Waktu
istirahat kami tidak seperti pekerja kantoran. Seharusnya kami terkena maag
karena waktu istirahat kami terlambat beberapa jam dari waktu makan siang. Tapi
tidak. Perut kami telah kenyang. Sebagai tukang cuci piring di restoran kami
selalu punya cara lihai mengganjal lapar. Selalu ada makanan sisa yang masih
cukup layak konsumsi diantara tumpukan piring-piring kotor yang ditaruh di atas
bak. Sedikit menepiskan rasa sombong dan jijik, kami tak segan melahap makanan
yang lebih pantas dimakan kucing liar.
Cara-cara
seperti itu sedikit banyak juga membantu menghemat pengeluaran uang kami.
“Hati-hati!
Penyakit orang kaya itu aneh-aneh. Bisa-bisa menular pada kalian”, kata salah
seorang teman kerja kami mengingatkan. Ia sendiri sebenarnya suka ikut-ikutan
juga. Ia selalu minta makanan sisa itu, lantas menaruhnya di atas piring lain,
kemudian diam-diam melahapnya.
Peringatan
teman kerjaku itu mungkin terdengar agak berlebihan, tapi cukup masuk akal.
Kami beranggapan bahwa segala jenis penyakit kronis adalah wabah yang hanya
menjangkiti orang-orang gedongan saja. Sementara penyakit orang miskin adalah
penyakit kotor yang bisa sembuh dengan sekali atau dua kali oles salep berbau
anyir. Semacam bisul atau panu. Tapi kami tahu seiring menjamurnya banyak restoran di ibukota, orang kaya dan orang
miskin bisa saling berbagi wabah.
Waktu
istirahat tiba kami tak perlu lagi repot-repot mencari makan siang. Biasanya
kami menghabiskan waktu istirahat di lantai basement Plaza Indonesia. Kami
tidur-tiduran di ruang tunggu sopir sambil nonton televisi yang seharian penuh
menayangkan film-film Hollywood di saluran HBO.
Kali ini
Iwin mengajakku ke Grand Indonesia, mall besar yang bersebelahan langsung
dengan mall tempat kami bekerja.
“Aku mau
lihat air mancur goyang!” serunya.
Ia
begitu semangat dan terburu-buru. Setengah berlari kami menuju gedung mall yang
didominasi warna hijau itu. Aku tak tahu apa yang membuat air mancur itu
istimewa sampai-sampai Iwin tak mau melewatkannya. Kuat dugaanku bahwa semasa
kecil ia kurang bahagia atau mungkin kurang biaya.
Kami pernah melihat air mancur itu beberapa hari lalu
secara kebetulan. Waktu itu kami iseng-iseng saja menjelajahi seisi mall Grand
Indonesia karena bosan menghabiskan waktu istirahat di ruang tunggu sopir.
Tiba-tiba terdengar suara musik orkestra dan lekas kami menuju sumber suara
musik itu. Ternyata di sana ada air mancur bergoyang, berlenggak-lenggok bak
penari asli, menyembur-nyembur, dan menciprat-ciprat. Tiap gerakannya sesuai
dengan nada musik yang mengiringinya. Di atas dan bawah lampu-lampu aneka warna
menyorot berpendar-pendar menambah keindahan pertunjukan air mancur itu. Bagiku
biasa saja. Tapi tak kusangka Iwin punya perasaan lain. Selama pertunjukan itu
mata Iwin sama sekali tak berkedip. Senyum bahagia tersimpul di bibirnya. Ia
begitu fokus dan takjub. Ia malah ketagihan untuk menyaksikannya lagi.
Beberapa menit kemudian pertunjukkan selesai. Suara musik
berhenti. Lampu sorot mati. Air mancur itu perlahan turun dan melemah seperti
sosok penari yang kelelahan hingga akhirnya hilang dibalik panggung. Yang
tersisa hanya sebuah genangan air dalam kolam tanpa ikan.
Dalam keheningan itu aku melihat rasa tak puas dibalik
siratan wajah Iwin. Pertunjukkan air mancur itu adalah cerminan masa depan yang
telah diupayakannya. Itu mengingatkannya pada sesuatu hal. Aku tahu persis apa
yang telah menjadi keinginannya; menjadi manusia panggung.
Ia selalu bangga bahwa ia telah ikut audisi dan kontes
menyanyi sana-sini. Secara otodidak ia belajar menyanyi dengan menonton video
aksi panggung para pemenang Grammy Award. Ia mengidolakan penyanyi lokal yang
tembus panggung dunia. Tapi ia gagal. Berkali-kali. Kebanggaan terbesarnya sebagai penyanyi terjadi kebetulan waktu
menunggu buka puasa di bulan Ramadhan. Di restoran itu ia diminta
teman-temannya menyanyi. Malu-malu ia menuju panggung di depan. Bak seorang
penyanyi profesional ia mulai mengeluarkan suaranya. Seperti sebuah keajaiban
semua hadirin bertepuk tangan, bersorak puas. Tak tanggung-tanggung ada pula
yang memuji penampilannya dan menyalaminya. Itu hanya terjadi sekali. Setelah
itu tak ada lagi kesempatan.
Pertunjukkan air mancur itu telah kembali menyadarkannya
bahwa ia telah benar-benar kalah. Hanya saja mungkin ia bingung mengapa seorang
manusia dikalahkan oleh semburan air mancur.
Hari ini mungkin waktu istirahat kami dihabiskan dengan
menunggu pertunjukan air mancur goyang. Sepanjang waktu itu mata kami terpaku
pada tv flat yang menayangkan iklan asuransi secara berulang-ulang. Lama-lama
aku bosan. Mataku perih. Tapi Iwin tetap tabah.
“Kayaknya kita telat, Win!” kataku setengah menggerutu.
“Tidak,” katanya tenang. “Aku tahu persis jadwal
mainnya”.
Aku curiga Iwin pasti telah menyaksikan air mancur goyang
ini lebih dari sekali. Saat kami lain shift, pasti ia kerap datang kemari.
Ternyata air mancur itu berhasil lebih dari sekedar menghipnotisnya. Mungkin
terbawa-bawa hingga ke alam mimpi. Aku pikir Iwin juga pasti mencatat jadwal
dan waktu air mancur itu bergoyang. Masalahnya, waktu pertunjukkan air mancur
itu sudah lewat dari waktu pertama kali kami menontonnya.
“Mungkin pompanya rusak.”
“Tunggu sebentar lagi. Aku masih penasaran.”
Tapi penantian itu berakhir kecewa. Iwin mesti memendam
rasa penasarannya dalam-dalam. Jadilah, sisa waktu istirahat itu kami habiskan
dengan naik turun eskalator sambil cuci mata. Di lantai 8, menembus dinding
kaca, kami melihat keluar. Jakarta tampak begitu kecil dan sempit. Monas serupa
pentul korek api yang terhimpit kotak-kotak raksasa. Tugu kebanggaan nasional
itu seperti tak punya kekuatan. Ia hanya tinggal simbol semata, tapi lemah
melawan arus.
Di bawah sana kolam raksasa berbentuk lingkaran membentang
terbuka ke atas langit. Airnya tampak rata dan berwarna kehijauan. Dibandingkan
air mancur goyang Grand Indonesia, kolam raksasa ini punya semburan air yang
lebih dahsyat. Ketika kami duduk di atas pipa besar bercat biru depan Plaza
Indonesia sepulang kerja, mataku tak bosan-bosan memandangi lingkaran air
mancur itu. Air mancur itu tak sekedar menari, tapi berakrobat, bermain sirkus.
Tapi Iwin menganggapnya sekedar kubangan air ditengah gersangnya kota Jakarta.
Sementara bagiku kolam raksasa itu mengingatkanku pada legenda mata sebelah.
Kendaraan-kendaraan yang datang dari empat penjuru,
alih-alih melintas, tampak mengelilingi kolam raksasa tersebut. Kolam raksasa
yang berada tepat ditengah-tengah persimpangan jalan itu bak sebuah tempat
pemujaan dan tiap kendaraan yang mengelilinginya bak melakukan sebuah ritual
tertentu. Diam-diam aku percaya Dajjal tidaklah muncul di kawasan Bermuda
Amerika ataupun Timur Tengah. Tapi di kota ini---Jakarta. Tepatnya
ditengah-tengah kolam raksasa itu.
Apabila para pejabat berupaya membuktikan kebersihannya
dengan rela digantung di Monas, aku pikir kalau tujuannya biar masyarakat luas
tahu, maka kolam raksasa itu lebih pantas sebagai tempat ekseskusinya. Area ini
lebih terbuka daripada Monas, lebih mudah terlihat dari sudut manapun.
Tiba-tiba aku merinding memikirkan itu. Iwin telah
bersusah payah dengan angan-angannya. Aku juga punya cita-cita sendiri. Sebelah
mata dibalik kolam itu terasa menerorku, mengancam mimpi-mimpiku. Kira-kira apa
yang dilihatnya dariku dan apa yang mampu diramalkannya?
Bagian lainnya baca disini; Berikutnya
Bagian lainnya baca disini; Berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar