Halaman

Sabtu, 28 Januari 2012

TEMPAT KETIGA


    Aku adalah manusia nokturnal. Aku menyebut diriku begitu bukan tanpa alasan. Tapi percayalah, aku bukan orang liar yang tak tak tahu norma. Aku percaya kehidupan yang mesti aku jalani ini bukanlah tentang keinginan dan harapanku semata. Lebih dari itu; jalanku telah dipersiapkan bahkan sebelum hayatku lahir ke dunia.
    Segalanya tentang tuntutan untuk memperoleh sambungan nyawa. Maka kuikhlaskan kebebasanku terbang menghilang terbawa angin bersama debu-debu keringat. Akupun mesti meluruhkan cita-citaku demi kepentingan organ pencernaan bekerja dari lubang mulut hingga lubang anus. Bagitulah lakon hidup yang mesti kuterima dan kuamini.
    Barangkali sudah menjadi fitrahnya setiap orang wajib memilih keakraban-keakraban tersendiri yang akan selalu menemani langkah-langkahnya. Sebuah keakraban yang kadang seringkali dapat mengubah kebiasaan menjadi kebiasaan lain yang sama sekali baru. Karena keakraban semacam itu, bagaimanapun lumrahnya, tak bisa ditolak tangan dengan alasan apapun. Mereka hadir bagai suratan tanpa cela yang tak bisa digugat. Bahkan, untuk sesuatu hal yang tak lazim sekalipun mesti dengan ikhlas sukarela menjadikannya kebiasaan sebagai jalan mencari kehakikian hidup.
    Kini, tinggal caraku saja bagaimana menyikapinya; selapang apakah dadaku menerimanya dan seikhlas apakah aku mengucapkan rasa syukur.
    Pekerjaaan yang aku geluti ini mengharuskanku menjalani kehidupan yang tak sewajarnya manusia jalani; terjaga sepanjang malam dan terlelap sepanjang hari. Hidungku telah terbiasa menghirup dinginnya udara malam dan mengendus aroma alkohol dalam botol-botol minuman. Tentu saja, tempat yang bergemerlap, ramai, dan hangat sepanjang malam dimana kau dapat dengan leluasa menemukan orang-orang mabuk, muntah, bahkan ‘kesurupan’ adalah club-club malam.
    Masalahnya, boleh dikatakan, pekerjaan yang aku tunaikan setiap malam panjang tidaklah dibenarkan oleh agama yang aku anut. Siapapun tahu, minuman yang  mengandung kadar alkohol, serendah apapun kadar alkohol yang dikandungnya dan apapun alasan untuk mengonsumsinya, telah mendapatkan stempel cap haram. Pasalnya, minuman yang berkadar alkohol dapat menyebabkan mabuk. Dan lazimnya orang mabuk adalah kehilangan kendali diri dan jernihnya alam pikiran. Bukankah hilangnya kendali diri dan akal pikiran seringkali membukakan jalan bagi tindakan-tindakan seronok menjamur di muka bumi ini?
    Saking haram dan terlarangnya, setiap orang yang terlibat dalam proses pembuatan minuman keras hingga penyajiannya ke meja-meja konsumen----termasuk peminumnya----dapat menuai dosanya masing-masing. Sementara barang yang laku keras disini dan banyak dicari-cari oleh sebagian besar pengunjung adalah minuman keras. Dengan kata lain, keberadaanku disini, diclub malam ini, telah menjadi salah satu bagian dari proses itu--- menyajikan minuman-minuman haram itu ke meja-meja para pelanggan. Sederhananya, tanpa aku sadari, mungkin saja aku telah ikut andil pada setiap perkelahian hingga perzinahan yang pernah aku lihat dan aku saksikan disini.
    Bertahun-tahun aku hidup mencari lelah, melampiaskan geram, mengerahkan sabar hingga darah berdesir-desir kejut didada dan keringat menguap ke udara. Namun ternyata bukan jihad mempertahankan hidup yang kutempuh, melainkan kaprah menabung dosa. Aku bagai terperangkap dalam takdir hidup. Mungkinkah ini karena aku terlalu akrab bercengkerama dengan dunia malam hingga mata ini tak cukup terang melihat cahaya, hingga aku tak menyadari permainan perbudakan duniawi telah menyusupi relung nurani? Apabila aku telah ikhlas menerima semua ini, apakah Tuhan pun telah menerima syukurku ini selapang aku mengucapkannya?
    Melihat keadaanku begini, aku semakin yakin, terciptanya kehidupan umat manusia di dunia ini menuruti tata atur ilmu judi. Apapun yang diperoleh dan didapatkan tidaklah sepenuhnya ditentukan oleh usaha dan doa, melainkan perkara untung-untungan belaka. Tak ada seorangpun yang berkesempatan memilih dirahim ibu mana ia ingin dilahirkan dan dikeluarga seperti apa ia ingin dibesarkan. Jalan terakhir yang dapat dicapai hanyalah menurut patuh pada segala ketetapan Tuhan. Meskipun terkadang jalan itu tak membawanya pada keberuntungan dan kepuasan duniawi sama sekali-----bahkan mungkin di akhirat?
    Kalau tidak, dapat dipastikan takkan ada manusia yang terlahir dalam kemiskinan, kekurangan, ataupun kelaparan.
    Apabila aku sendiri diberi kepercayaan untuk memilih, pasti aku juga takkan memilih hidup dalam kesengsaraan seperti yang harus kualami saat ini. Aku akan memilih terlahir ditempat segala kemewahan, tumbuh ditengah-tengah kebanggaan dan kepuasan. Sialnya, takdir bagai mendamparkanku ditempat yang justru dapat menjerumuskanku pada keburukan. Namun, akupun cukup beruntung, meskipun hidup cuma bermodalkan ijazah SMP, aku mendapatkan upah yang lumayan disini. Aku mampu membantu menyekolahkan adik-adikku dan orangtuaku yang akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Walaupun demikian, jikalau ada tawaran pekerjaan lain dan memberikanku upah yang layak, aku akan segera keluar dari club malam. Namun bisakah Tuhan senantiasa memilihkan takdir hidup yang aku harapkan, sementara orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi dari akupun masih banyak mengeluhkan sulitnya mencari kerja?
    Sulit dibayangkan apabila orangtuaku tahu bagaimana aku bekerja di ibukota. Entah serupa apa wajah kekerasan mereka melihat anaknya membawa-bawa minuman beralkohol dari satu meja ke meja lainnya. Mereka pasti memarahiku habis-habisan. Airmata mereka akan mengalir menangisi kelalaian anaknya. Maka, aku tutup-tutupi keadaanku di ibukota agar aku dapat tetap menjadi sumber kebanggaan bagi kedua orangtuaku.
    Bagaimanapun juga, aku memang tak boleh berburuk sangka pada Tuhan. Kendati aku mesti tetap setia pada dasar yang memberikanku penghasilan.
    Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya yang kulewati, aku tengah sibuk membawa nampan kesana kemari, menghampiri meja-meja para pelanggan dengan ramah tamah dan senyum pura-pura. Meskipun sudah lama mengabdikan diri disini, aku belum benar-benar terbiasa dengan gaya pencahayaan dan segala hingar bingar yang terdengar dalam ruangan ini. Seperti berada ditengah-tengah neraka. Sesekali aku mengasingkan diri di belakang atau toilet, menghindari keramaian dan ketegangan yang mengganggu kekuatan mentalku.
    Saat aku mencuci muka, melalui cermin yang terpasang didepan hidungku, aku melihat seorang pria keluar dari salah satu pintu kamar toilet. Ia mengancingi kemejanya dan menarik resleting celana panjangnya keatas. Yang membuatku terbengong-bengong, dari pintu toilet yang sama juga keluar sesosok perempuan. Rambutnya yang berantakan dicoba dirapikannya kembali. Kemudian, mereka bergandengan tangan keluar dari sini.
    Nah, inilah yang aku bilang ‘kesurupan’ itu!
    Disini, sepertinya bukan hal asing lagi melihat dua orang manusia berlainan kelamin memasuki satu pintu toilet yang sama. Tak tahu jenis permainan seperti apa yang mereka mainkan didalam sana, tapi siapapun pasti dapat menebaknya; ‘kesurupan’. Ketika sepasang manusia antara laki-laki dan perempuan berada dalam satu ruangan yang terpojokkan, apalagi luas ukurannya terbatas, maka dapat dipastikan yang ketiganya adalah setan. Yang menjadi teka-tekinya adalah pada tubuh manakah setan itu merasuk; perempuankah atau laki-lakikah? Memang, biasanya kaum perempuan lebih mudah dirasuki, tapi pada kenyataannya dalam hal-hal kesurupan yang berkaitan antara lawan jenis selalu yang dominan biasanya pihak laki-laki. Sementara pihak perempuan hanya tinggal pasrah dan menyerah, karena ia sudah tahu betul yang merasukinya bukan makhluk halus, tapi makhluk kasar yang sudah tahu betul letak celah yang harus dirasukinya.
    Seakan hendak merekontruksi kembali apa yang telah terjadi di toilet tadi, aku masuk kedalam sana. Tengak-tengok memperhatikan setiap sisinya. Aku menemukan selingkar cincin tergeletak diatas lantai. Aku perhatikan baik-baik dan  menggigit-gigit cincin tersebut, menerka-nerka terbuat dari bahan apakah cincin tersebut. Tiba-tiba perempuan itu datang lagi. Saking kagetnya dengan kehadiran perempuan itu kembali, cincin itupun terlepas dari genggamanku dan masuk kedalam lubang closet.
    Seperti orang gila, perempuan itu marah-marah padaku.
“Ya Tuhan, cincinku! Itu cincinku! Kau menjatuhkan cincinku kedalam lubang closet?”
“Aku dapat mengambilnya kembali”.
Akupun mengambilnya. Gugup.
Namun perempuan itu malah semakin marah. “Kamu tahu itu adalah cincin pertunanganku. Cincin itu adalah tanda kesucian kekasihku yang hendak meminangku. Sementara, kau menjatuhkan cincin itu pada lubang closet---- tempat segala kekotoran dibuang kesana dan menjadi penghuni tetap didalamnya. Apa kau pikir cincin itu masih layak terselip dijari tanganku? Ya Tuhan, bagaimana jadinya pernikahanku nanti apabila yang terselip dijariku sesuatu hal yang kotor”.
          Perempuan itu menggeram sejadi-jadinya padaku. Ia seperti hendak melahapku mentah-mentah, menjadikanku bulan-bulanannya yang lemah. Akupun cepat membela diri. “Aku dapat membersihkannya”.
      “Mana mungkin sesuatu hal yang suci dapat bersih seperti sediakala dengan hanya dibasuh air biasa?”
      “Maksud Anda?”.
      “Kamu harus ganti rugi membersihkan cincin ini”
      “Apa?”
          Omongan perempuan itu memang pepesan kosong. Lagipula cairan khusus macam apa yang sering digunakan untuk membersihkan cincin yang jatuh kedalam lubang kloset. Aku yakin perempuan itu tengah mengelabuiku. Ia berusaha mengambil keuntungan dariku. Seandainya saja aku punya mulut seleluasa presiden berpidato, aku akan bilang, mana bisa kesakralan pernikahan itu bakal terwujud, sementara perempuan itu sendiri telah melakukan hubungan kerjasama antar kelamin diluar ketentuan dan tuntunan. Meskipun lelaki yang bersamanya didalam toilet tadi itu adalah tunangannya tetap saja masih tergolong tindakan asusila. Tapi, bagaimana jadinya kalau ternyata lelaki itu justru orang yang baru dikenalnya disini? Bukankah biasa, disebuah club malam, tanpa tedeng aling-aling perkenalan sekalipun, pergaulan yang dapat memancing ‘kesurupan’ dapat terjadi kapanpun dan dimanapun?
          Walaupun demikian, perempuan itulah yang pegang kendali. Ia mengancamku. Ia adalah pelanggan setia club malam ini. Dan aku pasti akan sulit menghindarinya. Apabila aku tak menuruti kemauannya, kira-kira bagaimana aku menghidupi tubuh ini dan membantu segala kebutuhan keluargaku? Tapi menurut kata-kata orang juga aku pernah mendengar biaya perawatan benda-benda yang terbuat dari logam mulia dapat semahal harganya
          Kalau begitu aku takkan bisa membela diri sedikitpun!
          Sejalan dengan itu semua aku semakin diingatkan pada posisi kritis sebagai orang miskin. Sebagaimana hidup dan kehidupan yang selalu terpaku pada landasan pemenuhan materi belaka, maka limpahan materi bagi orang-orang kaya menjadi sumber kepercayaan diri untuk mengembangkan watak keotoriteran, dan menganggap makhluk yang bernasib dibawah garis tangannya sebagai pelarian dari nafsu dan kesalahan mereka. Dengan begitu, aku mengutuki keadaanku sendiri.
***###***
          Melewati waktu semalam tadi sungguh menguji kesabaranku. Penuh ketegangan yang memacu debar didada lebih cepat. Namun akhirnya aku dapat kembali pulang ke rumah kontrakanku. Sudah cukup beruntung aku mendapatkan tempat singgah yang kecil dan berbau apek begini. Cat dinding telah mengusam, namun cukup kokoh menahan arus angin yang bertiup kearahnya. Kugelar matras tidur diatas lantai, dan aku baringkan diri diatasnya. Mataku tak sanggup memejam. Tragedi semalam telah menumbuhkan serabut-serabut akar yang menusuk tajam arus pusat pikiranku. Paras perempuan terkutuk itu terasa menyerang kepekaan sisi sadarku.
          Dari kamar mandi yang terletak disebelahnya terdengar suara batuk-batuk yang semakin hari terdengar semakin memprihatinkan. Namun aku tak terlalu ambil pusing. Barangkali lebih tepatnya tak peduli. Pikiranku sungguh tersita untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Aku bengong dan melamun sendiri.
          Erik, kawan serumah kontrakanku, keluar dari kamar mandi tersebut. Ia goyang-goyangkan bahuku. Lamunanku buyar. Kulihat wajah pucatnya yang dihiasi sepasang mata yang juga bersinar pucat. Tubuhnya begitu kurus setirus daun kering yang dimakan cacing tanah. Kondisi fisiknya persis sama dengan orang yang melakukan puasa empat puluh hari empat puluh malam.
          Erik, kawan seperjuanganku. Dulu ia juga bekerja di club malam bersamaku. Namun mengingat kondisi badannya yang memprihatinkan, ia memilih bekerja sebagai tukang parkir disebuah pusat perbelanjaan. Upah disana lebih rendah. Setidaknya pekerjaan tukang parkir telah menghapus gelar manusia nokturnal dalam dirinya. Namun aku pikir, Erik menyembunyikan satu rahasia padaku terkait pengunduran dirinya bekerja di club malam itu.
     “Sudah siang. Adzan baru saja terdengar. Kamu mau shalat zhuhur gak?”, ia mengingatkanku.
         Aku geleng-geleng kepala. Tersenyum-senyum kecil menutupi rasa malu padanya. Erik bukan seorang muslim sepertiku. Ia katholik. Tapi daya toleransinya sangat tinggi. Bahkan ia terlihat lebih dapat mengukur waktu dan lebih peka mendengar suara-suara kebesaran yang di senandungkan dalam masjid-masjid. Ia sudah sangat sering mengingatkanku sembahyang. Sementara aku sendiri punya sikap malas yang mesti dilawan. Karena ia, akupun jadi rajin beribadah. Justru itulah yang membuat hubungan pertemanan kami tak kenal selisih. Erik seperti bagian dari keluargaku sendiri.
          Kami selalu berbagi dalam segala hal. Termasuk rahasia-rahasia yang memilukan dan memalukan. Selain tubuh cekingnya itu, satu hal lagi yang membuatku merasa malang padanya adalah perbedaan kita; agama. Betapa semua agama menjanjikan surga bagi para penganutnya yang setia. Tapi diluar agama itu, setaat dan serajin apapun seseorang beribadah, nerakalah jawabannya. Aku yakin agamaku adalah yang paling mutlak benarnya. Aku pikir Erik juga pasti demikian terhadap agama yang dianutnya. Tak mungkin aku menyuap-nyuapkan keyakinanku pada Erik.
          Lantas, bagaimana jika suatu saat nanti aku diizinkan masuk surga atas dasar ingatan dari Erik, sementara orang yang mengingatkanku sendiri tak berhak masuk kesana? Apa kira-kira yang mesti kulakukan? Apakah mesti aku memohon, membisu, atau justru ikut terjun kedalam neraka tersebut?
          Dengan sendirinya, aku mulai berani menyimpulkan apabila neraka adalah tempat segala bara dikipasi dan api panas berkobar-kobar, maka kupastikan surga adalah tempat yang dingin membeku.
           Disini aku telah menakar-nakar kebijaksanaan Tuhan. Mengapa agama yang menyebutkan ajarannya adalah rakhmat bagi seluruh makhluk alam semesta tanpa terkecuali masih bermain-main rahasia dengan hidayahnya?  Kelihatannya tidak selalu surga menjadi tempat orang-orang baik. Tidak selalu neraka menjadi tempat orang-orang jahat. Maka tak heran diluar sana begitu banyak bom bunuh diri yang begitu percaya diri mengatasnamakan agama. Tak heran apa yang berasal dari barat selalu dianggap haram. Sebaliknya dengan tedas pula, bangsa barat selalu bilang apa-apa yang berasal dari Islam tak ubahnya semacam tradisi lawas yang mengekang seseorang dalam berkreatifitas diabad ini.
          Seperti hidup dan kehidupan, ternyata takdir memeluk suatu agamapun tersisip paham ilmu judi; untung-untungan. Barangkali itulah sebabnya. Agama tak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Kepastian yang dianggap paling pastipun belum tentu menjanjikan kepastian. Ketika aku mencoba melihat dunia dari berbagai sudut, ternyata tak benar-benar ada kenyataan yang memberikan kenyataan senyata-nyatanya. Semua jalan hanya mengarah pada satu alam serba maya. Segalanya dipenuhi keyakinan yang mencemaskan, mengeluhkan banyak-banyak kepercayaan, dan menakuti ketaatan lain. Naungan-naungan itu sekedar teduh pada ambang teka-teki. Selebihnya menggerahkan nalar pada alam pikiran dan jiwa.
          Untuk saat ini tabir makna kehidupan belum terbuka sepenuhnya. Aku sendiri tak bisa memastikan siapa yang menang dan kalah dalam aturan ilmu judi kehidupan.
      “Erik”, kataku hendak memulai diskusi dengannya, “saat kita berada dikehidupan baru, diakhirat nanti, bagaimana kalau salah satu dari kita ditempatkan pada seburuk-buruknya tempat?”.
      “Aku tak peduli aku akan masuk surga atau neraka”, jawab Erik lugas. “Terlalu banyak agama yang dianut manusia dan aliran-aliran baru yang terlahir dari agama-agama tersebut sehingga surga dan neraka semakin sulit dilogikan. Sekarang ini, bukan lagi ajaran agama yang mesti diikuti manusia, tapi sebaliknya agamalah yang mesti mengikuti sekehendak nafsu manusia. Tanpa kecuali. Sebagai orang awam, satu-satunya yang dapat kita jalani adalah keikhlasan.
      “Kita jangan terlalu berharap apa yang akan diberikan Tuhan atas amal dan pahala yang kita perbuat. Itu namanya pamrih. Sementara dalam semua agama, aku yakin tak pernah diajarkan tentang pamrih. Kita murni dituntut mencintai Tuhan tanpa alasan apapun. Apabila kita menganut suatu agama karena adanya pamrih kita pasti kecewa sekalipun itu menyangkut ketuhanan.
      “Tuhan memang satu. Tak ada yang lain dan tak ada bandingannya. Apabila agama yang kita anut dengan penuh ketaatan itu ternyata bukan agama yang ditetapkan Tuhan , mungkin aku akan menyesalinya. Mungkin juga tidak. Aku menganut agama berdasarkan pilihan dan keyakinan nuraniku, serta kecintaanku yang amat mendalam pada Tuhan. Maka dari itu, sekalipun kita masuk neraka karena agama yang kita anut itu salah, apabila kita mencintai Tuhan sungguh-sungguh, parcayalah api neraka takkan sanggup membakar diri kita. Bahkan mungkin akan lebih nyaman di neraka daripada di surga”.
         Lantas Erik menatapku serius dan mendalam. “Aku pikir kau satu-satunya muslim yang masuk neraka”.
     “Kenapa?”, aku sedikit terperanjat.
     “Kamu sudah tahu berhubungan dengan minuman beralkohol sekalipun itu sedikit dalam agamamu pasti dicatat sebagai dosa. Sementara kau masih saja tetap melakoni pekerjaan itu”. Seraya Erik berbisik tepat didepan mataku. “Jangan kau ragu pada Tuhan. Tak ada keburukan yang diajarkan Tuhan dalam setiap agama-Nya. Ia melarang dan menyuruh pasti karena ada sebab dan akibatnya. Tuhan pasti akan mencukupimu”.
          Sekali lagi, aku merasa tertampar. Untuk kali ini, aku tak tahu apakan Erik mengejekku atau mengingatkanku. Kebodohanku seakan tampak begitu nyata dalam pandangannya. Aku jadi bertanya-tanya apakah pengunduran Erik bekerja di club malam itu karena ada Tuhan dalam hatinya?
         Aku ucapkan istighfar berkali-kali. Betapa selama ini aku telah berlaku dzalim pada diriku sendiri. Aku telah berpikir ceroboh. Mengapa aku menilai Tuhan dan melihat suatu paham hanya berdasarkan logika semata, sementara aku sendiri terlalu memakai ego untuk mengukurnya. Padahal, suatu fakta peristiwa yang dianggap paling rasional sekalipun manusia masih memerlukan bertanya dan cenderung lahir perbedaan pendapat. Meskipun sangat rasional, logika takkan cukup mampu menyerap seluas-luasnya apalagi sebenar-benarnya. Tuhan bukanlah air, udara, api ataupun batu. Tuhan bukanlah semesta. Mengapa aku masih bertanya dan perlu mempertanyakannya. Bahkan mengukur keluasan alam pikiran dan jiwa sendiripun aku tak mampu.
          Selepas shalat zhuhur, Erik kembali menyapaku. “Tadi shalatnya khusyuk benar”, godanya. “Ada masalah, ya?”
        Sudah menjadi kebiasaan Erik mengintipku dari balik pintu ketika shalat. Tak tahu apa yang membuatnya tertarik memperhatikan gerakan demi gerakan ibadahku. Saat itu, ia akan terlihat asyik dan serius. Entahlah apa yang dicarinya. Untuk itu, lekas saja aku menjawabnya santai, “Sok tahu!”.
“Bohong!”, tukasnya. “Kita sudah cukup lama tinggal seatap disini. Aku sudah kenal mana dirimu yang lepas dan mana dirimu yang penuh beban”.
Aku lihat sepasang mata Erik mengarah tajam padaku. Begitu menyorot dan dalam. Aku tak enak, namun akupun tak mau terlalu merepotkannya. “Betul, aku tidak apa-apa. Tidak ada masalah. Barangkali itu hanya perasaanmu saja”.
“Barangkali juga kau tak percaya padaku”, timpalnya menekan. “Baiklah. Barangkali itulah sebabnya aku selalu merasa tak nyaman ketika berada didekatmu. Aku tak berani mengungkapkan masalahku padamu. Kita tidak seperti selayaknya sahabat”.
    Kali ini tatapan Erik begitu mendesakku. Terasa meneror membuatku merasa terdorong dan lemah. Sebegitu perhatiannyakah ia padaku? Atau mungkin karena watak keras kepalanya yang selalu ingin mengetahui segala hal tanpa peduli batas-batas?
    Terpaksa, akhirnya aku menceritakan tragedi cincin itu.
    Erik hanya mengangguk-ngangguk mendengarkan. Diluar dugaan, ia membuka lemari laci pakaiannya dan menyerahkan lembaran-lembaran rupiah pecahan lima puluh ribuan padaku. “Ini uang hasil tabunganku. Kau gunakan saja dulu”.
Aku geleng-geleng kepala sanbil berusaha memasang senyum. “Tidak usah. Aku dapat menyelesaikan masalah ini sendiri”.
“Bagaimana kau menyelesaikannya? Menghajarnya? Lapor polisi? Menuntutnya ke pengadilan? Kita orang kecil dan lawanmu adalah manusia sombong----takkan mampu kau menyelesaikan masalah ini dengan cara-cara besar seperti itu. Yang ada justru menambah masalah. Ayolah, terima ini!”.
    Erik terus memaksa. Aku tak punya kuasa. Ditengah kemiskinan, aku selalu mencari belas kasihan dari orang-orang, namun biasanya mereka lebih senang memalingkan wajah dari keberadaanku. Tiba-tiba saja aku bertemu dan mengenal Erik. Namun ini ternyata tetap tak membuatku bahagia. Sebaliknya heran dan bingung. Entahlah, sebenarnya dipurnama keberapakah makhluk sehebat Erik dicipta dan dilahirkan? Ya Allah, aku tak mengerti.
***##***

    Malam kembali datang meredupkan sinar matahari tenggelam dibarat langit sana. Diiringi hembus angin malam aku melangkah keluar dengan ketetapan hati. Aku harus mencipta tonggak sejarah pembaharuan hidupku saat ini juga. Doktrin-doktrin dan segala sindiran Erik yang diarahkan padaku telah menyumsum dalam tulang belulangku. Benar katanya apabila aku ingin merasakan kenikmatan hidup dunia dan akhirat aku harus menuruti apa yang diperintahkan dan dilarang Tuhan dengan penuh keikhlasan. Mulai detik ini, telah kuputuskan untuk mengundurkan diri bekerja sebagai manusia nokturnal di club malam itu.
    Memasuki ruang utama club malam ini membuatku ingin segera meninggalkan dan melupakan tempat ini. Disini semakin larut semakin ramai dan berisik. Suara musik menggema memenuhi ruangan, menghalau malam dari kesunyiannya. Sistem pencahayaan diatur sedemikian rupa dengan keremangan dan ketemaraman bagai bintang yang kehabisan energi. Kelap-kelip lampu sengaja dibuat untuk semakin menyamarkan pandangan, agar membuat para pengunjung lebih bebas dan leluasa.
    Para muda-mudi yang mengaku metropolis berdatangan dan tersugesti untuk menyesuaikan gerak tubuh dengan irama musik dilantai disko. Mereka tertawa-tawa tanpa beban, namun tak tahu apa yang tengah menghunus kearah mereka dibalik semua ini. Berada satu ruangan bersama oarang-orang seperti itu membuatku merasa terjauhkan dari kenyataanku yang semestinya. Segera aku naik ke lantai atas menemui manager club malam ini di ruang kerjanya. Ia menerima surat pengunduran diriku. Dengan satu anggukan kepala, ia langsung meluluskan keinginanku itu.
    Setelah itu aku kembali turun. Aku harus segera pulang sebelum wanita sialan itu melihatku. Namun aku terlambat. Ia berhasil mencegatku. Penampakannya yang tiba-tiba didepanku membuatku terkejut. Sambil berkacak pinggang, ia tadahkan tangan kanannya dihadapanku. “Mana?”, mintanya dengan gaya khas seorang pemalak.
    Dengan ragu-ragu aku serahkan amplop yang berisi uang pemberian Erik itu. Wanita itu mencium amplopnya dan tersenyum puas. Pandangannya sungguh merendahkanku. Lantas ia kembali gabung bersama teman-temannya. Ia duduk didekat seorang pria tampan. Tiba-tiba kulihat, tanpa segan pria yang duduk disebelahnya itu langsung mencium bibirnya diantara keremangan lampu yang kelap-kelip. Bila aku lihat dalam-dalam wajah pria itu sepertinya bukanlah pria yang kulihat ditoilet kemarin. Dasar wanita sundel!
    Aku memendam geram dalam hati. Apakah aku telah berbuat salah? Sebegitu bodohkah diriku mau memberikan uang yang jumlahnya sama dengan gaji sebulanku disini? Tak seharusnya malam ini aku berada disini. Seharusnya aku langsung saja lari dari sini tadi dan tetap mengantongi uang itu walau ada ancaman. Sial! Menjadi orang miskin memang akan selalu menempati posisi yang kalah.
    Sepanjang perjalanan pulang aku tenangkan diri ini dengan berjalan kaki, mengamati setiap lekuk kota diantara kegelapan malam. Bayangan diriku tumbuh kurus memanjang dipermukaan aspal dan tanah. Lampu-lampu kota yang menyala sedikit menghibur hatiku, meredam segala kekacauan yang berkecamuk dalam dada.
    Kutatap sebuah papan reklame yang berdiri tinggi diatas kepalaku. Gambarnya terlihat lebih cerah dan terang daripada keadaan disekitarnya. Aku mulai banding-bandingkan keberuntunganku dengan wajah sumringah yang terpampang dipapan reklame tersebut; masih adakah garis-garis kebahagiaan yang dapat terbaca diwajahku ini?
    Sesampainya di rumah aku langsung duduk diteras depan, meregangkan otot-otot kakiku yang tegang setelah berjalan jauh. Disela-sela bunyi klakson dikejauhan, aku mendengar suara batuk-batuk dari kamar mandi. Aku mengakrabinya. Tak lain lagi ini pasti Erik.
    Aku prihatin mendengar suara yang keluar dari tenggorokan Erik ini. Begitu payah dan lemah. Entah penyakit apa yang bersarang dalam dada Erik. Aku ketuk-ketuk pintu kamar mandi dengan cemas. Erik tak menjawab. Kemudian, suara batuk itu terhenti. Tak terdengar lagi. Aku semakin cemas. Kembali pintu aku ketuk-ketuk sambil teriak, “Erik! Erik! Erik!”.
    Tak ada jawaban.
    Aku coba intip melalui celah lubang kunci pintu. Aku terperangah setengah mati. Segera kudobrak pintu. Tubuhku terdorong-dorong kedepan dan hampir saja jatuh terpeleset karena ceceran darah merah yang membanjiri lantai. Tubuh Erik tergolek lemah, bersandar diatas dinding kamar mandi dengan darah belepotan.
    Erik segera kubawa ke rumah sakit terdekat. Ditempat ini, aku benar-benar menemui apa yang disebut kenyataan yang tak benar-benar memberikanku kenyataan senyata-nyatanya. Dan memang sudah selayaknya aku menjadikan ini keakraban tersendiri dalam hidupku. Mungkin dengan begitu aku tak perlu terlalu mencemaskan atau menakuti apapun. Namun, tetap saja ini melahirkan penyesalan yang tak bisa ditebus dengan air suci apapun.
“Maaf, kami sudah berusaha semampu yang kami bisa. Jiwa Erik tak bisa tertolong lagi. Paru-parunya telah keropos”.
    Kata-kata dokter itu terus menggema ditelingaku seperti berbisk-bisik menyalahkanku. Aku kesepian. Aku membisu diam dengan pikiran melayang jauh. Entah merenung. Entah melamun.
    Barangkali juga kau tak percaya padaku. Barangkali itulah sebabnya aku selalu merasa tak nyaman ketika berada didekatmu. Aku tak berani mengungkapkan masalahku padamu. Kita tidak seperti selayaknya sahabat.
    Tiba-tiba saja aku merasa menjadi orang paling bodoh sedunia-----sebodoh-bodohnya manusia yang isi otaknya cuma berupa tengkorak udang. Sebegitu egoiskah aku hingga Erik tak mempercayaiku? Sebegitu tololkah aku hingga tak paham maksud kata-kata Erik tersebut? Kedunguankupun semakin berlipat-lipat dengan menerima uang tabungannya. Padahal, seharusnya aku sadar uang itu untuk membiayai penyakit paru-parunya.
    Hari ini tak henti-hentinya aku membentak kedunguanku. Tiba-tiba aku diingatkan untuk memanjatkan doa. Lantas, cara doa seperti apa yang pantas aku panjatkan untuk Erik; sesuai dengan keyakinankukah atau keyakinan Erik? Barangkali ada baiknya juga aku menyanyi. Lalu, lagu seperti apa yang layak aku dendangkan disaat-saat seperti ini? Apakah airmata penyesalanku ini mampu menjadi doa? Mungkin, terkadang, dalam memahami ajaran sebuah agama aku mesti menyingkirkan sisi kemanusiaan ini.
    Ditengah kegalauan sekacau ini aku hanya mampu memohon pada Tuhan begini, “Ya Allah, berikanlah sahabatku ini tempat yang baik disisi-Mu. Mungkin bukan di surga. Bukan pula di neraka. Karena apabila aku mengingat kedua tempat itu, kedengarannya kehidupan akhirat tak seluas seperti yang kubayangkan. Aku yakin aku takkan pernah bertemu lagi dengan sahabat terbaikku disana. Sekalipun bertemu kembali, kita pasti sama-sama berada didalam kesengsaraan. Sungguh itu adalah seburuk-buruknya pertemuan.
“Ya Allah, barangkali ditempat ketiga----suatu tempat yang mungkin tak pernah kau gembar-gemborkan tempat dan namanya pada hamba-hamba-Mu----Kau dapat mempertemukan kami kembali dengan kebahagiaan. Sungguh kemurahan hati-Mu tetap kami harapkan sekalipun itu dalam keterlambatan kehidupan akhirat.
“Ya Allah, betapa agung dan megahnya singgasana-Mu itu. Mengapa kau tak bawa kami serta saja kesana? Kami rela menjadi budak-budak disisi-Mu. Sebaliknya, Kau justru menyuruh kami memilih diantara dua; surga atau neraka?”.

RUANG-RUANG RUMAH

                               di pekarangan depan telah dipersiapkan pot-pot bunga dan tong sampah
untuk penghibur mata
kaca-kaca bening menjadi pembatas luar dan dalam
antara bau debu dan sengat asap rokok

di ruang tamu kursi-kursi dan meja kebesaran saling sesak
dan saling berdesak,
tempat menerima tamu kesiangan dan pengemis kemalaman
juga tempat mengenang jabat tangan serta ramahnya sepasang bibir penghantar kebohongan

di ruang tengah seonggok tv dinyalakan pada segala persaksian, mendengarkan
gelak tawa keluarga disetiap perkumpulan arisan waktu

ditiap-tiap kamar dipasangi terali besi sebagai penghalau segala teluh dan
guna-guna. ranjang-ranjang menantang kaku dikesepiannya, menunggu
roh-roh bermain dalam ketiadaan waras pikiran

di dapur sampah kulit bawang berserakan, bercampur dengan aroma asin garam
menulari nasib-nasib piring dimeja makan, membahas tentang kompor yang dingin
dan tak berminyak

di kamar mandi segala harta terkumpul-----bau pesing diwariskan
turun temurun, menjadi titk awal keberanian, menantang kepolosan diri
pada bayang-bayang cermin

di laman belakang telah dipersiapkan sepuluh kubur, nganga lubang
hampa, tempat berternak cacing dan belatung

di setiap sudut rumah sengaja dicipta alamat, biar waktu tak tersesat di muka pintu
bagi pengembaraan diri, karena dicelah-celahnya selalu terbentuk kisah-kisah
yang saling mengontraskan bahkan mengaburkan, sebagaimana bahagia
seringkali berpondasikan derita,dan sengsara mengawali awal kesuksesan

Aku, Kau, dan Anjing


kita sama-sama teteskan darah dalam satu mangkuk
merah kental mengaduk mengikuti irama senduk
dan kita minum saling teguk. kita tak peduli lagi
pada anjing-anjing kita yang mengangguk-ngangguk bimbang di muka rumah
menyalak galak, menanti sang majikan tua memberi talak

lantas, kau juga bisikkan kata rindu hingga aku sulit bedakan
mana desau angin, mana sengau suaramu

anjing kitapun kau berikan tumpah nasi, dan kau
menggerutu bebal, “rahasia-rahasia kita terlalu rawan diudara. tentukanlah
arah sebelum menyalak. kita disini tak sekedar main galah, tapi juga
mempertaruhkan riwayat hayat sendiri”

kita coba duduk kembali saling tatap, kertas dan pena telah siap,
wangi tinta darahpun keluar liar menggerayap hidung, dan kita
mulai merundingkan tentang sepasang kekasih bersanding
diatas segala perbandingan dan pertandingan

tanpa bahasa basa-basi, kita sama-sama buang serapah diatas akad
penuh persyaratan, penuh pengisyaratan, tapi makna tak cukup terbaca oleh adat
tak apa. nyali kita tertuntut sebab adanya nekad
bukan karena adanya tekad

tapi, aku keliru menafsir anjing menyalak
setitik racun telah kureguk tanpa kurasai telah kureguk
setetes nila telah kukecap tanpa kurasai telah kukecap
madu terdahulu yang kupuji manisnya bermain ludah diatas lidah anjing
ambisimu tak tertandingi disetiap perbandingan segala pertandingan
serupa sepah menunggu sempat-----kau kerlingkan mata pada sembarang
tempat bersama anjing menggonggongi tulang-tulang rusukmu

sementara aku mencampur airmata ini
dengan darahku dan darahmu!

Rabu, 04 Januari 2012

NALAR GENDER



          Siapapun pasti akan terheran-heran saat pertama kali bertemu dan mengenalku. Seluruh pertanyaan bakal menimpuki isi kepala mereka, menjelajah alam pikiran mereka sampai sepasang matanya terbuka nanap, berharap pertanyaan itu terjawab secara logis; berasal dari alam manakah aku didatangkan? Perjanjian macam apakah hingga ada orangtua yang melahirkan anak seperti aku? Saat dilahirkan apakah menangis atau tertawa? Dididik seperti apa dan pendidikan semacam apa aku dibesarkan? Benarkah tubuhku ini juga tersusun atas dasar adonan tanah dan air?
       Sederhananya mungkin mereka bertanya seperti ini; mengapa di dunia ini tercipta manusia seperti aku? Itupun jika melihatku pertamakali mereka menganggapku manusia dan membenarkannya sebagai manusia. Apabila tidak, mungkin pertanyaannya akan lain lagi; sejenis makhluk apakah aku ini?
       Melalui tulisanku yang corat-coret begini----entahlah orang menyebutkannya cakar ayam ataupun benang kusut----izinkanlah aku kembali menceritakan kisah hidupku yang sesungguhnya. Ini tidak semata untuk berbagi, karena memang aku telah lelah mengulang-ulang dan mengingat-ingatnya. Aku berharap melalui usaha payah jemari tanganku ini, orang-orang tidak menganggapku aneh lagi, dan menjadi pelajaran tersendiri yang mampu membangkitkan rasa kemanusiaan. Semoga saja!
          Diusiaku yang telah mampu menyerap ingatan dan menyimpannya dalam memori otak, satu-satunya tempat yang begitu kencang menancap dibalik tempurung kepalaku adalah tempat yang senyap nan terkucilkan.
         Disana pohon-pohon tumbuh tinggi. Sedikit sekali cahaya dari atas langit yang mampu menembusi rimbunnya dedaunan. Hewan-hewan----baik didarat, air, ataupun angkasa, besar ataupun kecil---bebas berkeliaran. Namun masing-masing tak terlepas dari ancaman. Satu sama lain saling mempertahankan diri dan saling memangsa. Justru karena itulah tempat ini mendapatkan gerak-geriknya, memperdengarkan suara nafasnya, dan memperlihatkan langkah-langkahnya pada dunia. Satu-satunya makhluk yang berjalan tegak seperti diriku yang aku kenal disini cuma bapaku. Tak ada yang lain.
          Setiapkali aku merindukan keluasan dan keleluasaan, aku coba panjat salah satu pohon tertinggi. Diatas pohon ini aku benar-benar mendapatkan kehangatan sinar matahari, melahirkan ketakjuban yang senantiasa menyentil sanubari. Betapa indah birunya langit dan segala macam benda yang kelap-kelip dikala malam turun. Seandainya sepasang tangan ini dapat menjadi sayap, aku pasti akan segera terbang, membongkar segala misteri terhadap hasrat, kehendak,dan mauku, serta melepaskan segala jenuh dan gundahku kedalam tualang mencari tempat-tempat baru------dimana tak ada lagi pepohonan besar yang memerangkap ataupun desisan ular dan raungan harimau yang membatasi langkah.
       Sayangnya, hanya ini realitas yang aku terima dan hanya ini bahan rujukan yang dapat aku andalkan pada setiap pengalaman yang akan aku hadapi.
       Kelak, dikemudian hari, orang-orang yang kukenal menyebutkan asal muasalku adalah rimba belantara.
        Mulanya aku tak paham tentang kelahiran dan kehadiranku hingga terdampar ditempat yang namanya rimba belantara. Aku pikir, seperti halnya unggas aku berasal dari telur yang dierami. Lantas saja bapakku menjelaskannya, “Lihatlah monyet itu”, telunjuknya menjurus keatas. Aku lihat sepasang monyet yang tengah kasmaran. Mereka lompat-lompat dan kejar-kejaran dari atas satu dahan ke dahan lainnya. “Seperti halnya monyet itu, kamu ada karena hadirnya cinta diantara betina dan jantan. Perempuan dan laki-laki. Perempuan adalah betina. Laki-laki adalah jantan. Tapi menuruti ukuran zaman, masalah betina dan jantan dapat saja keadaannya dibalik. Sementara menyangkut persoalan reproduksi, tetaplah betina dan jantan itu sesuai kodratnya”.
     “Monyet tidak bertelur”, jawabku polos.
Bapak malah tertawa. Aku sendiri tidak tahu letak humor dari kata-kata itu. “Dan memang kamu bukan berasal dari telur, Anakku. Kamu keluar dari dalam rahim”.
     “Apa itu rahim? Bapak punya rahim?”.
Lagi-Lagi Bapak tertawa. Lebih kencang malah. Ia menatapku prihatin dan mengusap kepalaku lembut. Barangkali kepolosankulah yang membuatnya lucu. “Bapakmu adalah jantan. Laki-laki. Cuma perempuan atau betina yang bisa hamil dan melahirkan”.
      “Kenapa? Memang apa bedanya?”
      “Bedanya terletak dibawah pusar. Bapak dan kamu sama bentuknya. Sementara betina atau perempuan memiliki semacam lubang yang terapit diantara selangkangannya-----tempat memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
      “Lalu, dimana dan siapa betina yang telah melahirkan aku?”.
      “Ibumu?”.
       Bapak terlihat kaget aku menanyakan itu. Tapi aku tak mau terlalu mempersoalkannya. Aku lebih senang melihat sepasang monyet itu diatas pohon. Begitu dekat dan akrab. Aku ingin seperti itu, tapi entah dengan apa. keinginan itupun terbawa dalam tidurku, mengendap sedemikian dalam dialam bawah sadarku. Saat terjaga aku tersentak. Ada yang basah-basah dibalik celanaku. Aku merasa malu sendiri. Namun pelan-pelan itu justru menjadi kesenangan baru. Sedikit demi sedikit terlihat perubahan dalam diriku. Kentara sekali dari suaraku yang terdengar berat.
       Bapakku bilang, “Kamu sudah menginjak usia puberitas, Anakku”.
     “Puberitas? Apa itu?’.
     “Peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja, hingga akhirnya kau tumbuh dewasa. Seperti Bapak. Anakku, kau harus sudah bisa berpikir menggunakan akal sehat----mampu membedakan mana baik dan buruk, benar dan salah, bagus dan jelek, halal dan haram, haq dan bathil..... Setiap hadir persoalan, kau mesti timbang-timbang dulu penyelesaiannya sematang mungkin. Tak bisa gegabah. Kesewenangan memang dapat memberikan kepuasan, namun ujung-ujungnya selalu menjadi senjata yang melahap tuannya sendiri. Berhati-hatilah menggunakan akal pikiran dan rasa sanubari”.
         Semakin hari-hari berjalan, akupun tumbuh besar. Watak puberitas yang terkandung dalam usiaku telah menjadi tahap alamiah yang tak bisa kutolak, menjajah bentuk jasmaniku dengan segala perubahan fisik dan pikiranku sebagaimana mestinya.
       Bapak bilang, “Kau kini telah menjadi seorang pemuda. Kau harus memiliki ketangkasan seorang pendekar”.
        Bapak mulai mengajariku segala cara dan adat bertahan hidup. Segala rumusan ilmu yang dikuasainya, ia wariskan padaku. Setiap pojok belantara telah aku jamah dan setiap jejak asing telah aku rekam dibalik batok kepalaku. Juga, setiap keterasingan telah aku hafal sebaik mungkin menjadi keakraban. Diawal hari aku keluar pondok dan kembali mejelang petang dengan membawa perbekalan untuk kebutuhan jasmani selama beberapa hari kedepan. Pernah juga satu-dua kali aku tejebak ditengah belantara, menginap ditengah gelap dan sunyinya alam terbuka. Namun semua itu tak memberikanku kepuasan pada aroma kehidupan yang sesungguhnya.
       Setiap teringat rinduku pada keluasan dan keleluasaan, kutengadahkan kepalaku keatas langit, sambil mengkhayalkan diri menemukan kebebasan pada tanah-tanah lapang dengan hembusan udara yang tenang dan rumput-rumput yang hijau. Juga, setiap melihat sepasang atau segerombolan fauna saling bercengkerama, terciptalah rasa cemburuku. Entah apa dan kenapa. Pastinya, aku merasa sulit menahan luapan perasaan semacam itu. Betapa kehampaan dan kesunyian membuatku tersiksa, menjadikanku satu-satunya makhluk dimuka bumi ini yang binasa karena tak pernah sempat berkawan dan berkasih. Kupejamkan sepasang bola mata ini, namun tak memberikanku persoalan lain lagi. Batinku terus mendesak dan mendorong-dorongku.
       Pergilah! Pergilah sejauh langkahmu menghendaki!
       Dari langit yang menjadi tempat rahasiaku menyimpan resah gelisahku, bimbang rambangku, dendam geramku, dan cinta benciku, kucoba utarakan juga persoalan ini pada Bapakku.
      “Bapak, telah kulihat monyet-monyet bercinta dan bermain berahi. Telah kulihat juga semut-semut yang jumlahnya melebihi jemari tanganku. Bapak, apakah di dunia ini hanya ada dua manusia saja? Hanya kita?”.
Bapak mengawali jawabannya dengan senyum. “Tentu saja tidak. Justru manusialah yang merajai seluruh permukaan bumi ini”.
       “Kalau begitu aku ingin sekali menemui dan mengenal mereka”.
     “Apa hendak kau lakukan, Anak Muda?”.
     “Bapak pernah bilang aku harus bisa berpikir menggunakan akal sehat. Aku harus mampu menyelesaikan dan menempatkan segala sesuatunya  pada tempat yang tepat. Aku ingin menguji diriku sendiri diluar sana. Aku ingin seperti yang pernah Bapak bilang”.
      “Seharusnya kau tetap disini. Apa kau tak lihat tubuh Bapakmu ini telah menua?”.
     “Aku mohon Bapak. Bagaimana bisa aku membedakan sesuatu hal sementara kehidupanku disini tak memberikanku banyak pilihan?”.
     “Lebih baik begitu, bukan? Hidup tanpa pilihan dapat membuat kita lebih aman melangkah. Kita tak perlu dikacaukan dengan segala doktrin dan pemikiran lain”.
      “Apakah Bapak mengharapkanku menjadi manusia kerdil?”
     “Kau sudah berani menantang Bapakmu ternyata. Ketahuilah Anakku, tak selalu yang baikpun menghasilkan kebaikan. Boleh jadi justru yang buruklah yang memberikan kita kebahagiaan selamanya. Anakku, kebenaran sekalipun takkan bisa disebut benar apabila tak ada kesalahan diperbuat sebelumnya. Dosa dan pahala adalah dua hal yang saling berlawanan, tapi dari sudut pandang lain dapat menjadi hal yang saling melengkapi, karena takkan pernah ada dosa tanpa pahala. Begitupula sebaliknya”.
     “Bapak...”
     “Anakku”, selanya cepat. “Sudah Bapak ingatkan berkali-kali pikirmu adalah senjata tajam. Maka berhati-hatilah gunakan otakmu, karena bisa jadi justru rasamulah yang menjadi korban dari ulah pikirmu sendiri”.
       Bapak balikkan badan meninggalkan aku dibelakangnya. Melihat laku Bapakku yang tak menaruh minat pada segala mauku, sesungguhnya, sebegitu pentingkah cita-citaku ini sampai-sampai aku bersikeras. Barangkali saja ini semacam tipuan khas duniawi. Aku sendiri tak mau terbuai-buai karena pengelabuan alam pikiran. Ditengah kerambanganku ini, aku menerka-nerka, bagaimanakah waktu-waktuku mendatang nanti? Haruskah aku menghabisi setiap detiknya dengan kehampaan dan kesunyian----yang lazimnya layak disebut racun kehidupan?
        Bapak mengambil sebilah pisau belati dan batu asahnya. Sambil mengasah dibelakang, terdengar ia bersenandung lirih. Begitu berat dan parau seperti seseorang yang tak punya tumpuan lagi untuk bertahan. Tak tahu kenangan macam apa yang berkelebat dalam pikirannya. Pastinya aku tahu ia tengah menangis. Tetap saja aku masih heran. Tak pernah sebelum-sebelumnya Bapak bersikap loyo begini.
       Saat aku hendak tidur, Bapak mengetuk pintu kamarku
     “Bapak telah memikirkannya matang-matang”, katanya memulai. “Tak baik kiranya mengekang seorang pemuda dalam lingkungan begini. Serba terbatas. Bapak tahu pemuda dimana-mana memiliki semangat pemberontakan yang besar. Selalu ingin keluar dari keterbiasaan dan mengubah pandangan yang selama ini terlalu umum dipahami banyak orang. Semuanya tentang tantangan. Ya, seorang pemuda harus banyak berkarya dengan pemikirannya. Berangkatlah besok pagi! Carilah pengalaman baru diluar sana”.
          Selama menunggu kejadian ini datang, aku tahu pasti, aku akan berteriak segirang-girangnya. Nyatanya aku hanya mampu membisu. Kata-kata yang kutabung untuk melampiaskan gembira menghadapi saat-saat begini seakan hilang tertelan ludah. Tak tahu kenapa tiba-tiba saja kejadian Bapak untuk melepaskan anak satu-satunya pergi terlalu cepat dikabulkan. Sementara aku seperti orang yang belum siap meskipun telah sekian lama mengharapkannya.
      “Walaupun demikian”, sambung Bapaknya lagi, “sebagai bekal perjalanan panjangmu, Bapak punya satu syarat yang mesti kau tunaikan. Apa kau masih ingat kisah-kisah horor yang pernah Bapak kisahkan padamu----kuntilanak, sundel bolong, kelong wewe..... Ketahuilah hantu-hantu itu berwujud betina. Waspadalah pada makhluk yang bernama wanita itu. Mereka seperti iblis, bahkan mungkin mereka adalah bagian dari iblis itu sendiri. Dengan kelembutan dan kegemulaiannya, mereka punya banyak topeng dan tipuan yang dapat meremukkan hati para pejantan. Seperti Ibumu. Ia adalah betina yang telah banyak menyengsarakan hidup kita”.
          Ibu, setiapkali mengucapkan kata itu, Bapak bak berusaha menahan suaranya didalam kerongkongan, seolah mengucapkan nama tersebut adalah kesalahan besar yang tak termaafkan. Ketika itu juga aku dapat lihat, dikedua matanya tersimpan banyak teka-teki soal masa lalunya. Bapak tak pernah menceritakan apa-apa. Sejauh ini aku hanya tahu, Ibu adalah sosok wanita. Betina. Semakin memikirkannya aku semakin penasaran. Namun memaksa Bapak membuka mulut untuk menceritakan tentang Ibu adalah perbuatan sia-sia.
          Akhirnya, rasa keingintahuanku pun semakin mengukuhkan kehendak hati untuk merantau. Diluar sana, mungkin aku takkan pernah menemukan sosok Ibuku. Tapi setidaknya, melalui wanita atau betina yang kutemui nanti, aku akan mendapatkan gambaran seperti apa Ibu itu. Benarkah sosok Ibu itu seperti wanita pada umumnya-----berwajah pucat, berambut panjang, dan bergaun putih? Saat ini ditanganku sudah ada satu petunjuk; lihat dibawah pusarnya. Betina atau wanita memiliki semacam lubang yang terapit diantara selangkangannya----tempat memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
          Pagi-pagi sekali aku telah mempersiapkan segalanya. Bapak melepasku dengan deraian airmata. Aku terus melangkah dan berusaha tak menoleh ke belakang lagi. Aku tak mau luluh pada pahitnya perpisahan yang dapat membuatku berat melangkah. Padahal jauh dibelakang sana tetes-tetes darah telah mengalir diam-diam menjadi benih-benih ditanah bumi.
         Setelah berjalan berkilo-kilo, akhirnya aku dapat keluar dari rimba belantara ini. Tak ada lagi pepohonan tinggi yang memerangkap. Cahaya matahari begitu leluasa menyentuh kulit. Aku menghela nafas dalam-dalam. Aroma udara disini begitu melegakan dada. Wahai, manusia-manusia akan segera kuperkenalkan diri ini pada kalian!!
         Tak sepertimyang telah kuidamkan, sambutan mereka padaku sangat dingin. Bahkan cenderung mengerikan. Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, mereka melihatku dengan mulut menganga terbuka, tercengang-cengang, kaki gemetar dan bulu kuduk meremang. Bahkan diantara mereka ada yang langsung lari terbirit-birit ketakutan dan segera menutup pintu dan jendela rumah mereka rapat-rapat. Ada juga yang langsung tak sadarkan diri ditempat. Tak tahu bagaimana lensa mata mereka menangkap keberadaan bayangan tubuhku dan tak tahu apa yang dilukiskan pikiran mereka dengan keadaan diriku. Barangkali aku terlihat bak makhluk bermuka rata.
        Meski begitu aku maklum. Ketakutan-ketakutan yang mereka rasakan kuanggap sebagai bentuk kewajaran, semacam keadaan naluri alamiah manusia dalam membaca kondisi sekelilingnya demi mempertahankan eksistensi diri. Pastinya setiap makhluk yang menemui hal-hal asing akan segera memasang kewaspadaan dengan menggunakan kepekaan indera sebaik mungkin. Sebelum mengakrabiku, mereka pasti menerka-nerka dan menimbang-nimbangnya, memastikan diri hal-hal asing tersebut tak memberikan ancaman ataupun bahaya.
          Maka agar lebih cepat dikenal, aku coba perkenalkan diri dengan niat yang baik. Bahkan kalau perlu aku akan teriak, “Aku ini pejantan. Bukan betina. Bukan wanita. Aku takkan membahayakan kalian. Aku ingin mengenal dan bercengkerama akrab dengan kalian!”
          Ditengah keputuasaanku, tak disangka-sangka seseorang berambut panjang berani menjabat tanganku. Dilengkapi pula dengan senyum lembut. Sama sekali tak terlihat ketakutan seperti yang lain. Telapak tangannya terasa hangat diantara jemari tanganku. Semyum dan pandangannya terasa menghipnotis pikir dan rasaku. Ia sangat baik. Akupun diperbolehkannya tinggal dipondok kayu miliknya, disalah satu kamar berbau apek dan berdebu tebal. Sialnya, ia berambut panjang seperti karakter utama dalam kisah-kisah horor Bapakku.
         Selama aku tinggal disini, aku diajarinya berbagai tata cara kehidupan masyarakat setempat. Dimulai dari cara menghilangkan daki hingga baca tulis. Melalui segala pembelajaran ini, akhirnya aku dapat mengisahkan riwayat hidupku kembali pada kalian dengan corat-coret tangan begini, meski dengan kemampuan yang masih terbatas. Bahkan kini setiapkali orang-orang melihat paras dan penampilanku, mereka terkagum-kagum penuh ketakjuban.
          Tak ayal, segala kebaikannya itu justru semakin melahirkan curiga dibenakku. Gerak-gerik tubuhnya terlihat gemulai. Bahasa suaranya terdengar lembut. Selama dalam pengajarannya, tak sekalipun ia marah ataupun menggeram, sebaliknya manja dan penyannyang. Dari semua pengetahuan yang kudapatkan dari rimba belantara meyakinkanku mungkin saja segala kebaikan yang diarahkannya padaku merupakan irama buai-buai yang melengahkan diriku ini. Sudah menjadi kelaziman para iblis menggoda umat manusia dengan menggunakan bayang-bayang ketulusan.
         Disisi lain, aku juga berpikir tak mungkin ia bermaksud jahat padaku sementara apa yang diupayakannya terhadapku justru dapat membuka pikiranku lebih luas lagi. Dalam falsafah pikiran sebagai pembeda antara dua hal yang berlawanan, akupun semakin tahu apa yang kumaui dan apa yang mesti kukerjakan.
        Maka, akupun bertambah penasaran.
       Setiapkali kutatap matanya kucoba artikan makna kedipannya. Setiapkali kugenggam tangannya, kucoba rasakan irama denyut nadinya. Setiapkali kebelai-belai rambutnya, kucari-cari apa yang terselip diantara helaiannya. Setiapkali kulihat belahan dadanya, kucoba dengar-dengar debaran jantungnya. Setiapkali kulihat punggungnya, kuperhatikan susunan tulang rusuknya. Dan, setiapkali ia memasuki sebuah ruangan, kucpba sempatkan diri  mengintipnya, berusaha melihat apa yang tengah dilakukannya dan mendengarkan apa yang tengah direncanakannya. Pada akhirnya, hubunganku dengannya, semakin erat dan dekat. Melihat keintimanku ini, orang-orang segera mendesakku.
     “Cepat-cepaat kau nikahi dia!”.
Aku bingung, tercengang-cengang. “Nikah? Apa itu?”.
Orang-orang malah tertawa. Seperti halnya Bapakku yang menganggap kepolosanku adalah sumber canda tawa. Kata mereka, “Nanti saja kau rasakan. Dengan sendirinya kau pasti segera tahu”
          Setelah menjalani apa itu yang disebut pernikahan, kira-kira aku memaknai adat semacam itu begini; sepanjang hari, aku mesti menghafal sebuah kalimat panjang yang mesti diucapkan dalam satu nafas. Karena keterbatasan pengalaman, aku sendiri sampai saat ini belum tahu maksud dibalik kalimat panjang tersebut. Namun dari mimik muka para tamu yang hadir, aku sekilas dapat membacanya; ada semacam tuntutan dan tanggung jawab besar yang diarahkan padaku supaya dapat berani bersikap dalam menjalani prinsip dan komitmen. Sebagai bukti kesungguhanku, aku wajib memberikan sesuatu yang disebut mahar atau mas kawin. Pendeknya, mungkin ini semacam perjanjian yang mesti aku jalani sesuai kepatutan hukum, ketulusan serta kesetiaan nurani.
        Malamnya, aku justru bingung menentukan sikap, menterjemahkan rasa-rasaku. Sebelum-sebelumnya aku begitu sulit membuktikan seluruh curigaku. Tapi kini ia begitu leluasa melepaskan seluruh kain yang melekat ditubuhnya. Dihadapanku. Lantas dengan kepolosan raganya, penuh percaya diri, ia menuduhkan apa yang selama ini kucari-cari----sebuah lubang yang terapit diantara selangkangannya. Dia betina! Kakiku gemetar, tertahan ditempat. Aku tak kuasa menolak. Wewenangku untuk menuding ia sebagai makhluk biadab tiba-tiba kehilangan makna. Sentuhan dan bujuk rayunya sanggup menembus sisi terpeka dalam tubuhku, membius batas logika sampai tak mampu berpikir-pikir. Semasa dibelantara, permainan ini adalah kesenangan tunggalku, tapi dimalam ini, betina ini mampu mengubah kesenangan tunggalku menjadi kebahagiaan dan kenikmatan yang tak tertandingi.
          Apakah aku telah terjerumus masuk kedalam buai-buai kenikmatan para iblis?
         Melalui tulisanku inipula, dengan sedikit malu-malu, aku coba bersikap jujur pada kalian. Barangkali kedengarannya terkesan vulgar, tapi aku mohon janganlah kalian anggap kevulgaran ini sebagai suatu kejorokan apalagi kekotoran, karena aku tak tahu dengan bahasa apa lagi aku dapat melepaskan beban penatku. Seperti yang dipahami masyarakat disini, maka akupun sepertinya patut menyampaikannya pada kalian, “Pergunakanlah rasamu melebihi pikirmu sendiri. Pikir adalah tempat awal mula pemberontakan. Cobalah redam dengan rasamu sendiri. Maka, takkan terjadi anarkisme!”.
        Dari bisik-bisik dan omongan-omongan orang diluarsana, mereka menyebut ini malam pertama. Aku sendiri tak tahu sebab mengapa disebut malam pertama. Padahal malam-malam yang telah kulalui selama hidupku sudah melampaui jumlah jari kaki-tanganku. Barangkali meskipun aku telah pandai mematut diri dan baca tulis, mereka masih menganggapku manusia dungu.
          Namun peristiwa malam ini akan kucatat dalam sejarah pribadiku, dan kujadikan kenangan paling takrif sebagai pembelajaran yang telah mampu membantah segala pemahaman rimbaku.
          Boleh dikatakan malam pertama merupakan waktu pembuktian diri sebagai pejantan perkasa. Diwaktu ini pula proses kehidupan baru dimulai. Tidak hanya untuk sepasang manusia disini, tapi juga penyatuan ini merupakan  awal pembentukan manusia baru. Maka akupun mengerti maksud asal muasalku keluar dari rahim Ibu. Singkatnya, beginilah cara manusia berkembang biak----memasukkan sari dan mengeluarkan buahnya.
        Saat waktunya tiba, wanita yang kusebut istri, menjerit menahan geram. Nafasnya terdengar terengah-engah lelah. Lalu, tiba-tiba saja suara jeritan itu digantikan suara jeritan yang terdengar lebih lembut.
          Dari dalam seorang dukun beranak berteriak juga, tak kalah girangnya, “Laki-laki!”
Aku tak ikut teriak. Didalam kepalaku justru muncul pertanyaan baru; apabila wanita atau betina yang disebut Bapakku bukan dari golongan manusia, maka termasuk jenis makhluk apapula laki-laki----yang notabene juga keluar dari dalam tubuh wanita?
         Seminggu kemudian aku minta izin pamit, pergi menuju ke tempat aku dibesarkan dulu. Bukan untuk melepas rindu dan menengok keadaan Bapakku, tapi mempertanyakan seluruh kebimbanganku. Sekitar beberapa meter dari pondokku mulai tercium bau bangkai. Segera saja aku tersentak. Dimuka pintu tubuh Bapak dikerubungi lalat. Tepat didada sebelah kirinya tertancap senjata tajam-----sebilah belati yang ia asah sambil bersenandung lirih dimalam itu.