Halaman

Rabu, 04 Januari 2012

NALAR GENDER



          Siapapun pasti akan terheran-heran saat pertama kali bertemu dan mengenalku. Seluruh pertanyaan bakal menimpuki isi kepala mereka, menjelajah alam pikiran mereka sampai sepasang matanya terbuka nanap, berharap pertanyaan itu terjawab secara logis; berasal dari alam manakah aku didatangkan? Perjanjian macam apakah hingga ada orangtua yang melahirkan anak seperti aku? Saat dilahirkan apakah menangis atau tertawa? Dididik seperti apa dan pendidikan semacam apa aku dibesarkan? Benarkah tubuhku ini juga tersusun atas dasar adonan tanah dan air?
       Sederhananya mungkin mereka bertanya seperti ini; mengapa di dunia ini tercipta manusia seperti aku? Itupun jika melihatku pertamakali mereka menganggapku manusia dan membenarkannya sebagai manusia. Apabila tidak, mungkin pertanyaannya akan lain lagi; sejenis makhluk apakah aku ini?
       Melalui tulisanku yang corat-coret begini----entahlah orang menyebutkannya cakar ayam ataupun benang kusut----izinkanlah aku kembali menceritakan kisah hidupku yang sesungguhnya. Ini tidak semata untuk berbagi, karena memang aku telah lelah mengulang-ulang dan mengingat-ingatnya. Aku berharap melalui usaha payah jemari tanganku ini, orang-orang tidak menganggapku aneh lagi, dan menjadi pelajaran tersendiri yang mampu membangkitkan rasa kemanusiaan. Semoga saja!
          Diusiaku yang telah mampu menyerap ingatan dan menyimpannya dalam memori otak, satu-satunya tempat yang begitu kencang menancap dibalik tempurung kepalaku adalah tempat yang senyap nan terkucilkan.
         Disana pohon-pohon tumbuh tinggi. Sedikit sekali cahaya dari atas langit yang mampu menembusi rimbunnya dedaunan. Hewan-hewan----baik didarat, air, ataupun angkasa, besar ataupun kecil---bebas berkeliaran. Namun masing-masing tak terlepas dari ancaman. Satu sama lain saling mempertahankan diri dan saling memangsa. Justru karena itulah tempat ini mendapatkan gerak-geriknya, memperdengarkan suara nafasnya, dan memperlihatkan langkah-langkahnya pada dunia. Satu-satunya makhluk yang berjalan tegak seperti diriku yang aku kenal disini cuma bapaku. Tak ada yang lain.
          Setiapkali aku merindukan keluasan dan keleluasaan, aku coba panjat salah satu pohon tertinggi. Diatas pohon ini aku benar-benar mendapatkan kehangatan sinar matahari, melahirkan ketakjuban yang senantiasa menyentil sanubari. Betapa indah birunya langit dan segala macam benda yang kelap-kelip dikala malam turun. Seandainya sepasang tangan ini dapat menjadi sayap, aku pasti akan segera terbang, membongkar segala misteri terhadap hasrat, kehendak,dan mauku, serta melepaskan segala jenuh dan gundahku kedalam tualang mencari tempat-tempat baru------dimana tak ada lagi pepohonan besar yang memerangkap ataupun desisan ular dan raungan harimau yang membatasi langkah.
       Sayangnya, hanya ini realitas yang aku terima dan hanya ini bahan rujukan yang dapat aku andalkan pada setiap pengalaman yang akan aku hadapi.
       Kelak, dikemudian hari, orang-orang yang kukenal menyebutkan asal muasalku adalah rimba belantara.
        Mulanya aku tak paham tentang kelahiran dan kehadiranku hingga terdampar ditempat yang namanya rimba belantara. Aku pikir, seperti halnya unggas aku berasal dari telur yang dierami. Lantas saja bapakku menjelaskannya, “Lihatlah monyet itu”, telunjuknya menjurus keatas. Aku lihat sepasang monyet yang tengah kasmaran. Mereka lompat-lompat dan kejar-kejaran dari atas satu dahan ke dahan lainnya. “Seperti halnya monyet itu, kamu ada karena hadirnya cinta diantara betina dan jantan. Perempuan dan laki-laki. Perempuan adalah betina. Laki-laki adalah jantan. Tapi menuruti ukuran zaman, masalah betina dan jantan dapat saja keadaannya dibalik. Sementara menyangkut persoalan reproduksi, tetaplah betina dan jantan itu sesuai kodratnya”.
     “Monyet tidak bertelur”, jawabku polos.
Bapak malah tertawa. Aku sendiri tidak tahu letak humor dari kata-kata itu. “Dan memang kamu bukan berasal dari telur, Anakku. Kamu keluar dari dalam rahim”.
     “Apa itu rahim? Bapak punya rahim?”.
Lagi-Lagi Bapak tertawa. Lebih kencang malah. Ia menatapku prihatin dan mengusap kepalaku lembut. Barangkali kepolosankulah yang membuatnya lucu. “Bapakmu adalah jantan. Laki-laki. Cuma perempuan atau betina yang bisa hamil dan melahirkan”.
      “Kenapa? Memang apa bedanya?”
      “Bedanya terletak dibawah pusar. Bapak dan kamu sama bentuknya. Sementara betina atau perempuan memiliki semacam lubang yang terapit diantara selangkangannya-----tempat memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
      “Lalu, dimana dan siapa betina yang telah melahirkan aku?”.
      “Ibumu?”.
       Bapak terlihat kaget aku menanyakan itu. Tapi aku tak mau terlalu mempersoalkannya. Aku lebih senang melihat sepasang monyet itu diatas pohon. Begitu dekat dan akrab. Aku ingin seperti itu, tapi entah dengan apa. keinginan itupun terbawa dalam tidurku, mengendap sedemikian dalam dialam bawah sadarku. Saat terjaga aku tersentak. Ada yang basah-basah dibalik celanaku. Aku merasa malu sendiri. Namun pelan-pelan itu justru menjadi kesenangan baru. Sedikit demi sedikit terlihat perubahan dalam diriku. Kentara sekali dari suaraku yang terdengar berat.
       Bapakku bilang, “Kamu sudah menginjak usia puberitas, Anakku”.
     “Puberitas? Apa itu?’.
     “Peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja, hingga akhirnya kau tumbuh dewasa. Seperti Bapak. Anakku, kau harus sudah bisa berpikir menggunakan akal sehat----mampu membedakan mana baik dan buruk, benar dan salah, bagus dan jelek, halal dan haram, haq dan bathil..... Setiap hadir persoalan, kau mesti timbang-timbang dulu penyelesaiannya sematang mungkin. Tak bisa gegabah. Kesewenangan memang dapat memberikan kepuasan, namun ujung-ujungnya selalu menjadi senjata yang melahap tuannya sendiri. Berhati-hatilah menggunakan akal pikiran dan rasa sanubari”.
         Semakin hari-hari berjalan, akupun tumbuh besar. Watak puberitas yang terkandung dalam usiaku telah menjadi tahap alamiah yang tak bisa kutolak, menjajah bentuk jasmaniku dengan segala perubahan fisik dan pikiranku sebagaimana mestinya.
       Bapak bilang, “Kau kini telah menjadi seorang pemuda. Kau harus memiliki ketangkasan seorang pendekar”.
        Bapak mulai mengajariku segala cara dan adat bertahan hidup. Segala rumusan ilmu yang dikuasainya, ia wariskan padaku. Setiap pojok belantara telah aku jamah dan setiap jejak asing telah aku rekam dibalik batok kepalaku. Juga, setiap keterasingan telah aku hafal sebaik mungkin menjadi keakraban. Diawal hari aku keluar pondok dan kembali mejelang petang dengan membawa perbekalan untuk kebutuhan jasmani selama beberapa hari kedepan. Pernah juga satu-dua kali aku tejebak ditengah belantara, menginap ditengah gelap dan sunyinya alam terbuka. Namun semua itu tak memberikanku kepuasan pada aroma kehidupan yang sesungguhnya.
       Setiap teringat rinduku pada keluasan dan keleluasaan, kutengadahkan kepalaku keatas langit, sambil mengkhayalkan diri menemukan kebebasan pada tanah-tanah lapang dengan hembusan udara yang tenang dan rumput-rumput yang hijau. Juga, setiap melihat sepasang atau segerombolan fauna saling bercengkerama, terciptalah rasa cemburuku. Entah apa dan kenapa. Pastinya, aku merasa sulit menahan luapan perasaan semacam itu. Betapa kehampaan dan kesunyian membuatku tersiksa, menjadikanku satu-satunya makhluk dimuka bumi ini yang binasa karena tak pernah sempat berkawan dan berkasih. Kupejamkan sepasang bola mata ini, namun tak memberikanku persoalan lain lagi. Batinku terus mendesak dan mendorong-dorongku.
       Pergilah! Pergilah sejauh langkahmu menghendaki!
       Dari langit yang menjadi tempat rahasiaku menyimpan resah gelisahku, bimbang rambangku, dendam geramku, dan cinta benciku, kucoba utarakan juga persoalan ini pada Bapakku.
      “Bapak, telah kulihat monyet-monyet bercinta dan bermain berahi. Telah kulihat juga semut-semut yang jumlahnya melebihi jemari tanganku. Bapak, apakah di dunia ini hanya ada dua manusia saja? Hanya kita?”.
Bapak mengawali jawabannya dengan senyum. “Tentu saja tidak. Justru manusialah yang merajai seluruh permukaan bumi ini”.
       “Kalau begitu aku ingin sekali menemui dan mengenal mereka”.
     “Apa hendak kau lakukan, Anak Muda?”.
     “Bapak pernah bilang aku harus bisa berpikir menggunakan akal sehat. Aku harus mampu menyelesaikan dan menempatkan segala sesuatunya  pada tempat yang tepat. Aku ingin menguji diriku sendiri diluar sana. Aku ingin seperti yang pernah Bapak bilang”.
      “Seharusnya kau tetap disini. Apa kau tak lihat tubuh Bapakmu ini telah menua?”.
     “Aku mohon Bapak. Bagaimana bisa aku membedakan sesuatu hal sementara kehidupanku disini tak memberikanku banyak pilihan?”.
     “Lebih baik begitu, bukan? Hidup tanpa pilihan dapat membuat kita lebih aman melangkah. Kita tak perlu dikacaukan dengan segala doktrin dan pemikiran lain”.
      “Apakah Bapak mengharapkanku menjadi manusia kerdil?”
     “Kau sudah berani menantang Bapakmu ternyata. Ketahuilah Anakku, tak selalu yang baikpun menghasilkan kebaikan. Boleh jadi justru yang buruklah yang memberikan kita kebahagiaan selamanya. Anakku, kebenaran sekalipun takkan bisa disebut benar apabila tak ada kesalahan diperbuat sebelumnya. Dosa dan pahala adalah dua hal yang saling berlawanan, tapi dari sudut pandang lain dapat menjadi hal yang saling melengkapi, karena takkan pernah ada dosa tanpa pahala. Begitupula sebaliknya”.
     “Bapak...”
     “Anakku”, selanya cepat. “Sudah Bapak ingatkan berkali-kali pikirmu adalah senjata tajam. Maka berhati-hatilah gunakan otakmu, karena bisa jadi justru rasamulah yang menjadi korban dari ulah pikirmu sendiri”.
       Bapak balikkan badan meninggalkan aku dibelakangnya. Melihat laku Bapakku yang tak menaruh minat pada segala mauku, sesungguhnya, sebegitu pentingkah cita-citaku ini sampai-sampai aku bersikeras. Barangkali saja ini semacam tipuan khas duniawi. Aku sendiri tak mau terbuai-buai karena pengelabuan alam pikiran. Ditengah kerambanganku ini, aku menerka-nerka, bagaimanakah waktu-waktuku mendatang nanti? Haruskah aku menghabisi setiap detiknya dengan kehampaan dan kesunyian----yang lazimnya layak disebut racun kehidupan?
        Bapak mengambil sebilah pisau belati dan batu asahnya. Sambil mengasah dibelakang, terdengar ia bersenandung lirih. Begitu berat dan parau seperti seseorang yang tak punya tumpuan lagi untuk bertahan. Tak tahu kenangan macam apa yang berkelebat dalam pikirannya. Pastinya aku tahu ia tengah menangis. Tetap saja aku masih heran. Tak pernah sebelum-sebelumnya Bapak bersikap loyo begini.
       Saat aku hendak tidur, Bapak mengetuk pintu kamarku
     “Bapak telah memikirkannya matang-matang”, katanya memulai. “Tak baik kiranya mengekang seorang pemuda dalam lingkungan begini. Serba terbatas. Bapak tahu pemuda dimana-mana memiliki semangat pemberontakan yang besar. Selalu ingin keluar dari keterbiasaan dan mengubah pandangan yang selama ini terlalu umum dipahami banyak orang. Semuanya tentang tantangan. Ya, seorang pemuda harus banyak berkarya dengan pemikirannya. Berangkatlah besok pagi! Carilah pengalaman baru diluar sana”.
          Selama menunggu kejadian ini datang, aku tahu pasti, aku akan berteriak segirang-girangnya. Nyatanya aku hanya mampu membisu. Kata-kata yang kutabung untuk melampiaskan gembira menghadapi saat-saat begini seakan hilang tertelan ludah. Tak tahu kenapa tiba-tiba saja kejadian Bapak untuk melepaskan anak satu-satunya pergi terlalu cepat dikabulkan. Sementara aku seperti orang yang belum siap meskipun telah sekian lama mengharapkannya.
      “Walaupun demikian”, sambung Bapaknya lagi, “sebagai bekal perjalanan panjangmu, Bapak punya satu syarat yang mesti kau tunaikan. Apa kau masih ingat kisah-kisah horor yang pernah Bapak kisahkan padamu----kuntilanak, sundel bolong, kelong wewe..... Ketahuilah hantu-hantu itu berwujud betina. Waspadalah pada makhluk yang bernama wanita itu. Mereka seperti iblis, bahkan mungkin mereka adalah bagian dari iblis itu sendiri. Dengan kelembutan dan kegemulaiannya, mereka punya banyak topeng dan tipuan yang dapat meremukkan hati para pejantan. Seperti Ibumu. Ia adalah betina yang telah banyak menyengsarakan hidup kita”.
          Ibu, setiapkali mengucapkan kata itu, Bapak bak berusaha menahan suaranya didalam kerongkongan, seolah mengucapkan nama tersebut adalah kesalahan besar yang tak termaafkan. Ketika itu juga aku dapat lihat, dikedua matanya tersimpan banyak teka-teki soal masa lalunya. Bapak tak pernah menceritakan apa-apa. Sejauh ini aku hanya tahu, Ibu adalah sosok wanita. Betina. Semakin memikirkannya aku semakin penasaran. Namun memaksa Bapak membuka mulut untuk menceritakan tentang Ibu adalah perbuatan sia-sia.
          Akhirnya, rasa keingintahuanku pun semakin mengukuhkan kehendak hati untuk merantau. Diluar sana, mungkin aku takkan pernah menemukan sosok Ibuku. Tapi setidaknya, melalui wanita atau betina yang kutemui nanti, aku akan mendapatkan gambaran seperti apa Ibu itu. Benarkah sosok Ibu itu seperti wanita pada umumnya-----berwajah pucat, berambut panjang, dan bergaun putih? Saat ini ditanganku sudah ada satu petunjuk; lihat dibawah pusarnya. Betina atau wanita memiliki semacam lubang yang terapit diantara selangkangannya----tempat memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
          Pagi-pagi sekali aku telah mempersiapkan segalanya. Bapak melepasku dengan deraian airmata. Aku terus melangkah dan berusaha tak menoleh ke belakang lagi. Aku tak mau luluh pada pahitnya perpisahan yang dapat membuatku berat melangkah. Padahal jauh dibelakang sana tetes-tetes darah telah mengalir diam-diam menjadi benih-benih ditanah bumi.
         Setelah berjalan berkilo-kilo, akhirnya aku dapat keluar dari rimba belantara ini. Tak ada lagi pepohonan tinggi yang memerangkap. Cahaya matahari begitu leluasa menyentuh kulit. Aku menghela nafas dalam-dalam. Aroma udara disini begitu melegakan dada. Wahai, manusia-manusia akan segera kuperkenalkan diri ini pada kalian!!
         Tak sepertimyang telah kuidamkan, sambutan mereka padaku sangat dingin. Bahkan cenderung mengerikan. Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, mereka melihatku dengan mulut menganga terbuka, tercengang-cengang, kaki gemetar dan bulu kuduk meremang. Bahkan diantara mereka ada yang langsung lari terbirit-birit ketakutan dan segera menutup pintu dan jendela rumah mereka rapat-rapat. Ada juga yang langsung tak sadarkan diri ditempat. Tak tahu bagaimana lensa mata mereka menangkap keberadaan bayangan tubuhku dan tak tahu apa yang dilukiskan pikiran mereka dengan keadaan diriku. Barangkali aku terlihat bak makhluk bermuka rata.
        Meski begitu aku maklum. Ketakutan-ketakutan yang mereka rasakan kuanggap sebagai bentuk kewajaran, semacam keadaan naluri alamiah manusia dalam membaca kondisi sekelilingnya demi mempertahankan eksistensi diri. Pastinya setiap makhluk yang menemui hal-hal asing akan segera memasang kewaspadaan dengan menggunakan kepekaan indera sebaik mungkin. Sebelum mengakrabiku, mereka pasti menerka-nerka dan menimbang-nimbangnya, memastikan diri hal-hal asing tersebut tak memberikan ancaman ataupun bahaya.
          Maka agar lebih cepat dikenal, aku coba perkenalkan diri dengan niat yang baik. Bahkan kalau perlu aku akan teriak, “Aku ini pejantan. Bukan betina. Bukan wanita. Aku takkan membahayakan kalian. Aku ingin mengenal dan bercengkerama akrab dengan kalian!”
          Ditengah keputuasaanku, tak disangka-sangka seseorang berambut panjang berani menjabat tanganku. Dilengkapi pula dengan senyum lembut. Sama sekali tak terlihat ketakutan seperti yang lain. Telapak tangannya terasa hangat diantara jemari tanganku. Semyum dan pandangannya terasa menghipnotis pikir dan rasaku. Ia sangat baik. Akupun diperbolehkannya tinggal dipondok kayu miliknya, disalah satu kamar berbau apek dan berdebu tebal. Sialnya, ia berambut panjang seperti karakter utama dalam kisah-kisah horor Bapakku.
         Selama aku tinggal disini, aku diajarinya berbagai tata cara kehidupan masyarakat setempat. Dimulai dari cara menghilangkan daki hingga baca tulis. Melalui segala pembelajaran ini, akhirnya aku dapat mengisahkan riwayat hidupku kembali pada kalian dengan corat-coret tangan begini, meski dengan kemampuan yang masih terbatas. Bahkan kini setiapkali orang-orang melihat paras dan penampilanku, mereka terkagum-kagum penuh ketakjuban.
          Tak ayal, segala kebaikannya itu justru semakin melahirkan curiga dibenakku. Gerak-gerik tubuhnya terlihat gemulai. Bahasa suaranya terdengar lembut. Selama dalam pengajarannya, tak sekalipun ia marah ataupun menggeram, sebaliknya manja dan penyannyang. Dari semua pengetahuan yang kudapatkan dari rimba belantara meyakinkanku mungkin saja segala kebaikan yang diarahkannya padaku merupakan irama buai-buai yang melengahkan diriku ini. Sudah menjadi kelaziman para iblis menggoda umat manusia dengan menggunakan bayang-bayang ketulusan.
         Disisi lain, aku juga berpikir tak mungkin ia bermaksud jahat padaku sementara apa yang diupayakannya terhadapku justru dapat membuka pikiranku lebih luas lagi. Dalam falsafah pikiran sebagai pembeda antara dua hal yang berlawanan, akupun semakin tahu apa yang kumaui dan apa yang mesti kukerjakan.
        Maka, akupun bertambah penasaran.
       Setiapkali kutatap matanya kucoba artikan makna kedipannya. Setiapkali kugenggam tangannya, kucoba rasakan irama denyut nadinya. Setiapkali kebelai-belai rambutnya, kucari-cari apa yang terselip diantara helaiannya. Setiapkali kulihat belahan dadanya, kucoba dengar-dengar debaran jantungnya. Setiapkali kulihat punggungnya, kuperhatikan susunan tulang rusuknya. Dan, setiapkali ia memasuki sebuah ruangan, kucpba sempatkan diri  mengintipnya, berusaha melihat apa yang tengah dilakukannya dan mendengarkan apa yang tengah direncanakannya. Pada akhirnya, hubunganku dengannya, semakin erat dan dekat. Melihat keintimanku ini, orang-orang segera mendesakku.
     “Cepat-cepaat kau nikahi dia!”.
Aku bingung, tercengang-cengang. “Nikah? Apa itu?”.
Orang-orang malah tertawa. Seperti halnya Bapakku yang menganggap kepolosanku adalah sumber canda tawa. Kata mereka, “Nanti saja kau rasakan. Dengan sendirinya kau pasti segera tahu”
          Setelah menjalani apa itu yang disebut pernikahan, kira-kira aku memaknai adat semacam itu begini; sepanjang hari, aku mesti menghafal sebuah kalimat panjang yang mesti diucapkan dalam satu nafas. Karena keterbatasan pengalaman, aku sendiri sampai saat ini belum tahu maksud dibalik kalimat panjang tersebut. Namun dari mimik muka para tamu yang hadir, aku sekilas dapat membacanya; ada semacam tuntutan dan tanggung jawab besar yang diarahkan padaku supaya dapat berani bersikap dalam menjalani prinsip dan komitmen. Sebagai bukti kesungguhanku, aku wajib memberikan sesuatu yang disebut mahar atau mas kawin. Pendeknya, mungkin ini semacam perjanjian yang mesti aku jalani sesuai kepatutan hukum, ketulusan serta kesetiaan nurani.
        Malamnya, aku justru bingung menentukan sikap, menterjemahkan rasa-rasaku. Sebelum-sebelumnya aku begitu sulit membuktikan seluruh curigaku. Tapi kini ia begitu leluasa melepaskan seluruh kain yang melekat ditubuhnya. Dihadapanku. Lantas dengan kepolosan raganya, penuh percaya diri, ia menuduhkan apa yang selama ini kucari-cari----sebuah lubang yang terapit diantara selangkangannya. Dia betina! Kakiku gemetar, tertahan ditempat. Aku tak kuasa menolak. Wewenangku untuk menuding ia sebagai makhluk biadab tiba-tiba kehilangan makna. Sentuhan dan bujuk rayunya sanggup menembus sisi terpeka dalam tubuhku, membius batas logika sampai tak mampu berpikir-pikir. Semasa dibelantara, permainan ini adalah kesenangan tunggalku, tapi dimalam ini, betina ini mampu mengubah kesenangan tunggalku menjadi kebahagiaan dan kenikmatan yang tak tertandingi.
          Apakah aku telah terjerumus masuk kedalam buai-buai kenikmatan para iblis?
         Melalui tulisanku inipula, dengan sedikit malu-malu, aku coba bersikap jujur pada kalian. Barangkali kedengarannya terkesan vulgar, tapi aku mohon janganlah kalian anggap kevulgaran ini sebagai suatu kejorokan apalagi kekotoran, karena aku tak tahu dengan bahasa apa lagi aku dapat melepaskan beban penatku. Seperti yang dipahami masyarakat disini, maka akupun sepertinya patut menyampaikannya pada kalian, “Pergunakanlah rasamu melebihi pikirmu sendiri. Pikir adalah tempat awal mula pemberontakan. Cobalah redam dengan rasamu sendiri. Maka, takkan terjadi anarkisme!”.
        Dari bisik-bisik dan omongan-omongan orang diluarsana, mereka menyebut ini malam pertama. Aku sendiri tak tahu sebab mengapa disebut malam pertama. Padahal malam-malam yang telah kulalui selama hidupku sudah melampaui jumlah jari kaki-tanganku. Barangkali meskipun aku telah pandai mematut diri dan baca tulis, mereka masih menganggapku manusia dungu.
          Namun peristiwa malam ini akan kucatat dalam sejarah pribadiku, dan kujadikan kenangan paling takrif sebagai pembelajaran yang telah mampu membantah segala pemahaman rimbaku.
          Boleh dikatakan malam pertama merupakan waktu pembuktian diri sebagai pejantan perkasa. Diwaktu ini pula proses kehidupan baru dimulai. Tidak hanya untuk sepasang manusia disini, tapi juga penyatuan ini merupakan  awal pembentukan manusia baru. Maka akupun mengerti maksud asal muasalku keluar dari rahim Ibu. Singkatnya, beginilah cara manusia berkembang biak----memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
        Saat waktunya tiba, wanita yang kusebut istri, menjerit menahan geram. Nafasnya terdengar terengah-engah lelah. Lalu, tiba-tiba saja suara jeritan itu digantikan suara jeritan yang terdengar lebih lembut.
          Dari dalam seorang dukun beranak berteriak juga, tak kalah girangnya, “Laki-laki!”
Aku tak ikut teriak. Didalam kepalaku justru muncul pertanyaan baru; apabila wanita atau betina yang disebut Bapakku bukan dari golongan manusia, maka termasuk jenis makhluk apapula laki-laki----yang notabene juga keluar dari dalam tubuh wanita?
         Seminggu kemudian aku minta izin pamit, pergi menuju ke tempat aku dibesarkan dulu. Bukan untuk melepas rindu dan menengok keadaan Bapakku, tapi mempertanyakan seluruh kebimbanganku. Sekitar beberapa meter dari pondokku mulai tercium bau bangkai. Segera saja aku tersentak. Dimuka pintu tubuh Bapak dikerubungi lalat. Tepat didada sebelah kirinya tertancap senjata tajam-----sebilah belati yang ia asah sambil bersenandung lirih dimalam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar