Halaman

Kamis, 05 Februari 2015

SURAT IJAZAH eps BEASISWA

         Cita-cita telah memperbudakku, membawa pikiranku melayang-layang. Aku tahu ini pasti sulit. Bagiku itu seperti agama. Cukup aku percayai dan aku yakini. Tak perlu banyak-banyak tanya apalagi alasan. Cara mengibadahinya dengan giat berusaha. Juga menyusun sederet rencana dan strategi dengan segenap kemampuan pikiran. Ibadah sunnah-nya adalah menyiapkan rencana cadangan. Apabila usaha pertama gagal optimisme menyambut kemenangan masih dapat dipertahankan.
         Cita-cita itu tak dapat aku sepelekan. Walau ia masih melayang-layang di alam pikiran, belum tergenggam tangan, ia mampu menghidupi dan memberikan penghidupan. Ia bersemayam tetap dan menunggu siapapun yang sedia mendekat. Tak peduli aku kekurangan nutrisi, karena tiap hari makan mie melulu, cita-cita telah mengejutkanku, memberiku nafas ditengah-tengah kesesakan.
         Dua peserta kursus komputer hari ini----hanya dua-duanya itu----juga punya cita-cita. Rumah kursus PKBI seolah-olah tempat beribadah dimana mereka dapat bersembahyang dan dianggapnya Ikhwan sebagai seorang imam yang memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka.
          Rini, peserta kursus perempuan disini, adalah seorang buruh pabrik. Ia bekerja di pabrik sekitar kawasan industri Wanaherang. Ia percaya keahlian menggunakan Microsoft Office dapat membantu karirnya, menaikkan posisinya dari seorang pekerja lapangan menjadi duduk dibelakang meja. Radit, remaja kelas 2 SMA, percaya juga kemampuan menggunakan komputer adalah cara menjawab tantangan masa depan kemudian hari. Oleh sebab itu ia mesti persiapkan diri sedini mungkin.
          Agus juga punya cita-cita. “Jadi polisi intel. Berpatroli dan berpakaian preman. Kelihatannya santai tapi sebenarnya mereka mengawasi, menyelidik, dan menyidik.
         “Tapi aku tak mau menjadi polisi lalu lintas. Rawan suap. Banyak masyarakat yang mengutuk. Tidak berkah hidupnya”.
         Tapi cita-cita Agus lebur ditengah upaya. Ia tak lulus seleksi. Tinggi badannya sudah cukup, tapi terlalu kurus. Hasil tes kesehatan membuktikan ia seorang perokok berat. Agus mengakui ia sudah merokok sejak SMP dan mulai kenal minum-minum sejak usia tujuh belas tahun.
         Agus tak punya cita-cita lagi, tapi ia masih punya sumber harapan. Dibangunlah jaringan pertemanan seluas mungkin dengan segala atribut silahturahmi-nya. Ia jadikan diri sebagai sosok yang ramah dan supel. Dengan  siapapun, sekalipun itu adalah orang yang baru ditemui, ia selalu mengajak tersenyum dan mengobrol. Ia tak pilih-pilih. Memang kebanyakan orang yang dikenalnya tidak berasal dari golongan atas. Tapi ia percaya, meyakini lebih dari apapun, bahwa sesulit apapun hidup seseorang apabila punya banyak kenalan dapat mudah dijalani. Pergaulan itu juga, dengan sendirinya, berhasil membentuk pribadinya sebagai orang yang penuh percaya diri serta pengalaman.
         Sekali lagi aku pandangi raut muka Agus. Tampak ia tengah mengenangkan kembali cita-citanya yang kini hanya tinggal angan-angan. Ia hisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara dengan tenang. Agus; biarlah tak makan asalkan masih dapat menghisap.
         Lalu aku bertanya dengan sedikit retoris. “Bukankah suap-suapan ditengah lalu lintas juga merupakan salah masyarakat? Mengapa masih perlu kutuk-kutukan? Apabila kita menganggap aksi tilang-menilang itu untung-untungan polisi saja, mengapa pula kita masih takut berurusan dengan hukum? Kecuali juga memang kita merasa ikut salah”.
         Agus tak menjawab. Ia kembali menuliskan sesuatu diatas kertas. Entah apa.
         Nina, cinta pertama sekaligus cinta monyetku, juga punya cita-cita. Tidak muluk-muluk impiannya itu; cukup hidup mandiri dan membahagiakan orangtua. Tapi impian sederhananya itu mesti tertunda. Kebaikan sang paman menuntutnya untuk lebih bersabar. Ia, sebagai orang yang berhutang budi, tak bisa mengecewakan sang paman sebelum paman dan keluarganya itu juga dapat hidup nyaman.
         Itulah cita-cita. Sesederhana apapun pasti ada kendalanya. Tapi ia juga memberi harapan, menjanjikan kehormatan, memberikan seseorang kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri seutuhnya. Dengan cita-cita pula aku percaya bahwa aku takkan merepotkan dunia, justru dunialah yang akan aku beri.
*****

         Ibarat kata aku adalah seorang penjaga masjid, marebot, di rumah kursus PKBI ini. Aku bertanggung jawab penuh atas seluruh aset dan barang inventaris disini. Tinggal dan bertahan disini adalah bagian dari ibadah yang mesti aku jalani. Melanggarnya sama dengan dosa makan-minum di bulan Ramadhan. Tapi lama-lama begini membuatku jenuh juga. Seperti kisah dalam kitab suci tentang sekelompok pemuda yang ditidurkan selama ratusan tahun didalam gua, tak perlulah aku ditidurkan selama itu. Kalau begitu aku akan banyak ketinggalan, tumbuh menjadi pribadi yang aneh bagi lingkungan sekitar, bahkan aku juga akan merasa aneh dengan lingkungan baru disekelilingku yang mendadak berubah tanpa menyisakan sedikitpun jejak masa lalu. Aku mesti menjalani tiap proses dan tahapnya.
         Berdiam diri begini terus juga takkan mampu membawa perubahan. Mesti ada pengalaman baru dan tukar pikiran. Tapi terus berada disini adalah tugasku. Imbalannya adalah ijazah. Padahal puncak perjuanganku setelah mendapat ijazah tersebut. Kelak banyak petualangan yang mesti aku lewati biar mengerti hidup semurni-murninya. Aku harus merencanakan sesuatu. Aku perlu melakukan ibadah lain.
        Begitu ijazah aku terima, aku akan keluar dari sini. Rumah kursus ini tak memberikanku jaminan apa-apa. Abidin saja lebih memilih bekerja di konveksi sebelah. Aku akan melanjutkan pendidikanku dan membantu orangtua dan saudara-saudaraku seperti impian Nina. Aku mesti punya pekerjaan dengan gaji cukup---maksudnya besar. Jam kerjanya juga dapat mentoleransi waktu kuliah nanti. Memang punya pekerjaan biasa-biasa saja perlu waktu panjang, apalagi yang sesuai aku kriteriakan. Lebih-lebih aku hanya mengandalkan ijazah kesetaraan paket C. Nilai-nilai yang tertera didalamnya tak murni juga.
         Kira-kira apa yang mesti aku rencanakan dan aku lakukan?
         Beberapa minggu lalu dua teman Agus semasa kecil datang kemari. Hadi dan Eko. Hadi bekerja sebagai pelayan warung bakso di pasar Anyar, Bogor. Eko baru tiba dari Brebes beberapa hari lalu. Tujuan mereka datang kemari tak lain menanyakan lowongan kerja buat Eko. Tapi lowongan belum tersedia. Melihat kondisi PKBI yang makin tak karuan, Agus sendiri sebenarnya ingin segera keluar dari tempat ini.
         Lalu Agus menyempatkan waktu mengajak kedua temannya itu berjalan-jalan sekitar komplek perumahan. Hadi yang punya sedikit naluri bisnis mengatakan disini sangat cocok membuka warung bakso. Disini banyak pabrik dan cukup ramai. Perkara membuat bakso tak perlu dipikirkan lagi. Karena di tempat kerjanya, Hadi juga sedikit banyak belajar cara membuat bakso. Mereka berdua sangat antusias mendengar ide dari Hadi itu. Masalahnya mereka semua tak punya uang buat dijadikan modal.
         Jadilah Agus menceritakan rencana itu padaku. Kelihatannya aku ini harapan terakhirnya. Memang membuka warung bakso disini adalah ide cemerlang. Mungkin dapat membantu mewujudkan mimpi-mimpiku. Tapi selama harus mengeluarkan uang, aku juga tak bisa apa-apa.
         Ternyata kemampuan berserikat juga, apabila tak didasari dengan uang, jalannya buntu.
         Akhirnya, demi cita-cita aku mesti memikirkan rencana lain dengan segala kemungkinannya.
         Iseng aku bongkar-bongkar semua laci didalam rumah ini. Beruntung aku menemukan tumpukan majalah-majalah bekas. Aku lihat dan aku baca satu-satu; Sabili, Paras, Muslimah, Hidayah. Kesemuanya bernafaskan Islam. Melihat koleksi majalah bekas ini mungkin Pak Mamet orangnya cukup religius. Atau barangkali melalui majalah-majalah ini ia tengah mendalami agama yang dianutnya itu.
         Pertama-tama aku baca Sabili. Majalah seukuran buku novel ini begitu mengagung-agungkan Islam dengan segala panji dan perjuangannya. Dari majalah ini aku seperti menemukan mutiara pengetahuan baru yang mungkin oleh media lainnya ditutup-tutupi. Tapi setelah aku membaca beberapa edisinya, aku menangkap keganjilan. Aku pikir majalah ini bukan kritis, tapi fanatik.
         “Media yang baik tak boleh memiliki kecendurangan membela pihak manapun. Ia seharusnya netral”, itu kata seorang pakar media yang aku dengar di televisi. “Harus apa adanya sesuai dengan fakta lapangan. Tapi memang dengan cepatnya akses media masa kini, semakin laparnya masyarakat akan kebutuhan informasi, juga penggunaan kosa kata yang kurang tepat serta pengaruh opini si penulis berita tersebut membuat informasi yang disampaikan kurang memberikan fakta seutuhnya. Sehebat-hebatnya pendapat, senetral-netralnya berita, takkan mampu sepenuhnya mewakili fakta di lapangan. Diperlukan kapilarisasi yang ketat untuk menyerapnya”.
         Di sebuah toko buku, iseng aku mendengar pendapat seseorang. “Berita di media online itu cenderung provokatif. Beritanya setengah-setengah. Kurang lengkap. Mungkin akses komunikasi sedemikian cepat, mereka jadi terburu-buru. Takut media meraka disebut basi, akhirnya mereka menuliskan berita tersebut sebelum keseluruhan faktanya mereka ketahui”.
         Aku sendiri yang tak mengerti apapun punya pendapat lain. Barangkali kedengarannya sok tahu dan bodoh. Begini; media adalah bikinan manusia. Juga dikelola oleh manusia. Media netral artinya media yang punya pilihan sendiri diluar kubu bertikai. Pilihan itu biasanya digunakan untuk membangun pengaruh dan dan kekuatan baru. Dengan sendirinya media tersebut membentuk kubu ketiga. Dan biasanya pihak ketiga adalah pihak oportunis yang pandai memanfaakan situasi untuk memenangkan dirinya sendiri tanpa perlu berselisih.
         Tapi fanatisme pun bukanlah sesuatu yang salah apalagi dosa. Bukankah setiap orang yang berkeyakinan pasti memiliki kefanatikan terhadap apa yang diyakininya? Asalkan tahu tempat dan waktu.
         Berikutnya aku baca majalah yang isinya lebih ringan; Paras dan Muslimah. Kedua-duanya majalah fashion.  Biasanya majalah fashion selalu menampilkan wajah-wajah rupawan dari kalangan wanita, perempuan, cewek, atau gadis. Lain dari pada itu kedua majalah ini justru menampilkan wajah----golongan kaum Hawa juga----akhwat. Bedanya Paras untuk akhwat dewasa, Muslimah untuk akhwat remaja.
         Aku lebih tertarik membaca majalah Muslimah. Barangkali karena usiaku belum menginjak dua puluh tahun. Lebih-lebih majalah itu mengangkat dua profil akhwat Indonesia yang belajar di luar negeri. Mereka kuliah di universitas terkemuka di Mesir dan Jepang. Mereka dibiayai atas beasiswa dari Departemen Agama dan pemerintah Jepang. Mulanya mereka iseng-iseng menghadiri gelaran pameran pendidikan. Sebuah keisengan yang mengandung nilai keberkahan luar biasa.

         Beasiswa, aku pikir, itulah jalan satu-satunya aku dapat melanjutkan pendidikanku. Mereka yang iseng saja bisa, apalagi aku. Keinginanku besar. Otakku? Ya, bisa diasahlah. Tapi kapan biasanya pemeran pendidikan itu diadakan?

Baca juga part lainnya: Sebelumnya-Berikutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar