Halaman

Sabtu, 28 Januari 2012

TEMPAT KETIGA


    Aku adalah manusia nokturnal. Aku menyebut diriku begitu bukan tanpa alasan. Tapi percayalah, aku bukan orang liar yang tak tak tahu norma. Aku percaya kehidupan yang mesti aku jalani ini bukanlah tentang keinginan dan harapanku semata. Lebih dari itu; jalanku telah dipersiapkan bahkan sebelum hayatku lahir ke dunia.
    Segalanya tentang tuntutan untuk memperoleh sambungan nyawa. Maka kuikhlaskan kebebasanku terbang menghilang terbawa angin bersama debu-debu keringat. Akupun mesti meluruhkan cita-citaku demi kepentingan organ pencernaan bekerja dari lubang mulut hingga lubang anus. Bagitulah lakon hidup yang mesti kuterima dan kuamini.
    Barangkali sudah menjadi fitrahnya setiap orang wajib memilih keakraban-keakraban tersendiri yang akan selalu menemani langkah-langkahnya. Sebuah keakraban yang kadang seringkali dapat mengubah kebiasaan menjadi kebiasaan lain yang sama sekali baru. Karena keakraban semacam itu, bagaimanapun lumrahnya, tak bisa ditolak tangan dengan alasan apapun. Mereka hadir bagai suratan tanpa cela yang tak bisa digugat. Bahkan, untuk sesuatu hal yang tak lazim sekalipun mesti dengan ikhlas sukarela menjadikannya kebiasaan sebagai jalan mencari kehakikian hidup.
    Kini, tinggal caraku saja bagaimana menyikapinya; selapang apakah dadaku menerimanya dan seikhlas apakah aku mengucapkan rasa syukur.
    Pekerjaaan yang aku geluti ini mengharuskanku menjalani kehidupan yang tak sewajarnya manusia jalani; terjaga sepanjang malam dan terlelap sepanjang hari. Hidungku telah terbiasa menghirup dinginnya udara malam dan mengendus aroma alkohol dalam botol-botol minuman. Tentu saja, tempat yang bergemerlap, ramai, dan hangat sepanjang malam dimana kau dapat dengan leluasa menemukan orang-orang mabuk, muntah, bahkan ‘kesurupan’ adalah club-club malam.
    Masalahnya, boleh dikatakan, pekerjaan yang aku tunaikan setiap malam panjang tidaklah dibenarkan oleh agama yang aku anut. Siapapun tahu, minuman yang  mengandung kadar alkohol, serendah apapun kadar alkohol yang dikandungnya dan apapun alasan untuk mengonsumsinya, telah mendapatkan stempel cap haram. Pasalnya, minuman yang berkadar alkohol dapat menyebabkan mabuk. Dan lazimnya orang mabuk adalah kehilangan kendali diri dan jernihnya alam pikiran. Bukankah hilangnya kendali diri dan akal pikiran seringkali membukakan jalan bagi tindakan-tindakan seronok menjamur di muka bumi ini?
    Saking haram dan terlarangnya, setiap orang yang terlibat dalam proses pembuatan minuman keras hingga penyajiannya ke meja-meja konsumen----termasuk peminumnya----dapat menuai dosanya masing-masing. Sementara barang yang laku keras disini dan banyak dicari-cari oleh sebagian besar pengunjung adalah minuman keras. Dengan kata lain, keberadaanku disini, diclub malam ini, telah menjadi salah satu bagian dari proses itu--- menyajikan minuman-minuman haram itu ke meja-meja para pelanggan. Sederhananya, tanpa aku sadari, mungkin saja aku telah ikut andil pada setiap perkelahian hingga perzinahan yang pernah aku lihat dan aku saksikan disini.
    Bertahun-tahun aku hidup mencari lelah, melampiaskan geram, mengerahkan sabar hingga darah berdesir-desir kejut didada dan keringat menguap ke udara. Namun ternyata bukan jihad mempertahankan hidup yang kutempuh, melainkan kaprah menabung dosa. Aku bagai terperangkap dalam takdir hidup. Mungkinkah ini karena aku terlalu akrab bercengkerama dengan dunia malam hingga mata ini tak cukup terang melihat cahaya, hingga aku tak menyadari permainan perbudakan duniawi telah menyusupi relung nurani? Apabila aku telah ikhlas menerima semua ini, apakah Tuhan pun telah menerima syukurku ini selapang aku mengucapkannya?
    Melihat keadaanku begini, aku semakin yakin, terciptanya kehidupan umat manusia di dunia ini menuruti tata atur ilmu judi. Apapun yang diperoleh dan didapatkan tidaklah sepenuhnya ditentukan oleh usaha dan doa, melainkan perkara untung-untungan belaka. Tak ada seorangpun yang berkesempatan memilih dirahim ibu mana ia ingin dilahirkan dan dikeluarga seperti apa ia ingin dibesarkan. Jalan terakhir yang dapat dicapai hanyalah menurut patuh pada segala ketetapan Tuhan. Meskipun terkadang jalan itu tak membawanya pada keberuntungan dan kepuasan duniawi sama sekali-----bahkan mungkin di akhirat?
    Kalau tidak, dapat dipastikan takkan ada manusia yang terlahir dalam kemiskinan, kekurangan, ataupun kelaparan.
    Apabila aku sendiri diberi kepercayaan untuk memilih, pasti aku juga takkan memilih hidup dalam kesengsaraan seperti yang harus kualami saat ini. Aku akan memilih terlahir ditempat segala kemewahan, tumbuh ditengah-tengah kebanggaan dan kepuasan. Sialnya, takdir bagai mendamparkanku ditempat yang justru dapat menjerumuskanku pada keburukan. Namun, akupun cukup beruntung, meskipun hidup cuma bermodalkan ijazah SMP, aku mendapatkan upah yang lumayan disini. Aku mampu membantu menyekolahkan adik-adikku dan orangtuaku yang akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Walaupun demikian, jikalau ada tawaran pekerjaan lain dan memberikanku upah yang layak, aku akan segera keluar dari club malam. Namun bisakah Tuhan senantiasa memilihkan takdir hidup yang aku harapkan, sementara orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi dari akupun masih banyak mengeluhkan sulitnya mencari kerja?
    Sulit dibayangkan apabila orangtuaku tahu bagaimana aku bekerja di ibukota. Entah serupa apa wajah kekerasan mereka melihat anaknya membawa-bawa minuman beralkohol dari satu meja ke meja lainnya. Mereka pasti memarahiku habis-habisan. Airmata mereka akan mengalir menangisi kelalaian anaknya. Maka, aku tutup-tutupi keadaanku di ibukota agar aku dapat tetap menjadi sumber kebanggaan bagi kedua orangtuaku.
    Bagaimanapun juga, aku memang tak boleh berburuk sangka pada Tuhan. Kendati aku mesti tetap setia pada dasar yang memberikanku penghasilan.
    Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya yang kulewati, aku tengah sibuk membawa nampan kesana kemari, menghampiri meja-meja para pelanggan dengan ramah tamah dan senyum pura-pura. Meskipun sudah lama mengabdikan diri disini, aku belum benar-benar terbiasa dengan gaya pencahayaan dan segala hingar bingar yang terdengar dalam ruangan ini. Seperti berada ditengah-tengah neraka. Sesekali aku mengasingkan diri di belakang atau toilet, menghindari keramaian dan ketegangan yang mengganggu kekuatan mentalku.
    Saat aku mencuci muka, melalui cermin yang terpasang didepan hidungku, aku melihat seorang pria keluar dari salah satu pintu kamar toilet. Ia mengancingi kemejanya dan menarik resleting celana panjangnya keatas. Yang membuatku terbengong-bengong, dari pintu toilet yang sama juga keluar sesosok perempuan. Rambutnya yang berantakan dicoba dirapikannya kembali. Kemudian, mereka bergandengan tangan keluar dari sini.
    Nah, inilah yang aku bilang ‘kesurupan’ itu!
    Disini, sepertinya bukan hal asing lagi melihat dua orang manusia berlainan kelamin memasuki satu pintu toilet yang sama. Tak tahu jenis permainan seperti apa yang mereka mainkan didalam sana, tapi siapapun pasti dapat menebaknya; ‘kesurupan’. Ketika sepasang manusia antara laki-laki dan perempuan berada dalam satu ruangan yang terpojokkan, apalagi luas ukurannya terbatas, maka dapat dipastikan yang ketiganya adalah setan. Yang menjadi teka-tekinya adalah pada tubuh manakah setan itu merasuk; perempuankah atau laki-lakikah? Memang, biasanya kaum perempuan lebih mudah dirasuki, tapi pada kenyataannya dalam hal-hal kesurupan yang berkaitan antara lawan jenis selalu yang dominan biasanya pihak laki-laki. Sementara pihak perempuan hanya tinggal pasrah dan menyerah, karena ia sudah tahu betul yang merasukinya bukan makhluk halus, tapi makhluk kasar yang sudah tahu betul letak celah yang harus dirasukinya.
    Seakan hendak merekontruksi kembali apa yang telah terjadi di toilet tadi, aku masuk kedalam sana. Tengak-tengok memperhatikan setiap sisinya. Aku menemukan selingkar cincin tergeletak diatas lantai. Aku perhatikan baik-baik dan  menggigit-gigit cincin tersebut, menerka-nerka terbuat dari bahan apakah cincin tersebut. Tiba-tiba perempuan itu datang lagi. Saking kagetnya dengan kehadiran perempuan itu kembali, cincin itupun terlepas dari genggamanku dan masuk kedalam lubang closet.
    Seperti orang gila, perempuan itu marah-marah padaku.
“Ya Tuhan, cincinku! Itu cincinku! Kau menjatuhkan cincinku kedalam lubang closet?”
“Aku dapat mengambilnya kembali”.
Akupun mengambilnya. Gugup.
Namun perempuan itu malah semakin marah. “Kamu tahu itu adalah cincin pertunanganku. Cincin itu adalah tanda kesucian kekasihku yang hendak meminangku. Sementara, kau menjatuhkan cincin itu pada lubang closet---- tempat segala kekotoran dibuang kesana dan menjadi penghuni tetap didalamnya. Apa kau pikir cincin itu masih layak terselip dijari tanganku? Ya Tuhan, bagaimana jadinya pernikahanku nanti apabila yang terselip dijariku sesuatu hal yang kotor”.
          Perempuan itu menggeram sejadi-jadinya padaku. Ia seperti hendak melahapku mentah-mentah, menjadikanku bulan-bulanannya yang lemah. Akupun cepat membela diri. “Aku dapat membersihkannya”.
      “Mana mungkin sesuatu hal yang suci dapat bersih seperti sediakala dengan hanya dibasuh air biasa?”
      “Maksud Anda?”.
      “Kamu harus ganti rugi membersihkan cincin ini”
      “Apa?”
          Omongan perempuan itu memang pepesan kosong. Lagipula cairan khusus macam apa yang sering digunakan untuk membersihkan cincin yang jatuh kedalam lubang kloset. Aku yakin perempuan itu tengah mengelabuiku. Ia berusaha mengambil keuntungan dariku. Seandainya saja aku punya mulut seleluasa presiden berpidato, aku akan bilang, mana bisa kesakralan pernikahan itu bakal terwujud, sementara perempuan itu sendiri telah melakukan hubungan kerjasama antar kelamin diluar ketentuan dan tuntunan. Meskipun lelaki yang bersamanya didalam toilet tadi itu adalah tunangannya tetap saja masih tergolong tindakan asusila. Tapi, bagaimana jadinya kalau ternyata lelaki itu justru orang yang baru dikenalnya disini? Bukankah biasa, disebuah club malam, tanpa tedeng aling-aling perkenalan sekalipun, pergaulan yang dapat memancing ‘kesurupan’ dapat terjadi kapanpun dan dimanapun?
          Walaupun demikian, perempuan itulah yang pegang kendali. Ia mengancamku. Ia adalah pelanggan setia club malam ini. Dan aku pasti akan sulit menghindarinya. Apabila aku tak menuruti kemauannya, kira-kira bagaimana aku menghidupi tubuh ini dan membantu segala kebutuhan keluargaku? Tapi menurut kata-kata orang juga aku pernah mendengar biaya perawatan benda-benda yang terbuat dari logam mulia dapat semahal harganya
          Kalau begitu aku takkan bisa membela diri sedikitpun!
          Sejalan dengan itu semua aku semakin diingatkan pada posisi kritis sebagai orang miskin. Sebagaimana hidup dan kehidupan yang selalu terpaku pada landasan pemenuhan materi belaka, maka limpahan materi bagi orang-orang kaya menjadi sumber kepercayaan diri untuk mengembangkan watak keotoriteran, dan menganggap makhluk yang bernasib dibawah garis tangannya sebagai pelarian dari nafsu dan kesalahan mereka. Dengan begitu, aku mengutuki keadaanku sendiri.
***###***
          Melewati waktu semalam tadi sungguh menguji kesabaranku. Penuh ketegangan yang memacu debar didada lebih cepat. Namun akhirnya aku dapat kembali pulang ke rumah kontrakanku. Sudah cukup beruntung aku mendapatkan tempat singgah yang kecil dan berbau apek begini. Cat dinding telah mengusam, namun cukup kokoh menahan arus angin yang bertiup kearahnya. Kugelar matras tidur diatas lantai, dan aku baringkan diri diatasnya. Mataku tak sanggup memejam. Tragedi semalam telah menumbuhkan serabut-serabut akar yang menusuk tajam arus pusat pikiranku. Paras perempuan terkutuk itu terasa menyerang kepekaan sisi sadarku.
          Dari kamar mandi yang terletak disebelahnya terdengar suara batuk-batuk yang semakin hari terdengar semakin memprihatinkan. Namun aku tak terlalu ambil pusing. Barangkali lebih tepatnya tak peduli. Pikiranku sungguh tersita untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Aku bengong dan melamun sendiri.
          Erik, kawan serumah kontrakanku, keluar dari kamar mandi tersebut. Ia goyang-goyangkan bahuku. Lamunanku buyar. Kulihat wajah pucatnya yang dihiasi sepasang mata yang juga bersinar pucat. Tubuhnya begitu kurus setirus daun kering yang dimakan cacing tanah. Kondisi fisiknya persis sama dengan orang yang melakukan puasa empat puluh hari empat puluh malam.
          Erik, kawan seperjuanganku. Dulu ia juga bekerja di club malam bersamaku. Namun mengingat kondisi badannya yang memprihatinkan, ia memilih bekerja sebagai tukang parkir disebuah pusat perbelanjaan. Upah disana lebih rendah. Setidaknya pekerjaan tukang parkir telah menghapus gelar manusia nokturnal dalam dirinya. Namun aku pikir, Erik menyembunyikan satu rahasia padaku terkait pengunduran dirinya bekerja di club malam itu.
     “Sudah siang. Adzan baru saja terdengar. Kamu mau shalat zhuhur gak?”, ia mengingatkanku.
         Aku geleng-geleng kepala. Tersenyum-senyum kecil menutupi rasa malu padanya. Erik bukan seorang muslim sepertiku. Ia katholik. Tapi daya toleransinya sangat tinggi. Bahkan ia terlihat lebih dapat mengukur waktu dan lebih peka mendengar suara-suara kebesaran yang di senandungkan dalam masjid-masjid. Ia sudah sangat sering mengingatkanku sembahyang. Sementara aku sendiri punya sikap malas yang mesti dilawan. Karena ia, akupun jadi rajin beribadah. Justru itulah yang membuat hubungan pertemanan kami tak kenal selisih. Erik seperti bagian dari keluargaku sendiri.
          Kami selalu berbagi dalam segala hal. Termasuk rahasia-rahasia yang memilukan dan memalukan. Selain tubuh cekingnya itu, satu hal lagi yang membuatku merasa malang padanya adalah perbedaan kita; agama. Betapa semua agama menjanjikan surga bagi para penganutnya yang setia. Tapi diluar agama itu, setaat dan serajin apapun seseorang beribadah, nerakalah jawabannya. Aku yakin agamaku adalah yang paling mutlak benarnya. Aku pikir Erik juga pasti demikian terhadap agama yang dianutnya. Tak mungkin aku menyuap-nyuapkan keyakinanku pada Erik.
          Lantas, bagaimana jika suatu saat nanti aku diizinkan masuk surga atas dasar ingatan dari Erik, sementara orang yang mengingatkanku sendiri tak berhak masuk kesana? Apa kira-kira yang mesti kulakukan? Apakah mesti aku memohon, membisu, atau justru ikut terjun kedalam neraka tersebut?
          Dengan sendirinya, aku mulai berani menyimpulkan apabila neraka adalah tempat segala bara dikipasi dan api panas berkobar-kobar, maka kupastikan surga adalah tempat yang dingin membeku.
           Disini aku telah menakar-nakar kebijaksanaan Tuhan. Mengapa agama yang menyebutkan ajarannya adalah rakhmat bagi seluruh makhluk alam semesta tanpa terkecuali masih bermain-main rahasia dengan hidayahnya?  Kelihatannya tidak selalu surga menjadi tempat orang-orang baik. Tidak selalu neraka menjadi tempat orang-orang jahat. Maka tak heran diluar sana begitu banyak bom bunuh diri yang begitu percaya diri mengatasnamakan agama. Tak heran apa yang berasal dari barat selalu dianggap haram. Sebaliknya dengan tedas pula, bangsa barat selalu bilang apa-apa yang berasal dari Islam tak ubahnya semacam tradisi lawas yang mengekang seseorang dalam berkreatifitas diabad ini.
          Seperti hidup dan kehidupan, ternyata takdir memeluk suatu agamapun tersisip paham ilmu judi; untung-untungan. Barangkali itulah sebabnya. Agama tak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Kepastian yang dianggap paling pastipun belum tentu menjanjikan kepastian. Ketika aku mencoba melihat dunia dari berbagai sudut, ternyata tak benar-benar ada kenyataan yang memberikan kenyataan senyata-nyatanya. Semua jalan hanya mengarah pada satu alam serba maya. Segalanya dipenuhi keyakinan yang mencemaskan, mengeluhkan banyak-banyak kepercayaan, dan menakuti ketaatan lain. Naungan-naungan itu sekedar teduh pada ambang teka-teki. Selebihnya menggerahkan nalar pada alam pikiran dan jiwa.
          Untuk saat ini tabir makna kehidupan belum terbuka sepenuhnya. Aku sendiri tak bisa memastikan siapa yang menang dan kalah dalam aturan ilmu judi kehidupan.
      “Erik”, kataku hendak memulai diskusi dengannya, “saat kita berada dikehidupan baru, diakhirat nanti, bagaimana kalau salah satu dari kita ditempatkan pada seburuk-buruknya tempat?”.
      “Aku tak peduli aku akan masuk surga atau neraka”, jawab Erik lugas. “Terlalu banyak agama yang dianut manusia dan aliran-aliran baru yang terlahir dari agama-agama tersebut sehingga surga dan neraka semakin sulit dilogikan. Sekarang ini, bukan lagi ajaran agama yang mesti diikuti manusia, tapi sebaliknya agamalah yang mesti mengikuti sekehendak nafsu manusia. Tanpa kecuali. Sebagai orang awam, satu-satunya yang dapat kita jalani adalah keikhlasan.
      “Kita jangan terlalu berharap apa yang akan diberikan Tuhan atas amal dan pahala yang kita perbuat. Itu namanya pamrih. Sementara dalam semua agama, aku yakin tak pernah diajarkan tentang pamrih. Kita murni dituntut mencintai Tuhan tanpa alasan apapun. Apabila kita menganut suatu agama karena adanya pamrih kita pasti kecewa sekalipun itu menyangkut ketuhanan.
      “Tuhan memang satu. Tak ada yang lain dan tak ada bandingannya. Apabila agama yang kita anut dengan penuh ketaatan itu ternyata bukan agama yang ditetapkan Tuhan , mungkin aku akan menyesalinya. Mungkin juga tidak. Aku menganut agama berdasarkan pilihan dan keyakinan nuraniku, serta kecintaanku yang amat mendalam pada Tuhan. Maka dari itu, sekalipun kita masuk neraka karena agama yang kita anut itu salah, apabila kita mencintai Tuhan sungguh-sungguh, parcayalah api neraka takkan sanggup membakar diri kita. Bahkan mungkin akan lebih nyaman di neraka daripada di surga”.
         Lantas Erik menatapku serius dan mendalam. “Aku pikir kau satu-satunya muslim yang masuk neraka”.
     “Kenapa?”, aku sedikit terperanjat.
     “Kamu sudah tahu berhubungan dengan minuman beralkohol sekalipun itu sedikit dalam agamamu pasti dicatat sebagai dosa. Sementara kau masih saja tetap melakoni pekerjaan itu”. Seraya Erik berbisik tepat didepan mataku. “Jangan kau ragu pada Tuhan. Tak ada keburukan yang diajarkan Tuhan dalam setiap agama-Nya. Ia melarang dan menyuruh pasti karena ada sebab dan akibatnya. Tuhan pasti akan mencukupimu”.
          Sekali lagi, aku merasa tertampar. Untuk kali ini, aku tak tahu apakan Erik mengejekku atau mengingatkanku. Kebodohanku seakan tampak begitu nyata dalam pandangannya. Aku jadi bertanya-tanya apakah pengunduran Erik bekerja di club malam itu karena ada Tuhan dalam hatinya?
         Aku ucapkan istighfar berkali-kali. Betapa selama ini aku telah berlaku dzalim pada diriku sendiri. Aku telah berpikir ceroboh. Mengapa aku menilai Tuhan dan melihat suatu paham hanya berdasarkan logika semata, sementara aku sendiri terlalu memakai ego untuk mengukurnya. Padahal, suatu fakta peristiwa yang dianggap paling rasional sekalipun manusia masih memerlukan bertanya dan cenderung lahir perbedaan pendapat. Meskipun sangat rasional, logika takkan cukup mampu menyerap seluas-luasnya apalagi sebenar-benarnya. Tuhan bukanlah air, udara, api ataupun batu. Tuhan bukanlah semesta. Mengapa aku masih bertanya dan perlu mempertanyakannya. Bahkan mengukur keluasan alam pikiran dan jiwa sendiripun aku tak mampu.
          Selepas shalat zhuhur, Erik kembali menyapaku. “Tadi shalatnya khusyuk benar”, godanya. “Ada masalah, ya?”
        Sudah menjadi kebiasaan Erik mengintipku dari balik pintu ketika shalat. Tak tahu apa yang membuatnya tertarik memperhatikan gerakan demi gerakan ibadahku. Saat itu, ia akan terlihat asyik dan serius. Entahlah apa yang dicarinya. Untuk itu, lekas saja aku menjawabnya santai, “Sok tahu!”.
“Bohong!”, tukasnya. “Kita sudah cukup lama tinggal seatap disini. Aku sudah kenal mana dirimu yang lepas dan mana dirimu yang penuh beban”.
Aku lihat sepasang mata Erik mengarah tajam padaku. Begitu menyorot dan dalam. Aku tak enak, namun akupun tak mau terlalu merepotkannya. “Betul, aku tidak apa-apa. Tidak ada masalah. Barangkali itu hanya perasaanmu saja”.
“Barangkali juga kau tak percaya padaku”, timpalnya menekan. “Baiklah. Barangkali itulah sebabnya aku selalu merasa tak nyaman ketika berada didekatmu. Aku tak berani mengungkapkan masalahku padamu. Kita tidak seperti selayaknya sahabat”.
    Kali ini tatapan Erik begitu mendesakku. Terasa meneror membuatku merasa terdorong dan lemah. Sebegitu perhatiannyakah ia padaku? Atau mungkin karena watak keras kepalanya yang selalu ingin mengetahui segala hal tanpa peduli batas-batas?
    Terpaksa, akhirnya aku menceritakan tragedi cincin itu.
    Erik hanya mengangguk-ngangguk mendengarkan. Diluar dugaan, ia membuka lemari laci pakaiannya dan menyerahkan lembaran-lembaran rupiah pecahan lima puluh ribuan padaku. “Ini uang hasil tabunganku. Kau gunakan saja dulu”.
Aku geleng-geleng kepala sanbil berusaha memasang senyum. “Tidak usah. Aku dapat menyelesaikan masalah ini sendiri”.
“Bagaimana kau menyelesaikannya? Menghajarnya? Lapor polisi? Menuntutnya ke pengadilan? Kita orang kecil dan lawanmu adalah manusia sombong----takkan mampu kau menyelesaikan masalah ini dengan cara-cara besar seperti itu. Yang ada justru menambah masalah. Ayolah, terima ini!”.
    Erik terus memaksa. Aku tak punya kuasa. Ditengah kemiskinan, aku selalu mencari belas kasihan dari orang-orang, namun biasanya mereka lebih senang memalingkan wajah dari keberadaanku. Tiba-tiba saja aku bertemu dan mengenal Erik. Namun ini ternyata tetap tak membuatku bahagia. Sebaliknya heran dan bingung. Entahlah, sebenarnya dipurnama keberapakah makhluk sehebat Erik dicipta dan dilahirkan? Ya Allah, aku tak mengerti.
***##***

    Malam kembali datang meredupkan sinar matahari tenggelam dibarat langit sana. Diiringi hembus angin malam aku melangkah keluar dengan ketetapan hati. Aku harus mencipta tonggak sejarah pembaharuan hidupku saat ini juga. Doktrin-doktrin dan segala sindiran Erik yang diarahkan padaku telah menyumsum dalam tulang belulangku. Benar katanya apabila aku ingin merasakan kenikmatan hidup dunia dan akhirat aku harus menuruti apa yang diperintahkan dan dilarang Tuhan dengan penuh keikhlasan. Mulai detik ini, telah kuputuskan untuk mengundurkan diri bekerja sebagai manusia nokturnal di club malam itu.
    Memasuki ruang utama club malam ini membuatku ingin segera meninggalkan dan melupakan tempat ini. Disini semakin larut semakin ramai dan berisik. Suara musik menggema memenuhi ruangan, menghalau malam dari kesunyiannya. Sistem pencahayaan diatur sedemikian rupa dengan keremangan dan ketemaraman bagai bintang yang kehabisan energi. Kelap-kelip lampu sengaja dibuat untuk semakin menyamarkan pandangan, agar membuat para pengunjung lebih bebas dan leluasa.
    Para muda-mudi yang mengaku metropolis berdatangan dan tersugesti untuk menyesuaikan gerak tubuh dengan irama musik dilantai disko. Mereka tertawa-tawa tanpa beban, namun tak tahu apa yang tengah menghunus kearah mereka dibalik semua ini. Berada satu ruangan bersama oarang-orang seperti itu membuatku merasa terjauhkan dari kenyataanku yang semestinya. Segera aku naik ke lantai atas menemui manager club malam ini di ruang kerjanya. Ia menerima surat pengunduran diriku. Dengan satu anggukan kepala, ia langsung meluluskan keinginanku itu.
    Setelah itu aku kembali turun. Aku harus segera pulang sebelum wanita sialan itu melihatku. Namun aku terlambat. Ia berhasil mencegatku. Penampakannya yang tiba-tiba didepanku membuatku terkejut. Sambil berkacak pinggang, ia tadahkan tangan kanannya dihadapanku. “Mana?”, mintanya dengan gaya khas seorang pemalak.
    Dengan ragu-ragu aku serahkan amplop yang berisi uang pemberian Erik itu. Wanita itu mencium amplopnya dan tersenyum puas. Pandangannya sungguh merendahkanku. Lantas ia kembali gabung bersama teman-temannya. Ia duduk didekat seorang pria tampan. Tiba-tiba kulihat, tanpa segan pria yang duduk disebelahnya itu langsung mencium bibirnya diantara keremangan lampu yang kelap-kelip. Bila aku lihat dalam-dalam wajah pria itu sepertinya bukanlah pria yang kulihat ditoilet kemarin. Dasar wanita sundel!
    Aku memendam geram dalam hati. Apakah aku telah berbuat salah? Sebegitu bodohkah diriku mau memberikan uang yang jumlahnya sama dengan gaji sebulanku disini? Tak seharusnya malam ini aku berada disini. Seharusnya aku langsung saja lari dari sini tadi dan tetap mengantongi uang itu walau ada ancaman. Sial! Menjadi orang miskin memang akan selalu menempati posisi yang kalah.
    Sepanjang perjalanan pulang aku tenangkan diri ini dengan berjalan kaki, mengamati setiap lekuk kota diantara kegelapan malam. Bayangan diriku tumbuh kurus memanjang dipermukaan aspal dan tanah. Lampu-lampu kota yang menyala sedikit menghibur hatiku, meredam segala kekacauan yang berkecamuk dalam dada.
    Kutatap sebuah papan reklame yang berdiri tinggi diatas kepalaku. Gambarnya terlihat lebih cerah dan terang daripada keadaan disekitarnya. Aku mulai banding-bandingkan keberuntunganku dengan wajah sumringah yang terpampang dipapan reklame tersebut; masih adakah garis-garis kebahagiaan yang dapat terbaca diwajahku ini?
    Sesampainya di rumah aku langsung duduk diteras depan, meregangkan otot-otot kakiku yang tegang setelah berjalan jauh. Disela-sela bunyi klakson dikejauhan, aku mendengar suara batuk-batuk dari kamar mandi. Aku mengakrabinya. Tak lain lagi ini pasti Erik.
    Aku prihatin mendengar suara yang keluar dari tenggorokan Erik ini. Begitu payah dan lemah. Entah penyakit apa yang bersarang dalam dada Erik. Aku ketuk-ketuk pintu kamar mandi dengan cemas. Erik tak menjawab. Kemudian, suara batuk itu terhenti. Tak terdengar lagi. Aku semakin cemas. Kembali pintu aku ketuk-ketuk sambil teriak, “Erik! Erik! Erik!”.
    Tak ada jawaban.
    Aku coba intip melalui celah lubang kunci pintu. Aku terperangah setengah mati. Segera kudobrak pintu. Tubuhku terdorong-dorong kedepan dan hampir saja jatuh terpeleset karena ceceran darah merah yang membanjiri lantai. Tubuh Erik tergolek lemah, bersandar diatas dinding kamar mandi dengan darah belepotan.
    Erik segera kubawa ke rumah sakit terdekat. Ditempat ini, aku benar-benar menemui apa yang disebut kenyataan yang tak benar-benar memberikanku kenyataan senyata-nyatanya. Dan memang sudah selayaknya aku menjadikan ini keakraban tersendiri dalam hidupku. Mungkin dengan begitu aku tak perlu terlalu mencemaskan atau menakuti apapun. Namun, tetap saja ini melahirkan penyesalan yang tak bisa ditebus dengan air suci apapun.
“Maaf, kami sudah berusaha semampu yang kami bisa. Jiwa Erik tak bisa tertolong lagi. Paru-parunya telah keropos”.
    Kata-kata dokter itu terus menggema ditelingaku seperti berbisk-bisik menyalahkanku. Aku kesepian. Aku membisu diam dengan pikiran melayang jauh. Entah merenung. Entah melamun.
    Barangkali juga kau tak percaya padaku. Barangkali itulah sebabnya aku selalu merasa tak nyaman ketika berada didekatmu. Aku tak berani mengungkapkan masalahku padamu. Kita tidak seperti selayaknya sahabat.
    Tiba-tiba saja aku merasa menjadi orang paling bodoh sedunia-----sebodoh-bodohnya manusia yang isi otaknya cuma berupa tengkorak udang. Sebegitu egoiskah aku hingga Erik tak mempercayaiku? Sebegitu tololkah aku hingga tak paham maksud kata-kata Erik tersebut? Kedunguankupun semakin berlipat-lipat dengan menerima uang tabungannya. Padahal, seharusnya aku sadar uang itu untuk membiayai penyakit paru-parunya.
    Hari ini tak henti-hentinya aku membentak kedunguanku. Tiba-tiba aku diingatkan untuk memanjatkan doa. Lantas, cara doa seperti apa yang pantas aku panjatkan untuk Erik; sesuai dengan keyakinankukah atau keyakinan Erik? Barangkali ada baiknya juga aku menyanyi. Lalu, lagu seperti apa yang layak aku dendangkan disaat-saat seperti ini? Apakah airmata penyesalanku ini mampu menjadi doa? Mungkin, terkadang, dalam memahami ajaran sebuah agama aku mesti menyingkirkan sisi kemanusiaan ini.
    Ditengah kegalauan sekacau ini aku hanya mampu memohon pada Tuhan begini, “Ya Allah, berikanlah sahabatku ini tempat yang baik disisi-Mu. Mungkin bukan di surga. Bukan pula di neraka. Karena apabila aku mengingat kedua tempat itu, kedengarannya kehidupan akhirat tak seluas seperti yang kubayangkan. Aku yakin aku takkan pernah bertemu lagi dengan sahabat terbaikku disana. Sekalipun bertemu kembali, kita pasti sama-sama berada didalam kesengsaraan. Sungguh itu adalah seburuk-buruknya pertemuan.
“Ya Allah, barangkali ditempat ketiga----suatu tempat yang mungkin tak pernah kau gembar-gemborkan tempat dan namanya pada hamba-hamba-Mu----Kau dapat mempertemukan kami kembali dengan kebahagiaan. Sungguh kemurahan hati-Mu tetap kami harapkan sekalipun itu dalam keterlambatan kehidupan akhirat.
“Ya Allah, betapa agung dan megahnya singgasana-Mu itu. Mengapa kau tak bawa kami serta saja kesana? Kami rela menjadi budak-budak disisi-Mu. Sebaliknya, Kau justru menyuruh kami memilih diantara dua; surga atau neraka?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar