Halaman

Rabu, 13 April 2016

MATA KOLAM: Kolam Raksasa Bermata Sebelah (1)

            Waktu istirahat kami tidak seperti pekerja kantoran. Seharusnya kami terkena maag karena waktu istirahat kami terlambat beberapa jam dari waktu makan siang. Tapi tidak. Perut kami telah kenyang. Sebagai tukang cuci piring di restoran kami selalu punya cara lihai mengganjal lapar. Selalu ada makanan sisa yang masih cukup layak konsumsi diantara tumpukan piring-piring kotor yang ditaruh di atas bak. Sedikit menepiskan rasa sombong dan jijik, kami tak segan melahap makanan yang lebih pantas dimakan kucing liar.
            Cara-cara seperti itu sedikit banyak juga membantu menghemat pengeluaran uang kami.
            “Hati-hati! Penyakit orang kaya itu aneh-aneh. Bisa-bisa menular pada kalian”, kata salah seorang teman kerja kami mengingatkan. Ia sendiri sebenarnya suka ikut-ikutan juga. Ia selalu minta makanan sisa itu, lantas menaruhnya di atas piring lain, kemudian diam-diam melahapnya.
            Peringatan teman kerjaku itu mungkin terdengar agak berlebihan, tapi cukup masuk akal. Kami beranggapan bahwa segala jenis penyakit kronis adalah wabah yang hanya menjangkiti orang-orang gedongan saja. Sementara penyakit orang miskin adalah penyakit kotor yang bisa sembuh dengan sekali atau dua kali oles salep berbau anyir. Semacam bisul atau panu. Tapi kami tahu seiring menjamurnya banyak  restoran di ibukota, orang kaya dan orang miskin bisa saling berbagi wabah.
            Waktu istirahat tiba kami tak perlu lagi repot-repot mencari makan siang. Biasanya kami menghabiskan waktu istirahat di lantai basement Plaza Indonesia. Kami tidur-tiduran di ruang tunggu sopir sambil nonton televisi yang seharian penuh menayangkan film-film Hollywood di saluran HBO.
            Kali ini Iwin mengajakku ke Grand Indonesia, mall besar yang bersebelahan langsung dengan mall tempat kami bekerja.
            “Aku mau lihat air mancur goyang!” serunya.
        Ia begitu semangat dan terburu-buru. Setengah berlari kami menuju gedung mall yang didominasi warna hijau itu. Aku tak tahu apa yang membuat air mancur itu istimewa sampai-sampai Iwin tak mau melewatkannya. Kuat dugaanku bahwa semasa kecil ia kurang bahagia atau mungkin kurang biaya.
Kami pernah melihat air mancur itu beberapa hari lalu secara kebetulan. Waktu itu kami iseng-iseng saja menjelajahi seisi mall Grand Indonesia karena bosan menghabiskan waktu istirahat di ruang tunggu sopir. Tiba-tiba terdengar suara musik orkestra dan lekas kami menuju sumber suara musik itu. Ternyata di sana ada air mancur bergoyang, berlenggak-lenggok bak penari asli, menyembur-nyembur, dan menciprat-ciprat. Tiap gerakannya sesuai dengan nada musik yang mengiringinya. Di atas dan bawah lampu-lampu aneka warna menyorot berpendar-pendar menambah keindahan pertunjukan air mancur itu. Bagiku biasa saja. Tapi tak kusangka Iwin punya perasaan lain. Selama pertunjukan itu mata Iwin sama sekali tak berkedip. Senyum bahagia tersimpul di bibirnya. Ia begitu fokus dan takjub. Ia malah ketagihan untuk menyaksikannya lagi.
Beberapa menit kemudian pertunjukkan selesai. Suara musik berhenti. Lampu sorot mati. Air mancur itu perlahan turun dan melemah seperti sosok penari yang kelelahan hingga akhirnya hilang dibalik panggung. Yang tersisa hanya sebuah genangan air dalam kolam tanpa ikan.
Dalam keheningan itu aku melihat rasa tak puas dibalik siratan wajah Iwin. Pertunjukkan air mancur itu adalah cerminan masa depan yang telah diupayakannya. Itu mengingatkannya pada sesuatu hal. Aku tahu persis apa yang telah menjadi keinginannya; menjadi manusia panggung.
Ia selalu bangga bahwa ia telah ikut audisi dan kontes menyanyi sana-sini. Secara otodidak ia belajar menyanyi dengan menonton video aksi panggung para pemenang Grammy Award. Ia mengidolakan penyanyi lokal yang tembus panggung dunia. Tapi ia gagal. Berkali-kali. Kebanggaan terbesarnya  sebagai penyanyi terjadi kebetulan waktu menunggu buka puasa di bulan Ramadhan. Di restoran itu ia diminta teman-temannya menyanyi. Malu-malu ia menuju panggung di depan. Bak seorang penyanyi profesional ia mulai mengeluarkan suaranya. Seperti sebuah keajaiban semua hadirin bertepuk tangan, bersorak puas. Tak tanggung-tanggung ada pula yang memuji penampilannya dan menyalaminya. Itu hanya terjadi sekali. Setelah itu tak ada lagi kesempatan.
Pertunjukkan air mancur itu telah kembali menyadarkannya bahwa ia telah benar-benar kalah. Hanya saja mungkin ia bingung mengapa seorang manusia dikalahkan oleh semburan air mancur.
Hari ini mungkin waktu istirahat kami dihabiskan dengan menunggu pertunjukan air mancur goyang. Sepanjang waktu itu mata kami terpaku pada tv flat yang menayangkan iklan asuransi secara berulang-ulang. Lama-lama aku bosan. Mataku perih. Tapi Iwin tetap tabah.
“Kayaknya kita telat, Win!” kataku setengah menggerutu.
“Tidak,” katanya tenang. “Aku tahu persis jadwal mainnya”.
Aku curiga Iwin pasti telah menyaksikan air mancur goyang ini lebih dari sekali. Saat kami lain shift, pasti ia kerap datang kemari. Ternyata air mancur itu berhasil lebih dari sekedar menghipnotisnya. Mungkin terbawa-bawa hingga ke alam mimpi. Aku pikir Iwin juga pasti mencatat jadwal dan waktu air mancur itu bergoyang. Masalahnya, waktu pertunjukkan air mancur itu sudah lewat dari waktu pertama kali kami menontonnya.
“Mungkin pompanya rusak.”
“Tunggu sebentar lagi. Aku masih penasaran.”
Tapi penantian itu berakhir kecewa. Iwin mesti memendam rasa penasarannya dalam-dalam. Jadilah, sisa waktu istirahat itu kami habiskan dengan naik turun eskalator sambil cuci mata. Di lantai 8, menembus dinding kaca, kami melihat keluar. Jakarta tampak begitu kecil dan sempit. Monas serupa pentul korek api yang terhimpit kotak-kotak raksasa. Tugu kebanggaan nasional itu seperti tak punya kekuatan. Ia hanya tinggal simbol semata, tapi lemah melawan arus.
Di bawah sana kolam raksasa berbentuk lingkaran membentang terbuka ke atas langit. Airnya tampak rata dan berwarna kehijauan. Dibandingkan air mancur goyang Grand Indonesia, kolam raksasa ini punya semburan air yang lebih dahsyat. Ketika kami duduk di atas pipa besar bercat biru depan Plaza Indonesia sepulang kerja, mataku tak bosan-bosan memandangi lingkaran air mancur itu. Air mancur itu tak sekedar menari, tapi berakrobat, bermain sirkus. Tapi Iwin menganggapnya sekedar kubangan air ditengah gersangnya kota Jakarta. Sementara bagiku kolam raksasa itu mengingatkanku pada legenda mata sebelah.
Kendaraan-kendaraan yang datang dari empat penjuru, alih-alih melintas, tampak mengelilingi kolam raksasa tersebut. Kolam raksasa yang berada tepat ditengah-tengah persimpangan jalan itu bak sebuah tempat pemujaan dan tiap kendaraan yang mengelilinginya bak melakukan sebuah ritual tertentu. Diam-diam aku percaya Dajjal tidaklah muncul di kawasan Bermuda Amerika ataupun Timur Tengah. Tapi di kota ini---Jakarta. Tepatnya ditengah-tengah kolam raksasa itu.
Apabila para pejabat berupaya membuktikan kebersihannya dengan rela digantung di Monas, aku pikir kalau tujuannya biar masyarakat luas tahu, maka kolam raksasa itu lebih pantas sebagai tempat ekseskusinya. Area ini lebih terbuka daripada Monas, lebih mudah terlihat dari sudut manapun.

Tiba-tiba aku merinding memikirkan itu. Iwin telah bersusah payah dengan angan-angannya. Aku juga punya cita-cita sendiri. Sebelah mata dibalik kolam itu terasa menerorku, mengancam mimpi-mimpiku. Kira-kira apa yang dilihatnya dariku dan apa yang mampu diramalkannya?

Bagian lainnya baca disini; Berikutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar