekukan matanya cekung dan dalam,
mengapit pangkal hidungnya yang besar dan panjang. Rambutnya ikal dan kering.
Mungkin jarang keramas. Sekilas ia seperti gembel. Memang orang yang berurusan
dengan sampah tidak ada kewajiban sama sekali berpakaian rapi saat bertugas.
Pak Jono itulah orang yang bertanggung
jawab penuh atas kebersihan komplek perumahan ini. Setiap hari ia mengelilingi
komplek perumahan ini. Ia dorong-dorong gerobak sampahnya kesana kemari,
menyapu jalan-jalan dalam kompleks, dan mengosongkan tempat-tempat sampah
disetiap rumah yang dilaluinya. Tak hanya saat cuaca cerah, bahkan ketika hujan
turun pun ia masih terlihat bekerja. Upahnya ia dapatkan dari iuran warga
setempat yang ditagihnya tiap bulan.
Terkadang aku juga melihat ia sibuk
memilah-milah sampah yang diangkut gerobaknya; mana yang masih laku dijual,
dapat didaur ulang, atau tidak. Tapi derasnya hujan kali ini membuatnya harus
menunggu, menunda pekerjaannya hingga hujan reda.
Sejam kemudian hujan mereda. Bumi
basah kuyup. Teras depan becek dipenuhi genangan air. Terpaksa aku pel lagi
sebelum kelas kursus sore dimulai. Kecoa-kecoa banyak keluar dari lubangnya.
Beberapa tergeletak diatas lantai dengan posisi badan terbalik. Setelah aku telusuri
ternyata kecoa-kecoa itu keluar dari salah satu laci di dapur. Laci itu ditutup
oleh selembar papan kecil yang sisi-sisinya dilakban. Begitu aku lepaskan papan
itu, bau busuk menyergap hidungku. Ternyata dibawah laci itu adalah lubang septic tank. Mengerikan ada lubang septic tank didalam rumah. Tiba-tiba aku
teringat berita kriminal yang memasukkan para korbannya kedalam lubang septic tank. Langsung saja aku tutup
lagi laci itu dengan papan itu tadi dan melakbannya kuat-kuat.
Sebelum maghrib semua kelas kursus
bahasa sudah selesai. Tapi hari ini, jam tujuh malam, ada jadwal masuk kursus
komputer. Ikhwan, guru pengajar komputer, sudah tiba disini sejak jam lima sore
tadi. Ia keturunan Aceh tulen. Perawakannya kurus, berambut ikal gelombang, dan
kulitnya kehitaman. Tak seperti masyarakat Sumatera pada umumnya yang pandai
cakap, Ikhwan cenderung pendiam. Tampangnya tipikal wajah-wajah bangsa Asia
Selatan. Muka semacam itu pantas nongol di layar Bollywood India sana. Pada
Desember 2004 lalu, keluarganya termasuk korban bencana tsunami. Tapi beruntung
semuanya selamat. Saat ini ia tengah kuliah di universitas Gunadharma, Depok,
jurusan ilmu komputer. Pulang kuliah, ia langsung kemari, menunggu jadwalnya
mengajar, membagikan kembali apa yang diperolehnya dari bangku kuliah.
Persamaan nasib kami adalah sama-sama
belum dapat gaji. Ia satu-satunya guru disini yang belum dapat amplop. Tak
seperti guru-guru perempuan yang bawel---tak tahu karena pengaruh datang bulan
atau apa---tak secuil kalimat pun yang keluar dari mulut Ikhwan mengenai gaji.
Tabloid kampus yang dibawa Ikhwan
tergeletak diatas meja. Iseng aku ambil dan bolak-balik. Jilidnya sendiri
memasang wajah salah satu mahasiswanya; berambut gondrong, tersenyum gembira,
dan mengenakan jas almameternya berwarna biru tua. Pose mahasiswa itu
mirip-mirip seperti pose-pose dalam majalah remaja.
“Kalau jadi model cover tabloid ini apa syaratnya? Pintar?
Berprestasi?”, tanyaku.
“Bisa jadi”, Ikhwan angkat bahu tak
peduli. “Aku juga dapat beli”.
“Kirain dibagi gratis buat seluruh
mahasiswa kampus”.
Sekali lagi aku lihat tampang model cover tabloid kampus itu. “Tapi kalo
syaratnya mesti ganteng, kamu pasti gak masuk kategori”.
“Kamu pikir itu ganteng. Bisa jadi
itu cuma rekayasa kamera saja”.
Aku terkekeh-kekeh. Sebenarnya aku
iri pada guru-guru yang mengajar disini. Mereka semuanya kuliah. Mau aku
melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya sampai ke jenjang yang paling tinggi.
Tapi keadaan mesti membuatku lebih banyak bersabar, menjalani setiap prosesnya,
menunggu dengan bergerak seperti menanti telinga dan mata Tuhan tertarik dan
tertuju padaku seorang.
Baca juga lainnya di: Sebelumnya-Berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar