Halaman

Jumat, 06 Februari 2015

SURAT IJAZAH eps INTERNET

          Diwaktu-waktu luang begini aku lanjutkan kembali bacaanku. Kali ini aku baca majalah yang cukup terkenal; Hidayah. Tetangga dekat rumahku berlangganan majalah ini. Setiap awal bulan ia pasti beli. Selesai ia membaca majalah tersebut, giliranku meminjam padanya.
          Yang unik dari majalah ini adalah jilidnya. Sama sekali tak bernilai Islam. Ilustrasinya dibuat sedikit horor. Biar begitu tidak bernuansa gelap, justru penuh warna-warna meriah. Tujuannya mungkin untuk menggaet pasar. Buktinya majalah ini tidak hanya laris manis di Indonesia, tapi juga Malaysia. “Barangkali karena kita negara serumpun. Ada kesamaan selera”, tulis pemimpin redaksi majalah itu pada kata pengantar terhadap kesuksesan majalah itu.
         Bagiku sendiri isinya sangat menarik. Sampai-sampai membuatku merinding. Kisah-kisah miris menjadi isi majalah tersebut. Kebanyakan tentang orang meninggal dan segala balasan yang diterima jenazah menjelang dikuburkan. Dalam kisah itu dikutip pula ayat-ayat Al-quran dan hadits nabi. Hal demikian pun membangkitkan kritik salah seorang pembaca setia. “Kisah kehidupan dalam majalah ini kebanyakan mengangkat kejelekan-kejelekan orang. Mereka terkena azab Tuhan. Bukankah itu aib? Kita seperti hakim yang menghakimi seseorang yang sudah tak bisa apa-apa lagi. Tak baik kiranya dikisahkan pada khalayak apalagi dimuat dalam media umum. Bukankah hal demikian dalam Islam juga dilarang?
          Redaksi majalah itu menjawabnya dengan enteng. Tak mau oplah majalahnya turun hanya kritik semacam itu. “Kisah-kisah yang dimuat dalam majalah ini diangkat berdasarkan persetujuan keluarga dan ahli waris. Demi menjaga nama baik keluarga dan ahli waris, nama karakter-karakternya kami samarkan dan kami ganti.
         Tapi anehnya sesekali majalah itu memasang foto salah seorang anggota keluarga atau narasumbernya. Bahkan terkadang memajang foto kuburannya.
          Saking laris manisnya, kisah-kisah itupun diangkat ke layar kaca, bertepatan bulan puasa. Setelah lebaran semua stasiun televisi menyiarkan sinetron kisah serupa. Religi sekaligus horor. Semakin banyak tema demikian aku baca dan aku tonton, aku justru semakin ragu. Benarkah dalam kenyataannya hal-hal demikian terjadi? Disekeliling ada banyak para penipu, penggunjing, pembohong, copet, rampok, munafik, kafir. Dalam kematian mereka tak ada secuilpun kesan-kesan ganjil dan aneh. Biasa-biasa saja seperti manusia seumumnya.
         Jadilah aku percaya kisah-kisah itu tak lebih dari sekedar dunia fiksi.
******

         Sebulan sebelum aku kerja di PKBI, Agus beli handphone second alias bekas. Itu gaji terakhir yang diterimanya selama kerja di PKBI. Biar tidak ditipu, Agus menggunakan teknik-teknik yang telah diajarkan Pak Roman, salah satu guru pengajar di kelas kesetaraan paket C, mengenai cara-cara memilih handphone bekas dengan tepat dan benar. Telepon genggam itu ia beli di toko selular peranakan Tionghoa yang berderet panjang disekitar pasar Citeureup.
          Baru beberapa minggu pakai, handphone itu lebih mirip barang rongsokan. Sinyalnya timbul tenggelam. Agus pikir ini gara-gara operator provider-nya. Ia pun akhirnya bergonta-ganti nomor. Karena tak kunjung membaik, barulah Agus sadar kesalahan terletak pada handphone-nya. Ia merasa tertipu.
         Akhir-akhir ini aku sering lihat handphone Agus selalu tersambung dengan kontak listrik, mengisi baterai. Kerap juga aku lihat Agus tengah sibuk membongkar dan mengotak-atiknya. Barangkali berusaha memperbaikinya. Ternyata anjuran Pak Roman itu kalah pintar dengan iming-iming omongan pedagang Tionghoa.
          “Kalau bulan depan gajian, aku langsung beli handphone lagi”, ujarnya mendendam. “Bukan cuma bisa buat SMS dan telepon, tapi juga bisa buat main internet”.
          Baru aku tahu ada model handphone yang bisa buat main internet. Ternyata aku kurang mengikuti perkembangan dan tertinggal jauh beratus-ratus langkah. Begitu pesatnya perkembangan teknologi masa kini, tapi tak pernah sekalipun aku berkesempatan memiliki benda semacam itu.
          Kalah aku dengan anak SMP. Ia salah seorang peserta kursus bahasa disini. Tanpa mencontek, ia hafal segala merek handphone berikut tipe-tipenya, fitur-fitur, kurang-lebihnya, beserta harganya baik secara kontan maupun hutang. “Ibuku suka kreditin handphone. Kalau mau bisa hutang”, ia berpromosi padaku. Tampak bangga dengan pengatahuannya tentang handphone. Kira-kira butuh berapa lama aku punya barang seperti itu.
         Dan aku tahu internet adalah jalan keluarku menemukan informasi mengenai beasiswa. Masalahnya dekat-dekat sini belum ada warnet. Biasanya suka ada satu-dua warnet dekat pasar. Tarif normalnya empat ribu rupiah per jam. Bagiku uang sebesar itu cukup mahal. Jelas perlu penghematan aku mengumpulkan uang sebesar itu.

          Keesokan harinya aku melihat Agus tengah kesal membanting-banting dan menginjak-injak handphone-nya. Barang kesayangannya itu akhirnya benar-benar masuk tong sampah.

Baca juga part lainnya: Sebelumnya

Kamis, 05 Februari 2015

SURAT IJAZAH eps BEASISWA

         Cita-cita telah memperbudakku, membawa pikiranku melayang-layang. Aku tahu ini pasti sulit. Bagiku itu seperti agama. Cukup aku percayai dan aku yakini. Tak perlu banyak-banyak tanya apalagi alasan. Cara mengibadahinya dengan giat berusaha. Juga menyusun sederet rencana dan strategi dengan segenap kemampuan pikiran. Ibadah sunnah-nya adalah menyiapkan rencana cadangan. Apabila usaha pertama gagal optimisme menyambut kemenangan masih dapat dipertahankan.
         Cita-cita itu tak dapat aku sepelekan. Walau ia masih melayang-layang di alam pikiran, belum tergenggam tangan, ia mampu menghidupi dan memberikan penghidupan. Ia bersemayam tetap dan menunggu siapapun yang sedia mendekat. Tak peduli aku kekurangan nutrisi, karena tiap hari makan mie melulu, cita-cita telah mengejutkanku, memberiku nafas ditengah-tengah kesesakan.
         Dua peserta kursus komputer hari ini----hanya dua-duanya itu----juga punya cita-cita. Rumah kursus PKBI seolah-olah tempat beribadah dimana mereka dapat bersembahyang dan dianggapnya Ikhwan sebagai seorang imam yang memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka.
          Rini, peserta kursus perempuan disini, adalah seorang buruh pabrik. Ia bekerja di pabrik sekitar kawasan industri Wanaherang. Ia percaya keahlian menggunakan Microsoft Office dapat membantu karirnya, menaikkan posisinya dari seorang pekerja lapangan menjadi duduk dibelakang meja. Radit, remaja kelas 2 SMA, percaya juga kemampuan menggunakan komputer adalah cara menjawab tantangan masa depan kemudian hari. Oleh sebab itu ia mesti persiapkan diri sedini mungkin.
          Agus juga punya cita-cita. “Jadi polisi intel. Berpatroli dan berpakaian preman. Kelihatannya santai tapi sebenarnya mereka mengawasi, menyelidik, dan menyidik.
         “Tapi aku tak mau menjadi polisi lalu lintas. Rawan suap. Banyak masyarakat yang mengutuk. Tidak berkah hidupnya”.
         Tapi cita-cita Agus lebur ditengah upaya. Ia tak lulus seleksi. Tinggi badannya sudah cukup, tapi terlalu kurus. Hasil tes kesehatan membuktikan ia seorang perokok berat. Agus mengakui ia sudah merokok sejak SMP dan mulai kenal minum-minum sejak usia tujuh belas tahun.
         Agus tak punya cita-cita lagi, tapi ia masih punya sumber harapan. Dibangunlah jaringan pertemanan seluas mungkin dengan segala atribut silahturahmi-nya. Ia jadikan diri sebagai sosok yang ramah dan supel. Dengan  siapapun, sekalipun itu adalah orang yang baru ditemui, ia selalu mengajak tersenyum dan mengobrol. Ia tak pilih-pilih. Memang kebanyakan orang yang dikenalnya tidak berasal dari golongan atas. Tapi ia percaya, meyakini lebih dari apapun, bahwa sesulit apapun hidup seseorang apabila punya banyak kenalan dapat mudah dijalani. Pergaulan itu juga, dengan sendirinya, berhasil membentuk pribadinya sebagai orang yang penuh percaya diri serta pengalaman.
         Sekali lagi aku pandangi raut muka Agus. Tampak ia tengah mengenangkan kembali cita-citanya yang kini hanya tinggal angan-angan. Ia hisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara dengan tenang. Agus; biarlah tak makan asalkan masih dapat menghisap.
         Lalu aku bertanya dengan sedikit retoris. “Bukankah suap-suapan ditengah lalu lintas juga merupakan salah masyarakat? Mengapa masih perlu kutuk-kutukan? Apabila kita menganggap aksi tilang-menilang itu untung-untungan polisi saja, mengapa pula kita masih takut berurusan dengan hukum? Kecuali juga memang kita merasa ikut salah”.
         Agus tak menjawab. Ia kembali menuliskan sesuatu diatas kertas. Entah apa.
         Nina, cinta pertama sekaligus cinta monyetku, juga punya cita-cita. Tidak muluk-muluk impiannya itu; cukup hidup mandiri dan membahagiakan orangtua. Tapi impian sederhananya itu mesti tertunda. Kebaikan sang paman menuntutnya untuk lebih bersabar. Ia, sebagai orang yang berhutang budi, tak bisa mengecewakan sang paman sebelum paman dan keluarganya itu juga dapat hidup nyaman.
         Itulah cita-cita. Sesederhana apapun pasti ada kendalanya. Tapi ia juga memberi harapan, menjanjikan kehormatan, memberikan seseorang kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri seutuhnya. Dengan cita-cita pula aku percaya bahwa aku takkan merepotkan dunia, justru dunialah yang akan aku beri.
*****

         Ibarat kata aku adalah seorang penjaga masjid, marebot, di rumah kursus PKBI ini. Aku bertanggung jawab penuh atas seluruh aset dan barang inventaris disini. Tinggal dan bertahan disini adalah bagian dari ibadah yang mesti aku jalani. Melanggarnya sama dengan dosa makan-minum di bulan Ramadhan. Tapi lama-lama begini membuatku jenuh juga. Seperti kisah dalam kitab suci tentang sekelompok pemuda yang ditidurkan selama ratusan tahun didalam gua, tak perlulah aku ditidurkan selama itu. Kalau begitu aku akan banyak ketinggalan, tumbuh menjadi pribadi yang aneh bagi lingkungan sekitar, bahkan aku juga akan merasa aneh dengan lingkungan baru disekelilingku yang mendadak berubah tanpa menyisakan sedikitpun jejak masa lalu. Aku mesti menjalani tiap proses dan tahapnya.
         Berdiam diri begini terus juga takkan mampu membawa perubahan. Mesti ada pengalaman baru dan tukar pikiran. Tapi terus berada disini adalah tugasku. Imbalannya adalah ijazah. Padahal puncak perjuanganku setelah mendapat ijazah tersebut. Kelak banyak petualangan yang mesti aku lewati biar mengerti hidup semurni-murninya. Aku harus merencanakan sesuatu. Aku perlu melakukan ibadah lain.
        Begitu ijazah aku terima, aku akan keluar dari sini. Rumah kursus ini tak memberikanku jaminan apa-apa. Abidin saja lebih memilih bekerja di konveksi sebelah. Aku akan melanjutkan pendidikanku dan membantu orangtua dan saudara-saudaraku seperti impian Nina. Aku mesti punya pekerjaan dengan gaji cukup---maksudnya besar. Jam kerjanya juga dapat mentoleransi waktu kuliah nanti. Memang punya pekerjaan biasa-biasa saja perlu waktu panjang, apalagi yang sesuai aku kriteriakan. Lebih-lebih aku hanya mengandalkan ijazah kesetaraan paket C. Nilai-nilai yang tertera didalamnya tak murni juga.
         Kira-kira apa yang mesti aku rencanakan dan aku lakukan?
         Beberapa minggu lalu dua teman Agus semasa kecil datang kemari. Hadi dan Eko. Hadi bekerja sebagai pelayan warung bakso di pasar Anyar, Bogor. Eko baru tiba dari Brebes beberapa hari lalu. Tujuan mereka datang kemari tak lain menanyakan lowongan kerja buat Eko. Tapi lowongan belum tersedia. Melihat kondisi PKBI yang makin tak karuan, Agus sendiri sebenarnya ingin segera keluar dari tempat ini.
         Lalu Agus menyempatkan waktu mengajak kedua temannya itu berjalan-jalan sekitar komplek perumahan. Hadi yang punya sedikit naluri bisnis mengatakan disini sangat cocok membuka warung bakso. Disini banyak pabrik dan cukup ramai. Perkara membuat bakso tak perlu dipikirkan lagi. Karena di tempat kerjanya, Hadi juga sedikit banyak belajar cara membuat bakso. Mereka berdua sangat antusias mendengar ide dari Hadi itu. Masalahnya mereka semua tak punya uang buat dijadikan modal.
         Jadilah Agus menceritakan rencana itu padaku. Kelihatannya aku ini harapan terakhirnya. Memang membuka warung bakso disini adalah ide cemerlang. Mungkin dapat membantu mewujudkan mimpi-mimpiku. Tapi selama harus mengeluarkan uang, aku juga tak bisa apa-apa.
         Ternyata kemampuan berserikat juga, apabila tak didasari dengan uang, jalannya buntu.
         Akhirnya, demi cita-cita aku mesti memikirkan rencana lain dengan segala kemungkinannya.
         Iseng aku bongkar-bongkar semua laci didalam rumah ini. Beruntung aku menemukan tumpukan majalah-majalah bekas. Aku lihat dan aku baca satu-satu; Sabili, Paras, Muslimah, Hidayah. Kesemuanya bernafaskan Islam. Melihat koleksi majalah bekas ini mungkin Pak Mamet orangnya cukup religius. Atau barangkali melalui majalah-majalah ini ia tengah mendalami agama yang dianutnya itu.
         Pertama-tama aku baca Sabili. Majalah seukuran buku novel ini begitu mengagung-agungkan Islam dengan segala panji dan perjuangannya. Dari majalah ini aku seperti menemukan mutiara pengetahuan baru yang mungkin oleh media lainnya ditutup-tutupi. Tapi setelah aku membaca beberapa edisinya, aku menangkap keganjilan. Aku pikir majalah ini bukan kritis, tapi fanatik.
         “Media yang baik tak boleh memiliki kecendurangan membela pihak manapun. Ia seharusnya netral”, itu kata seorang pakar media yang aku dengar di televisi. “Harus apa adanya sesuai dengan fakta lapangan. Tapi memang dengan cepatnya akses media masa kini, semakin laparnya masyarakat akan kebutuhan informasi, juga penggunaan kosa kata yang kurang tepat serta pengaruh opini si penulis berita tersebut membuat informasi yang disampaikan kurang memberikan fakta seutuhnya. Sehebat-hebatnya pendapat, senetral-netralnya berita, takkan mampu sepenuhnya mewakili fakta di lapangan. Diperlukan kapilarisasi yang ketat untuk menyerapnya”.
         Di sebuah toko buku, iseng aku mendengar pendapat seseorang. “Berita di media online itu cenderung provokatif. Beritanya setengah-setengah. Kurang lengkap. Mungkin akses komunikasi sedemikian cepat, mereka jadi terburu-buru. Takut media meraka disebut basi, akhirnya mereka menuliskan berita tersebut sebelum keseluruhan faktanya mereka ketahui”.
         Aku sendiri yang tak mengerti apapun punya pendapat lain. Barangkali kedengarannya sok tahu dan bodoh. Begini; media adalah bikinan manusia. Juga dikelola oleh manusia. Media netral artinya media yang punya pilihan sendiri diluar kubu bertikai. Pilihan itu biasanya digunakan untuk membangun pengaruh dan dan kekuatan baru. Dengan sendirinya media tersebut membentuk kubu ketiga. Dan biasanya pihak ketiga adalah pihak oportunis yang pandai memanfaakan situasi untuk memenangkan dirinya sendiri tanpa perlu berselisih.
         Tapi fanatisme pun bukanlah sesuatu yang salah apalagi dosa. Bukankah setiap orang yang berkeyakinan pasti memiliki kefanatikan terhadap apa yang diyakininya? Asalkan tahu tempat dan waktu.
         Berikutnya aku baca majalah yang isinya lebih ringan; Paras dan Muslimah. Kedua-duanya majalah fashion.  Biasanya majalah fashion selalu menampilkan wajah-wajah rupawan dari kalangan wanita, perempuan, cewek, atau gadis. Lain dari pada itu kedua majalah ini justru menampilkan wajah----golongan kaum Hawa juga----akhwat. Bedanya Paras untuk akhwat dewasa, Muslimah untuk akhwat remaja.
         Aku lebih tertarik membaca majalah Muslimah. Barangkali karena usiaku belum menginjak dua puluh tahun. Lebih-lebih majalah itu mengangkat dua profil akhwat Indonesia yang belajar di luar negeri. Mereka kuliah di universitas terkemuka di Mesir dan Jepang. Mereka dibiayai atas beasiswa dari Departemen Agama dan pemerintah Jepang. Mulanya mereka iseng-iseng menghadiri gelaran pameran pendidikan. Sebuah keisengan yang mengandung nilai keberkahan luar biasa.

