Siapapun pasti akan terheran-heran saat pertama kali
bertemu dan mengenalku. Seluruh pertanyaan bakal menimpuki isi kepala mereka,
menjelajah alam pikiran mereka sampai sepasang matanya terbuka nanap, berharap pertanyaan
itu terjawab secara logis; berasal dari alam manakah aku didatangkan?
Perjanjian macam apakah hingga ada orangtua yang melahirkan anak seperti aku?
Saat dilahirkan apakah menangis atau tertawa? Dididik seperti apa dan
pendidikan semacam apa aku dibesarkan? Benarkah tubuhku ini juga tersusun atas
dasar adonan tanah dan air?
Sederhananya mungkin mereka bertanya seperti ini; mengapa di dunia ini
tercipta manusia seperti aku? Itupun jika melihatku pertamakali mereka
menganggapku manusia dan membenarkannya sebagai manusia. Apabila tidak, mungkin
pertanyaannya akan lain lagi; sejenis makhluk apakah aku ini?
Melalui
tulisanku yang corat-coret begini----entahlah orang menyebutkannya cakar ayam
ataupun benang kusut----izinkanlah aku kembali menceritakan kisah hidupku yang
sesungguhnya. Ini tidak semata untuk berbagi, karena memang aku telah lelah
mengulang-ulang dan mengingat-ingatnya. Aku berharap melalui usaha payah jemari
tanganku ini, orang-orang tidak menganggapku aneh lagi, dan menjadi pelajaran
tersendiri yang mampu membangkitkan rasa kemanusiaan. Semoga saja!
Diusiaku yang telah mampu menyerap ingatan dan menyimpannya dalam memori
otak, satu-satunya tempat yang begitu kencang menancap dibalik tempurung
kepalaku adalah tempat yang senyap nan terkucilkan.
Disana pohon-pohon tumbuh tinggi. Sedikit sekali cahaya dari atas langit
yang mampu menembusi rimbunnya dedaunan. Hewan-hewan----baik didarat, air,
ataupun angkasa, besar ataupun kecil---bebas berkeliaran. Namun masing-masing
tak terlepas dari ancaman. Satu sama lain saling mempertahankan diri dan saling
memangsa. Justru karena itulah tempat ini mendapatkan gerak-geriknya,
memperdengarkan suara nafasnya, dan memperlihatkan langkah-langkahnya pada
dunia. Satu-satunya makhluk yang berjalan tegak seperti diriku yang aku kenal
disini cuma bapaku. Tak ada yang lain.
Setiapkali aku merindukan keluasan dan keleluasaan, aku coba panjat
salah satu pohon tertinggi. Diatas pohon ini aku benar-benar mendapatkan
kehangatan sinar matahari, melahirkan ketakjuban yang senantiasa menyentil
sanubari. Betapa indah birunya langit dan segala macam benda yang kelap-kelip
dikala malam turun. Seandainya sepasang tangan ini dapat menjadi sayap, aku
pasti akan segera terbang, membongkar segala misteri terhadap hasrat,
kehendak,dan mauku, serta melepaskan segala jenuh dan gundahku kedalam tualang
mencari tempat-tempat baru------dimana tak ada lagi pepohonan besar yang
memerangkap ataupun desisan ular dan raungan harimau yang membatasi langkah.
Sayangnya, hanya ini realitas yang aku terima dan hanya ini bahan
rujukan yang dapat aku andalkan pada setiap pengalaman yang akan aku hadapi.
Kelak,
dikemudian hari, orang-orang yang kukenal menyebutkan asal muasalku adalah
rimba belantara.
