Halaman

Rabu, 04 Februari 2015

SURAT IJAZAH eps ANAK ACEH

          Pak Mamet kembali lagi setelah mengantarkan anak-anak dan istrinya. Kami berangkat menuju Wanaherang meninggalkan Nina yang sibuk sendiri di rumah. Agus duduk di bangku depan sebelah Pak Mamet. Aku dibelakang mereka. Pak Mamet menyetir tenang-tenang. Motor-motor berseliweran mendahului.
          Pagi terasa teramat sibuk. Alam pelan-pelan membuka ruang-ruangnya. Tapi alam yang cerah sama sekali tak menghapus kemuraman wajah Pak Mamet. Sepanjang perjalanan kami diam-diam saja. Akhirnya aku memutuskan, Pak Mamet begitu bukan karena ia banyak pikiran melainkan bawaan genetik.
          Pak Mamet berharap pembangunan gedung PKBI ini cepat dirampungkan. Apabila selesai dibangun inilah gedung PKBI miliknya sendiri, tak perlu sewa tempat lagi, memindahkan lokasi lama PKBI Citeureup kemari. Persoalannya ia belum memiliki cukup dana untuk merampungkan pembangunan gedung ini. Jadinya ia sulit mengira-ngira kapan gedung ini selesai. Ia mesti mencicil dan pelan-pelan. Gaji beberapa pegawainya saja, termasuk aku, mesti ia abaikan. Kebutuhan rumah tangganya juga kena imbas penghematan. Semuanya ia ajak prihatin. Hampir seluruh pemasukan kas ia gunakan untuk mencapai ambisinya. Sisanya ia pinjam dari bank dengan jaminan-jaminan. Itupun masih kurang kemana-mana. Ia masih perlu suntikan dana.
         Pak Mamet sangat yakin dengan ambisinya ini. Segala-galanya ia rela korbankan. Menurutnya gedung PKBI ini dibangun diatas tanah yang cukup strategis. Berada dipinggiran jalan baru dan hanya berjarak lima belas menit jalan kaki dari lokasi lamanya.
         Jalan baru ini hanya memiliki satu jalur, memanjang sepanjang satu-dua kilometer dari ujung ke ujungnya. Jalan ini dibangun untuk mengurai kemacetan disekitar pasar Citeureup dan perempatan Jagorawi. Karena punya satu jalur saja, semua kendaraan yang dari dan ke tujuan manapun mesti memutar melewati jalan ini. Disepanjang jalan ini juga berdiri sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Boleh dikatakan disinilah pusat pendidikan kecamatan Citeureup. Dengan kondisi semacam ini, Pak Mamet optimis bisnisnya dibidang pendidikan pasti berkembang dan maju.
         Setelah beberapa meter keluar dari suasana semrawut pasar Citeureup, mobil memasuki gerbang toko material. Pak Mamet memarkir mobilnya tepat didepan toko tersebut. Seraya ia turun dan kami menunggu. Seorang lelaki keturunan Tionghoa yang berdiri dibalik etalase kaca bergegas menyambut kedatangan Pak Mamet. Habis bertransaksi, kembali Pak Mamet melajukan mobilnya menuju Wanaherang. Tiba di PKBI Wanaherang aku diturunkan. Sementara Agus dan Pak Mamet melanjutkan perjalanan menuju Cikuda untuk memilih-milih keramik. Katanya keramik di Cikuda banyak pilihannya dan lebih murah pula.
          Kembali dari Cikuda ia sempatkan mampir di rumah kursus PKBI Wanaherang ini. Ia melihat-lihat keadaan rumah kursus ini. Kepadaku, ia suruh ini dan itu. Ia seperti sengaja mencari-cari kekurangan, lalu memerintahku seenaknya. Dan aku hanya mengangguk-ngangguk rendah dan bodoh. Ia tanda-tangani laporan keuangan dari buku catatan yang ia tagih malam tadi. Tak ketinggalan juga, sempat-sempatnya, ia mendatangi Abidin yang tengah bekerja di konveksi sebelah. Entah apa keperluannya. Barangkali dahulunya Abidin murid paling baik di sekolah dan menjadi kesayangannya. Lalu, Pak Mamet dan Agus akhirnya pergi. Pak Mamet hendak ke pemda Bogor untuk mengurus ijazah-ijazah paket C. Dan Agus mulai hari ini ditugaskan mengawasi para kuli bangunan yang bekerja membangun gedung PKBI disana.
          Praktis, aku seorang diri menjaga rumah kursus ini. Tak ada lagi Agus yang menemani. Tapi setidaknya, persediaan mieku cukup aman sekarang.
         Pukul dua sore tiba-tiba hujan turun deras. Padahal siang tadi cuaca panas menyengat. Gumpalan awan-awan putih memenuhi langit. Lalu sekonyong hujan membuatku merasa terkepung dalam posisi serba terjepit. Air turun beruntun menghantam genteng rumah, menciptakan kebisingan yang membuat suasana hati makin terasa sunyi.
         Aku tatapi hujan itu dengan mata kosong. Pikiranku melayang entah kemana. Air hujan terus menumpah tanpa takaran. Got-got disepanjang sisi jalan airnya meluap kemana-mana. Jalanan yang selalu berdebu berubah menjadi aliran sungai deras setinggi mata kaki. Tak terbayangkan banjir terjadi disini.
         Di teras depan TK sana, kulihat Pak Jono tengah berteduh sendirian. Ia melamun sendiri seperti aku disini. Tak tahu apa yang telintas dalam pikirannya. Tak kurang-kurangnya aku senasib dengannya dan hujan seperti membatasi kami.
         Pak Jono mengenakan jas hujan berwarna kuning. Ia biarkan air hujan menciprat-ciprat kearahnya. Ia tampak kedinginan. Bagiku ia sesosok lelaki tangguh. Kulitnya alot dan hitam, terlalu hitam karena sering terpapar sinar matahari langsung. Lekukan matanya cekung dan dalam, mengapit pangkal hidungnya yang besar dan panjang. Rambutnya ikal dan kering. Mungkin jarang keramas. Sekilas ia seperti gembel. Memang orang yang berurusan dengan sampah tidak ada kewajiban sama sekali berpakaian rapi saat bertugas.
         Pak Jono itulah orang yang bertanggung jawab penuh atas kebersihan komplek perumahan ini. Setiap hari ia mengelilingi komplek perumahan ini. Ia dorong-dorong gerobak sampahnya kesana kemari, menyapu jalan-jalan dalam kompleks, dan mengosongkan tempat-tempat sampah disetiap rumah yang dilaluinya. Tak hanya saat cuaca cerah, bahkan ketika hujan turun pun ia masih terlihat bekerja. Upahnya ia dapatkan dari iuran warga setempat yang ditagihnya tiap bulan.
         Terkadang aku juga melihat ia sibuk memilah-milah sampah yang diangkut gerobaknya; mana yang masih laku dijual, dapat didaur ulang, atau tidak. Tapi derasnya hujan kali ini membuatnya harus menunggu, menunda pekerjaannya hingga hujan reda.
         Sejam kemudian hujan mereda. Bumi basah kuyup. Teras depan becek dipenuhi genangan air. Terpaksa aku pel lagi sebelum kelas kursus sore dimulai. Kecoa-kecoa banyak keluar dari lubangnya. Beberapa tergeletak diatas lantai dengan posisi badan terbalik. Setelah aku telusuri ternyata kecoa-kecoa itu keluar dari salah satu laci di dapur. Laci itu ditutup oleh selembar papan kecil yang sisi-sisinya dilakban. Begitu aku lepaskan papan itu, bau busuk menyergap hidungku. Ternyata dibawah laci itu adalah lubang septic tank. Mengerikan ada lubang septic tank didalam rumah. Tiba-tiba aku teringat berita kriminal yang memasukkan para korbannya kedalam lubang septic tank. Langsung saja aku tutup lagi laci itu dengan papan itu tadi dan melakbannya kuat-kuat.
         Sebelum maghrib semua kelas kursus bahasa sudah selesai. Tapi hari ini, jam tujuh malam, ada jadwal masuk kursus komputer. Ikhwan, guru pengajar komputer, sudah tiba disini sejak jam lima sore tadi. Ia keturunan Aceh tulen. Perawakannya kurus, berambut ikal gelombang, dan kulitnya kehitaman. Tak seperti masyarakat Sumatera pada umumnya yang pandai cakap, Ikhwan cenderung pendiam. Tampangnya tipikal wajah-wajah bangsa Asia Selatan. Muka semacam itu pantas nongol di layar Bollywood India sana. Pada Desember 2004 lalu, keluarganya termasuk korban bencana tsunami. Tapi beruntung semuanya selamat. Saat ini ia tengah kuliah di universitas Gunadharma, Depok, jurusan ilmu komputer. Pulang kuliah, ia langsung kemari, menunggu jadwalnya mengajar, membagikan kembali apa yang diperolehnya dari bangku kuliah.
          Persamaan nasib kami adalah sama-sama belum dapat gaji. Ia satu-satunya guru disini yang belum dapat amplop. Tak seperti guru-guru perempuan yang bawel---tak tahu karena pengaruh datang bulan atau apa---tak secuil kalimat pun yang keluar dari mulut Ikhwan mengenai gaji.
          Tabloid kampus yang dibawa Ikhwan tergeletak diatas meja. Iseng aku ambil dan bolak-balik. Jilidnya sendiri memasang wajah salah satu mahasiswanya; berambut gondrong, tersenyum gembira, dan mengenakan jas almameternya berwarna biru tua. Pose mahasiswa itu mirip-mirip seperti pose-pose dalam majalah remaja.
          “Kalau jadi model cover tabloid ini apa syaratnya? Pintar? Berprestasi?”, tanyaku.
          “Bisa jadi”, Ikhwan angkat bahu tak peduli. “Aku juga dapat beli”.
          “Kirain dibagi gratis buat seluruh mahasiswa kampus”.
         Sekali lagi aku lihat tampang model cover tabloid kampus itu. “Tapi kalo syaratnya mesti ganteng, kamu pasti gak masuk kategori”.
           “Kamu pikir itu ganteng. Bisa jadi itu cuma rekayasa kamera saja”.

          Aku terkekeh-kekeh. Sebenarnya aku iri pada guru-guru yang mengajar disini. Mereka semuanya kuliah. Mau aku melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya sampai ke jenjang yang paling tinggi. Tapi keadaan mesti membuatku lebih banyak bersabar, menjalani setiap prosesnya, menunggu dengan bergerak seperti menanti telinga dan mata Tuhan tertarik dan tertuju padaku seorang.

Baca juga lainnya di: Sebelumnya-Berikutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar