Halaman

Sabtu, 31 Desember 2016

KEBUN BINATANG part 4

Warga Jakarta yang selalu dikenal sebagai kaum individualis, di sini sama sekali tak terbukti. Golongan bawah memang tak bisa disamakan dengan golongan atas. Sebagai masyarakat yang hidup seadanya di Jakarta tak bisa satu sama lain saling mengasingkan diri, bersikap mementingkan diri sendiri. Aku menikmati suasana kebersamaan di sini, sekalipun antara penghuni kost dan warga ada hal-hal yang membatasi. Selalu ada senyum dan sedikit keramahan. Di waktu-waktu sibuk di kamar mandi mereka saling berbagi sabun cuci dan saling memompakan air. Di waktu senggang para ibu dan istri berkumpul di teras sempit salah satu rumah tetangga. Tiap kali terjadi kecerobohan dan kesalahan kecil selalu terdengar kata maaf, kemudian dibalas dengan kata tidak apa-apa. Keributan paling lazim di sini paling-paling pertengkaran suami istri ataupun kerewelan anak-anak.
Aku pikir di sini memang ada aturan tak tertulis bahwa apabila antar warga ada sedikit hal-hal yang tidak disukai atau sedikit merugikan ada baiknya dibicarakan di belakang punggung.
Pagi merupakan saat-saat ramai di kamar mandi, tepat begitu adzan shubuh dikumandangkan, bahkan sebelum panggilan shalat itu dilantunkan orang-orang sudah mulai berdatangan ke kamar mandi. Dengan mata setengah terpejam dan malas-malasan mereka menunggu giliran menggunakan kamar mandi tersebut. Tak ada yang berebutan. Siapa-siapa yang datang belakangan, meskipun ia tengah diburu-buru waktu, ia harus menunggu, menghargai orang yang datang lebih awal, kecuali ia minta izin dan orang yang mengantri lebih awal mengizinkannya.
Aku tak habis pikir mengapa warga sini masih bersedia menggunakan pompa air manual, rela mengayunkan tangan naik turun hingga telapak tangan licin dan bahu pegal-pegal. Padahal mereka bisa patungan membeli pompa air listrik dan bisa menghemat waktu mengantri.  Aku sempat hendak menanyakan hal itu. Tapi saat aku ingat dan melihat orang-orang terbiasa memompa air dengan kedua tangan, muncul keenggananku seakan-akan itu pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan. Barangkali, sebagai seorang penghuni kost yang datang kemari hanya sekedar berteduh, aku takut mereka tersinggung, meski aku sendiri tak tahu dimana letak kesensitifannnya.
Tentu saja yang paling menyebalkan, dalam urusan kamar mandi, adalah perempuan; para ibu dan remaja gadis. Mereka tak peduli dengan antrian, seolah-olah mereka penguasa tempat tersebut. Para ibu biasanya bangun lebih awal, kemudian sebelum yang lainnya berdatangan, ia buru-buru memompa air hingga ember di dalam penuh. Setelah terisi penuh, meski ada beberapa orang tengah menunggu giliran, ia malah lari-lari menuju rumahnya, membangunkan anaknya. Pagi-pagi begini pastilah butuh usaha besar untuk menyuruh anaknya mandi dan berangkat sekolah. Setelah anaknya selesai mandi, ia tak perlu repot-repot lagi menunggu. Ia langsung masuk kamar mandi dan menghabiskan sisa air mandi anaknya. Kami menyebut itu sabotase, sementara kami hanya bisa mendumel dalam hati menyaksikan sabotase-sabotase semacam itu terus terjadi.
Untuk tipe kedua ini, sebagai lelaki sejati, seharusnya aku bisa mengalah dan memakluminya; anak gadis. Aku tak tahu mengapa para anak gadis betah berlama-lama di kamar mandi. Memang mereka selalu punya banyak ritual dan proses untuk masalah kecantikan, dan kamar mandi merupakan tempat untuk memulai proses tersebut. Sekali-kali aku ingin mengintip mereka, tapi karena suasana kamar mandi selalu ramai, dan sekalipun dalam keadaan kosong pasti selalu ada mata yang melihat, aku tak pernah punya kesempatan untuk melakukan itu.
Kadang ketika kandung kemihku penuh dan aku malas turun ke kamar mandi dan mengantri, aku selalu kencing di dalam botol, kemudian aku buang di atas atap seng. Kecuali pada malam hari, saat orang-orang tertidur, aku tak perlu menampungnya dahulu dalam botol, langsung saja aku julurkan penisku ke atas atap seng. Sialnya, kadang penghuni rumah di bawah kamar kostku tiba-tiba keluar, mengira ketukan di atap seng itu sebagai suara hujan turun. Cepat aku menahan kencingku, menutup resleting, bersembunyi di balik pintu, dan berharap orang itu tak sempat melihat tetesan air kencingku.  
            Keesokan harinya aku terlambat bangun. Biasanya aku mandi pukul enam pagi, karena pada saat itu jam-jam sepi kamar mandi dan anak-anak mulai berangkat sekolah. Kamar mandi ramai kembali sejam kemudian hingga pukul sepuluh pagi. Dengan terburu-buru aku segera turun dari kamar kost. Di depan kamar mandi ada beberapa orang tengah duduk mengantri dan beberapa ibu rumah tangga tengah mencuci baju. Karena tak mungkin aku menunggu sampai orang-orang itu selesai mandi, aku memutuskan kembali naik ke kamar kost. Aku langsung ganti pakaian. Tanpa cuci muka dan gosok gigi, hanya menggunakan deodorant, aku berangkat kerja.

            Memang hampir semua perihal kehidupan di lingkungan semacam ini sama sekali tak menyenangkan, tapi benar-benar menguji kesabaranmu, menuntutmu pandai-pandai mengatur waktu dan menghargainya. Saat mengantri mandi aku dapat mengambil satu pelajaran hebat bahwa ketika bertemu dan berurusan dengan ibu-ibu, dimanapun kita berada, wajib kita berwaspada, karena menghadapi mereka tak cukup dengan bersabar. Sekaligus juga aku mengerti, meskipun keadaan hidupku tidak mengikuti kemajuan Jakarta, itu bukanlan sesuatu yang merugikan.
******

            Kebersamaan warga sini juga terjalin saat merayakan hari-hari kebesaran tertentu atau salah seorang warga atau keluarga mengadakan acara-acara tertentu.
            Sebulan menjelang hari raya Idul Adha, ketika hendak berangkat kerja para ibu dan beberapa gadis duduk berbaris di lorong-lorong. Mereka tengah mengupas kentang dan memotong sayuran. Daging dan ikan dicuci di kamar mandi sehingga lantainya menjadi licin dan amis. Mereka bekerja sama membantu salah satu warga yang hendak mengadakan pesta pernikahan-----menjelang hari raya memang musimnya orang-orang kawin dan surat undangan kerap membuat orang menggerutu karena pengeluaran mereka bertambah. Di lorong-lorong sempit itu mereka tertawa dan membicarakan banyak hal. Aku terpaksa melewati lorong tersebut dan para ibu segera menggeser posisi duduk mereka, juga bak-bak berisi sayuran dan daging ke tepi. Lorong itu menjadi becek dan anyir seolah-olah aku tengah berjalan di dalam pasar.
            Pulang kerja jalan menuju kamar kost ditutup palang bambu dan lalu lintas kendaraan dialihkan ke arah jalan lain. Beberapa meter  dari palang bambu itu telah berdiri tenda dan panggung hiburan. Para tamu berdatangan, lalu pergi setelah makan dan menyerahkan selembar amplop. Seorang penyanyi mendendangkan sebuah lagu dangdut sambil bergoyang-goyang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya, menggoda para lelaki yang bersedia menyelipkan rupiah ke balik dadanya. Anak-anak berlari kesana-kemari seakan-akan jalan yang diblokir ini tiba-tiba menjelma menjadi lapangan sepak bola. Pesta pernikahan itu cukup meriah meski diadakan di atas lahan terbatas. Sambil menundukkan muka dan membungkuk aku melewati panggung hiburan tersebut
            Seminggu menjelang hari raya Idul Adha di depan mushalla, sudah terikat hewan kurban. Seekor sapi dan beberapa ekor kambing. Hewan itu kurus-kurus. Terik matahari yang garang seolah bukan masalah. Mereka santai mengunyah-ngunyah dedaunan di sekitar mereka sambil buang air. Mereka asyik bermalas-malasan seakan tak ada satu masalah apapun. Tapi mereka juga tampak lesu seolah-olah mereka tahu tak lama lagi ajal bakal menjemput.
             Tak seperti hari-hari lainnya, pulang kerja aku duduk dulu di depan teras mushalla. Memandangi hewan-hewan kurban itu membangkitkan rasa empatiku. Mereka adalah hewan ternak yang tak membutuhkan kemandirian. Meski mereka tak meminta, segala kebutuhan mereka dicukupi manusia. Urusan makan dan minum tak perlu dirisaukan. Kawin pun tinggal kawin. Tapi sejak awal hidup mereka telah divonis; menjadi bahan konsumsi manusia. Aku berpikir kira-kira bagaimana perasaannya menjelang hari kematiannya.
             Seperti halnya hewan-hewan kurban itu, aku juga tak perlu merisaukan makan dan minumku. Tapi bekerja di sini membuat waktuku terasa sempit, dengan gaji secukup buat kebutuhan dasar semata, aku merasa hidupku telah tervonis; aku tak punya keleluasaan. Aku bak mempertaruhkan sisi kemanusiaanku, bersedia menjadi hewan kurban demi keuntungan segelintir pihak. Kebebasan langkah kakiku hanya berjarak beberapa ratus meter saja----jarak dari kamar kost hingga restoran.
            Aku pikir beginilah kira-kira hidup berada dalam kebun binatang. Tiap hari, hari demi hari, kau hanya berkeliaran, berlari-lari dari satu sudut ke sudut itu juga; bolak-balik. Dalam kemonotonan hidup tidur menjadi sesuatu yang menakjubkan, menjadi sebuah ritual untuk melupakan sejenak aneka kejenuhan. Tak pernah menempuh jarak pasti atau menuju suatu tempat. Sementara energi dari makanan yang kau makan dipergunakan hanya untuk menjadikan diri sebagai tontonan. Hidup tak lagi bergantung pada Tuhan, tapi pada mereka yang punya banyak uang.
******

            Ini salah satu akibat hilang keleluasaan; hari raya Idul Adha ini aku tak bisa libur. Karena Idul Adha tak sebesar hari raya Lebaran, aku tak ikut shalat Id di masjid. Aku malas bangun pagi. Ketika orang-orang pulang dari masjid, para penjagal tengah mengasah golok, dan anak-anak merasa tak sabar melihat hewan-hewan kurban disembelih, aku malah baru bangun dan pergi mandi. Aku pikir bakal ada mulut comel yang bertanya mengapa di hari raya ini aku tak ikut suka cita, tapi ternyata warga sini mengambil sikap tak peduli. Setelah berpakaian sesaat aku memandangi seisi kamarku kemudian berangkat kerja seperti biasa, melakukan kesibukan-kesibukan yang tak memiliki nilai istimewa.
            Sorenya, dengan langkah kaki penuh kehampaan, terdapat ceceran darah mengering di atas tanah serta bekas lubang sempit tempat menampung darah hewan kurban telah ditimbun kembali. Kulit-kulit hewan kurban disandarkan di depan dinding mushalla. Ratusan lalat berterbangan kesana kemari, menghinggapi titik-titik yang mengeluarkan bau anyir daging dan darah. Sebelum tengah hari hewan-hewan itu pasti telah disembelih, untuk kemudian dikuliti, dipotong-potong, dan dibagikan kepada warga sekitar.
            Di kamar kost aku langsung lemparkan tas ransel ke pojok kamar dan membuka baju. Aku duduk di muka pintu kamar yang terbuka, membiarkan angin sore masuk ke dalam, untuk mengurangi rasa gerah dan mengeringkan keringat badan..
Saat aku pikir hari raya ini bakal menyakitkan, bahwa paling-paling hanya bisa memandangi orang-orang sibuk mengipasi bara panggangan, membolak-balik tusuk sate, kemudian menyantapnya, tiba-tiba Bu Warni mendatangi kamar kost-ku. Ia membawa sepiring gulai kambing dengan kuah minyak berkilau-kilau. Bumbu rempahnya semakin membangkitkan gelora perut dan lidah. “Kalau kurang minta lagi saja sama Bu Susi. Dia panitia daging hewan kurbannya.”
Bu Warni juga menjelaskan bahwa daging kurban tidak dibagikan dalam keadaan mentah melainkan dalam keadaan masak. Para ibu di lingkungan ini yang memasaknya bersama-sama. Seluruh penghuni pemukiman ini, tak terkecuali para penghuni kost juga mendapat jatah. Pikiranku tadi yang hanya bisa menikmati kesesakan asap hasil pembakaran sate terobati. Untuk sekian lamanya tinggal sebagai anak kost, dimana nasi warteg merupakan makanan mewah, akhirnya aku dapat mencicipi gulai kambing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar