Aku adalah manusia nokturnal. Aku menyebut diriku begitu bukan tanpa
alasan. Tapi percayalah, aku bukan orang liar yang tak tak tahu norma. Aku
percaya kehidupan yang mesti aku jalani ini bukanlah tentang keinginan dan
harapanku semata. Lebih dari itu; jalanku telah dipersiapkan bahkan sebelum
hayatku lahir ke dunia.
Segalanya tentang tuntutan untuk memperoleh sambungan nyawa. Maka
kuikhlaskan kebebasanku terbang menghilang terbawa angin bersama debu-debu
keringat. Akupun mesti meluruhkan cita-citaku demi kepentingan organ pencernaan
bekerja dari lubang mulut hingga lubang anus. Bagitulah lakon hidup yang mesti
kuterima dan kuamini.
Barangkali sudah menjadi fitrahnya setiap orang wajib memilih
keakraban-keakraban tersendiri yang akan selalu menemani langkah-langkahnya.
Sebuah keakraban yang kadang seringkali dapat mengubah kebiasaan menjadi
kebiasaan lain yang sama sekali baru. Karena keakraban semacam itu,
bagaimanapun lumrahnya, tak bisa ditolak tangan dengan alasan apapun. Mereka
hadir bagai suratan tanpa cela yang tak bisa digugat. Bahkan, untuk sesuatu hal
yang tak lazim sekalipun mesti dengan ikhlas sukarela menjadikannya kebiasaan
sebagai jalan mencari kehakikian hidup.
Kini, tinggal caraku saja bagaimana menyikapinya; selapang apakah dadaku
menerimanya dan seikhlas apakah aku mengucapkan rasa syukur.
Pekerjaaan yang aku geluti ini mengharuskanku menjalani kehidupan yang
tak sewajarnya manusia jalani; terjaga sepanjang malam dan terlelap sepanjang
hari. Hidungku telah terbiasa menghirup dinginnya udara malam dan mengendus
aroma alkohol dalam botol-botol minuman. Tentu saja, tempat yang bergemerlap,
ramai, dan hangat sepanjang malam dimana kau dapat dengan leluasa menemukan
orang-orang mabuk, muntah, bahkan ‘kesurupan’ adalah club-club malam.
Masalahnya, boleh dikatakan, pekerjaan yang aku tunaikan setiap malam
panjang tidaklah dibenarkan oleh agama yang aku anut. Siapapun tahu, minuman
yang mengandung kadar alkohol, serendah
apapun kadar alkohol yang dikandungnya dan apapun alasan untuk mengonsumsinya,
telah mendapatkan stempel cap haram. Pasalnya, minuman yang berkadar alkohol
dapat menyebabkan mabuk. Dan lazimnya orang mabuk adalah kehilangan kendali
diri dan jernihnya alam pikiran. Bukankah hilangnya kendali diri dan akal
pikiran seringkali membukakan jalan bagi tindakan-tindakan seronok menjamur di
muka bumi ini?
Saking haram dan terlarangnya, setiap orang yang terlibat dalam proses
pembuatan minuman keras hingga penyajiannya ke meja-meja konsumen----termasuk
peminumnya----dapat menuai dosanya masing-masing. Sementara barang yang laku
keras disini dan banyak dicari-cari oleh sebagian besar pengunjung adalah
minuman keras. Dengan kata lain, keberadaanku disini, diclub malam ini, telah
menjadi salah satu bagian dari proses itu--- menyajikan minuman-minuman haram
itu ke meja-meja para pelanggan. Sederhananya, tanpa aku sadari, mungkin saja
aku telah ikut andil pada setiap perkelahian hingga perzinahan yang pernah aku
lihat dan aku saksikan disini.
Bertahun-tahun aku hidup mencari lelah, melampiaskan geram, mengerahkan
sabar hingga darah berdesir-desir kejut didada dan keringat menguap ke udara.
Namun ternyata bukan jihad mempertahankan hidup yang kutempuh, melainkan kaprah
menabung dosa. Aku bagai terperangkap dalam takdir hidup. Mungkinkah ini karena
aku terlalu akrab bercengkerama dengan dunia malam hingga mata ini tak cukup
terang melihat cahaya, hingga aku tak menyadari permainan perbudakan duniawi
telah menyusupi relung nurani? Apabila aku telah ikhlas menerima semua ini,
apakah Tuhan pun telah menerima syukurku ini selapang aku mengucapkannya?
Melihat keadaanku begini, aku semakin yakin, terciptanya kehidupan umat
manusia di dunia ini menuruti tata atur ilmu judi. Apapun yang diperoleh dan
didapatkan tidaklah sepenuhnya ditentukan oleh usaha dan doa, melainkan perkara
untung-untungan belaka. Tak ada seorangpun yang berkesempatan memilih dirahim
ibu mana ia ingin dilahirkan dan dikeluarga seperti apa ia ingin dibesarkan.
Jalan terakhir yang dapat dicapai hanyalah menurut patuh pada segala ketetapan
Tuhan. Meskipun terkadang jalan itu tak membawanya pada keberuntungan dan
kepuasan duniawi sama sekali-----bahkan mungkin di akhirat?
Kalau tidak, dapat dipastikan takkan ada manusia yang terlahir dalam
kemiskinan, kekurangan, ataupun kelaparan.
Apabila aku sendiri diberi kepercayaan untuk memilih, pasti aku juga
takkan memilih hidup dalam kesengsaraan seperti yang harus kualami saat ini.
Aku akan memilih terlahir ditempat segala kemewahan, tumbuh ditengah-tengah
kebanggaan dan kepuasan. Sialnya, takdir bagai mendamparkanku ditempat yang
justru dapat menjerumuskanku pada keburukan. Namun, akupun cukup beruntung,
meskipun hidup cuma bermodalkan ijazah SMP, aku mendapatkan upah yang lumayan
disini. Aku mampu membantu menyekolahkan adik-adikku dan orangtuaku yang
akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Walaupun demikian, jikalau ada tawaran pekerjaan
lain dan memberikanku upah yang layak, aku akan segera keluar dari club malam.
Namun bisakah Tuhan senantiasa memilihkan takdir hidup yang aku harapkan,
sementara orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi dari akupun masih banyak
mengeluhkan sulitnya mencari kerja?
Sulit dibayangkan apabila orangtuaku tahu bagaimana aku bekerja di
ibukota. Entah serupa apa wajah kekerasan mereka melihat anaknya membawa-bawa
minuman beralkohol dari satu meja ke meja lainnya. Mereka pasti memarahiku
habis-habisan. Airmata mereka akan mengalir menangisi kelalaian anaknya. Maka,
aku tutup-tutupi keadaanku di ibukota agar aku dapat tetap menjadi sumber
kebanggaan bagi kedua orangtuaku.
Bagaimanapun juga, aku memang tak boleh berburuk sangka pada Tuhan.
Kendati aku mesti tetap setia pada dasar yang memberikanku penghasilan.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya yang kulewati, aku tengah
sibuk membawa nampan kesana kemari, menghampiri meja-meja para pelanggan dengan
ramah tamah dan senyum pura-pura. Meskipun sudah lama mengabdikan diri disini,
aku belum benar-benar terbiasa dengan gaya pencahayaan dan segala hingar bingar
yang terdengar dalam ruangan ini. Seperti berada ditengah-tengah neraka.
Sesekali aku mengasingkan diri di belakang atau toilet, menghindari keramaian
dan ketegangan yang mengganggu kekuatan mentalku.
Saat aku mencuci muka, melalui cermin yang terpasang didepan hidungku,
aku melihat seorang pria keluar dari salah satu pintu kamar toilet. Ia
mengancingi kemejanya dan menarik resleting celana panjangnya keatas. Yang
membuatku terbengong-bengong, dari pintu toilet yang sama juga keluar sesosok
perempuan. Rambutnya yang berantakan dicoba dirapikannya kembali. Kemudian,
mereka bergandengan tangan keluar dari sini.
Nah, inilah yang aku bilang ‘kesurupan’ itu!
Disini, sepertinya bukan hal asing lagi melihat dua orang manusia
berlainan kelamin memasuki satu pintu toilet yang sama. Tak tahu jenis
permainan seperti apa yang mereka mainkan didalam sana, tapi siapapun pasti
dapat menebaknya; ‘kesurupan’. Ketika sepasang manusia antara laki-laki dan
perempuan berada dalam satu ruangan yang terpojokkan, apalagi luas ukurannya
terbatas, maka dapat dipastikan yang ketiganya adalah setan. Yang menjadi
teka-tekinya adalah pada tubuh manakah setan itu merasuk; perempuankah atau
laki-lakikah? Memang, biasanya kaum perempuan lebih mudah dirasuki, tapi pada
kenyataannya dalam hal-hal kesurupan yang berkaitan antara lawan jenis selalu
yang dominan biasanya pihak laki-laki. Sementara pihak perempuan hanya tinggal
pasrah dan menyerah, karena ia sudah tahu betul yang merasukinya bukan makhluk
halus, tapi makhluk kasar yang sudah tahu betul letak celah yang harus
dirasukinya.
Seakan hendak merekontruksi kembali apa yang telah terjadi di toilet
tadi, aku masuk kedalam sana. Tengak-tengok memperhatikan setiap sisinya. Aku
menemukan selingkar cincin tergeletak diatas lantai. Aku perhatikan baik-baik
dan menggigit-gigit cincin tersebut,
menerka-nerka terbuat dari bahan apakah cincin tersebut. Tiba-tiba perempuan
itu datang lagi. Saking kagetnya dengan kehadiran perempuan itu kembali, cincin
itupun terlepas dari genggamanku dan masuk kedalam lubang closet.
Seperti orang gila, perempuan itu marah-marah padaku.
“Ya Tuhan, cincinku! Itu cincinku!
Kau menjatuhkan cincinku kedalam lubang closet?”
“Aku dapat mengambilnya kembali”.
Akupun mengambilnya. Gugup.
Namun perempuan itu malah semakin marah. “Kamu tahu
itu adalah cincin pertunanganku. Cincin itu adalah tanda kesucian kekasihku
yang hendak meminangku. Sementara, kau menjatuhkan cincin itu pada lubang
closet---- tempat segala kekotoran dibuang kesana dan menjadi penghuni tetap
didalamnya. Apa kau pikir cincin itu masih layak terselip dijari tanganku? Ya
Tuhan, bagaimana jadinya pernikahanku nanti apabila yang terselip dijariku
sesuatu hal yang kotor”.
Perempuan itu menggeram sejadi-jadinya padaku. Ia seperti hendak melahapku
mentah-mentah, menjadikanku bulan-bulanannya yang lemah. Akupun cepat membela
diri. “Aku dapat membersihkannya”.
“Mana
mungkin sesuatu hal yang suci dapat bersih seperti sediakala dengan hanya
dibasuh air biasa?”
“Maksud
Anda?”.
“Kamu
harus ganti rugi membersihkan cincin ini”
“Apa?”
Omongan perempuan itu memang pepesan
kosong. Lagipula cairan khusus macam apa yang sering digunakan untuk
membersihkan cincin yang jatuh kedalam lubang kloset. Aku yakin perempuan itu
tengah mengelabuiku. Ia berusaha mengambil keuntungan dariku. Seandainya saja
aku punya mulut seleluasa presiden berpidato, aku akan bilang, mana bisa
kesakralan pernikahan itu bakal terwujud, sementara perempuan itu sendiri telah
melakukan hubungan kerjasama antar kelamin diluar ketentuan dan tuntunan.
Meskipun lelaki yang bersamanya didalam toilet tadi itu adalah tunangannya
tetap saja masih tergolong tindakan asusila. Tapi, bagaimana jadinya kalau
ternyata lelaki itu justru orang yang baru dikenalnya disini? Bukankah biasa,
disebuah club malam, tanpa tedeng aling-aling perkenalan sekalipun, pergaulan
yang dapat memancing ‘kesurupan’ dapat terjadi kapanpun dan dimanapun?
Walaupun demikian, perempuan itulah yang pegang kendali. Ia mengancamku.
Ia adalah pelanggan setia club malam ini. Dan aku pasti akan sulit menghindarinya.
Apabila aku tak menuruti kemauannya, kira-kira bagaimana aku menghidupi tubuh
ini dan membantu segala kebutuhan keluargaku? Tapi menurut kata-kata orang juga
aku pernah mendengar biaya perawatan benda-benda yang terbuat dari logam mulia
dapat semahal harganya
Kalau begitu aku takkan bisa membela diri sedikitpun!
Sejalan dengan itu semua aku semakin diingatkan pada posisi kritis
sebagai orang miskin. Sebagaimana hidup dan kehidupan yang selalu terpaku pada
landasan pemenuhan materi belaka, maka limpahan materi bagi orang-orang kaya
menjadi sumber kepercayaan diri untuk mengembangkan watak keotoriteran, dan
menganggap makhluk yang bernasib dibawah garis tangannya sebagai pelarian dari
nafsu dan kesalahan mereka. Dengan begitu, aku mengutuki keadaanku sendiri.
***###***
Melewati waktu semalam tadi sungguh menguji kesabaranku. Penuh
ketegangan yang memacu debar didada lebih cepat. Namun akhirnya aku dapat
kembali pulang ke rumah kontrakanku. Sudah cukup beruntung aku mendapatkan
tempat singgah yang kecil dan berbau apek begini. Cat dinding telah mengusam,
namun cukup kokoh menahan arus angin yang bertiup kearahnya. Kugelar matras
tidur diatas lantai, dan aku baringkan diri diatasnya. Mataku tak sanggup
memejam. Tragedi semalam telah menumbuhkan serabut-serabut akar yang menusuk
tajam arus pusat pikiranku. Paras perempuan terkutuk itu terasa menyerang
kepekaan sisi sadarku.
Dari
kamar mandi yang terletak disebelahnya terdengar suara batuk-batuk yang semakin
hari terdengar semakin memprihatinkan. Namun aku tak terlalu ambil pusing.
Barangkali lebih tepatnya tak peduli. Pikiranku sungguh tersita untuk mencari
jalan keluar dari masalah ini. Aku bengong dan melamun sendiri.
Erik, kawan serumah kontrakanku, keluar dari kamar mandi tersebut. Ia
goyang-goyangkan bahuku. Lamunanku buyar. Kulihat wajah pucatnya yang dihiasi
sepasang mata yang juga bersinar pucat. Tubuhnya begitu kurus setirus daun
kering yang dimakan cacing tanah. Kondisi fisiknya persis sama dengan orang
yang melakukan puasa empat puluh hari empat puluh malam.
Erik, kawan seperjuanganku. Dulu ia juga bekerja di club malam
bersamaku. Namun mengingat kondisi badannya yang memprihatinkan, ia memilih
bekerja sebagai tukang parkir disebuah pusat perbelanjaan. Upah disana lebih
rendah. Setidaknya pekerjaan tukang parkir telah menghapus gelar manusia
nokturnal dalam dirinya. Namun aku pikir, Erik menyembunyikan satu rahasia
padaku terkait pengunduran dirinya bekerja di club malam itu.
“Sudah
siang. Adzan baru saja terdengar. Kamu mau shalat zhuhur gak?”, ia
mengingatkanku.
Aku
geleng-geleng kepala. Tersenyum-senyum kecil menutupi rasa malu padanya. Erik
bukan seorang muslim sepertiku. Ia katholik. Tapi daya toleransinya sangat tinggi.
Bahkan ia terlihat lebih dapat mengukur waktu dan lebih peka mendengar
suara-suara kebesaran yang di senandungkan dalam masjid-masjid. Ia sudah sangat
sering mengingatkanku sembahyang. Sementara aku sendiri punya sikap malas yang
mesti dilawan. Karena ia, akupun jadi rajin beribadah. Justru itulah yang
membuat hubungan pertemanan kami tak kenal selisih. Erik seperti bagian dari
keluargaku sendiri.
Kami
selalu berbagi dalam segala hal. Termasuk rahasia-rahasia yang memilukan dan
memalukan. Selain tubuh cekingnya itu, satu hal lagi yang membuatku merasa
malang padanya adalah perbedaan kita; agama. Betapa semua agama menjanjikan
surga bagi para penganutnya yang setia. Tapi diluar agama itu, setaat dan
serajin apapun seseorang beribadah, nerakalah jawabannya. Aku yakin agamaku
adalah yang paling mutlak benarnya. Aku pikir Erik juga pasti demikian terhadap
agama yang dianutnya. Tak mungkin aku menyuap-nyuapkan keyakinanku pada Erik.
Lantas, bagaimana jika suatu saat nanti aku diizinkan masuk surga atas
dasar ingatan dari Erik, sementara orang yang mengingatkanku sendiri tak berhak
masuk kesana? Apa kira-kira yang mesti kulakukan? Apakah mesti aku memohon,
membisu, atau justru ikut terjun kedalam neraka tersebut?
Dengan sendirinya, aku mulai berani menyimpulkan apabila neraka adalah
tempat segala bara dikipasi dan api panas berkobar-kobar, maka kupastikan surga
adalah tempat yang dingin membeku.
Disini aku telah menakar-nakar kebijaksanaan Tuhan. Mengapa agama yang
menyebutkan ajarannya adalah rakhmat bagi seluruh makhluk alam semesta tanpa
terkecuali masih bermain-main rahasia dengan hidayahnya? Kelihatannya tidak selalu surga menjadi
tempat orang-orang baik. Tidak selalu neraka menjadi tempat orang-orang jahat.
Maka tak heran diluar sana begitu banyak bom bunuh diri yang begitu percaya
diri mengatasnamakan agama. Tak heran apa yang berasal dari barat selalu
dianggap haram. Sebaliknya dengan tedas pula, bangsa barat selalu bilang
apa-apa yang berasal dari Islam tak ubahnya semacam tradisi lawas yang
mengekang seseorang dalam berkreatifitas diabad ini.
Seperti hidup dan kehidupan, ternyata takdir memeluk suatu agamapun
tersisip paham ilmu judi; untung-untungan. Barangkali itulah sebabnya. Agama
tak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Kepastian yang dianggap
paling pastipun belum tentu menjanjikan kepastian. Ketika aku mencoba melihat
dunia dari berbagai sudut, ternyata tak benar-benar ada kenyataan yang
memberikan kenyataan senyata-nyatanya. Semua jalan hanya mengarah pada satu
alam serba maya. Segalanya dipenuhi keyakinan yang mencemaskan, mengeluhkan
banyak-banyak kepercayaan, dan menakuti ketaatan lain. Naungan-naungan itu
sekedar teduh pada ambang teka-teki. Selebihnya menggerahkan nalar pada alam
pikiran dan jiwa.
Untuk saat ini tabir makna kehidupan belum terbuka sepenuhnya. Aku
sendiri tak bisa memastikan siapa yang menang dan kalah dalam aturan ilmu judi
kehidupan.
“Erik”,
kataku hendak memulai diskusi dengannya, “saat kita berada dikehidupan baru,
diakhirat nanti, bagaimana kalau salah satu dari kita ditempatkan pada
seburuk-buruknya tempat?”.
“Aku tak
peduli aku akan masuk surga atau neraka”, jawab Erik lugas. “Terlalu banyak
agama yang dianut manusia dan aliran-aliran baru yang terlahir dari agama-agama
tersebut sehingga surga dan neraka semakin sulit dilogikan. Sekarang ini, bukan
lagi ajaran agama yang mesti diikuti manusia, tapi sebaliknya agamalah yang
mesti mengikuti sekehendak nafsu manusia. Tanpa kecuali. Sebagai orang awam,
satu-satunya yang dapat kita jalani adalah keikhlasan.
“Kita
jangan terlalu berharap apa yang akan diberikan Tuhan atas amal dan pahala yang
kita perbuat. Itu namanya pamrih. Sementara dalam semua agama, aku yakin tak
pernah diajarkan tentang pamrih. Kita murni dituntut mencintai Tuhan tanpa
alasan apapun. Apabila kita menganut suatu agama karena adanya pamrih kita
pasti kecewa sekalipun itu menyangkut ketuhanan.
“Tuhan
memang satu. Tak ada yang lain dan tak ada bandingannya. Apabila agama yang
kita anut dengan penuh ketaatan itu ternyata bukan agama yang ditetapkan Tuhan
, mungkin aku akan menyesalinya. Mungkin juga tidak. Aku menganut agama
berdasarkan pilihan dan keyakinan nuraniku, serta kecintaanku yang amat
mendalam pada Tuhan. Maka dari itu, sekalipun kita masuk neraka karena agama
yang kita anut itu salah, apabila kita mencintai Tuhan sungguh-sungguh,
parcayalah api neraka takkan sanggup membakar diri kita. Bahkan mungkin akan
lebih nyaman di neraka daripada di surga”.
Lantas Erik menatapku serius dan mendalam. “Aku pikir kau satu-satunya
muslim yang masuk neraka”.
“Kenapa?”, aku sedikit terperanjat.
“Kamu
sudah tahu berhubungan dengan minuman beralkohol sekalipun itu sedikit dalam
agamamu pasti dicatat sebagai dosa. Sementara kau masih saja tetap melakoni
pekerjaan itu”. Seraya Erik berbisik tepat didepan mataku. “Jangan kau ragu
pada Tuhan. Tak ada keburukan yang diajarkan Tuhan dalam setiap agama-Nya. Ia
melarang dan menyuruh pasti karena ada sebab dan akibatnya. Tuhan pasti akan
mencukupimu”.
Sekali lagi, aku merasa tertampar. Untuk kali ini, aku tak tahu apakan
Erik mengejekku atau mengingatkanku. Kebodohanku seakan tampak begitu nyata
dalam pandangannya. Aku jadi bertanya-tanya apakah pengunduran Erik bekerja di
club malam itu karena ada Tuhan dalam hatinya?
Aku
ucapkan istighfar berkali-kali.
Betapa selama ini aku telah berlaku dzalim pada diriku sendiri. Aku telah
berpikir ceroboh. Mengapa aku menilai Tuhan dan melihat suatu paham hanya
berdasarkan logika semata, sementara aku sendiri terlalu memakai ego untuk
mengukurnya. Padahal, suatu fakta peristiwa yang dianggap paling rasional
sekalipun manusia masih memerlukan bertanya dan cenderung lahir perbedaan
pendapat. Meskipun sangat rasional, logika takkan cukup mampu menyerap
seluas-luasnya apalagi sebenar-benarnya. Tuhan bukanlah air, udara, api ataupun
batu. Tuhan bukanlah semesta. Mengapa aku masih bertanya dan perlu
mempertanyakannya. Bahkan mengukur keluasan alam pikiran dan jiwa sendiripun
aku tak mampu.
Selepas shalat zhuhur, Erik kembali menyapaku. “Tadi shalatnya khusyuk
benar”, godanya. “Ada masalah, ya?”
Sudah
menjadi kebiasaan Erik mengintipku dari balik pintu ketika shalat. Tak tahu apa
yang membuatnya tertarik memperhatikan gerakan demi gerakan ibadahku. Saat itu,
ia akan terlihat asyik dan serius. Entahlah apa yang dicarinya. Untuk itu,
lekas saja aku menjawabnya santai, “Sok tahu!”.
“Bohong!”, tukasnya. “Kita sudah
cukup lama tinggal seatap disini. Aku sudah kenal mana dirimu yang lepas dan
mana dirimu yang penuh beban”.
Aku lihat sepasang mata Erik
mengarah tajam padaku. Begitu menyorot dan dalam. Aku tak enak, namun akupun
tak mau terlalu merepotkannya. “Betul, aku tidak apa-apa. Tidak ada masalah.
Barangkali itu hanya perasaanmu saja”.
“Barangkali juga kau tak percaya
padaku”, timpalnya menekan. “Baiklah. Barangkali itulah sebabnya aku selalu
merasa tak nyaman ketika berada didekatmu. Aku tak berani mengungkapkan
masalahku padamu. Kita tidak seperti selayaknya sahabat”.
Kali ini tatapan Erik begitu mendesakku. Terasa meneror membuatku merasa
terdorong dan lemah. Sebegitu perhatiannyakah ia padaku? Atau mungkin karena
watak keras kepalanya yang selalu ingin mengetahui segala hal tanpa peduli
batas-batas?
Terpaksa, akhirnya aku menceritakan tragedi cincin itu.
Erik hanya mengangguk-ngangguk mendengarkan. Diluar dugaan, ia membuka
lemari laci pakaiannya dan menyerahkan lembaran-lembaran rupiah pecahan lima
puluh ribuan padaku. “Ini uang hasil tabunganku. Kau gunakan saja dulu”.
Aku geleng-geleng kepala sanbil
berusaha memasang senyum. “Tidak usah. Aku dapat menyelesaikan masalah ini
sendiri”.
“Bagaimana kau menyelesaikannya?
Menghajarnya? Lapor polisi? Menuntutnya ke pengadilan? Kita orang kecil dan
lawanmu adalah manusia sombong----takkan mampu kau menyelesaikan masalah ini
dengan cara-cara besar seperti itu. Yang ada justru menambah masalah. Ayolah,
terima ini!”.
Erik terus memaksa. Aku tak punya kuasa. Ditengah kemiskinan, aku selalu
mencari belas kasihan dari orang-orang, namun biasanya mereka lebih senang
memalingkan wajah dari keberadaanku. Tiba-tiba saja aku bertemu dan mengenal
Erik. Namun ini ternyata tetap tak membuatku bahagia. Sebaliknya heran dan
bingung. Entahlah, sebenarnya dipurnama keberapakah makhluk sehebat Erik
dicipta dan dilahirkan? Ya Allah, aku tak mengerti.
***##***
Malam kembali datang meredupkan sinar matahari tenggelam dibarat langit
sana. Diiringi hembus angin malam aku melangkah keluar dengan ketetapan hati.
Aku harus mencipta tonggak sejarah pembaharuan hidupku saat ini juga.
Doktrin-doktrin dan segala sindiran Erik yang diarahkan padaku telah menyumsum dalam tulang belulangku. Benar
katanya apabila aku ingin merasakan kenikmatan hidup dunia dan akhirat aku
harus menuruti apa yang diperintahkan dan dilarang Tuhan dengan penuh
keikhlasan. Mulai detik ini, telah kuputuskan untuk mengundurkan diri bekerja
sebagai manusia nokturnal di club malam itu.
Memasuki ruang utama club malam ini membuatku ingin segera meninggalkan
dan melupakan tempat ini. Disini semakin larut semakin ramai dan berisik. Suara
musik menggema memenuhi ruangan, menghalau malam dari kesunyiannya. Sistem
pencahayaan diatur sedemikian rupa dengan keremangan dan ketemaraman bagai
bintang yang kehabisan energi. Kelap-kelip lampu sengaja dibuat untuk semakin
menyamarkan pandangan, agar membuat para pengunjung lebih bebas dan leluasa.
Para muda-mudi yang mengaku metropolis berdatangan dan tersugesti untuk
menyesuaikan gerak tubuh dengan irama musik dilantai disko. Mereka tertawa-tawa
tanpa beban, namun tak tahu apa yang tengah menghunus kearah mereka dibalik
semua ini. Berada satu ruangan bersama oarang-orang seperti itu membuatku
merasa terjauhkan dari kenyataanku yang semestinya. Segera aku naik ke lantai
atas menemui manager club malam ini di ruang kerjanya. Ia menerima surat
pengunduran diriku. Dengan satu anggukan kepala, ia langsung meluluskan
keinginanku itu.
Setelah itu aku kembali turun. Aku harus segera pulang sebelum wanita
sialan itu melihatku. Namun aku terlambat. Ia berhasil mencegatku.
Penampakannya yang tiba-tiba didepanku membuatku terkejut. Sambil berkacak
pinggang, ia tadahkan tangan kanannya dihadapanku. “Mana?”, mintanya dengan
gaya khas seorang pemalak.
Dengan ragu-ragu aku serahkan amplop yang berisi uang pemberian Erik
itu. Wanita itu mencium amplopnya dan tersenyum puas. Pandangannya sungguh
merendahkanku. Lantas ia kembali gabung bersama teman-temannya. Ia duduk
didekat seorang pria tampan. Tiba-tiba kulihat, tanpa segan pria yang duduk
disebelahnya itu langsung mencium bibirnya diantara keremangan lampu yang
kelap-kelip. Bila aku lihat dalam-dalam wajah pria itu sepertinya bukanlah pria
yang kulihat ditoilet kemarin. Dasar wanita sundel!
Aku memendam geram dalam hati. Apakah aku telah berbuat salah? Sebegitu
bodohkah diriku mau memberikan uang yang jumlahnya sama dengan gaji sebulanku
disini? Tak seharusnya malam ini aku berada disini. Seharusnya aku langsung
saja lari dari sini tadi dan tetap mengantongi uang itu walau ada ancaman.
Sial! Menjadi orang miskin memang akan selalu menempati posisi yang kalah.
Sepanjang perjalanan pulang aku tenangkan diri ini dengan berjalan kaki,
mengamati setiap lekuk kota diantara kegelapan malam. Bayangan diriku tumbuh
kurus memanjang dipermukaan aspal dan tanah. Lampu-lampu kota yang menyala
sedikit menghibur hatiku, meredam segala kekacauan yang berkecamuk dalam dada.
Kutatap sebuah papan reklame yang berdiri tinggi diatas kepalaku.
Gambarnya terlihat lebih cerah dan terang daripada keadaan disekitarnya. Aku
mulai banding-bandingkan keberuntunganku dengan wajah sumringah yang terpampang
dipapan reklame tersebut; masih adakah garis-garis kebahagiaan yang dapat
terbaca diwajahku ini?
Sesampainya di rumah aku langsung duduk diteras depan, meregangkan
otot-otot kakiku yang tegang setelah berjalan jauh. Disela-sela bunyi klakson
dikejauhan, aku mendengar suara batuk-batuk dari kamar mandi. Aku
mengakrabinya. Tak lain lagi ini pasti Erik.
Aku prihatin mendengar suara yang keluar dari tenggorokan Erik ini.
Begitu payah dan lemah. Entah penyakit apa yang bersarang dalam dada Erik. Aku
ketuk-ketuk pintu kamar mandi dengan cemas. Erik tak menjawab. Kemudian, suara
batuk itu terhenti. Tak terdengar lagi. Aku semakin cemas. Kembali pintu aku
ketuk-ketuk sambil teriak, “Erik! Erik! Erik!”.
Tak ada jawaban.
Aku coba intip melalui celah lubang kunci pintu. Aku terperangah
setengah mati. Segera kudobrak pintu. Tubuhku terdorong-dorong kedepan dan hampir
saja jatuh terpeleset karena ceceran darah merah yang membanjiri lantai. Tubuh
Erik tergolek lemah, bersandar diatas dinding kamar mandi dengan darah
belepotan.
Erik segera kubawa ke rumah sakit terdekat. Ditempat ini, aku
benar-benar menemui apa yang disebut kenyataan yang tak benar-benar
memberikanku kenyataan senyata-nyatanya. Dan memang sudah selayaknya aku
menjadikan ini keakraban tersendiri dalam hidupku. Mungkin dengan begitu aku
tak perlu terlalu mencemaskan atau menakuti apapun. Namun, tetap saja ini
melahirkan penyesalan yang tak bisa ditebus dengan air suci apapun.
“Maaf, kami sudah berusaha semampu
yang kami bisa. Jiwa Erik tak bisa tertolong lagi. Paru-parunya telah keropos”.
Kata-kata dokter itu terus menggema ditelingaku seperti berbisk-bisik
menyalahkanku. Aku kesepian. Aku membisu diam dengan pikiran melayang jauh.
Entah merenung. Entah melamun.
Barangkali juga kau tak percaya padaku.
Barangkali itulah sebabnya aku selalu merasa tak nyaman ketika berada
didekatmu. Aku tak berani mengungkapkan masalahku padamu. Kita tidak seperti
selayaknya sahabat.
Tiba-tiba saja aku merasa menjadi orang paling bodoh
sedunia-----sebodoh-bodohnya manusia yang isi otaknya cuma berupa tengkorak
udang. Sebegitu egoiskah aku hingga Erik tak mempercayaiku? Sebegitu tololkah
aku hingga tak paham maksud kata-kata Erik tersebut? Kedunguankupun semakin
berlipat-lipat dengan menerima uang tabungannya. Padahal, seharusnya aku sadar
uang itu untuk membiayai penyakit paru-parunya.
Hari ini tak henti-hentinya aku membentak kedunguanku. Tiba-tiba aku
diingatkan untuk memanjatkan doa. Lantas, cara doa seperti apa yang pantas aku
panjatkan untuk Erik; sesuai dengan keyakinankukah atau keyakinan Erik?
Barangkali ada baiknya juga aku menyanyi. Lalu, lagu seperti apa yang layak aku
dendangkan disaat-saat seperti ini? Apakah airmata penyesalanku ini mampu
menjadi doa? Mungkin, terkadang, dalam memahami ajaran sebuah agama aku mesti
menyingkirkan sisi kemanusiaan ini.
Ditengah kegalauan sekacau ini aku hanya mampu memohon pada Tuhan
begini, “Ya Allah, berikanlah sahabatku ini tempat yang baik disisi-Mu. Mungkin
bukan di surga. Bukan pula di neraka. Karena apabila aku mengingat kedua tempat
itu, kedengarannya kehidupan akhirat tak seluas seperti yang kubayangkan. Aku
yakin aku takkan pernah bertemu lagi dengan sahabat terbaikku disana. Sekalipun
bertemu kembali, kita pasti sama-sama berada didalam kesengsaraan. Sungguh itu
adalah seburuk-buruknya pertemuan.
“Ya Allah, barangkali ditempat
ketiga----suatu tempat yang mungkin tak pernah kau gembar-gemborkan tempat dan
namanya pada hamba-hamba-Mu----Kau dapat mempertemukan kami kembali dengan
kebahagiaan. Sungguh kemurahan hati-Mu tetap kami harapkan sekalipun itu dalam
keterlambatan kehidupan akhirat.
“Ya Allah, betapa agung dan
megahnya singgasana-Mu itu. Mengapa kau tak bawa kami serta saja kesana? Kami
rela menjadi budak-budak disisi-Mu. Sebaliknya, Kau justru menyuruh kami
memilih diantara dua; surga atau neraka?”.