Halaman

Senin, 26 Januari 2015

SURAT IJAZAH eps BULU KAKI

          Sebuah tangga kayu, miring, dan menempel pada dinding di ruang tengah. Tangga itu menjurus langsung pada lubang di langit-langit ruangan. Dibalik langit-langit itu, didalam para-para, dibuatkan sebuah kamar tidur. Ukurannya tak seberapa luas, sempit, dan sesak.
          Tak ada ranjang di kamar ini. Keempat sisi dindingnya dibiarkan polos tanpa hiasan. Kasur busa langsung digelar diatas lantai berkarpet. Diujung kasur berdiri sebuah rak kecil. Buku-buku dan botol-botol minyak wangi disimpan disana. Lemari pakaiannya adalah susunan tiga kotak plastik besar. Lebih mirip disebut laci ketimbang lemari. Di kamar Santoso inilah aku dan Agus menginap. Kami tidur diatas karpet berselimutkan kain sarung. Santoso, anak sulung Pak Mamet itu, tidur diatas kasur busa.
          Santoso anak yang pendiam. Saking diamnya, guratan wajah dan matanya tampak banyak bicara. Ia terlihat seperti orang yang selalu berpikir dan memiliki banyak pikiran. Persis seperti bapaknya. Barangkali dalam keluarga ini ada satu masalah besar. Sebagai anak, ia merasa wajib ikut mencarikan jalan keluarnya. Atau barangkali itu faktor bawaan, pengaruh keturunan.
          Sepertinya juga Santoso merasa keberatan kami tidur didalam kamarnya.
          Usiaku dengannya tak jauh terpaut. Kami bisa berteman. Tapi kami tak mengobrol sama sekali. Dengan Agus saja berbicara seadanya. Itupun sesekali. Kelihatannya ia anak yang tertutup dan sulit. Begitu lampu kamar dimatikan, kami langsung tidur. Aku berguling ke kanan dan kiri. Cemas. Sulit mata terpejam ditempat seasing ini.
          Begitu cahaya fajar pertama menembus jendela, diam-diam aku keluar kamar. Rasanya aneh dan tak sopan berkeliaran didalam rumah yang baru pertama kali aku masuki. Tapi kandung kemihku penuh. Tak baik ditahan-tahan. Di dapur Nina tengah sibuk didepan kompor. Seorang diri. Pintu kesempatan seolah-olah terbuka lebar untukku. Nina tengah sibuk memasak air dan menyiapkan sarapan pagi.
         Begitu keluar pintu kamar mandi, tak sengaja sepasang mata kami berpapasan. Ia tersenyum padaku. Aku terengkuh. Ia sungguh mempesonakan aku. Padahal penampilannya masih berantakan. Belum mandi pula. Wajahnya asli tanpa riasan. Keadaan seadanya itu seperti contok kemurnian dari seorang perempuan.
          Nina pandai membuatku salah tingkah seakan-akan aku kehilangan pegangan. Untuk berbasa-basi, apa yang mesti aku tanyakan; apa kabar? Sedang apa? Bisa saya bantu? Tak ada pertanyaan tepat untuk mengusik Nina sepagi ini.
          “Ternyata kamu rajin juga. Sepagi ini sudah sibuk di dapur”, kataku gugup. Tak tahu apakah tadi terkesan memuji atau sekedar basa-basi.
         Nina tersenyum manis. Sepertinya ia agak tersipu, malu-malu berada didekatku. “Beginilah sehari-hariku”, tandasnya. “Pak Mamet sangat baik sama kami. Dialah yang membiayai sekolah aku dan Agus sampai lulus SMA. Kami bukan berasal dari keluarga kaya. Orangtuaku juga sudah bercerai. Bapak di Brebes. Ibu pindah ke Bangka dengan suami barunya. Kami cukup beruntung punya paman seperti Pak Mamet. Dalam keluarga kami, dialah yang paling sukses”.
         Pertama kali bertemu Nina adalah di PKBI Citeureup. Ia gantikan Mia memegang pembukuan administrasi disana. Entah mataku dibutakan atau memang rabun, aku merasa Nina adalah wanita tercantik yang pernah aku temui. Seluruh pesona dimuka bumi ini terkumpul dalam dirinya. Hanya dia pemiliknya seorang. Tak pernah aku lupakan senyum pertamanya padaku serta sapa lembutnya. Berada didekatnya aku merasa kehilangan nuansa. Berpura-pura dan berusaha mengendalikan diri. Barangkali inilah yang dinamakan orang jatuh cinta; cinta pertama.
          Awal-awal aku tak percaya ketika Agus mengakui Nina adalah adik kandungnya. Beda jauh. Tak ada mirip-miripnya. Entah tersembunyi dimana letak kemiripannya itu. Warna kulit Nina lebih terang. Tak seperti Agus berlidah Jawa, aksen bicara Nina biasa-biasa saja. Baru aku percaya mereka itu bersaudara ketika aku menanyakan langsung kepada Nina. Sedikit kecewa. Bisa-bisa, apabila aku jadian sama Nina, mau tak mau Agus bakal jadi kakak iparku.
         “Sebenarnya lulus sekolah aku mau cari pekerjaan diluar”, sambung Nina. Nada bicaranya terdengar lara. “Di pabrik atau restoran. Punya penghasilan sendiri dan mengirim sama orangtua di kampung. Lalu tinggal di rumah kontrakan. Hidup mandiri. Tak boleh hidup melulu begini. Tapi kami juga mesti tahu diri. Anak-anak Pak Mamet masih kecil dan bersekolah. Kami sepatutnya balas budi padanya. Lebih-lebih keadaan PKBI juga makin memburuk. Jadi aku bertahan disini, menggantikan Mia di PKBI Citeureup”.
         “Kan kerja sama Pak Mamet juga digaji”.
         Nina tersenyum sendu. Barangkali gaji disini tak cukup untuk mengirim sama orangtua di kampung. Barangkali akhir-akhir ini juga, karena PKBI tengah mengalami krisis keuangan, ia sama sekali tak punya penghasilan.
        Sarapan dimulai sebelum pukul tujuh pagi. Menunya mirip tadi malam; telur dadar dan mie rebus. Benar-benar krisis PKBI sangat berimbas. Seluruh anggota keluarga sarapan sama-sama, kecuali Nina. Ia masih sibuk bolak-balik kamar mandi dan dapur. Ia seperti pembantu disini.
          Dengan mobil Suzuki Carry, Pak Mamet mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Istrinya juga ikut. Barangkali sekalian ke pasar. Agus pergi mandi. Tinggallah aku dan Nina disini. Waktu sepertinya sengaja memberikan kami kesempatan untuk saling menikmati pesona masing-masing. Masing-masing? Kelihatannya hanya aku seorang yang tertarik padanya. Tapi bagaimanapun juga, pedalaman hati wanita itu lebih misterius daripada kuburan keramat, lebih dalam dari samudera. Tinggal aku yang mesti pandai mengorek-ngoreknya.
         Nina masih belum bersiap-siap. Ia masih perlu mengepel lantai. Katanya ia akan datang ke PKBI Citeureup begitu semua pekerjaan rumahnya selesai. Ia memang pembantu. Aku keluar dan duduk tenang didepan teras.
          Nina mendorong embernya keluar pintu. Ia hendak mengepel lantai teras. Cepat-cepat aku naikkan kakiku keatas bangku. Pagi sungguh saat-saat sibuk baginya.
         Sekali lagi ia tersenyum padaku. Ia tampak merasa tak nyaman aku perhatikan. Tapi tetap aku perhatikan juga. Jarang-jarang waktu dan keadaan memberikanku kesempatan seperti ini. Mubazir aku melewatkannya. Caranya menggosok-gosok lantai memperlihatkan bahwa ia memiliki bentuk badan yang ideal. Ini benar-benar membakar geloraku.
           Dasar kau lelaki mesum! Begini saja pikiranmu diisi kejorokan-kejorokan. Indahnya sepasang bola mata itu senilai berlian berkarat-karat. Alisnya melengkung meneduhi sepasang berlian dibawahnya itu. Kedua pipinya montok dan halus. Sepasang bibirnya merah merekah menggoda. Tapi begitu aku rendahkan pandanganku tiba-tiba aku tersentak kaget. Lenyap semua pujian-pujian itu. Seorang perempuan? Tidak mungkin kakinya berbulu. Tapi Nina memilikinya. Memang tumbuh jarang-jarang, tapi tetap lebih menjijikan melihat kaki perempuan berbulu. Itu pertanda ia kurang merawat diri. Barangkali ia tak sempat mencukurnya.
          Syukurnya ini hanya cinta monyet. Jadi aku tak terlalu kecewa dengan perasaan ini.

         Mulai pada saat itu aku menilai kecantikan seorang perempuan sesungguhnya terletak pada kakinya. Apabila kakinya jenjang dan bersih, dipastikan ia juga merawat seluruh bagian tubuh dan wajahnya.

Baca juga lainnya di: Sebelumnya-Berikutnya

Minggu, 25 Januari 2015

SURAT IJAZAH eps CAP JARI

          Pagi datang tiba-tiba. Sambutanku pada matahari; melenguh dan mengeluh. Lebih-lebih semalam habis turun hujan. Pekerjaan bersih-bersih menjadi bertambah-tambah.
          Ceceran air menggenang dibeberapa sudut ruang seperti air kencing kuda. Aku lupa menyuruh Agus memperbaiki genteng bocor. Kebocoran terparah berada di ruang kelas tepat disebelah kamarku. Disitu air tak lagi menggenang, tapi sudah membentuk kubangan. Setelah aku periksa keatas ternyata air hujan semalam menggenang diatas atap kanopi, meresap dan merembes masuk melalui retakan. Rupa-rupanya pipa saluran airnya mampet. Ranting-ranting dan daun-daun kering dari pohon belimbing memenuhi saluran air itu. Aku sodok-sodok menggunakan besi panjang. Tak berhasil. Lalu aku menyodoknya dari bawah. Sia-sia. Sampahnya terlalu padat.        
          Juga diatas lantai banyak kecoa sekarat. Entah dimana liang mereka berada. Ketika turun hujan lebih banyak kecoa berkeliaran didalam rumah. Terutama di dapur.
          Pekerjaan bersih-bersih pagi ini benar-benar membunuhku. Rasa-rasanya aku lebih baik tidur lagi saja seperti sekelompok pemuda dan anjingnya yang ditidurkan berabad-abad lamanya dalam sebuah gua. Lalu, bangun-bangun keadaannya baik-baik. Syukur-syukur menjadi kisah yang menginspirasi banyak orang seperti kisahnya sekelompok pemuda tersebut yang tertulis dalam kitab suci.
           Bukankah lebih hebat dari apapun sepanjang hidup tidur melulu tapi dapat memberikan motivasi? Lalu, bagaimana pula nasibnya ijazahku nanti? Ah, orang tidur tak perlu ijazah. Apalagi mati.
          Pukul sepuluh pagi Agus baru datang. Seperti kemarin-kemarin ia minta jatah mieku. Katanya ia belum makan sejak sore kemarin. Karena tak ada uang, akhir-akhir ini makan Agus tak teratur dan perutnya lebih sering kosong. Badan jangkungnya tampak kering seperti ikan asin dibawah jemuran. Mungkin saja ia mengidap cacingan.
          Tiap satu jam sekali telepon berdering. Lagi-lagi dari Pak Mamet. Ia perintahkan Agus menagih uang kursus pada anak-anak yang belum bayar. “Ini sudah lewat seminggu. Semuanya harus sudah bayar. Ditagih, Gus. Kalau tidak nanti kebiasaan”.
          Melulu Pak Mamet mengomel. Sampai-sampai Agus menggerutu kesal. Mungkin telinganya sudah panas mendengar pamannya itu menelepon dan menyuruh-nyuruhnya.
          Ia robek beberapa lembar berkas surat tagihan dari bundelan. Ia bubuhkan nama-nama siswa yang belum bayar. “Begini caranya menagih uang kursus sama anak-anak”, katanya padaku. “Tidak bertanya atau menagih langsung sama anak yang bersangkutan. Tapi kasih surat tagihan buat orangtuanya. Nah, kalau ada yang bayar sekarang, kemungkinan kita bisa gajian”.
         Agus tampak bersemangat. Barangkali pikirannya berharap ada yang bayar uang kursus hari ini. “Kalau gajian, Nom, uangnya buat apa? Mau kemana?”.
          Aku jawab, “Gajiku disini cuma tiga ratus ribu sebulan. Setengahnya buat bayar tunggakan ijazah, setengahnya lagi masuk kantong. Buat apa lagi kalau bukan buat makan sehari hari. Itupun kurangnya kemana-mana. Paling-paling beli mie lagi banyak-banyak. Sedikit menutupi kebosanan lidah, mungkin aku beli sebungkus roti tawar”
          Aku tertawa-tawa. “Menyedihkan nasibmu, anak Adam”, ledeknya.
         Nasib Agus sendiri tak kurang-kurangnya seperti aku. Gajinya dua ratus ribu lebih besar. Ia senior disini sekaligus juga keponakan Pak Mamet. Dengan adanya hubungan darah, itu takkan membuatnya terlalu pusing menghabiskan uang sebesar itu dalam waktu cepat. Mudah saja baginya minta uang lagi apabila tahu Pak Mamet mengambil uang kas pemasukan kursus itu. Aku, kesenangan apapula yang dapat aku peroleh dari uang sebesar itu. Itu hanya sedikit membantuku untuk bertahan ditengah segala himpitan dan cekikan hidup. Kesenanganku hanya terletak pada kata syukur dan ikhlas. Sebatas itu.
          Makin sore telepon itu makin sering berdering. Rasa-rasanya tiap lima menit sekali telepon itu bersuara. Untung Agus yang menerimanya. Ia bertugas mengangkat telepon itu karena takut-takut ada calon pendaftar baru yang berminat belajar kursus di PKBI ini. Ia lebih tahu seluk-beluk dan sejarah rumah kursus PKBI ini. Jadi setiap pertanyaan dapat ia jawab dengan baik.
         “Halo, PKBI selamat sore”, sapa Agus ramah tiap kali menempelkan gagang telepon dikupingnya seperti operator telepon. Dikiranya yang menelepon itu calon pendaftar, tapi ternyata orangnya itu-itu juga; Pak Mamet.
         Tak tahu apa yang terjadi dengan Pak Mamet diseberang telepon sana. Kedengarannya ia tengah frustasi. “Sudah ditagih? Ada yang bayar? Berapa anak? Berapa duit?”, tanyanya bertubi-tubi.
         “Tadi ada tiga anak bayar. Sisanya, setelah diberi surat tagihan, mungkin besok”, kata Agus. Tapi mulutnya masih bergerak-gerak cepat tanpa suara selepas kalimat terakhir diucapnya. Ia menggerutu. Ia kesal Pak Mamet melulu meneleponnya. Tanyanya juga tak jauh-jauh dari soal uang dan uang. Barangkali Agus merasa didikte secara berlebihan.
          “Selepas maghrib, kalau sudah tak ada kelas lagi, tutup saja PKBI Wanaherang”, perintah Pak Mamet kemudian. “Kamu langsung ke rumah Bapak. Bawa semua uangnya. Ajak juga Anom. Dia belum cap jari dan tanda tangan ijazah. Besok Bapak mau ke pemda Bogor. Ijazah-ijazah itu harus segera ditanda-tangani Kepala Dinas Pendidikan”.
         Cepat aku dan Agus bergilir masuk kamar mandi. Perintah Pak Mamet tadi membuat kami bersemangat. Sepertinya kami bakal mendapat gaji malam ini. Saking semangatnya aku langsung rebus dua mie instant. Buat aku dan buat Agus.
          “Makan mie itu enaknya langsung dua bungkus. Sebungkus kurang nendang”. Mangkuk mie Agus sudah kosong. Ia teguk kuah terakhir mienya langsung dari mangkuknya, kemudian mengelus-elus perutnya. Kelihatannya ia masih berminat dengan jatahku yang tinggal kuahnya saja ini. Lekas saja aku habiskan.
          Telepon masih saja berdering. Agus diam saja. Suara dering telepon itu lama-lama mengusik kupingku juga. “Nggak diangkat?”.
         “Biar”, cegah Agus tak acuh. “Palingan juga Pak Mamet. Kalau kita angkat dia malah tambah ngomel. Kalau tidak, dia pasti nyangkanya kita sudah berangkat”.
         Akhirnya kita berangkat juga menuju rumah Pak Mamet di Tarik Kolot, Citeureup. Dari sini kami naik angkot. Lalu lintas agak tersendat-sendat begitu keluar dari perempatan Cicadas. Banyak karyawan pabrik yang baru pulang kerja. Perjalanan jadi lebih lama. Telepon di rumah kursus PKBI sana pasti terus berdering dan Pak Mamet menunggu kesal di rumahnya. Roman-romannya kesabaran Pak Mamet sudah hilang.
         Kami turun didepan pasar Citeureup. Pedagang-pedagang kaki lima berjajar memanjang di seluaran pasar. Lalu lintas semrawut dan tak kenal aturan. Angkot-angkot berwarna biru bercampur dengan angkot warna hijau di jalanan, berbaris membentuk kemacetan. Kendaran-kendaraan roda dua sibuk mencari celah jalan, salip sana, sodok sini. Pada sebuah jalan kecil yang diapit lapak-lapak pedagang kaki lima, kami melangkah memasuki bagian dalam pasar.
        Pasar sepi. Toko-toko sudah tutup dan dirapikan. Begitu tiba dibelakang pasar, kami mencari tukang ojek. Banyak motor-motor yang menganggur. Beberapa diantaranya menawarkan jasa kepada kami. Agus menolak. Matanya memandang jauh kedepan, tengok kanan-kiri. Entah apa yang dicarinya ditengah gelap malam begini.
         “Hati-hati, Nom”, ucapnya memperingatkan. “Malam-malam begini, dibelakang pasar pula, banyak orang jahat. Belum tentu orang yang deketin kita itu orang baik-baik. Bisa jadi ojek itu kedok mereka saja”. Ternyata Agus orangnya paranoid juga. Barangkali ia punya pengalaman buruk. “Mungkin mereka orang baik. Tapi harap diingat keadaan dan adanya kesempatan membuat seseorang dapat berlaku kriminal”.
          Begitu melihat seorang pemuda yang menuntun motornya, Agus langsung lambaikan tangan dan memanggilnya. Aku pikir pemuda itu temannya. Ternyata tukang ojek juga. Jadilah kami menggunakan ojek ini. Satu ojek untuk dua orang penumpang. Kami berdesak-desakkan di jok belakang.
         Laju motor cukup kencang. Beberapa kendaraan berhasil didahului. Angin berhembus-hembus menampar mukaku. Dingin dan menekan. Kakiku kehilangan pijakan, menggantung diatas aspal jalan. Lima belas menit kemudian akhirnya kami tiba di tempat tujuan.
         Dari seberang jalan rumah Pak Mamet tampak senyap, menyaingi senyapnya PKBI Wanaherang. Rumah itu beratap rendah. Sepertinya tak ada lampu yang cukup silau untuk menerangi halaman rumah itu. Terasnya yang sempit terhalang seluruhnya oleh badan mobil Suzuki Carry. Gelapnya malam terasa mengucilkan rumah ini dari lingkungan tetangga sekitarnya.
          Masuk kedalam rumah ini terasa menyesakkan seperti ikut menghisap nafas kami. Kentara sekali rumah ini dibangun sekedar asal jadi. Tanpa rencana dan rancangan. Dengan mengesampingkan kenyamanan, yang terpenting, rumah ini dapat digunakan sebagai tempat bernaung baik dalam keadaan panas maupun hujan.
          Segala perabotan didalamnya besar-besar, menyita banyak tempat untuk kami bergerak. Lebih-lebih disalah satu ruang terdapat bertumpuk-tumpuk berkas kertas, koran, majalah, dan buku. “Barang jualan. Lumayan buat tambah-tambah uang belanja dapur”, kata Pak Mamet
         Ukuran ruang yang terbatas ini diam-diam terasa mencekikku. Pengap udara didalam.
         Meski begitu Pak Mamet telah membangun keluarga kecilnya di rumah ini. Bersama seorang istri, dua putra, dan seorang putri. Ia sangat bangga pada putra sulungnya. Tidak seperti badannya yang pendek dan buncit seperti kekurangan pengembang kue, ia berharap putra sulungnya tinggi seperti ibunya. Putranya itu dua tahun lebih muda dibawahku. Baru duduk dibangku kelas satu SMA. Kelihatannya memang lebih tinggi daripada bapaknya. Hanya saja kulit sawo matangnya menyerupai dirinya.
         Tiba di rumah sederhana ini kami langsung menghampiri Pak Mamet. Ia tengah bermain dengan putra bungsunya yang baru bisa merangkak itu. Ia tampak kusam dan tak berbahagia. Kelesuannya selalu awet menggurati garis-garis wajahnya pertanda ia punya beban pikiran. Penampilannya cukup bersarung dan bersinglet tanpa lengan. Mungkin sedikit kegembiraannya akhir-akhir ini hanya didapatnya dari putra bungsunya itu.
         Setelah bersalam-salaman, ia menggiring kami ke ruang depan, duduk di sofa. “Akhirnya kalian tiba juga”, katanya seraya menatapku. “Jauh, Nom?”. Aku tersenyum. Lekas ia menengadahkan tangannya kepada Agus. “Mana uangnya, Gus?”.
         Agus keluarkan uang kursus itu dari dalam saku celananya. Masih dibungkus amplop. Sesaat ia mengintip isi amplop itu dan menghitungnya. “Mana buku catatannya? Biar saya tanda-tangani sekarang”.
          Buku catatan itu besar dan tebal. Isinya adalah laporan keuangan mengenai pemasukan dan pengeluaran---catatan penghasilan dan belanja. Seharusnya buku itu di tanda-tangani setiap sebulan sekali. Tapi karena sekarang tiap ada uang Pak Mamet mengambilnya, buku itu tiap minggu diperiksa. Kami lupa membawa buku itu.
          “Tidak apa-apa”, tukas Pak Mamet. “Kebetulan besok Bapak juga mau ke Cikuda. Mau lihat-lihat keramik buat gedung baru nanti”.
         Diluar perkiraan Pak Mamet langsung mengantongi amplop tersebut. Kami tak diberi barang selembarpun. Katanya, dengan menyesal, ia masih belum bisa menggaji kami. Masih ada kebutuhan lain yang lebih penting dan mesti segera ditutupi. Sekali lagi kami dipaksa hidup prihatin dan sabar, karena kebutuhan lain itu tak bisa diajak mengerti. Yaitu kebutuhan untuk membangun gedung baru.
         Ia mengambil tas besarnya dari atas meja. Ia keluarkan ijazah milikku dan membuka kotak tinta stempel. Dibantu olehnya, ketiga jari bagian tengahku, ia tekankan pada kotak tinta stempel. Permukaan dalam ketiga jariku dilumuri tinta biru. Lalu Pak Mamet menekan-nekan jariku diatas permukaan ijazah tepat dibawah foto hitam putih. Sidik jariku tercetak disana. Kemudian ia memberikanku sebatang pulpen. “Tanda tangannya harus kena fotonya”, ucapnya memberitahu.
         Aku tanda-tangani dengan hati-hati. Ijazah ini sumber harapan masa depanku. “Pak, aku bisa kan melanjutkan kuliah dengan menggunakan ijazah ini?”, tanyaku. Aku merasa sedikit ragu dengan keabsahan ijazah kesetaraan ini.
               Keraguan ini dilandasi bahwa nilai-nilai yang tertera dalam ijazah ini sama sekali bukan nilai murni. Bukan hasil usaha dan pemikiran sendiri. Sebelum ujian dilaksanakan semua peserta ujian berkumpul didepan kantor PKBI Citeureup. Kami diberikan selembar kunci jawaban. Tentu saja lembar jawaban itu tak diberikan secara cuma-cuma. Tiap kunci jawaban satu mata pelajaran dikenai biaya Rp 20.000-. Semua peserta ujian wajib membayarnya tanpa kecuali.
         Habis itu, barulah kami menuju sekolah yang ditunjuk sebagai tempat penyelenggaraan ujian kejar paket C ini. Di sekolah ini tidak hanya peserta ujian dari PKBI saja, tapi digabung dengan peserta ujian dari tempat lainnya di seluruh kecamatan Citeureup. Seperti kami, mereka juga punya kunci jawaban yang sama. Alhasil, selama ujian berlangsung situasi tenang hening. Antara peserta dan pengawas ujian terjalin hubungan kerjasama dan rahasia tahu sama tahu.
         Baru kali ini aku merasakan ujian bebas mencontek. Tak perlu repot-repot pula.
         Adalah wajar kami mencontek dan diberikan contekan secara resmi. Waktu belajar yang singkat dan pendek membuat penyampaian materi kurang mendalam. Kebanyakan waktu diisi dengan bekerja. Modul pun dibaca hanya iseng-iseng saja. Kondisi yang serba darurat membuat persentasi kelulusan peserta ujian sangat kecil.
          Ujian kejar paket C akhirnya tak lain dari ajang jual-beli ijazah kesetaraan.
         Tinggal aku sendiri yang kelabakan. Semua peserta mengerjakan soal-soal ujian dengan kemampuan kantong mereka. Sementara aku lebih suka menggunakan kemampuan kepala. Ini bukan karena aku cerdas apalagi jujur. Tetapi aku tak punya cukup uang untuk membeli kunci jawaban.
          Ada enam mata pelajaran yang diujikan. Tiap kunci jawaban dari satu mata pelajaran dihargai Rp 20.000. Dihitung-hitung aku mesti menyiapkan dana sebesar Rp 120.000. Itu harus dibayar ditempat. Tak boleh dihutang ataupun diangsur. Sementara tunggakanku pada PKBI saja masih jauh dari kata lunas. Beruntung Bu Atiek membantuku. Ia salah seorang peserta ujian juga dari PKBI. Tanpa aku minta ia menalangi biaya tersebut. Ia sangat baik. Mungkin sebagai seorang guru TK, ia memiliki kepekaan seorang ibu.
          Begitu nilai-nilai hasil ujian diumumkan ada kesan-kesan ganjil juga yang kami rasakan. Nilai kami dibelakang koma berbeda-beda. Tapi rata-rata semua nilainya tujuh. Aku yakin kunci jawaban yang diberikan itu sama semua. Kami memang berpura-pura serius mengerjakan soal, para pengawas berpura-pura pula mengawasi, lalu apakah orang-orang dari dinas juga berpura-pura memeriksa lembar jawaban kami? Asal tembak nilai?
          Sebelum ujian, salah seorang guru pengajar kami bilang, “Lembar jawaban ujian kalian akan diperiksa secara komputerisasi. Tak cukup jawaban benar saja, tapi kerapihannya juga. Apabila saat melingkari jawaban, lalu kalian mencoretnya sampai keluar garis lingkaran, meski jawabannya benar akan dianggap salah. Komputer tak dapat diajak kompromi”.
          Jadilah hampir semua peserta membeli penggaris yang memiliki lubang lingkarannya. Rata-rata perempuan. Tidak bagi peserta laki-laki. Mereka sudah cukup punya pensil 2B. Penghapus dan serutan saja mereka pinjam dari bangku sebelah.
          Barangkali inilah penyebab nilai kami berbeda-beda dibelakang komanya; faktor kerapihan. Memang di negeri ini lebih butuh orang rapih daripada orang pura-pura.
          “Bisalah”, jawab Pak Mamet kemudian. “Malahan ijazah paket C ini ditanda-tangani langsung Kepala Dinas Pendidikan. Tidak oleh kepala sekolah. Makanya besok Bapak mau ke pemda Bogor untuk melegalisasikan ijazah ini. Kasih tahu yang lain kalau ijazahnya dapat diambil sekitar minggu depan”.
          “Baik, Pak”. Tentu saja aku belum bisa mengambil ijazahku minggu depan nanti. Waktuku masih panjang untuk melunasi tunggakan ijazah tersebut.
          Tak lama kemudian kami makan bersama. Tikar digelar tepat dihadapan layar televisi. Hasil olahan istri Pak Mamet dan Nina diletakkan ditengah-tengah lingkaran. Juga piring dan sendoknya. Menunya semur telur ceplok dibelah dua dan sepanci mie rebus. Mie lagi, pikirku. Rasa-rasanya aku tak bisa lepas dari makanan instant ini. Barangkali rumah tangga ini tengah melakukan penghematan besar-besaran. Setidak-tidaknya kali ini aku dapat makan nasi.

            Dengan malu-malu aku tambah makanku. Diam-diam juga aku mencuri-curi pandang kepada Nina.

Kamis, 22 Januari 2015

SURAT IJAZAH eps NASI CATERING

         Kembali aku terkurung didalam rumah ini. Tak ada kisah apapun disini kecuali angan-anganku menciptakannya sendiri. Aku selalu berharap dan berdoa suatu saat nanti angan-angan itu hidup dalam genggaman tangan dan langkah kakiku.
        Aku gelar matras tidur diatas lantai. Rapat-rapat, melalui balik dinding kamar, dari konveksi sebelah masih terdengar suara mesin jahit menderu-deru. Diantara suara bising itu terdengar juga suara dua-tiga orang perempuan berbicara. Kerja lembur. Kedengarannya mereka begitu serius dan lelah. Mungkin mengejar target produksi. Sementara waktu terasa lebih cepat bergerak daripada deru gerak mesin jahit.
          Betapa jauh berbeda kehidupan memisahkan kelas-kelas masyarakat. Tak terkecuali semuanya mengikuti alur ekonomi. Padahal jarak mereka tak sejauh beberapa jarak. Disebelah sana kumpulan remaja tertawa-tawa gembira. Disebelah sini para pekerja bersusah payah menghadapi kenyataan. Ditengah-tengahnya aku bagaikan perpaduan dari kedua sisi tersebut.
         Sampai larut malam begini, ketika mata mulai merabun, setiap persendian mulai pegal-pegal, pekerjaan mesti segera mereka selesaikan. Begitu keras orang-orang mencari nafkah. Lebih-lebih, kebanyakan pegawai konveksi itu adalah perempuan muda. Mungkin seorang istri atau anak yang baru lulus sekolah. Selebihnya berjenis kelamin laki-laki. Mungkin alasan para perempuan itu bekerja sederhana saja; membantu suami atau orangtua menutupi kebutuhan hidup. Jelas saja bekerja sampai larut begini bukan sekedar menutupi tapi mengisi.
          Kesibukan konveksi disebelah sana telah memperlihatkanku sebuah kenyataan baru. Rupa-rupanya tak hanya aku saja yang mengalami hidup begini. Di luar sana lebih banyak orang yang berjuang dan bertarung melawan kekuatan nasib. Tiap-tiap manusia memiliki doa dan usahanya masing-masing untuk memenuhi pengharapannya. Aku tak sendiri.
         Mataku mulai terkantuk-kantuk. Sejumlah nyamuk berdengung-dengung mengusik pendengaranku. Satu dua nyamuk diam-diam hinggap dikulitku. Aku tepuk. Luput. Kemudian nyamuk-nyamuk itu kembali bermanuver disekitarku menunggu kesempatan lain. Lama-lama rumah ini tak lagi menjadi duniaku, tapi lebih menyerupai kuburanku.
          Sekonyong jendela kaca kamar diketuk. Keras-keras. Aku terkesiap dari tidurku yang belum penuh ini. Rupanya Abidin yang mengetuk. Dari balik kaca, sekedar menggerakkan bibir tanpa suara ia bilang, “Buka!”. Telunjuknya menuding kearah pintu depan. Segera aku ambil kunci, nyalakan lampu, dan membuka pintu.
           “Sudah tidur? Ganggu ya?”, ucapnya basa-basi.
          “Masuk saja”, kembali aku menutup dan mengunci pintu.
          Belum lama aku mengenal lelaki bernama Abidin ini. Dahulu ia juga pernah bekerja di rumah kursus ini. Nasibnya kurang lebih persis seperti keadaanku sekarang. Ia merupakan bekas murid Pak Mamet di sekolah negeri Citeureup. Ia sekelas bersama Heni dan Dinda. Barang beberapa bulan lalu sebelum aku kerja disini, ia mengundurkan diri. Ia pindah kerja ke konveksi sebelah. Pastinya kerja di konveksi lebih terjamin daripada disini.
         Baru aku tahu ternyata rumah kursus ini dijadikan semacam batu loncatan bagi bekas murid Pak Mamet.
         “Hati-hati dan waspada”, bisik Agus diam-diam memperingatkanku. Matanya melirik tajam kearah Abidin. Itulah saat pertama kali aku bertemu Abidin. Kami berkenalan saling lempar senyum dan jabat tangan.
          Aku sendiri tak mengerti apa yang Agus maksudkan. Cukup aku dengar saja. Rasa-rasanya ada masalah pelik terjadi antara mereka. Menurutku Abidin sama sekali tak terlihat seperti orang licik ataupun culas. Dalam kesehariannya ia selalu mengenakan kemeja bahkan koko. Celananya menggantung diatas mata kaki. Wajahnya selalu terlihat tenang, pandangan matanya teduh, keningnya menghitam, bicaranya pelan penuh hati-hati. Dibawah dagunya ia pelihara janggut yang tumbuh jarang-jarang. Sikap dan penampilannya itu jelas menandakan bahwa ia adalah orang taat beragama.
          “Dia suka khotbah. Dia seperti orang yang tahu segala-galanya perihal agama”, tukas Agus tepat dilubang telingaku. “Lebih dari itu ia suka mengadu. Beberapa kali aku sering adu mulut dengannya. Kalau dibenarkan sudah aku tonjok tampang lugunya itu. Untung aku orangnya sabar”.
          Wawasan keagamaan orang-orang seperti Abidin biasanya tak perlu diragukan; halal-haram, hitam-putih, boleh-tidak, dosa-amal, haq-bathil. Kata-katanya selalu penuh ajaran dan larangan. Saat bercanda sekalipun yang bisa asyik tanpa aturan, ia selalu menyisipkan ayat-ayat didalamnya. Itu memang bagus sekaligus menjenuhkan. Dibelakangnya, Agus diam-diam menyebutkan Abidin itu menjengkelkan dan menganggapnya perusak suasana.
         Barangkali karena itulah Abidin termasuk orang jujur. Saking jujurnya membuat pribadinya lebih mirip sebagai tukang ngadu daripada pembela kebenaran. Bahkan tiap kali kemari Pak Mamet selalu menyempatkan diri mengunjungi Abidin. Bisa jadi Pak Mamet menjadikan Abidin semacam mata-mata tak resmi. Ia bertanya bagaimana tingkah polah keponakannya itu dan menjawab seperti yang dilihatnya. Maka dari itu, Agus kembali memperingatkan, aku juga mesti waspada.
          Akhirnya Agus menganggap Abidin adalah sosok yang sudah tak tahu lagi mana yang harus dibicarakan dan mana yang harus disembunyikan. “Mulut itu lebih menyukai kata”, tandasnya padaku, yang sebenarnya lebih ia tujukan pada Abidin. “Perbuatan terbesar mulut itu hanya sebatas menelan makan dan minum. Sementara kata tak pernah jahuh-jauh dari drama. Sebagaimana drama, barangkali, Abidin tak menyadari apakah ia telah menambahi atau mengurangi apa yang telah diceritakannya”.
          Katakan saja Agus itu mewakili golongan sekuler. Pada suatu kesempatan ia pernah cerita padaku. “Kalau aku ke Jakarta, main ke rumah salah seorang temanku disana, mereka suka mengajakku minum. Sebenarnya aku sudah tobat. Tapi biar setetes aku harus ikut minum juga. Sekedar menghormati teman. Toh, tidak sampai mabuk juga”.
          Itulah kata-kata Agus tanpa memikirkan apakah temannya itu menghormati pertobatannya juga. Dilain hari terkadang kata-kata yang keluar dari mulutnya persis seperti orang religius. Tapi ia lebih meninggi-ninggikan dirinya sendiri bahwa ia termasuk orang tahu agama dan menaatinya seakan-akan tak ada yang lebih tahu dan taat daripada dirinya.
          Barangkali karena aliran yang berseberangan, terjadi perang dingin antara Agus dan Abidin. Diam-diam mereka memasang kebencian. Itu bukan urusanku. Apapun yang mereka katakan padaku, apabila hati tak mau menurut, cukupkanlah itu sebagai tambahan pengetahuan saja. Tak lebih. Mungkin saja suatu saat nanti berguna sebagai pembenaran untuk kebenaran itu sendiri.
          Abidin meletakkan bungkusan diatas lantai dan membukanya. “Sudah makan?”, tawarnya padaku.
         “Sudah”, aku pura-pura, kembali masuk kamar.
         “Ayolah”, paksanya. Ia menarikku keluar. “Aku tahu. Tiap hari kamu makan mie. Pasti masih lapar”.
         Diatas lantai sudah tergeletak segunung nasi, berlauk tahu kuning, ikan asin, dan sedikit sambal. Cukup kuasa melelehkan air liurku.
         “Ala kadarnya”, Abidin merendah. “Catering dari konveksi”.
          Malu-malu aku ikut nimbrung juga. Akhirnya aku dapat makan nasi malam ini. Meski sebungkus berdua dan seadanya, rasanya lebih nikmat daripada makan sebungkus mie sendiri. Lebih mengenyangkan. Tapi belum benar-benar kenyang, nasi dan lauknya sudah tandas. Barangkali ini catering karena ikut kerja lembur.
          “Pinjam komputer lagi ya”, Abidin remas-remas bungkus nasi itu, berjalan menuju dapur dan ambil minum. “Kamu jangan bilang sama Pak mamet kalau aku pakai komputer disini”.
          Apakah itu artinya aku disuruh berbohong oleh orang setaat Abidin? Tentu saja tidak karena Pak Mamet takkan menanyakan.
         “Pasti”, kataku.
         Beberapa hari ini, selalu malam-malam, Abidin datang kemari. Kehadirannya cukup membantuku mengisi warna hidup. Tujuannya kemari mengetik tugas-tugas kuliah. Ia berkuliah setiap hari Sabtu dan Minggu, kelas khusus karyawan. Kampusnya sendiri berada disekitar kawasan pemda kabupaten Bogor. Sedikit banyak aku bertanya mengenai kuliah dan kampusnya. Entah kapan aku dapat memasuki bangku kuliah.
         Karena baru makan, aku temani Abidin mengetik, mengambil kursi tepat didepan layar komputer. Tak baik sehabis makan langsung tidur.
         “Kamu bisa main komputer?”, tanya Abidin. Jari-jarinya bergerak diatas tombol-tombol huruf.
         “Kalau sekedar ngetik doang sih bisa”.
        “Kenapa gak nyoba ngetik juga?”.
         Aku tertawa rendah. “Buat apa?”.
         “Terserah. Mau nulis yang jorok-jorok juga, silahkan”.
         Aneh Abidin bisa bicara begitu. Rupanya ia masih punya juga sisi kemanusiaan yang menyenangkan.
         “Nanti ada yang baca”.
        “Kalau begitu tulis saja apa-apa yang ada dipikiranmu. Juga apa yang tengah kamu rasakan. Ya, sekedar mengusir sepi”.
          Baru aku yakin sarannya yang tadi, yang jorok itu, hanya pancingan belaka agar aku punya minat menulis.

         Abidin menyalakan komputer untukku. Kemudian aku tegak menghadap layar komputer yang bersinar terang. Sesaat mataku terpicing menyesuaikan dengan pancaran silau itu. Jari-jariku terasa gugup memulai. Tak tahu harus menulis apa. Aku berpikir-pikir. Diatas kepalaku, terdengar suara ketukan dari permukaan genteng. Semakin rendah semakin terdengar riuh. Diluar hujan turun menderas. Ketika ada yang terlintas dikepala dan hendak mengetikkannya listrik padam. Lampu-lampu dan layar komputer mati. Seisi rumah gelap seluruhnya. Bahkan bayang-bayang pun tak terlihat lagi.

Rabu, 21 Januari 2015

SURAT IJAZAH eps TEMAN CURHAT

         Agus, Heni, juga Dinda pulang. Mereka menumpang mobil Pak Mamet. Kebetulan rumah mereka searah. Tinggal aku disini, hening sendiri.
          Malam perlahan berlarut-larut. Seorang-dua orang melintas didepan jalan sana. Aku seorang diri; tak ada yang memperhatikanku. Pintu-pintu rumah tetangga tertutup semua. Hanya cahaya lampu teras menandakan ada kehidupan didalam sana. Sekolah TK yang biasanya ramai kini mati dalam lingkaran gelap malam. Wahana-wahana permainan, bercat warna-warni, tak lagi berdecit-decit. Alam dan segala isinya seperti kehilangan nyawa. Sepi melompong tiada terisi.
          Malam di kompleks perumahan ini sungguh sunyi, terlalu sunyi bagi seorang remaja sepertiku. Seharusnya diusia belasan ini aku tumbuh dalam banyak pergaulan.
         Tepat di rumah tetangga sebelah, melalui dinding-dinding, sayup-sayup aku dengar suara petikan gitar. Itu suara seorang remaja lelaki. Aku sering melihatnya main basket di lapangan depan kompleks. Teman-temannya juga sering mengunjunginya kemari. Mungkin ia seumuran denganku.
         Selain suaranya, aku dengar juga suara teman-temannya ikut bernyanyi. Mereka tertawa ceria dibalik dinding sana. Masa-masa muda yang menyenangkan. Berkumpul dan berbagi. Diisi pula dengan segala kemudahan dan kegemilangan. Aku seorang diri disini, berusaha menggapai-gapai hidup. Itupun belum tentu melahirkan kecemerlangan, kecuali aku kembali bangkit dan bangkit lagi setelah jatuh gagalnya.
           Usiaku barulah delapan belas tahun, tapi entah kenapa hidupku terasa terlalu tua.
           Berbahagialah mereka-mereka itu. Banyak teman dan bebas. Hidup terjamin. Sesuka hati mengobrak-abrik dunia, berpetualang dengan kenakalan dan keingitahuan. Tak kurang sesuatu apapun.
          Tinggal aku bengong-bengong sendiri. Sebagai remaja, belum satupun tempat aku jelajahi. Tak ada penemuan dan wawasan. Hidupku terlingkup dalam keprihatinan. Barangkali itulah penjelajahan terbesarku.
         Aku setel radio dan mendengarkan lagu. Inilah sedikit pengisi jiwa untuk meramaikan. Malam-malam begini apakah bakal ada orang datang kemari sebagai pendaftar kursus baru?
          Merasa bosan aku coba telepon seorang teman. Idul namanya. Dialah temanku satu-satunya. Ia tempatku melepaskan curahan isi hati. Kami bertemu saat kelas perdana di PKBI. Orangnya kurus, berkulit kuning, sedikit pendiam, satu tahun lebih tua dariku. Lebih-lebih ia merupakan anak bungsu. Kesemua kakaknya sudah menikah dan punya anak. Kedua orangtuanya sudah berhaji. Jadilah di rumah ia seperti anak tunggal, menjadi anak yang paling dimanja orangtua.
          Tapi ia tak pernah bersekolah dan mengikuti ujian nasional seumumya. Ia belajar di rumah, bukan di sekolah. Ijazah SD dan SMP-nya ia peroleh dari ikut ujian kesetaraan. Juga ijazah SMA-nya ia peroleh dari mengikuti ujian kejar paket C.
          Aku tak tahu mengapa ia menempuh pendidikan sekolah seperti itu. Aku juga tak pernah menanyakan. Padahal orangtuanya cukup mampu menyekolahkannya secara normal hingga sarjana. Otaknya juga cukup encer. Apabila masuk sekolah umum pastilah ia mampu meraih nilai tertinggi di kelasnya, berprestasi sebagai bintang kelas. Barangkali ini terkait-kait kehendak orangtuanya juga, apalagi terhadap putra bungsu.
         Melalui sambungan telepon aku utarakan keluh kesahku padanya. Aku ceritakan semua yang telah terjadi padaku, terutama perkara gaji dan menu makananku sehari-hari. Dari suaranya yang terdengar bersahaja, ia sabar-sabarkan aku. Kamu pasti bisa, Anom, itulah katanya. Ia memang hanya mampu menolongku melalui kata, tapi setidaknya itu mampu membuatku barang sesaat lupa akan permasalahanku.
         “Dul, besok kamu datang ke PKBI Citeureup, nggak?”, kataku mengingatkan kembali apa yang telah Pak Mamet perintahkan padaku. “Buat cap jari dan tanda tangan ijazah”.
         “Pasti datang. Kamu?”
         “Nggak bisa, Dul”, ucapku menyesal. “Aku mesti jaga rumah kursus PKBI Wanaherang ini. Sebenarnya tadi aku mau cap jari dan tanda tangannya disini, tapi Pak Mamet lupa bawa ijazahnya. Mungkin hari Minggu aku kesana buat cap jari dan tanda tangannya”.
         Diseberang telepon sana Idul membulatkan mulutkanya sambil mengangguk-ngangguk.
         “Kapan mau main kesini, ke PKBI Wanaherang?”, mintaku, yang lebih terdengar menuntut, untuk kesekian kalinya. “Ajak juga yang lainnya. Kita ngobrol-ngobrol disini. Kali saja kalau kalian datang kemari bawa suasana baru”.
         “Teman-teman juga sebenarnya mau kesana. Cuma mereka sibuk-sibuk”.
        “Kalau kemari jangan lupa bawa makanan”, aku berkata sambil cengengesan, “kue-kue atau apalah. Yang penting bisa dimakan”.

         Lagi asyik-asyiknya telepon, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tak terasa kami mengobrol sudah satu jam lebih. Bahaya. Padahal sedari tadi kupingku sudah terasa panas, tapi aku tak peduli. Cepat aku tutup telepon. Mudah-mudahan tagihan telepon bulan ini tak membengkak.