Mulanya aku tak paham tentang kelahiran dan kehadiranku hingga terdampar
ditempat yang namanya rimba belantara. Aku pikir, seperti halnya unggas aku
berasal dari telur yang dierami. Lantas saja bapakku menjelaskannya, “Lihatlah
monyet itu”, telunjuknya menjurus keatas. Aku lihat sepasang monyet yang tengah
kasmaran. Mereka lompat-lompat dan kejar-kejaran dari atas satu dahan ke dahan
lainnya. “Seperti halnya monyet itu, kamu ada karena hadirnya cinta diantara
betina dan jantan. Perempuan dan laki-laki. Perempuan adalah betina. Laki-laki
adalah jantan. Tapi menuruti ukuran zaman, masalah betina dan jantan dapat saja
keadaannya dibalik. Sementara menyangkut persoalan reproduksi, tetaplah betina
dan jantan itu sesuai kodratnya”.
“Monyet
tidak bertelur”, jawabku polos.
Bapak malah tertawa. Aku sendiri tidak tahu letak
humor dari kata-kata itu. “Dan memang kamu bukan berasal dari telur, Anakku.
Kamu keluar dari dalam rahim”.
“Apa itu
rahim? Bapak punya rahim?”.
Lagi-Lagi Bapak tertawa. Lebih kencang malah. Ia
menatapku prihatin dan mengusap kepalaku lembut. Barangkali kepolosankulah yang
membuatnya lucu. “Bapakmu adalah jantan. Laki-laki. Cuma perempuan atau betina
yang bisa hamil dan melahirkan”.
“Kenapa?
Memang apa bedanya?”
“Bedanya
terletak dibawah pusar. Bapak dan kamu sama bentuknya. Sementara betina atau
perempuan memiliki semacam lubang yang terapit diantara
selangkangannya-----tempat memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
“Lalu,
dimana dan siapa betina yang telah melahirkan aku?”.
“Ibumu?”.
Bapak
terlihat kaget aku menanyakan itu. Tapi aku tak mau terlalu mempersoalkannya.
Aku lebih senang melihat sepasang monyet itu diatas pohon. Begitu dekat dan
akrab. Aku ingin seperti itu, tapi entah dengan apa. keinginan itupun terbawa
dalam tidurku, mengendap sedemikian dalam dialam bawah sadarku. Saat terjaga
aku tersentak. Ada yang basah-basah dibalik celanaku. Aku merasa malu sendiri.
Namun pelan-pelan itu justru menjadi kesenangan baru. Sedikit demi sedikit terlihat
perubahan dalam diriku. Kentara sekali dari suaraku yang terdengar berat.
Bapakku
bilang, “Kamu sudah menginjak usia puberitas, Anakku”.
“Puberitas? Apa itu?’.
“Peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja, hingga akhirnya kau
tumbuh dewasa. Seperti Bapak. Anakku, kau harus sudah bisa berpikir menggunakan
akal sehat----mampu membedakan mana baik dan buruk, benar dan salah, bagus dan
jelek, halal dan haram, haq dan bathil..... Setiap hadir persoalan, kau mesti
timbang-timbang dulu penyelesaiannya sematang mungkin. Tak bisa gegabah.
Kesewenangan memang dapat memberikan kepuasan, namun ujung-ujungnya selalu
menjadi senjata yang melahap tuannya sendiri. Berhati-hatilah menggunakan akal
pikiran dan rasa sanubari”.
Semakin hari-hari berjalan, akupun tumbuh besar. Watak puberitas yang
terkandung dalam usiaku telah menjadi tahap alamiah yang tak bisa kutolak,
menjajah bentuk jasmaniku dengan segala perubahan fisik dan pikiranku
sebagaimana mestinya.
Bapak
bilang, “Kau kini telah menjadi seorang pemuda. Kau harus memiliki ketangkasan
seorang pendekar”.
Bapak
mulai mengajariku segala cara dan adat bertahan hidup. Segala rumusan ilmu yang
dikuasainya, ia wariskan padaku. Setiap pojok belantara telah aku jamah dan
setiap jejak asing telah aku rekam dibalik batok kepalaku. Juga, setiap
keterasingan telah aku hafal sebaik mungkin menjadi keakraban. Diawal hari aku
keluar pondok dan kembali mejelang petang dengan membawa perbekalan untuk
kebutuhan jasmani selama beberapa hari kedepan. Pernah juga satu-dua kali aku
tejebak ditengah belantara, menginap ditengah gelap dan sunyinya alam terbuka.
Namun semua itu tak memberikanku kepuasan pada aroma kehidupan yang
sesungguhnya.
Setiap
teringat rinduku pada keluasan dan keleluasaan, kutengadahkan kepalaku keatas
langit, sambil mengkhayalkan diri menemukan kebebasan pada tanah-tanah lapang
dengan hembusan udara yang tenang dan rumput-rumput yang hijau. Juga, setiap
melihat sepasang atau segerombolan fauna saling bercengkerama, terciptalah rasa
cemburuku. Entah apa dan kenapa. Pastinya, aku merasa sulit menahan luapan
perasaan semacam itu. Betapa kehampaan dan kesunyian membuatku tersiksa,
menjadikanku satu-satunya makhluk dimuka bumi ini yang binasa karena tak pernah
sempat berkawan dan berkasih. Kupejamkan sepasang bola mata ini, namun tak
memberikanku persoalan lain lagi. Batinku terus mendesak dan
mendorong-dorongku.
Pergilah! Pergilah sejauh langkahmu menghendaki!
Dari langit yang menjadi tempat rahasiaku
menyimpan resah gelisahku, bimbang rambangku, dendam geramku, dan cinta
benciku, kucoba utarakan juga persoalan ini pada Bapakku.
“Bapak,
telah kulihat monyet-monyet bercinta dan bermain berahi. Telah kulihat juga
semut-semut yang jumlahnya melebihi jemari tanganku. Bapak, apakah di dunia ini
hanya ada dua manusia saja? Hanya kita?”.
Bapak mengawali jawabannya dengan senyum. “Tentu
saja tidak. Justru manusialah yang merajai seluruh permukaan bumi ini”.
“Kalau begitu aku ingin sekali menemui
dan mengenal mereka”.
“Apa
hendak kau lakukan, Anak Muda?”.
“Bapak
pernah bilang aku harus bisa berpikir menggunakan akal sehat. Aku harus mampu
menyelesaikan dan menempatkan segala sesuatunya
pada tempat yang tepat. Aku ingin menguji diriku sendiri diluar sana.
Aku ingin seperti yang pernah Bapak bilang”.
“Seharusnya kau tetap disini. Apa kau tak lihat tubuh Bapakmu ini telah
menua?”.
“Aku
mohon Bapak. Bagaimana bisa aku membedakan sesuatu hal sementara kehidupanku
disini tak memberikanku banyak pilihan?”.
“Lebih
baik begitu, bukan? Hidup tanpa pilihan dapat membuat kita lebih aman
melangkah. Kita tak perlu dikacaukan dengan segala doktrin dan pemikiran lain”.
“Apakah
Bapak mengharapkanku menjadi manusia kerdil?”
“Kau
sudah berani menantang Bapakmu ternyata. Ketahuilah Anakku, tak selalu yang
baikpun menghasilkan kebaikan. Boleh jadi justru yang buruklah yang memberikan
kita kebahagiaan selamanya. Anakku, kebenaran sekalipun takkan bisa disebut
benar apabila tak ada kesalahan diperbuat sebelumnya. Dosa dan pahala adalah
dua hal yang saling berlawanan, tapi dari sudut pandang lain dapat menjadi hal
yang saling melengkapi, karena takkan pernah ada dosa tanpa pahala. Begitupula
sebaliknya”.
“Bapak...”
“Anakku”,
selanya cepat. “Sudah Bapak ingatkan berkali-kali pikirmu adalah senjata tajam.
Maka berhati-hatilah gunakan otakmu, karena bisa jadi justru rasamulah yang
menjadi korban dari ulah pikirmu sendiri”.
Bapak
balikkan badan meninggalkan aku dibelakangnya. Melihat laku Bapakku yang tak
menaruh minat pada segala mauku, sesungguhnya, sebegitu pentingkah cita-citaku
ini sampai-sampai aku bersikeras. Barangkali saja ini semacam tipuan khas
duniawi. Aku sendiri tak mau terbuai-buai karena pengelabuan alam pikiran.
Ditengah kerambanganku ini, aku menerka-nerka, bagaimanakah waktu-waktuku
mendatang nanti? Haruskah aku menghabisi setiap detiknya dengan kehampaan dan
kesunyian----yang lazimnya layak disebut racun kehidupan?
Bapak
mengambil sebilah pisau belati dan batu asahnya. Sambil mengasah dibelakang,
terdengar ia bersenandung lirih. Begitu berat dan parau seperti seseorang yang
tak punya tumpuan lagi untuk bertahan. Tak tahu kenangan macam apa yang
berkelebat dalam pikirannya. Pastinya aku tahu ia tengah menangis. Tetap saja
aku masih heran. Tak pernah sebelum-sebelumnya Bapak bersikap loyo begini.
Saat
aku hendak tidur, Bapak mengetuk pintu kamarku
“Bapak
telah memikirkannya matang-matang”, katanya memulai. “Tak baik kiranya mengekang
seorang pemuda dalam lingkungan begini. Serba terbatas. Bapak tahu pemuda
dimana-mana memiliki semangat pemberontakan yang besar. Selalu ingin keluar
dari keterbiasaan dan mengubah pandangan yang selama ini terlalu umum dipahami
banyak orang. Semuanya tentang tantangan. Ya, seorang pemuda harus banyak
berkarya dengan pemikirannya. Berangkatlah besok pagi! Carilah pengalaman baru
diluar sana”.
Selama menunggu kejadian ini datang, aku tahu pasti, aku akan berteriak
segirang-girangnya. Nyatanya aku hanya mampu membisu. Kata-kata yang kutabung
untuk melampiaskan gembira menghadapi saat-saat begini seakan hilang tertelan
ludah. Tak tahu kenapa tiba-tiba saja kejadian Bapak untuk melepaskan anak
satu-satunya pergi terlalu cepat dikabulkan. Sementara aku seperti orang yang
belum siap meskipun telah sekian lama mengharapkannya.
“Walaupun demikian”, sambung Bapaknya lagi, “sebagai bekal perjalanan
panjangmu, Bapak punya satu syarat yang mesti kau tunaikan. Apa kau masih ingat
kisah-kisah horor yang pernah Bapak kisahkan padamu----kuntilanak, sundel
bolong, kelong wewe..... Ketahuilah hantu-hantu itu berwujud betina. Waspadalah
pada makhluk yang bernama wanita itu. Mereka seperti iblis, bahkan mungkin
mereka adalah bagian dari iblis itu sendiri. Dengan kelembutan dan
kegemulaiannya, mereka punya banyak topeng dan tipuan yang dapat meremukkan
hati para pejantan. Seperti Ibumu. Ia adalah betina yang telah banyak
menyengsarakan hidup kita”.
Ibu,
setiapkali mengucapkan kata itu, Bapak bak berusaha menahan suaranya didalam
kerongkongan, seolah mengucapkan nama tersebut adalah kesalahan besar yang tak
termaafkan. Ketika itu juga aku dapat lihat, dikedua matanya tersimpan banyak
teka-teki soal masa lalunya. Bapak tak pernah menceritakan apa-apa. Sejauh ini
aku hanya tahu, Ibu adalah sosok wanita. Betina. Semakin memikirkannya aku
semakin penasaran. Namun memaksa Bapak membuka mulut untuk menceritakan tentang
Ibu adalah perbuatan sia-sia.
Akhirnya, rasa keingintahuanku pun semakin mengukuhkan kehendak hati
untuk merantau. Diluar sana, mungkin aku takkan pernah menemukan sosok Ibuku.
Tapi setidaknya, melalui wanita atau betina yang kutemui nanti, aku akan
mendapatkan gambaran seperti apa Ibu itu. Benarkah sosok Ibu itu seperti
wanita pada umumnya-----berwajah pucat, berambut panjang, dan bergaun putih?
Saat ini ditanganku sudah ada satu petunjuk; lihat dibawah pusarnya. Betina
atau wanita memiliki semacam lubang yang terapit diantara
selangkangannya----tempat memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
Pagi-pagi sekali aku telah mempersiapkan segalanya. Bapak melepasku
dengan deraian airmata. Aku terus melangkah dan berusaha tak menoleh ke
belakang lagi. Aku tak mau luluh pada pahitnya perpisahan yang dapat membuatku
berat melangkah. Padahal jauh dibelakang sana tetes-tetes darah telah mengalir
diam-diam menjadi benih-benih ditanah bumi.
Setelah berjalan berkilo-kilo, akhirnya aku dapat keluar dari rimba
belantara ini. Tak ada lagi pepohonan tinggi yang memerangkap. Cahaya matahari
begitu leluasa menyentuh kulit. Aku menghela nafas dalam-dalam. Aroma udara
disini begitu melegakan dada. Wahai, manusia-manusia akan segera kuperkenalkan
diri ini pada kalian!!
Tak
sepertimyang telah kuidamkan, sambutan mereka padaku sangat dingin. Bahkan
cenderung mengerikan. Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, mereka
melihatku dengan mulut menganga terbuka, tercengang-cengang, kaki gemetar dan
bulu kuduk meremang. Bahkan diantara mereka ada yang langsung lari
terbirit-birit ketakutan dan segera menutup pintu dan jendela rumah mereka
rapat-rapat. Ada juga yang langsung tak sadarkan diri ditempat. Tak tahu
bagaimana lensa mata mereka menangkap keberadaan bayangan tubuhku dan tak tahu
apa yang dilukiskan pikiran mereka dengan keadaan diriku. Barangkali aku
terlihat bak makhluk bermuka rata.
Meski
begitu aku maklum. Ketakutan-ketakutan yang mereka rasakan kuanggap sebagai
bentuk kewajaran, semacam keadaan naluri alamiah manusia dalam membaca kondisi
sekelilingnya demi mempertahankan eksistensi diri. Pastinya setiap makhluk
yang menemui hal-hal asing akan segera memasang kewaspadaan dengan menggunakan
kepekaan indera sebaik mungkin. Sebelum mengakrabiku, mereka pasti
menerka-nerka dan menimbang-nimbangnya, memastikan diri hal-hal asing tersebut
tak memberikan ancaman ataupun bahaya.
Maka
agar lebih cepat dikenal, aku coba perkenalkan diri dengan niat yang baik.
Bahkan kalau perlu aku akan teriak, “Aku ini pejantan. Bukan betina. Bukan
wanita. Aku takkan membahayakan kalian. Aku ingin mengenal dan bercengkerama
akrab dengan kalian!”
Ditengah keputuasaanku, tak disangka-sangka seseorang berambut panjang
berani menjabat tanganku. Dilengkapi pula dengan senyum lembut. Sama sekali tak
terlihat ketakutan seperti yang lain. Telapak tangannya terasa hangat diantara
jemari tanganku. Semyum dan pandangannya terasa menghipnotis pikir dan rasaku.
Ia sangat baik. Akupun diperbolehkannya tinggal dipondok kayu miliknya, disalah
satu kamar berbau apek dan berdebu tebal. Sialnya, ia berambut panjang seperti
karakter utama dalam kisah-kisah horor Bapakku.
Selama aku tinggal disini, aku diajarinya berbagai tata cara kehidupan
masyarakat setempat. Dimulai dari cara menghilangkan daki hingga baca tulis.
Melalui segala pembelajaran ini, akhirnya aku dapat mengisahkan riwayat hidupku
kembali pada kalian dengan corat-coret tangan begini, meski dengan kemampuan
yang masih terbatas. Bahkan kini setiapkali orang-orang melihat paras dan
penampilanku, mereka terkagum-kagum penuh ketakjuban.
Tak
ayal, segala kebaikannya itu justru semakin melahirkan curiga dibenakku.
Gerak-gerik tubuhnya terlihat gemulai. Bahasa suaranya terdengar lembut. Selama
dalam pengajarannya, tak sekalipun ia marah ataupun menggeram, sebaliknya manja
dan penyannyang. Dari semua pengetahuan yang kudapatkan dari rimba belantara
meyakinkanku mungkin saja segala kebaikan yang diarahkannya padaku merupakan
irama buai-buai yang melengahkan diriku ini. Sudah menjadi kelaziman para iblis
menggoda umat manusia dengan menggunakan bayang-bayang ketulusan.
Disisi lain, aku juga berpikir tak mungkin ia bermaksud jahat padaku
sementara apa yang diupayakannya terhadapku justru dapat membuka pikiranku
lebih luas lagi. Dalam falsafah pikiran sebagai pembeda antara dua hal yang
berlawanan, akupun semakin tahu apa yang kumaui dan apa yang mesti kukerjakan.
Maka,
akupun bertambah penasaran.
Setiapkali kutatap matanya kucoba artikan makna kedipannya. Setiapkali
kugenggam tangannya, kucoba rasakan irama denyut nadinya. Setiapkali
kebelai-belai rambutnya, kucari-cari apa yang terselip diantara helaiannya.
Setiapkali kulihat belahan dadanya, kucoba dengar-dengar debaran jantungnya.
Setiapkali kulihat punggungnya, kuperhatikan susunan tulang rusuknya. Dan,
setiapkali ia memasuki sebuah ruangan, kucpba sempatkan diri mengintipnya, berusaha melihat apa yang
tengah dilakukannya dan mendengarkan apa yang tengah direncanakannya. Pada
akhirnya, hubunganku dengannya, semakin erat dan dekat. Melihat keintimanku
ini, orang-orang segera mendesakku.
“Cepat-cepaat kau nikahi dia!”.
Aku bingung, tercengang-cengang. “Nikah? Apa itu?”.
Orang-orang malah tertawa. Seperti halnya Bapakku
yang menganggap kepolosanku adalah sumber canda tawa. Kata mereka, “Nanti saja
kau rasakan. Dengan sendirinya kau pasti segera tahu”
Setelah menjalani apa itu yang disebut pernikahan, kira-kira aku
memaknai adat semacam itu begini; sepanjang hari, aku mesti menghafal sebuah
kalimat panjang yang mesti diucapkan dalam satu nafas. Karena keterbatasan
pengalaman, aku sendiri sampai saat ini belum tahu maksud dibalik kalimat
panjang tersebut. Namun dari mimik muka para tamu yang hadir, aku sekilas dapat
membacanya; ada semacam tuntutan dan tanggung jawab besar yang diarahkan padaku
supaya dapat berani bersikap dalam menjalani prinsip dan komitmen. Sebagai
bukti kesungguhanku, aku wajib memberikan sesuatu yang disebut mahar atau mas
kawin. Pendeknya, mungkin ini semacam perjanjian yang mesti aku jalani sesuai
kepatutan hukum, ketulusan serta kesetiaan nurani.
Malamnya, aku justru bingung menentukan sikap, menterjemahkan
rasa-rasaku. Sebelum-sebelumnya aku begitu sulit membuktikan seluruh curigaku.
Tapi kini ia begitu leluasa melepaskan seluruh kain yang melekat ditubuhnya.
Dihadapanku. Lantas dengan kepolosan raganya, penuh percaya diri, ia menuduhkan
apa yang selama ini kucari-cari----sebuah lubang yang terapit diantara
selangkangannya. Dia betina! Kakiku gemetar, tertahan ditempat. Aku tak kuasa
menolak. Wewenangku untuk menuding ia sebagai makhluk biadab tiba-tiba
kehilangan makna. Sentuhan dan bujuk rayunya sanggup menembus sisi terpeka
dalam tubuhku, membius batas logika sampai tak mampu berpikir-pikir. Semasa
dibelantara, permainan ini adalah kesenangan tunggalku, tapi dimalam ini,
betina ini mampu mengubah kesenangan tunggalku menjadi kebahagiaan dan
kenikmatan yang tak tertandingi.
Apakah aku telah terjerumus masuk kedalam buai-buai kenikmatan para
iblis?
Melalui tulisanku inipula, dengan sedikit malu-malu, aku coba bersikap
jujur pada kalian. Barangkali kedengarannya terkesan vulgar, tapi aku mohon
janganlah kalian anggap kevulgaran ini sebagai suatu kejorokan apalagi
kekotoran, karena aku tak tahu dengan bahasa apa lagi aku dapat melepaskan
beban penatku. Seperti yang dipahami masyarakat disini, maka akupun sepertinya patut
menyampaikannya pada kalian, “Pergunakanlah rasamu melebihi pikirmu sendiri.
Pikir adalah tempat awal mula pemberontakan. Cobalah redam dengan rasamu
sendiri. Maka, takkan terjadi anarkisme!”.
Dari
bisik-bisik dan omongan-omongan orang diluarsana, mereka menyebut ini malam
pertama. Aku sendiri tak tahu sebab mengapa disebut malam pertama. Padahal
malam-malam yang telah kulalui selama hidupku sudah melampaui jumlah jari
kaki-tanganku. Barangkali meskipun aku telah pandai mematut diri dan baca tulis,
mereka masih menganggapku manusia dungu.
Namun peristiwa malam ini akan kucatat dalam sejarah pribadiku, dan
kujadikan kenangan paling takrif sebagai pembelajaran yang telah mampu
membantah segala pemahaman rimbaku.
Boleh dikatakan malam pertama merupakan waktu pembuktian diri sebagai
pejantan perkasa. Diwaktu ini pula proses kehidupan baru dimulai. Tidak hanya
untuk sepasang manusia disini, tapi juga penyatuan ini merupakan awal pembentukan manusia baru. Maka akupun
mengerti maksud asal muasalku keluar dari rahim Ibu. Singkatnya, beginilah cara
manusia berkembang biak----memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
Saat
waktunya tiba, wanita yang kusebut istri, menjerit menahan geram. Nafasnya
terdengar terengah-engah lelah. Lalu, tiba-tiba saja suara jeritan itu
digantikan suara jeritan yang terdengar lebih lembut.
Dari
dalam seorang dukun beranak berteriak juga, tak kalah girangnya, “Laki-laki!”
Aku tak ikut teriak. Didalam kepalaku justru muncul
pertanyaan baru; apabila wanita atau betina yang disebut Bapakku bukan dari
golongan manusia, maka termasuk jenis makhluk apapula laki-laki----yang
notabene juga keluar dari dalam tubuh wanita?
Seminggu
kemudian aku minta izin pamit, pergi menuju ke tempat aku dibesarkan dulu.
Bukan untuk melepas rindu dan menengok keadaan Bapakku, tapi mempertanyakan
seluruh kebimbanganku. Sekitar beberapa meter dari pondokku mulai tercium bau
bangkai. Segera saja aku tersentak. Dimuka pintu tubuh Bapak dikerubungi lalat.
Tepat didada sebelah kirinya tertancap senjata tajam-----sebilah belati yang ia
asah sambil bersenandung lirih dimalam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar