Kepada kondektur bus aku minta
diturunkan tepat di depan Ratu Plaza. Pelan-pelan bus bergerak ke pinggir.
Sebelum aku turun, kondektur menyembulkan kepalanya keluar jendela bus,
memastikan begitu ia membuka pintu tak ada kendaraan atau orang lewat di dekat
bus. Setelah dirasa cukup aman, ia mempersilahkanku turun.
Agak
lega akhirnya aku dapat memijakkan kaki di atas permukaan aspal jalan. Selama
berada dalam badan bus aku seperti ditimpa gempa kecil-kecilan. Kaki dan
badanku berayun-ayun bak sebatang alang-alang yang goyah ditiup angin sore.
Bahkan hampir-hampir badan dan jantungku terjatuh ketika bus bergerak atau
mengerem mendadak. Beruntung aku dapat tempat duduk setelah beberapa penumpang
turun di beberapa titik pemberhentian. Barangkali karena lelah berdiri dan
udara AC yang terlampau dingin seperti hembusan angin gunung, aku mengantuk. Aku menguap sekali dan mencoba menahannya. Aku takut
terlihat konyol dalam keadaan tidur. Orang-orang yang terbiasa menggunakan
kamera gawainya bisa saja berlaku jahil. Mereka memotretku, lantas menyebarkan
hasil jepretannya melalui media sosial. Di era digital ini tidur di muka umum
dapat menjadi sebuah aib.
Dan apapun yang dapat menjadi aib
seseorang adalah hiburan paling seru ditengah kebosanan rutinitas.
“Senayan City?” tanyaku begitu
berpapasan dengan seorang perempuan Jakarta. Ia berjalan terlalu terburu-buru. Kelihatannya
ia terlambat. Ia benar-benar merasa terganggu saat aku tiba-tiba menghadangnya.
Mau tak mau ia meladeniku. Dengan perasaan enggan ia menunjuk ke arah belakang
gedung Panin Bank. Cepat-cepat aku ucapkan terima kasih dengan nada suara penuh
dosa karena telah menggangu dan memperlambat sedikit langkahnya. Barang sesaat
aku memperhatikan perempuan itu melewati pagar pintu masuk halte busway. Ia
tampak gelisah menunggu bus datang. Begitu bus datang ia seperti beradu
kecepatan bersama penumpang lainnya masuk ke dalam bus.
Di Jakarta ini memang waktu berjalan
terasa lebih cepat dari biasanya. Aku tahu persis bahwa waktu tak memiliki daya
toleransi. Sedikit kebaikan waktu hanyalah menyisakan kenangan. Di kala begitu
banyak persaingan dan perkembangan tak boleh ada satu detikpun waktu terbuang.
Sekalinya ada waktu terbuang, walau itu kurang dari sedetik, hukumannya selalu
senantiasa; tertinggal dan terbelakang.
Tak mengherankan jalanan, trotoar,
ataupun halte-halte busway seperti arena berlari. Orang-orang teriak-teriak dan
mondar-mandir kebingungan.
Aku sendiri mulai diburu-buru waktu. Tak
lucu apabila hari pertama kerja datang terlambat. Karena Senayan City berlokasi
di belakang Jalan Sudirman, aku terpaksa berjalan memutar mengelilingi beberapa
gedung. Begitu tiba di depan gedung yang aku maksud, sepasang satpam yang
berdiri penuh rasa bosan di depan pintu masuk langsung menyergap langkahku.
Ia menanyakan ID card. Aku menjelaskan
bahwa aku baru masuk kerja hari ini. Jadi aku belum memiliki kartu yang dimintanya
itu. Ia tak mau mengerti. Ia malah meminta surat pengantar perusahaan yang
membuktikan bahwa aku memang pekerja baru di sini. Lagi-lagi aku menggeleng.
“Seharusnya kau minta surat pengantar itu pada perusahaanmu,” kata satpam itu.
Masalahnya aku tak tahu aturan-aturan
keamanan yang diterapkan pengelola gedung ini. Kalau aku tahu keamanan gedung
ini dijaga seketat ini pastilah aku akan memintanya. Aku memohon agar diberi
sedikit kelonggaran. Satpam penjaga itu malah menyuruhku menunggu hingga Senayan
City dibuka pukul sepuluh pagi nanti. Aku melirik jam di layar gawaiku. Lima
belas menit lagi Senayan City segera membuka pintu masuknya.
Aku duduk di atas bangku depan gedung
ini. Dengan kendala alasan-alasan yang kualami, aku pikir perusahaan tempat aku
bekerja bakal memaklumi keterlambatanku. Lagipula keberadaanku hanya tinggal
beberapa langkah saja dari tempat aku bekerja sekarang. Paling-paling aku
terlambat hanya beberapa menit saja. Aku tak perlu was-was secara berlebihan.
Aku tengadahkan kepala ke atas. Kanopi
atap gedung ini begitu tinggi dan besar seakan-akan hendak menyaingi ketinggian
dan keluasan langit. Hujan dan panas tampaknya dapat teratasi dengan baik. Tapi
aku malah merasa ngeri tiba-tiba kanopi raksasa itu runtuh dan menubrukku.
Sejujurnya aku tak yakin dengan
keputusan ini. Meski letak ibukota tak seberapa jauh dari Klapanunggal, tempat
aku tinggal, pernah pula melintasi labirin-labirin jalan rayanya, serta sempat
tamasya ke beberapa tempat wisata andalannya, tapi itu belum cukup untuk
mengenal seluk beluk terdalamnya. Disini aku akan tinggal, bukan sekedar lewat.
Sementara persiapanku untuk tinggal disini sangatlah minim. Saking terburu-buru
aku tak sempat membawa banyak persediaan. Semua dilakukan serba cepat dan
asal-asalan. Yang aku bawa hanya tas ransel berisi beberapa potong celana dan
pakaian. Selebihnya aku mengandalkan keberanian yang dikendalikan oleh rasa
takut.
Sambil menabah-nabahkan diri, aku
sapukan pandangan ke sekeliling. Aku tersenyum lucu dan merasa aneh. Tak tahu
kenapa gedung-gedung tinggi yang tumbuh seperti pepohonan tiba-tiba malah
mengingatkanku pada rumah nenek di Jalan Lontar Raya, tak jauh dari pusar
grosir dan tekstil pasar Tanah Abang. Rumah nenekku bukanlah rumah gedong yang
selalu menjadi ciri identitas utama ibukota. Rumah nenek yang berada dalam
lingkaran gang-gang sempit hanyalah berupa bangunan kecil berbentuk kubus,
sesak dan sempit, dan terhimpit diantara rumah-rumah tetangga. Tapi dalam rumah
nenek yang pengap dan sumpek itu aku selalu merasa menjadi orang paling kaya di
dunia. Di Klapanunggal, kepada teman-teman mainku, aku membanggakan hal
demikian; rumah nenekku bertingkat dan memiliki tangga.
Itu hanya sedikit anggapan dan keyakinan
masa kecilku; tak peduli rumah itu besar atau kecil, punya kolam renang atau
tidak, asalkan rumah itu tingkat dan bertangga, tentulah itu orang kaya. Maka
tak bosan-bosan, selama berada di rumah nenek, aku naik turun tangga. Aku
merasa bahagia dapat berdiri di setiap anak tangganya sambil menghitung jumlah
anak tangga tersebut. Memang saat kecil kita begitu mudah untuk merasa bahagia.
Kini aku tahu anggapan itu keliru meski
tak sepenuhnya salah. Rumah nenekku dibangun tingkat karena keterbatasan ruang
dan lahan. Sebagai jalan keluar, untuk mengurangi kesumpekan, rumah dibangun
keatas. Tapi aku selalu tahu rumah gedongan pastilah bertingkat, bahkan
bertingkat-tingkat. Tidak hanya tingkat ke atas tapi juga ke bawah. Semakin
banyak tingkatannya semakin kaya pemilik rumah tersebut. Aku berpikir gedung
Senayan City ini, tempat kini aku duduk di bawahnya, memiliki banyak tangga.
Apabila kekayaan seseorang dihitung berdasarkan jumlah anak tangga, aku
membayangkan kira-kira berapa banyak kekayaaan yang dimiliki oleh pemilik dan
pengelola gedung ini.
Seraya pikiranku melayang jauh ke
Malaysia; menara kembar Petronas. Lalu ketika aku mulai memikirkan
tangga-tangga gedung Burj Khalifa di Dubai tak terasa waktu lima belas menit
telah lewat.
********
Aku
segara bangun berdiri. Di dalam mall Senayan City aku sedikit dipusingkan dengan
lokasi tempat kerja baruku. Setelah berhasil membaca sebuah tulisan di atas
pintu kaca rangkap aku dapat membuang nafas cukup lega. Di sinilah aku akan
bekerja; B Restaurant & Bar.
Seorang
perempuan muda terburu-buru menghampiriku. Ia menyambutku rumah. Ia pikir aku
seorang pengunjung. Lantas aku menjelaskan maksud kedatanganku. Ia mengerti
bahwa aku memang sudah ditunggu sejak tadi. Aku merasa bersalah datang
terlambat meski aku tahu itu bukan kesalahanku sepenuhnya. Ia mengantarku
menuju dapur restoran dan mempertemukanku dengan Pak Imron.
Pak
Imron tersenyum ramah dan tak masalah aku datang terlambat. Tampaknya ia sudah
mengerti betul dengan peraturan-peraturan mall ini. “Kau berpengalaman kerja di
dapur restoran?” tanyanya penuh simpatik.
“Tidak,”
ucapku gugup. “Tapi aku pikir setiap orang pasti berpengalaman kalau hanya
sekedar mencuci piring.”
“Tentu,”
ia tertawa. “Tapi aku rasa kau belum berpengalaman menggunakan mesin pencuci
piring.”
Ia
memberitahuku cara menggunakan dan membersihkan mesin tersebut.
“Itu
gampang,” ucapku tanpa perlu menanyakan hal-hal lainnya.
Semula
aku berpikir mencuci piring adalah pekerjaan sepele. Tak ada artinya. Nyatanya
di Jakarta pekerjaan ini cukup melelahkan. Setidak-tidaknya bisa memberikanku
penghasilan.
Pak
Imron memberikanku seragam dan celemek. Tak seperti kru dapur lainnya yang
mengenakan seragam putih, seragamku berwarna biru tua. Di situ aku mulai
mengerti di area dapur ini seorang pencuci piring mewakili kasta terendah.
******
Sebagai
seseorang yang pernah mengecap bangku sekolah 12 tahun lamanya, sungguh mencuci
piring adalah pekerjaan konyol yang harus aku lakukan. Setelah berlelah-lelah
mengerjakan berbagai tugas dari para guru, menghafal aneka rumus dan
keterangan, seperti sebuah keajaiban aku melakukan pekerjaan semacam ini. Tak
ada sesuainya dengan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah. Apabila
teman-temanku sekolahku tahu ini---tentu saja hanya teman-teman sekolah yang
sukses----rasa malu ini sangat menyakitkan.
Memang memiliki ijazah lulusan sekolah
tingkat atas tak bisa dibanggakan. Banyak orang yang
bekerja diluar jurusan pendidikannya. Pendidikan sekolah sama sekali tak mampu
membantu setiap anak didiknya mengenal karakter dirinya sendiri. Setiap nilai
yang diperoleh hanya sebatas biar bisa
bebas dari segala kungkungan tugas-tugas dan peraturan sekolah. Dan
ujung-ujungnya setelah lulus hanya berkutat bagaimana mendapatkan uang; mencari
kerja atau membuka usaha.
Hanya
saja dalam persoalanku ini aku malah memikirkan akankah mencuci piring
dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan? Mungkin tak akan. Sekolah hanya
menciptakan generasi-generasi materialistis. Dahulu orang pandai baca dan tulis
bisa menjadi dan dianggap ancaman besar. Seorang Solomon Northup saja, budak
kulit hitam di Amerika, sampai-sampai merahasiakan kemampuan baca tulisnya.
Hanya baca dan tulis. Kini, orang-orang seperti itu tidak berarti apa-apa.
Maka
dalam proses adaptasiku di sini pendidikan rumah lebih banyak berperan daripada
pendidikan sekolah.
Pukul
empat sore kami istirahat. Tak ada makan siang. Patokan waktu istirahat kami
adalah menunggu karyawan shift berikutnya masuk. Memang waktu sepanjang itu
cukup lama untuk menahan lapar dan lumayan beresiko terkena asam lambung.
Beruntung selalu ada makanan sisa di atas piring kotor. Sekedar mengganjal
lapar tak segan aku melahapnya.
Pak
Imron mengajakku istirahat di kantin. Sebenarnya aku enggan istirahat bersama
dengan para kru dapur. Tapi istirahat terpisah pun aku masih asing dengan mall
ini. Untuk mengenal lebih banyak sudut mall ini ada baikknya aku ikut ke
kantin.
“Kamu
lulusan apa?” tanya Pak Imron. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam.
“SMA
di Cibinong,” jawabku.
Pak
Imron mengangguk-ngangguk. “Tidak lanjut?”
“Sekolah
cuma ngabisin biaya. Mendingan kerja dapat duit.”
Pak
Imron malah tertawa. “Saya sendiri lulusan sekolah tinggi perhotelan. Rendah
atau tingginya sekolah sama saja; ujung-ujungnya jadi kacung.”
“Kalau
begitu bapak ketipu sistem,” timpal Bana, seorang kru dapur yang duduk tepat di
depan Pak Imron. “Saya pikir semua orang yang bersekolah tertipu demikian.”
Dengan
segara Bana menjadi pusat perhatian kami.
“Di
zaman apapun, sebelum Si Doel lulusan sekolahpun, yang namanya cari kerja itu
sulit. Sementara semua orang dituntut berpendidikan setinggi-tingginya.
Hasilnya lapangan kerja tetap langka, sementara tenaga ahli makin banyak.
Karena banyaknya pengangguran, tenaga ahli bisa dibayar murah. Efeknya
keuntungan yang masuk ke kantong pemilik modal makin besar.”
“Dapat
teori darimana kamu?”, Pak Imron menimpali dengan nada skeptis.
“Sekolah
memang penting, tapi hanya sedikit memberikan pengaruh,” Bana menukas.
“Koneksi. Itu yang paling penting dan berpengaruh. Sebagai orang beragama Islam
kalian pasti tahu silahturahmi dapat melapangkan rezeki. Itu artinya memperluas
koneksi. Dengan koneksi, tanpa bisa baca tulis pun, kalian bisa diangkat jadi
manager.”
“Ngelamun
lu,” Pak Imron seakan hendak menertawakan Bana. “Mana bisa begitu?”
“Setelah
punya koneksi, syaratnya sederhana saja; berani mengacungkan telunjuk lurus-lurus
ke arah mata setiap orang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar