Pagi datang tiba-tiba. Sambutanku
pada matahari; melenguh dan mengeluh. Lebih-lebih semalam habis turun hujan.
Pekerjaan bersih-bersih menjadi bertambah-tambah.
Ceceran air menggenang dibeberapa
sudut ruang seperti air kencing kuda. Aku lupa menyuruh Agus memperbaiki
genteng bocor. Kebocoran terparah berada di ruang kelas tepat disebelah
kamarku. Disitu air tak lagi menggenang, tapi sudah membentuk kubangan. Setelah
aku periksa keatas ternyata air hujan semalam menggenang diatas atap kanopi,
meresap dan merembes masuk melalui retakan. Rupa-rupanya pipa saluran airnya
mampet. Ranting-ranting dan daun-daun kering dari pohon belimbing memenuhi
saluran air itu. Aku sodok-sodok menggunakan besi panjang. Tak berhasil. Lalu
aku menyodoknya dari bawah. Sia-sia. Sampahnya terlalu padat.
Juga diatas lantai banyak kecoa
sekarat. Entah dimana liang mereka berada. Ketika turun hujan lebih banyak
kecoa berkeliaran didalam rumah. Terutama di dapur.
Pekerjaan bersih-bersih pagi ini
benar-benar membunuhku. Rasa-rasanya aku lebih baik tidur lagi saja seperti
sekelompok pemuda dan anjingnya yang ditidurkan berabad-abad lamanya dalam
sebuah gua. Lalu, bangun-bangun keadaannya baik-baik. Syukur-syukur menjadi
kisah yang menginspirasi banyak orang seperti kisahnya sekelompok pemuda
tersebut yang tertulis dalam kitab suci.
Bukankah lebih hebat dari apapun
sepanjang hidup tidur melulu tapi dapat memberikan motivasi? Lalu, bagaimana
pula nasibnya ijazahku nanti? Ah, orang tidur tak perlu ijazah. Apalagi mati.
Pukul sepuluh pagi Agus baru datang.
Seperti kemarin-kemarin ia minta jatah mieku. Katanya ia belum makan sejak sore
kemarin. Karena tak ada uang, akhir-akhir ini makan Agus tak teratur dan
perutnya lebih sering kosong. Badan jangkungnya tampak kering seperti ikan asin
dibawah jemuran. Mungkin saja ia mengidap cacingan.
Tiap satu jam sekali telepon
berdering. Lagi-lagi dari Pak Mamet. Ia perintahkan Agus menagih uang kursus
pada anak-anak yang belum bayar. “Ini sudah lewat seminggu. Semuanya harus
sudah bayar. Ditagih, Gus. Kalau tidak nanti kebiasaan”.
Melulu Pak Mamet mengomel.
Sampai-sampai Agus menggerutu kesal. Mungkin telinganya sudah panas mendengar
pamannya itu menelepon dan menyuruh-nyuruhnya.
Ia robek beberapa lembar berkas surat
tagihan dari bundelan. Ia bubuhkan nama-nama siswa yang belum bayar. “Begini
caranya menagih uang kursus sama anak-anak”, katanya padaku. “Tidak bertanya
atau menagih langsung sama anak yang bersangkutan. Tapi kasih surat tagihan buat
orangtuanya. Nah, kalau ada yang bayar sekarang, kemungkinan kita bisa gajian”.
Agus tampak bersemangat. Barangkali
pikirannya berharap ada yang bayar uang kursus hari ini. “Kalau gajian, Nom,
uangnya buat apa? Mau kemana?”.
Aku jawab, “Gajiku disini cuma tiga
ratus ribu sebulan. Setengahnya buat bayar tunggakan ijazah, setengahnya lagi
masuk kantong. Buat apa lagi kalau bukan buat makan sehari hari. Itupun
kurangnya kemana-mana. Paling-paling beli mie lagi banyak-banyak. Sedikit menutupi
kebosanan lidah, mungkin aku beli sebungkus roti tawar”
Aku tertawa-tawa. “Menyedihkan
nasibmu, anak Adam”, ledeknya.
Nasib Agus sendiri tak
kurang-kurangnya seperti aku. Gajinya dua ratus ribu lebih besar. Ia senior
disini sekaligus juga keponakan Pak Mamet. Dengan adanya hubungan darah, itu
takkan membuatnya terlalu pusing menghabiskan uang sebesar itu dalam waktu
cepat. Mudah saja baginya minta uang lagi apabila tahu Pak Mamet mengambil uang
kas pemasukan kursus itu. Aku, kesenangan apapula yang dapat aku peroleh dari
uang sebesar itu. Itu hanya sedikit membantuku untuk bertahan ditengah segala
himpitan dan cekikan hidup. Kesenanganku hanya terletak pada kata syukur dan
ikhlas. Sebatas itu.
Makin sore telepon itu makin sering
berdering. Rasa-rasanya tiap lima menit sekali telepon itu bersuara. Untung
Agus yang menerimanya. Ia bertugas mengangkat telepon itu karena takut-takut
ada calon pendaftar baru yang berminat belajar kursus di PKBI ini. Ia lebih
tahu seluk-beluk dan sejarah rumah kursus PKBI ini. Jadi setiap pertanyaan
dapat ia jawab dengan baik.
“Halo, PKBI selamat sore”, sapa Agus
ramah tiap kali menempelkan gagang telepon dikupingnya seperti operator
telepon. Dikiranya yang menelepon itu calon pendaftar, tapi ternyata orangnya
itu-itu juga; Pak Mamet.
Tak tahu apa yang terjadi dengan Pak
Mamet diseberang telepon sana. Kedengarannya ia tengah frustasi. “Sudah
ditagih? Ada yang bayar? Berapa anak? Berapa duit?”, tanyanya bertubi-tubi.
“Tadi ada tiga anak bayar. Sisanya,
setelah diberi surat tagihan, mungkin besok”, kata Agus. Tapi mulutnya masih
bergerak-gerak cepat tanpa suara selepas kalimat terakhir diucapnya. Ia
menggerutu. Ia kesal Pak Mamet melulu meneleponnya. Tanyanya juga tak jauh-jauh
dari soal uang dan uang. Barangkali Agus merasa didikte secara berlebihan.
“Selepas maghrib, kalau sudah tak ada
kelas lagi, tutup saja PKBI Wanaherang”, perintah Pak Mamet kemudian. “Kamu
langsung ke rumah Bapak. Bawa semua uangnya. Ajak juga Anom. Dia belum cap jari
dan tanda tangan ijazah. Besok Bapak mau ke pemda Bogor. Ijazah-ijazah itu
harus segera ditanda-tangani Kepala Dinas Pendidikan”.
Cepat aku dan Agus bergilir masuk
kamar mandi. Perintah Pak Mamet tadi membuat kami bersemangat. Sepertinya kami
bakal mendapat gaji malam ini. Saking semangatnya aku langsung rebus dua mie
instant. Buat aku dan buat Agus.
“Makan mie itu enaknya langsung dua
bungkus. Sebungkus kurang nendang”. Mangkuk mie Agus sudah kosong. Ia teguk kuah
terakhir mienya langsung dari mangkuknya, kemudian mengelus-elus perutnya.
Kelihatannya ia masih berminat dengan jatahku yang tinggal kuahnya saja ini.
Lekas saja aku habiskan.
Telepon masih saja berdering. Agus
diam saja. Suara dering telepon itu lama-lama mengusik kupingku juga. “Nggak
diangkat?”.
“Biar”, cegah Agus tak acuh. “Palingan
juga Pak Mamet. Kalau kita angkat dia malah tambah ngomel. Kalau tidak, dia
pasti nyangkanya kita sudah berangkat”.
Akhirnya kita berangkat juga menuju
rumah Pak Mamet di Tarik Kolot, Citeureup. Dari sini kami naik angkot. Lalu
lintas agak tersendat-sendat begitu keluar dari perempatan Cicadas. Banyak
karyawan pabrik yang baru pulang kerja. Perjalanan jadi lebih lama. Telepon di
rumah kursus PKBI sana pasti terus berdering dan Pak Mamet menunggu kesal di
rumahnya. Roman-romannya kesabaran Pak Mamet sudah hilang.
Kami turun didepan pasar Citeureup.
Pedagang-pedagang kaki lima berjajar memanjang di seluaran pasar. Lalu lintas
semrawut dan tak kenal aturan. Angkot-angkot berwarna biru bercampur dengan
angkot warna hijau di jalanan, berbaris membentuk kemacetan. Kendaran-kendaraan
roda dua sibuk mencari celah jalan, salip sana, sodok sini. Pada sebuah jalan
kecil yang diapit lapak-lapak pedagang kaki lima, kami melangkah memasuki
bagian dalam pasar.
Pasar sepi. Toko-toko sudah tutup dan
dirapikan. Begitu tiba dibelakang pasar, kami mencari tukang ojek. Banyak
motor-motor yang menganggur. Beberapa diantaranya menawarkan jasa kepada kami.
Agus menolak. Matanya memandang jauh kedepan, tengok kanan-kiri. Entah apa yang
dicarinya ditengah gelap malam begini.
“Hati-hati, Nom”, ucapnya
memperingatkan. “Malam-malam begini, dibelakang pasar pula, banyak orang jahat.
Belum tentu orang yang deketin kita itu orang baik-baik. Bisa jadi ojek itu
kedok mereka saja”. Ternyata Agus orangnya paranoid juga. Barangkali ia punya
pengalaman buruk. “Mungkin mereka orang baik. Tapi harap diingat keadaan dan
adanya kesempatan membuat seseorang dapat berlaku kriminal”.
Begitu melihat seorang pemuda yang
menuntun motornya, Agus langsung lambaikan tangan dan memanggilnya. Aku pikir
pemuda itu temannya. Ternyata tukang ojek juga. Jadilah kami menggunakan ojek
ini. Satu ojek untuk dua orang penumpang. Kami berdesak-desakkan di jok
belakang.
Laju motor cukup kencang. Beberapa
kendaraan berhasil didahului. Angin berhembus-hembus menampar mukaku. Dingin
dan menekan. Kakiku kehilangan pijakan, menggantung diatas aspal jalan. Lima
belas menit kemudian akhirnya kami tiba di tempat tujuan.
Dari seberang jalan rumah Pak Mamet
tampak senyap, menyaingi senyapnya PKBI Wanaherang. Rumah itu beratap rendah.
Sepertinya tak ada lampu yang cukup silau untuk menerangi halaman rumah itu.
Terasnya yang sempit terhalang seluruhnya oleh badan mobil Suzuki Carry.
Gelapnya malam terasa mengucilkan rumah ini dari lingkungan tetangga
sekitarnya.
Masuk kedalam rumah ini terasa
menyesakkan seperti ikut menghisap nafas kami. Kentara sekali rumah ini dibangun
sekedar asal jadi. Tanpa rencana dan rancangan. Dengan mengesampingkan
kenyamanan, yang terpenting, rumah ini dapat digunakan sebagai tempat bernaung
baik dalam keadaan panas maupun hujan.
Segala perabotan didalamnya
besar-besar, menyita banyak tempat untuk kami bergerak. Lebih-lebih disalah
satu ruang terdapat bertumpuk-tumpuk berkas kertas, koran, majalah, dan buku.
“Barang jualan. Lumayan buat tambah-tambah uang belanja dapur”, kata Pak Mamet
Ukuran ruang yang terbatas ini diam-diam
terasa mencekikku. Pengap udara didalam.
Meski begitu Pak Mamet telah membangun
keluarga kecilnya di rumah ini. Bersama seorang istri, dua putra, dan seorang
putri. Ia sangat bangga pada putra sulungnya. Tidak seperti badannya yang
pendek dan buncit seperti kekurangan pengembang kue, ia berharap putra
sulungnya tinggi seperti ibunya. Putranya itu dua tahun lebih muda dibawahku.
Baru duduk dibangku kelas satu SMA. Kelihatannya memang lebih tinggi daripada
bapaknya. Hanya saja kulit sawo matangnya menyerupai dirinya.
Tiba di rumah sederhana ini kami
langsung menghampiri Pak Mamet. Ia tengah bermain dengan putra bungsunya yang
baru bisa merangkak itu. Ia tampak kusam dan tak berbahagia. Kelesuannya selalu
awet menggurati garis-garis wajahnya pertanda ia punya beban pikiran.
Penampilannya cukup bersarung dan bersinglet tanpa lengan. Mungkin sedikit
kegembiraannya akhir-akhir ini hanya didapatnya dari putra bungsunya itu.
Setelah bersalam-salaman, ia
menggiring kami ke ruang depan, duduk di sofa. “Akhirnya kalian tiba juga”,
katanya seraya menatapku. “Jauh, Nom?”. Aku tersenyum. Lekas ia menengadahkan
tangannya kepada Agus. “Mana uangnya, Gus?”.
Agus keluarkan uang kursus itu dari
dalam saku celananya. Masih dibungkus amplop. Sesaat ia mengintip isi amplop
itu dan menghitungnya. “Mana buku catatannya? Biar saya tanda-tangani
sekarang”.
Buku catatan itu besar dan tebal.
Isinya adalah laporan keuangan mengenai pemasukan dan pengeluaran---catatan
penghasilan dan belanja. Seharusnya buku itu di tanda-tangani setiap sebulan
sekali. Tapi karena sekarang tiap ada uang Pak Mamet mengambilnya, buku itu
tiap minggu diperiksa. Kami lupa membawa buku itu.
“Tidak apa-apa”, tukas Pak Mamet.
“Kebetulan besok Bapak juga mau ke Cikuda. Mau lihat-lihat keramik buat gedung
baru nanti”.
Diluar perkiraan Pak Mamet langsung
mengantongi amplop tersebut. Kami tak diberi barang selembarpun. Katanya,
dengan menyesal, ia masih belum bisa menggaji kami. Masih ada kebutuhan lain
yang lebih penting dan mesti segera ditutupi. Sekali lagi kami dipaksa hidup
prihatin dan sabar, karena kebutuhan lain itu tak bisa diajak mengerti. Yaitu
kebutuhan untuk membangun gedung baru.
Ia mengambil tas besarnya dari atas
meja. Ia keluarkan ijazah milikku dan membuka kotak tinta stempel. Dibantu
olehnya, ketiga jari bagian tengahku, ia tekankan pada kotak tinta stempel.
Permukaan dalam ketiga jariku dilumuri tinta biru. Lalu Pak Mamet menekan-nekan
jariku diatas permukaan ijazah tepat dibawah foto hitam putih. Sidik jariku
tercetak disana. Kemudian ia memberikanku sebatang pulpen. “Tanda tangannya
harus kena fotonya”, ucapnya memberitahu.
Aku tanda-tangani dengan hati-hati.
Ijazah ini sumber harapan masa depanku. “Pak, aku bisa kan melanjutkan kuliah
dengan menggunakan ijazah ini?”, tanyaku. Aku merasa sedikit ragu dengan
keabsahan ijazah kesetaraan ini.
Keraguan ini dilandasi bahwa
nilai-nilai yang tertera dalam ijazah ini sama sekali bukan nilai murni. Bukan
hasil usaha dan pemikiran sendiri. Sebelum ujian dilaksanakan semua peserta
ujian berkumpul didepan kantor PKBI Citeureup. Kami diberikan selembar kunci
jawaban. Tentu saja lembar jawaban itu tak diberikan secara cuma-cuma. Tiap
kunci jawaban satu mata pelajaran dikenai biaya Rp 20.000-. Semua peserta ujian
wajib membayarnya tanpa kecuali.
Habis itu, barulah kami menuju sekolah
yang ditunjuk sebagai tempat penyelenggaraan ujian kejar paket C ini. Di
sekolah ini tidak hanya peserta ujian dari PKBI saja, tapi digabung dengan
peserta ujian dari tempat lainnya di seluruh kecamatan Citeureup. Seperti kami,
mereka juga punya kunci jawaban yang sama. Alhasil, selama ujian berlangsung
situasi tenang hening. Antara peserta dan pengawas ujian terjalin hubungan
kerjasama dan rahasia tahu sama tahu.
Baru kali ini aku merasakan ujian
bebas mencontek. Tak perlu repot-repot pula.
Adalah wajar kami mencontek dan diberikan
contekan secara resmi. Waktu belajar yang singkat dan pendek membuat
penyampaian materi kurang mendalam. Kebanyakan waktu diisi dengan bekerja.
Modul pun dibaca hanya iseng-iseng saja. Kondisi yang serba darurat membuat
persentasi kelulusan peserta ujian sangat kecil.
Ujian kejar paket C akhirnya tak lain
dari ajang jual-beli ijazah kesetaraan.
Tinggal aku sendiri yang kelabakan.
Semua peserta mengerjakan soal-soal ujian dengan kemampuan kantong mereka.
Sementara aku lebih suka menggunakan kemampuan kepala. Ini bukan karena aku
cerdas apalagi jujur. Tetapi aku tak punya cukup uang untuk membeli kunci
jawaban.
Ada enam mata pelajaran yang
diujikan. Tiap kunci jawaban dari satu mata pelajaran dihargai Rp 20.000.
Dihitung-hitung aku mesti menyiapkan dana sebesar Rp 120.000. Itu harus dibayar
ditempat. Tak boleh dihutang ataupun diangsur. Sementara tunggakanku pada PKBI
saja masih jauh dari kata lunas. Beruntung Bu Atiek membantuku. Ia salah
seorang peserta ujian juga dari PKBI. Tanpa aku minta ia menalangi biaya
tersebut. Ia sangat baik. Mungkin sebagai seorang guru TK, ia memiliki kepekaan
seorang ibu.
Begitu nilai-nilai hasil ujian
diumumkan ada kesan-kesan ganjil juga yang kami rasakan. Nilai kami dibelakang
koma berbeda-beda. Tapi rata-rata semua nilainya tujuh. Aku yakin kunci jawaban
yang diberikan itu sama semua. Kami memang berpura-pura serius mengerjakan
soal, para pengawas berpura-pura pula mengawasi, lalu apakah orang-orang dari
dinas juga berpura-pura memeriksa lembar jawaban kami? Asal tembak nilai?
Sebelum ujian, salah seorang guru
pengajar kami bilang, “Lembar jawaban ujian kalian akan diperiksa secara
komputerisasi. Tak cukup jawaban benar saja, tapi kerapihannya juga. Apabila
saat melingkari jawaban, lalu kalian mencoretnya sampai keluar garis lingkaran,
meski jawabannya benar akan dianggap salah. Komputer tak dapat diajak
kompromi”.
Jadilah hampir semua peserta membeli
penggaris yang memiliki lubang lingkarannya. Rata-rata perempuan. Tidak bagi
peserta laki-laki. Mereka sudah cukup punya pensil 2B. Penghapus dan serutan
saja mereka pinjam dari bangku sebelah.
Barangkali inilah penyebab nilai kami
berbeda-beda dibelakang komanya; faktor kerapihan. Memang di negeri ini lebih
butuh orang rapih daripada orang pura-pura.
“Bisalah”, jawab Pak Mamet kemudian.
“Malahan ijazah paket C ini ditanda-tangani langsung Kepala Dinas Pendidikan.
Tidak oleh kepala sekolah. Makanya besok Bapak mau ke pemda Bogor untuk
melegalisasikan ijazah ini. Kasih tahu yang lain kalau ijazahnya dapat diambil
sekitar minggu depan”.
“Baik, Pak”. Tentu saja aku belum
bisa mengambil ijazahku minggu depan nanti. Waktuku masih panjang untuk
melunasi tunggakan ijazah tersebut.
Tak lama kemudian kami makan bersama.
Tikar digelar tepat dihadapan layar televisi. Hasil olahan istri Pak Mamet dan
Nina diletakkan ditengah-tengah lingkaran. Juga piring dan sendoknya. Menunya
semur telur ceplok dibelah dua dan sepanci mie rebus. Mie lagi, pikirku.
Rasa-rasanya aku tak bisa lepas dari makanan instant ini. Barangkali rumah
tangga ini tengah melakukan penghematan besar-besaran. Setidak-tidaknya kali
ini aku dapat makan nasi.
Dengan malu-malu aku tambah
makanku. Diam-diam juga aku mencuri-curi pandang kepada Nina.