         Beasiswa, aku pikir, itulah jalan satu-satunya aku dapat melanjutkan pendidikanku. Mereka yang iseng saja bisa, apalagi aku. Keinginanku besar. Otakku? Ya, bisa diasahlah. Tapi kapan biasanya pemeran pendidikan itu diadakan?

Baca juga part lainnya: Sebelumnya-Berikutnya

Rabu, 04 Februari 2015

SURAT IJAZAH eps ANAK ACEH

          Pak Mamet kembali lagi setelah mengantarkan anak-anak dan istrinya. Kami berangkat menuju Wanaherang meninggalkan Nina yang sibuk sendiri di rumah. Agus duduk di bangku depan sebelah Pak Mamet. Aku dibelakang mereka. Pak Mamet menyetir tenang-tenang. Motor-motor berseliweran mendahului.
          Pagi terasa teramat sibuk. Alam pelan-pelan membuka ruang-ruangnya. Tapi alam yang cerah sama sekali tak menghapus kemuraman wajah Pak Mamet. Sepanjang perjalanan kami diam-diam saja. Akhirnya aku memutuskan, Pak Mamet begitu bukan karena ia banyak pikiran melainkan bawaan genetik.
          Pak Mamet berharap pembangunan gedung PKBI ini cepat dirampungkan. Apabila selesai dibangun inilah gedung PKBI miliknya sendiri, tak perlu sewa tempat lagi, memindahkan lokasi lama PKBI Citeureup kemari. Persoalannya ia belum memiliki cukup dana untuk merampungkan pembangunan gedung ini. Jadinya ia sulit mengira-ngira kapan gedung ini selesai. Ia mesti mencicil dan pelan-pelan. Gaji beberapa pegawainya saja, termasuk aku, mesti ia abaikan. Kebutuhan rumah tangganya juga kena imbas penghematan. Semuanya ia ajak prihatin. Hampir seluruh pemasukan kas ia gunakan untuk mencapai ambisinya. Sisanya ia pinjam dari bank dengan jaminan-jaminan. Itupun masih kurang kemana-mana. Ia masih perlu suntikan dana.
         Pak Mamet sangat yakin dengan ambisinya ini. Segala-galanya ia rela korbankan. Menurutnya gedung PKBI ini dibangun diatas tanah yang cukup strategis. Berada dipinggiran jalan baru dan hanya berjarak lima belas menit jalan kaki dari lokasi lamanya.
         Jalan baru ini hanya memiliki satu jalur, memanjang sepanjang satu-dua kilometer dari ujung ke ujungnya. Jalan ini dibangun untuk mengurai kemacetan disekitar pasar Citeureup dan perempatan Jagorawi. Karena punya satu jalur saja, semua kendaraan yang dari dan ke tujuan manapun mesti memutar melewati jalan ini. Disepanjang jalan ini juga berdiri sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Boleh dikatakan disinilah pusat pendidikan kecamatan Citeureup. Dengan kondisi semacam ini, Pak Mamet optimis bisnisnya dibidang pendidikan pasti berkembang dan maju.
         Setelah beberapa meter keluar dari suasana semrawut pasar Citeureup, mobil memasuki gerbang toko material. Pak Mamet memarkir mobilnya tepat didepan toko tersebut. Seraya ia turun dan kami menunggu. Seorang lelaki keturunan Tionghoa yang berdiri dibalik etalase kaca bergegas menyambut kedatangan Pak Mamet. Habis bertransaksi, kembali Pak Mamet melajukan mobilnya menuju Wanaherang. Tiba di PKBI Wanaherang aku diturunkan. Sementara Agus dan Pak Mamet melanjutkan perjalanan menuju Cikuda untuk memilih-milih keramik. Katanya keramik di Cikuda banyak pilihannya dan lebih murah pula.
          Kembali dari Cikuda ia sempatkan mampir di rumah kursus PKBI Wanaherang ini. Ia melihat-lihat keadaan rumah kursus ini. Kepadaku, ia suruh ini dan itu. Ia seperti sengaja mencari-cari kekurangan, lalu memerintahku seenaknya. Dan aku hanya mengangguk-ngangguk rendah dan bodoh. Ia tanda-tangani laporan keuangan dari buku catatan yang ia tagih malam tadi. Tak ketinggalan juga, sempat-sempatnya, ia mendatangi Abidin yang tengah bekerja di konveksi sebelah. Entah apa keperluannya. Barangkali dahulunya Abidin murid paling baik di sekolah dan menjadi kesayangannya. Lalu, Pak Mamet dan Agus akhirnya pergi. Pak Mamet hendak ke pemda Bogor untuk mengurus ijazah-ijazah paket C. Dan Agus mulai hari ini ditugaskan mengawasi para kuli bangunan yang bekerja membangun gedung PKBI disana.
          Praktis, aku seorang diri menjaga rumah kursus ini. Tak ada lagi Agus yang menemani. Tapi setidaknya, persediaan mieku cukup aman sekarang.
         Pukul dua sore tiba-tiba hujan turun deras. Padahal siang tadi cuaca panas menyengat. Gumpalan awan-awan putih memenuhi langit. Lalu sekonyong hujan membuatku merasa terkepung dalam posisi serba terjepit. Air turun beruntun menghantam genteng rumah, menciptakan kebisingan yang membuat suasana hati makin terasa sunyi.
         Aku tatapi hujan itu dengan mata kosong. Pikiranku melayang entah kemana. Air hujan terus menumpah tanpa takaran. Got-got disepanjang sisi jalan airnya meluap kemana-mana. Jalanan yang selalu berdebu berubah menjadi aliran sungai deras setinggi mata kaki. Tak terbayangkan banjir terjadi disini.
         Di teras depan TK sana, kulihat Pak Jono tengah berteduh sendirian. Ia melamun sendiri seperti aku disini. Tak tahu apa yang telintas dalam pikirannya. Tak kurang-kurangnya aku senasib dengannya dan hujan seperti membatasi kami.
         Pak Jono mengenakan jas hujan berwarna kuning. Ia biarkan air hujan menciprat-ciprat kearahnya. Ia tampak kedinginan. Bagiku ia sesosok lelaki tangguh. Kulitnya alot dan hitam, terlalu hitam karena sering terpapar sinar matahari langsung. Lekukan matanya cekung dan dalam, mengapit pangkal hidungnya yang besar dan panjang. Rambutnya ikal dan kering. Mungkin jarang keramas. Sekilas ia seperti gembel. Memang orang yang berurusan dengan sampah tidak ada kewajiban sama sekali berpakaian rapi saat bertugas.
         Pak Jono itulah orang yang bertanggung jawab penuh atas kebersihan komplek perumahan ini. Setiap hari ia mengelilingi komplek perumahan ini. Ia dorong-dorong gerobak sampahnya kesana kemari, menyapu jalan-jalan dalam kompleks, dan mengosongkan tempat-tempat sampah disetiap rumah yang dilaluinya. Tak hanya saat cuaca cerah, bahkan ketika hujan turun pun ia masih terlihat bekerja. Upahnya ia dapatkan dari iuran warga setempat yang ditagihnya tiap bulan.
         Terkadang aku juga melihat ia sibuk memilah-milah sampah yang diangkut gerobaknya; mana yang masih laku dijual, dapat didaur ulang, atau tidak. Tapi derasnya hujan kali ini membuatnya harus menunggu, menunda pekerjaannya hingga hujan reda.
         Sejam kemudian hujan mereda. Bumi basah kuyup. Teras depan becek dipenuhi genangan air. Terpaksa aku pel lagi sebelum kelas kursus sore dimulai. Kecoa-kecoa banyak keluar dari lubangnya. Beberapa tergeletak diatas lantai dengan posisi badan terbalik. Setelah aku telusuri ternyata kecoa-kecoa itu keluar dari salah satu laci di dapur. Laci itu ditutup oleh selembar papan kecil yang sisi-sisinya dilakban. Begitu aku lepaskan papan itu, bau busuk menyergap hidungku. Ternyata dibawah laci itu adalah lubang septic tank. Mengerikan ada lubang septic tank didalam rumah. Tiba-tiba aku teringat berita kriminal yang memasukkan para korbannya kedalam lubang septic tank. Langsung saja aku tutup lagi laci itu dengan papan itu tadi dan melakbannya kuat-kuat.
         Sebelum maghrib semua kelas kursus bahasa sudah selesai. Tapi hari ini, jam tujuh malam, ada jadwal masuk kursus komputer. Ikhwan, guru pengajar komputer, sudah tiba disini sejak jam lima sore tadi. Ia keturunan Aceh tulen. Perawakannya kurus, berambut ikal gelombang, dan kulitnya kehitaman. Tak seperti masyarakat Sumatera pada umumnya yang pandai cakap, Ikhwan cenderung pendiam. Tampangnya tipikal wajah-wajah bangsa Asia Selatan. Muka semacam itu pantas nongol di layar Bollywood India sana. Pada Desember 2004 lalu, keluarganya termasuk korban bencana tsunami. Tapi beruntung semuanya selamat. Saat ini ia tengah kuliah di universitas Gunadharma, Depok, jurusan ilmu komputer. Pulang kuliah, ia langsung kemari, menunggu jadwalnya mengajar, membagikan kembali apa yang diperolehnya dari bangku kuliah.
          Persamaan nasib kami adalah sama-sama belum dapat gaji. Ia satu-satunya guru disini yang belum dapat amplop. Tak seperti guru-guru perempuan yang bawel---tak tahu karena pengaruh datang bulan atau apa---tak secuil kalimat pun yang keluar dari mulut Ikhwan mengenai gaji.
          Tabloid kampus yang dibawa Ikhwan tergeletak diatas meja. Iseng aku ambil dan bolak-balik. Jilidnya sendiri memasang wajah salah satu mahasiswanya; berambut gondrong, tersenyum gembira, dan mengenakan jas almameternya berwarna biru tua. Pose mahasiswa itu mirip-mirip seperti pose-pose dalam majalah remaja.
          “Kalau jadi model cover tabloid ini apa syaratnya? Pintar? Berprestasi?”, tanyaku.
          “Bisa jadi”, Ikhwan angkat bahu tak peduli. “Aku juga dapat beli”.
          “Kirain dibagi gratis buat seluruh mahasiswa kampus”.
         Sekali lagi aku lihat tampang model cover tabloid kampus itu. “Tapi kalo syaratnya mesti ganteng, kamu pasti gak masuk kategori”.
           “Kamu pikir itu ganteng. Bisa jadi itu cuma rekayasa kamera saja”.

          Aku terkekeh-kekeh. Sebenarnya aku iri pada guru-guru yang mengajar disini. Mereka semuanya kuliah. Mau aku melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya sampai ke jenjang yang paling tinggi. Tapi keadaan mesti membuatku lebih banyak bersabar, menjalani setiap prosesnya, menunggu dengan bergerak seperti menanti telinga dan mata Tuhan tertarik dan tertuju padaku seorang.

Baca juga lainnya di: Sebelumnya-Berikutnya