Diwaktu-waktu luang begini aku
lanjutkan kembali bacaanku. Kali ini aku baca majalah yang cukup terkenal;
Hidayah. Tetangga dekat rumahku berlangganan majalah ini. Setiap awal bulan ia
pasti beli. Selesai ia membaca majalah tersebut, giliranku meminjam padanya.
Yang unik dari majalah ini adalah
jilidnya. Sama sekali tak bernilai Islam. Ilustrasinya dibuat sedikit horor.
Biar begitu tidak bernuansa gelap, justru penuh warna-warna meriah. Tujuannya
mungkin untuk menggaet pasar. Buktinya majalah ini tidak hanya laris manis di
Indonesia, tapi juga Malaysia. “Barangkali karena kita negara serumpun. Ada
kesamaan selera”, tulis pemimpin redaksi majalah itu pada kata pengantar
terhadap kesuksesan majalah itu.
Bagiku sendiri isinya sangat menarik.
Sampai-sampai membuatku merinding. Kisah-kisah miris menjadi isi majalah
tersebut. Kebanyakan tentang orang meninggal dan segala balasan yang diterima
jenazah menjelang dikuburkan. Dalam kisah itu dikutip pula ayat-ayat Al-quran
dan hadits nabi. Hal demikian pun membangkitkan kritik salah seorang pembaca
setia. “Kisah kehidupan dalam majalah ini kebanyakan mengangkat
kejelekan-kejelekan orang. Mereka terkena azab Tuhan. Bukankah itu aib? Kita
seperti hakim yang menghakimi seseorang yang sudah tak bisa apa-apa lagi. Tak
baik kiranya dikisahkan pada khalayak apalagi dimuat dalam media umum. Bukankah
hal demikian dalam Islam juga dilarang?
Redaksi majalah itu menjawabnya
dengan enteng. Tak mau oplah majalahnya turun hanya kritik semacam itu.
“Kisah-kisah yang dimuat dalam majalah ini diangkat berdasarkan persetujuan
keluarga dan ahli waris. Demi menjaga nama baik keluarga dan ahli waris, nama
karakter-karakternya kami samarkan dan kami ganti.
Tapi anehnya sesekali majalah itu
memasang foto salah seorang anggota keluarga atau narasumbernya. Bahkan
terkadang memajang foto kuburannya.
Saking laris manisnya, kisah-kisah
itupun diangkat ke layar kaca, bertepatan bulan puasa. Setelah lebaran semua
stasiun televisi menyiarkan sinetron kisah serupa. Religi sekaligus horor.
Semakin banyak tema demikian aku baca dan aku tonton, aku justru semakin ragu.
Benarkah dalam kenyataannya hal-hal demikian terjadi? Disekeliling ada banyak
para penipu, penggunjing, pembohong, copet, rampok, munafik, kafir. Dalam
kematian mereka tak ada secuilpun kesan-kesan ganjil dan aneh. Biasa-biasa saja
seperti manusia seumumnya.
Jadilah aku percaya kisah-kisah itu
tak lebih dari sekedar dunia fiksi.
******
Sebulan sebelum aku kerja di PKBI,
Agus beli handphone second alias
bekas. Itu gaji terakhir yang diterimanya selama kerja di PKBI. Biar tidak
ditipu, Agus menggunakan teknik-teknik yang telah diajarkan Pak Roman, salah
satu guru pengajar di kelas kesetaraan paket C, mengenai cara-cara memilih handphone bekas dengan tepat dan benar.
Telepon genggam itu ia beli di toko selular peranakan Tionghoa yang berderet
panjang disekitar pasar Citeureup.
Baru beberapa minggu pakai, handphone itu lebih mirip barang
rongsokan. Sinyalnya timbul tenggelam. Agus pikir ini gara-gara operator provider-nya. Ia pun akhirnya
bergonta-ganti nomor. Karena tak kunjung membaik, barulah Agus sadar kesalahan
terletak pada handphone-nya. Ia
merasa tertipu.
Akhir-akhir ini aku sering lihat handphone Agus selalu tersambung dengan
kontak listrik, mengisi baterai. Kerap juga aku lihat Agus tengah sibuk
membongkar dan mengotak-atiknya. Barangkali berusaha memperbaikinya. Ternyata
anjuran Pak Roman itu kalah pintar dengan iming-iming omongan pedagang
Tionghoa.
“Kalau bulan depan gajian, aku
langsung beli handphone lagi”,
ujarnya mendendam. “Bukan cuma bisa buat SMS dan telepon, tapi juga bisa buat
main internet”.
Baru aku tahu ada model handphone yang bisa buat main internet.
Ternyata aku kurang mengikuti perkembangan dan tertinggal jauh beratus-ratus
langkah. Begitu pesatnya perkembangan teknologi masa kini, tapi tak pernah
sekalipun aku berkesempatan memiliki benda semacam itu.
Kalah aku dengan anak SMP. Ia salah
seorang peserta kursus bahasa disini. Tanpa mencontek, ia hafal segala merek handphone berikut tipe-tipenya,
fitur-fitur, kurang-lebihnya, beserta harganya baik secara kontan maupun
hutang. “Ibuku suka kreditin handphone. Kalau
mau bisa hutang”, ia berpromosi padaku. Tampak bangga dengan pengatahuannya
tentang handphone. Kira-kira butuh
berapa lama aku punya barang seperti itu.
Dan aku tahu internet adalah jalan
keluarku menemukan informasi mengenai beasiswa. Masalahnya dekat-dekat sini
belum ada warnet. Biasanya suka ada satu-dua warnet dekat pasar. Tarif
normalnya empat ribu rupiah per jam. Bagiku uang sebesar itu cukup mahal. Jelas
perlu penghematan aku mengumpulkan uang sebesar itu.
Keesokan harinya aku melihat Agus
tengah kesal membanting-banting dan menginjak-injak handphone-nya. Barang kesayangannya itu akhirnya benar-benar masuk
tong sampah.
Baca juga part lainnya: Sebelumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar