Halaman

Jumat, 06 Februari 2015

SURAT IJAZAH eps INTERNET

          Diwaktu-waktu luang begini aku lanjutkan kembali bacaanku. Kali ini aku baca majalah yang cukup terkenal; Hidayah. Tetangga dekat rumahku berlangganan majalah ini. Setiap awal bulan ia pasti beli. Selesai ia membaca majalah tersebut, giliranku meminjam padanya.
          Yang unik dari majalah ini adalah jilidnya. Sama sekali tak bernilai Islam. Ilustrasinya dibuat sedikit horor. Biar begitu tidak bernuansa gelap, justru penuh warna-warna meriah. Tujuannya mungkin untuk menggaet pasar. Buktinya majalah ini tidak hanya laris manis di Indonesia, tapi juga Malaysia. “Barangkali karena kita negara serumpun. Ada kesamaan selera”, tulis pemimpin redaksi majalah itu pada kata pengantar terhadap kesuksesan majalah itu.
         Bagiku sendiri isinya sangat menarik. Sampai-sampai membuatku merinding. Kisah-kisah miris menjadi isi majalah tersebut. Kebanyakan tentang orang meninggal dan segala balasan yang diterima jenazah menjelang dikuburkan. Dalam kisah itu dikutip pula ayat-ayat Al-quran dan hadits nabi. Hal demikian pun membangkitkan kritik salah seorang pembaca setia. “Kisah kehidupan dalam majalah ini kebanyakan mengangkat kejelekan-kejelekan orang. Mereka terkena azab Tuhan. Bukankah itu aib? Kita seperti hakim yang menghakimi seseorang yang sudah tak bisa apa-apa lagi. Tak baik kiranya dikisahkan pada khalayak apalagi dimuat dalam media umum. Bukankah hal demikian dalam Islam juga dilarang?
          Redaksi majalah itu menjawabnya dengan enteng. Tak mau oplah majalahnya turun hanya kritik semacam itu. “Kisah-kisah yang dimuat dalam majalah ini diangkat berdasarkan persetujuan keluarga dan ahli waris. Demi menjaga nama baik keluarga dan ahli waris, nama karakter-karakternya kami samarkan dan kami ganti.
         Tapi anehnya sesekali majalah itu memasang foto salah seorang anggota keluarga atau narasumbernya. Bahkan terkadang memajang foto kuburannya.
          Saking laris manisnya, kisah-kisah itupun diangkat ke layar kaca, bertepatan bulan puasa. Setelah lebaran semua stasiun televisi menyiarkan sinetron kisah serupa. Religi sekaligus horor. Semakin banyak tema demikian aku baca dan aku tonton, aku justru semakin ragu. Benarkah dalam kenyataannya hal-hal demikian terjadi? Disekeliling ada banyak para penipu, penggunjing, pembohong, copet, rampok, munafik, kafir. Dalam kematian mereka tak ada secuilpun kesan-kesan ganjil dan aneh. Biasa-biasa saja seperti manusia seumumnya.
         Jadilah aku percaya kisah-kisah itu tak lebih dari sekedar dunia fiksi.
******

         Sebulan sebelum aku kerja di PKBI, Agus beli handphone second alias bekas. Itu gaji terakhir yang diterimanya selama kerja di PKBI. Biar tidak ditipu, Agus menggunakan teknik-teknik yang telah diajarkan Pak Roman, salah satu guru pengajar di kelas kesetaraan paket C, mengenai cara-cara memilih handphone bekas dengan tepat dan benar. Telepon genggam itu ia beli di toko selular peranakan Tionghoa yang berderet panjang disekitar pasar Citeureup.
          Baru beberapa minggu pakai, handphone itu lebih mirip barang rongsokan. Sinyalnya timbul tenggelam. Agus pikir ini gara-gara operator provider-nya. Ia pun akhirnya bergonta-ganti nomor. Karena tak kunjung membaik, barulah Agus sadar kesalahan terletak pada handphone-nya. Ia merasa tertipu.
         Akhir-akhir ini aku sering lihat handphone Agus selalu tersambung dengan kontak listrik, mengisi baterai. Kerap juga aku lihat Agus tengah sibuk membongkar dan mengotak-atiknya. Barangkali berusaha memperbaikinya. Ternyata anjuran Pak Roman itu kalah pintar dengan iming-iming omongan pedagang Tionghoa.
          “Kalau bulan depan gajian, aku langsung beli handphone lagi”, ujarnya mendendam. “Bukan cuma bisa buat SMS dan telepon, tapi juga bisa buat main internet”.
          Baru aku tahu ada model handphone yang bisa buat main internet. Ternyata aku kurang mengikuti perkembangan dan tertinggal jauh beratus-ratus langkah. Begitu pesatnya perkembangan teknologi masa kini, tapi tak pernah sekalipun aku berkesempatan memiliki benda semacam itu.
          Kalah aku dengan anak SMP. Ia salah seorang peserta kursus bahasa disini. Tanpa mencontek, ia hafal segala merek handphone berikut tipe-tipenya, fitur-fitur, kurang-lebihnya, beserta harganya baik secara kontan maupun hutang. “Ibuku suka kreditin handphone. Kalau mau bisa hutang”, ia berpromosi padaku. Tampak bangga dengan pengatahuannya tentang handphone. Kira-kira butuh berapa lama aku punya barang seperti itu.
         Dan aku tahu internet adalah jalan keluarku menemukan informasi mengenai beasiswa. Masalahnya dekat-dekat sini belum ada warnet. Biasanya suka ada satu-dua warnet dekat pasar. Tarif normalnya empat ribu rupiah per jam. Bagiku uang sebesar itu cukup mahal. Jelas perlu penghematan aku mengumpulkan uang sebesar itu.

          Keesokan harinya aku melihat Agus tengah kesal membanting-banting dan menginjak-injak handphone-nya. Barang kesayangannya itu akhirnya benar-benar masuk tong sampah.

Baca juga part lainnya: Sebelumnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar