Cita-cita telah memperbudakku, membawa
pikiranku melayang-layang. Aku tahu ini pasti sulit. Bagiku itu seperti agama.
Cukup aku percayai dan aku yakini. Tak perlu banyak-banyak tanya apalagi
alasan. Cara mengibadahinya dengan giat berusaha. Juga menyusun sederet rencana
dan strategi dengan segenap kemampuan pikiran. Ibadah sunnah-nya adalah menyiapkan rencana cadangan. Apabila usaha
pertama gagal optimisme menyambut kemenangan masih dapat dipertahankan.
Cita-cita itu tak dapat aku sepelekan.
Walau ia masih melayang-layang di alam pikiran, belum tergenggam tangan, ia
mampu menghidupi dan memberikan penghidupan. Ia bersemayam tetap dan menunggu
siapapun yang sedia mendekat. Tak peduli aku kekurangan nutrisi, karena tiap
hari makan mie melulu, cita-cita telah mengejutkanku, memberiku nafas
ditengah-tengah kesesakan.
Dua peserta kursus komputer hari
ini----hanya dua-duanya itu----juga punya cita-cita. Rumah kursus PKBI
seolah-olah tempat beribadah dimana mereka dapat bersembahyang dan dianggapnya
Ikhwan sebagai seorang imam yang
memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka.
Rini, peserta kursus perempuan
disini, adalah seorang buruh pabrik. Ia bekerja di pabrik sekitar kawasan
industri Wanaherang. Ia percaya keahlian menggunakan Microsoft Office dapat
membantu karirnya, menaikkan posisinya dari seorang pekerja lapangan menjadi
duduk dibelakang meja. Radit, remaja kelas 2 SMA, percaya juga kemampuan
menggunakan komputer adalah cara menjawab tantangan masa depan kemudian hari.
Oleh sebab itu ia mesti persiapkan diri sedini mungkin.
Agus juga punya cita-cita. “Jadi polisi
intel. Berpatroli dan berpakaian preman. Kelihatannya santai tapi sebenarnya
mereka mengawasi, menyelidik, dan menyidik.
“Tapi aku tak mau menjadi polisi lalu
lintas. Rawan suap. Banyak masyarakat yang mengutuk. Tidak berkah hidupnya”.
Tapi cita-cita Agus lebur ditengah
upaya. Ia tak lulus seleksi. Tinggi badannya sudah cukup, tapi terlalu kurus.
Hasil tes kesehatan membuktikan ia seorang perokok berat. Agus mengakui ia
sudah merokok sejak SMP dan mulai kenal minum-minum sejak usia tujuh belas
tahun.
Agus tak punya cita-cita lagi, tapi ia
masih punya sumber harapan. Dibangunlah jaringan pertemanan seluas mungkin
dengan segala atribut silahturahmi-nya. Ia jadikan diri sebagai sosok yang ramah
dan supel. Dengan siapapun, sekalipun
itu adalah orang yang baru ditemui, ia selalu mengajak tersenyum dan mengobrol.
Ia tak pilih-pilih. Memang kebanyakan orang yang dikenalnya tidak berasal dari
golongan atas. Tapi ia percaya, meyakini lebih dari apapun, bahwa sesulit
apapun hidup seseorang apabila punya banyak kenalan dapat mudah dijalani.
Pergaulan itu juga, dengan sendirinya, berhasil membentuk pribadinya sebagai
orang yang penuh percaya diri serta pengalaman.
Sekali lagi aku pandangi raut muka
Agus. Tampak ia tengah mengenangkan kembali cita-citanya yang kini hanya
tinggal angan-angan. Ia hisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke
udara dengan tenang. Agus; biarlah tak makan asalkan masih dapat menghisap.
Lalu aku bertanya dengan sedikit
retoris. “Bukankah suap-suapan ditengah lalu lintas juga merupakan salah
masyarakat? Mengapa masih perlu kutuk-kutukan? Apabila kita menganggap aksi tilang-menilang
itu untung-untungan polisi saja, mengapa pula kita masih takut berurusan dengan
hukum? Kecuali juga memang kita merasa ikut salah”.
Agus tak menjawab. Ia kembali
menuliskan sesuatu diatas kertas. Entah apa.
Nina, cinta pertama sekaligus cinta
monyetku, juga punya cita-cita. Tidak muluk-muluk impiannya itu; cukup hidup
mandiri dan membahagiakan orangtua. Tapi impian sederhananya itu mesti
tertunda. Kebaikan sang paman menuntutnya untuk lebih bersabar. Ia, sebagai
orang yang berhutang budi, tak bisa mengecewakan sang paman sebelum paman dan
keluarganya itu juga dapat hidup nyaman.
Itulah cita-cita. Sesederhana apapun
pasti ada kendalanya. Tapi ia juga memberi harapan, menjanjikan kehormatan,
memberikan seseorang kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri seutuhnya. Dengan
cita-cita pula aku percaya bahwa aku takkan merepotkan dunia, justru dunialah
yang akan aku beri.
*****
Ibarat kata aku adalah seorang penjaga
masjid, marebot, di rumah kursus PKBI
ini. Aku bertanggung jawab penuh atas seluruh aset dan barang inventaris disini.
Tinggal dan bertahan disini adalah bagian dari ibadah yang mesti aku jalani.
Melanggarnya sama dengan dosa makan-minum di bulan Ramadhan. Tapi lama-lama
begini membuatku jenuh juga. Seperti kisah dalam kitab suci tentang sekelompok
pemuda yang ditidurkan selama ratusan tahun didalam gua, tak perlulah aku
ditidurkan selama itu. Kalau begitu aku akan banyak ketinggalan, tumbuh menjadi
pribadi yang aneh bagi lingkungan sekitar, bahkan aku juga akan merasa aneh
dengan lingkungan baru disekelilingku yang mendadak berubah tanpa menyisakan
sedikitpun jejak masa lalu. Aku mesti menjalani tiap proses dan tahapnya.
Berdiam diri begini terus juga takkan
mampu membawa perubahan. Mesti ada pengalaman baru dan tukar pikiran. Tapi
terus berada disini adalah tugasku. Imbalannya adalah ijazah. Padahal puncak
perjuanganku setelah mendapat ijazah tersebut. Kelak banyak petualangan yang
mesti aku lewati biar mengerti hidup semurni-murninya. Aku harus merencanakan
sesuatu. Aku perlu melakukan ibadah lain.
Begitu ijazah aku terima, aku akan keluar dari
sini. Rumah kursus ini tak memberikanku jaminan apa-apa. Abidin saja lebih
memilih bekerja di konveksi sebelah. Aku akan melanjutkan pendidikanku dan
membantu orangtua dan saudara-saudaraku seperti impian Nina. Aku mesti punya
pekerjaan dengan gaji cukup---maksudnya besar. Jam kerjanya juga dapat
mentoleransi waktu kuliah nanti. Memang punya pekerjaan biasa-biasa saja perlu
waktu panjang, apalagi yang sesuai aku kriteriakan. Lebih-lebih aku hanya
mengandalkan ijazah kesetaraan paket C. Nilai-nilai yang tertera didalamnya tak
murni juga.
Kira-kira apa yang mesti aku
rencanakan dan aku lakukan?
Beberapa minggu lalu dua teman Agus
semasa kecil datang kemari. Hadi dan Eko. Hadi bekerja sebagai pelayan warung
bakso di pasar Anyar, Bogor. Eko baru tiba dari Brebes beberapa hari lalu.
Tujuan mereka datang kemari tak lain menanyakan lowongan kerja buat Eko. Tapi
lowongan belum tersedia. Melihat kondisi PKBI yang makin tak karuan, Agus
sendiri sebenarnya ingin segera keluar dari tempat ini.
Lalu Agus menyempatkan waktu mengajak
kedua temannya itu berjalan-jalan sekitar komplek perumahan. Hadi yang punya
sedikit naluri bisnis mengatakan disini sangat cocok membuka warung bakso.
Disini banyak pabrik dan cukup ramai. Perkara membuat bakso tak perlu
dipikirkan lagi. Karena di tempat kerjanya, Hadi juga sedikit banyak belajar
cara membuat bakso. Mereka berdua sangat antusias mendengar ide dari Hadi itu.
Masalahnya mereka semua tak punya uang buat dijadikan modal.
Jadilah Agus menceritakan rencana itu
padaku. Kelihatannya aku ini harapan terakhirnya. Memang membuka warung bakso
disini adalah ide cemerlang. Mungkin dapat membantu mewujudkan mimpi-mimpiku.
Tapi selama harus mengeluarkan uang, aku juga tak bisa apa-apa.
Ternyata kemampuan berserikat juga,
apabila tak didasari dengan uang, jalannya buntu.
Akhirnya, demi cita-cita aku mesti
memikirkan rencana lain dengan segala kemungkinannya.
Iseng aku bongkar-bongkar semua laci
didalam rumah ini. Beruntung aku menemukan tumpukan majalah-majalah bekas. Aku
lihat dan aku baca satu-satu; Sabili, Paras, Muslimah, Hidayah. Kesemuanya
bernafaskan Islam. Melihat koleksi majalah bekas ini mungkin Pak Mamet orangnya
cukup religius. Atau barangkali melalui majalah-majalah ini ia tengah mendalami
agama yang dianutnya itu.
Pertama-tama aku baca Sabili. Majalah
seukuran buku novel ini begitu mengagung-agungkan Islam dengan segala panji dan
perjuangannya. Dari majalah ini aku seperti menemukan mutiara pengetahuan baru
yang mungkin oleh media lainnya ditutup-tutupi. Tapi setelah aku membaca
beberapa edisinya, aku menangkap keganjilan. Aku pikir majalah ini bukan
kritis, tapi fanatik.
“Media yang baik tak boleh memiliki kecendurangan
membela pihak manapun. Ia seharusnya netral”, itu kata seorang pakar media yang
aku dengar di televisi. “Harus apa adanya sesuai dengan fakta lapangan. Tapi
memang dengan cepatnya akses media masa kini, semakin laparnya masyarakat akan kebutuhan
informasi, juga penggunaan kosa kata yang kurang tepat serta pengaruh opini si
penulis berita tersebut membuat informasi yang disampaikan kurang memberikan
fakta seutuhnya. Sehebat-hebatnya pendapat, senetral-netralnya berita, takkan
mampu sepenuhnya mewakili fakta di lapangan. Diperlukan kapilarisasi yang ketat
untuk menyerapnya”.
Di sebuah toko buku, iseng aku
mendengar pendapat seseorang. “Berita di media online itu cenderung provokatif. Beritanya setengah-setengah.
Kurang lengkap. Mungkin akses komunikasi sedemikian cepat, mereka jadi
terburu-buru. Takut media meraka disebut basi, akhirnya mereka menuliskan
berita tersebut sebelum keseluruhan faktanya mereka ketahui”.
Aku sendiri yang tak mengerti apapun
punya pendapat lain. Barangkali kedengarannya sok tahu dan bodoh. Begini; media
adalah bikinan manusia. Juga dikelola oleh manusia. Media netral artinya media
yang punya pilihan sendiri diluar kubu bertikai. Pilihan itu biasanya digunakan
untuk membangun pengaruh dan dan kekuatan baru. Dengan sendirinya media
tersebut membentuk kubu ketiga. Dan biasanya pihak ketiga adalah pihak
oportunis yang pandai memanfaakan situasi untuk memenangkan dirinya sendiri
tanpa perlu berselisih.
Tapi fanatisme pun bukanlah sesuatu
yang salah apalagi dosa. Bukankah setiap orang yang berkeyakinan pasti memiliki
kefanatikan terhadap apa yang diyakininya? Asalkan tahu tempat dan waktu.
Berikutnya aku baca majalah yang
isinya lebih ringan; Paras dan Muslimah. Kedua-duanya majalah fashion. Biasanya majalah fashion selalu menampilkan wajah-wajah rupawan dari kalangan
wanita, perempuan, cewek, atau gadis. Lain dari pada itu kedua majalah ini
justru menampilkan wajah----golongan kaum Hawa juga----akhwat. Bedanya Paras untuk akhwat
dewasa, Muslimah untuk akhwat remaja.
Aku lebih tertarik membaca majalah
Muslimah. Barangkali karena usiaku belum menginjak dua puluh tahun. Lebih-lebih
majalah itu mengangkat dua profil akhwat Indonesia
yang belajar di luar negeri. Mereka kuliah di universitas terkemuka di Mesir
dan Jepang. Mereka dibiayai atas beasiswa dari Departemen Agama dan pemerintah
Jepang. Mulanya mereka iseng-iseng menghadiri gelaran pameran pendidikan.
Sebuah keisengan yang mengandung nilai keberkahan luar biasa.
Beasiswa, aku pikir, itulah jalan
satu-satunya aku dapat melanjutkan pendidikanku. Mereka yang iseng saja bisa,
apalagi aku. Keinginanku besar. Otakku? Ya, bisa diasahlah. Tapi kapan biasanya
pemeran pendidikan itu diadakan?