Halaman

Senin, 26 Desember 2016

KEBUN BINATANG part 2; Tertipu Sistem

            Kepada kondektur bus aku minta diturunkan tepat di depan Ratu Plaza. Pelan-pelan bus bergerak ke pinggir. Sebelum aku turun, kondektur menyembulkan kepalanya keluar jendela bus, memastikan begitu ia membuka pintu tak ada kendaraan atau orang lewat di dekat bus. Setelah dirasa cukup aman, ia mempersilahkanku turun.
Agak lega akhirnya aku dapat memijakkan kaki di atas permukaan aspal jalan. Selama berada dalam badan bus aku seperti ditimpa gempa kecil-kecilan. Kaki dan badanku berayun-ayun bak sebatang alang-alang yang goyah ditiup angin sore. Bahkan hampir-hampir badan dan jantungku terjatuh ketika bus bergerak atau mengerem mendadak. Beruntung aku dapat tempat duduk setelah beberapa penumpang turun di beberapa titik pemberhentian. Barangkali karena lelah berdiri dan udara AC yang terlampau dingin seperti hembusan angin gunung, aku mengantuk. Aku menguap sekali dan mencoba menahannya. Aku takut terlihat konyol dalam keadaan tidur. Orang-orang yang terbiasa menggunakan kamera gawainya bisa saja berlaku jahil. Mereka memotretku, lantas menyebarkan hasil jepretannya melalui media sosial. Di era digital ini tidur di muka umum dapat menjadi sebuah aib.
Dan apapun yang dapat menjadi aib seseorang adalah hiburan paling seru ditengah kebosanan rutinitas.
“Senayan City?” tanyaku begitu berpapasan dengan seorang perempuan Jakarta. Ia berjalan terlalu terburu-buru. Kelihatannya ia terlambat. Ia benar-benar merasa terganggu saat aku tiba-tiba menghadangnya. Mau tak mau ia meladeniku. Dengan perasaan enggan ia menunjuk ke arah belakang gedung Panin Bank. Cepat-cepat aku ucapkan terima kasih dengan nada suara penuh dosa karena telah menggangu dan memperlambat sedikit langkahnya. Barang sesaat aku memperhatikan perempuan itu melewati pagar pintu masuk halte busway. Ia tampak gelisah menunggu bus datang. Begitu bus datang ia seperti beradu kecepatan bersama penumpang lainnya masuk ke dalam bus.
Di Jakarta ini memang waktu berjalan terasa lebih cepat dari biasanya. Aku tahu persis bahwa waktu tak memiliki daya toleransi. Sedikit kebaikan waktu hanyalah menyisakan kenangan. Di kala begitu banyak persaingan dan perkembangan tak boleh ada satu detikpun waktu terbuang. Sekalinya ada waktu terbuang, walau itu kurang dari sedetik, hukumannya selalu senantiasa; tertinggal dan terbelakang.
Tak mengherankan jalanan, trotoar, ataupun halte-halte busway seperti arena berlari. Orang-orang teriak-teriak dan mondar-mandir kebingungan.
Aku sendiri mulai diburu-buru waktu. Tak lucu apabila hari pertama kerja datang terlambat. Karena Senayan City berlokasi di belakang Jalan Sudirman, aku terpaksa berjalan memutar mengelilingi beberapa gedung. Begitu tiba di depan gedung yang aku maksud, sepasang satpam yang berdiri penuh rasa bosan di depan pintu masuk langsung menyergap langkahku.
Ia menanyakan ID card. Aku menjelaskan bahwa aku baru masuk kerja hari ini. Jadi aku belum memiliki kartu yang dimintanya itu. Ia tak mau mengerti. Ia malah meminta surat pengantar perusahaan yang membuktikan bahwa aku memang pekerja baru di sini. Lagi-lagi aku menggeleng. “Seharusnya kau minta surat pengantar itu pada perusahaanmu,” kata satpam itu.
Masalahnya aku tak tahu aturan-aturan keamanan yang diterapkan pengelola gedung ini. Kalau aku tahu keamanan gedung ini dijaga seketat ini pastilah aku akan memintanya. Aku memohon agar diberi sedikit kelonggaran. Satpam penjaga itu malah menyuruhku menunggu hingga Senayan City dibuka pukul sepuluh pagi nanti. Aku melirik jam di layar gawaiku. Lima belas menit lagi Senayan City segera membuka pintu masuknya.
Aku duduk di atas bangku depan gedung ini. Dengan kendala alasan-alasan yang kualami, aku pikir perusahaan tempat aku bekerja bakal memaklumi keterlambatanku. Lagipula keberadaanku hanya tinggal beberapa langkah saja dari tempat aku bekerja sekarang. Paling-paling aku terlambat hanya beberapa menit saja. Aku tak perlu was-was secara berlebihan.
Aku tengadahkan kepala ke atas. Kanopi atap gedung ini begitu tinggi dan besar seakan-akan hendak menyaingi ketinggian dan keluasan langit. Hujan dan panas tampaknya dapat teratasi dengan baik. Tapi aku malah merasa ngeri tiba-tiba kanopi raksasa itu runtuh dan menubrukku.
Sejujurnya aku tak yakin dengan keputusan ini. Meski letak ibukota tak seberapa jauh dari Klapanunggal, tempat aku tinggal, pernah pula melintasi labirin-labirin jalan rayanya, serta sempat tamasya ke beberapa tempat wisata andalannya, tapi itu belum cukup untuk mengenal seluk beluk terdalamnya. Disini aku akan tinggal, bukan sekedar lewat. Sementara persiapanku untuk tinggal disini sangatlah minim. Saking terburu-buru aku tak sempat membawa banyak persediaan. Semua dilakukan serba cepat dan asal-asalan. Yang aku bawa hanya tas ransel berisi beberapa potong celana dan pakaian. Selebihnya aku mengandalkan keberanian yang dikendalikan oleh rasa takut.
Sambil menabah-nabahkan diri, aku sapukan pandangan ke sekeliling. Aku tersenyum lucu dan merasa aneh. Tak tahu kenapa gedung-gedung tinggi yang tumbuh seperti pepohonan tiba-tiba malah mengingatkanku pada rumah nenek di Jalan Lontar Raya, tak jauh dari pusar grosir dan tekstil pasar Tanah Abang. Rumah nenekku bukanlah rumah gedong yang selalu menjadi ciri identitas utama ibukota. Rumah nenek yang berada dalam lingkaran gang-gang sempit hanyalah berupa bangunan kecil berbentuk kubus, sesak dan sempit, dan terhimpit diantara rumah-rumah tetangga. Tapi dalam rumah nenek yang pengap dan sumpek itu aku selalu merasa menjadi orang paling kaya di dunia. Di Klapanunggal, kepada teman-teman mainku, aku membanggakan hal demikian; rumah nenekku bertingkat dan memiliki tangga.
Itu hanya sedikit anggapan dan keyakinan masa kecilku; tak peduli rumah itu besar atau kecil, punya kolam renang atau tidak, asalkan rumah itu tingkat dan bertangga, tentulah itu orang kaya. Maka tak bosan-bosan, selama berada di rumah nenek, aku naik turun tangga. Aku merasa bahagia dapat berdiri di setiap anak tangganya sambil menghitung jumlah anak tangga tersebut. Memang saat kecil kita begitu mudah untuk merasa bahagia.
Kini aku tahu anggapan itu keliru meski tak sepenuhnya salah. Rumah nenekku dibangun tingkat karena keterbatasan ruang dan lahan. Sebagai jalan keluar, untuk mengurangi kesumpekan, rumah dibangun keatas. Tapi aku selalu tahu rumah gedongan pastilah bertingkat, bahkan bertingkat-tingkat. Tidak hanya tingkat ke atas tapi juga ke bawah. Semakin banyak tingkatannya semakin kaya pemilik rumah tersebut. Aku berpikir gedung Senayan City ini, tempat kini aku duduk di bawahnya, memiliki banyak tangga. Apabila kekayaan seseorang dihitung berdasarkan jumlah anak tangga, aku membayangkan kira-kira berapa banyak kekayaaan yang dimiliki oleh pemilik dan pengelola gedung ini.
Seraya pikiranku melayang jauh ke Malaysia; menara kembar Petronas. Lalu ketika aku mulai memikirkan tangga-tangga gedung Burj Khalifa di Dubai tak terasa waktu lima belas menit telah lewat.
********

            Aku segara bangun berdiri. Di dalam mall Senayan City aku sedikit dipusingkan dengan lokasi tempat kerja baruku. Setelah berhasil membaca sebuah tulisan di atas pintu kaca rangkap aku dapat membuang nafas cukup lega. Di sinilah aku akan bekerja; B Restaurant & Bar.
            Seorang perempuan muda terburu-buru menghampiriku. Ia menyambutku rumah. Ia pikir aku seorang pengunjung. Lantas aku menjelaskan maksud kedatanganku. Ia mengerti bahwa aku memang sudah ditunggu sejak tadi. Aku merasa bersalah datang terlambat meski aku tahu itu bukan kesalahanku sepenuhnya. Ia mengantarku menuju dapur restoran dan mempertemukanku dengan Pak Imron.
            Pak Imron tersenyum ramah dan tak masalah aku datang terlambat. Tampaknya ia sudah mengerti betul dengan peraturan-peraturan mall ini. “Kau berpengalaman kerja di dapur restoran?” tanyanya penuh simpatik.
            “Tidak,” ucapku gugup. “Tapi aku pikir setiap orang pasti berpengalaman kalau hanya sekedar mencuci piring.”
            “Tentu,” ia tertawa. “Tapi aku rasa kau belum berpengalaman menggunakan mesin pencuci piring.”
            Ia memberitahuku cara menggunakan dan membersihkan mesin tersebut.
            “Itu gampang,” ucapku tanpa perlu menanyakan hal-hal lainnya.
            Semula aku berpikir mencuci piring adalah pekerjaan sepele. Tak ada artinya. Nyatanya di Jakarta pekerjaan ini cukup melelahkan. Setidak-tidaknya bisa memberikanku penghasilan.
            Pak Imron memberikanku seragam dan celemek. Tak seperti kru dapur lainnya yang mengenakan seragam putih, seragamku berwarna biru tua. Di situ aku mulai mengerti di area dapur ini seorang pencuci piring mewakili kasta terendah.
******

            Sebagai seseorang yang pernah mengecap bangku sekolah 12 tahun lamanya, sungguh mencuci piring adalah pekerjaan konyol yang harus aku lakukan. Setelah berlelah-lelah mengerjakan berbagai tugas dari para guru, menghafal aneka rumus dan keterangan, seperti sebuah keajaiban aku melakukan pekerjaan semacam ini. Tak ada sesuainya dengan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah. Apabila teman-temanku sekolahku tahu ini---tentu saja hanya teman-teman sekolah yang sukses----rasa malu ini sangat menyakitkan.
Memang memiliki ijazah lulusan sekolah tingkat atas tak bisa dibanggakan. Banyak orang yang bekerja diluar jurusan pendidikannya. Pendidikan sekolah sama sekali tak mampu membantu setiap anak didiknya mengenal karakter dirinya sendiri. Setiap nilai yang diperoleh hanya  sebatas biar bisa bebas dari segala kungkungan tugas-tugas dan peraturan sekolah. Dan ujung-ujungnya setelah lulus hanya berkutat bagaimana mendapatkan uang; mencari kerja atau membuka usaha.
Hanya saja dalam persoalanku ini aku malah memikirkan akankah mencuci piring dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan? Mungkin tak akan. Sekolah hanya menciptakan generasi-generasi materialistis. Dahulu orang pandai baca dan tulis bisa menjadi dan dianggap ancaman besar. Seorang Solomon Northup saja, budak kulit hitam di Amerika, sampai-sampai merahasiakan kemampuan baca tulisnya. Hanya baca dan tulis. Kini, orang-orang seperti itu tidak berarti apa-apa.
Maka dalam proses adaptasiku di sini pendidikan rumah lebih banyak berperan daripada pendidikan sekolah.
Pukul empat sore kami istirahat. Tak ada makan siang. Patokan waktu istirahat kami adalah menunggu karyawan shift berikutnya masuk. Memang waktu sepanjang itu cukup lama untuk menahan lapar dan lumayan beresiko terkena asam lambung. Beruntung selalu ada makanan sisa di atas piring kotor. Sekedar mengganjal lapar tak segan aku melahapnya.
Pak Imron mengajakku istirahat di kantin. Sebenarnya aku enggan istirahat bersama dengan para kru dapur. Tapi istirahat terpisah pun aku masih asing dengan mall ini. Untuk mengenal lebih banyak sudut mall ini ada baikknya aku ikut ke kantin.
“Kamu lulusan apa?” tanya Pak Imron. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam.
“SMA di Cibinong,” jawabku.
Pak Imron mengangguk-ngangguk. “Tidak lanjut?”
“Sekolah cuma ngabisin biaya. Mendingan kerja dapat duit.”
Pak Imron malah tertawa. “Saya sendiri lulusan sekolah tinggi perhotelan. Rendah atau tingginya sekolah sama saja; ujung-ujungnya jadi kacung.”
“Kalau begitu bapak ketipu sistem,” timpal Bana, seorang kru dapur yang duduk tepat di depan Pak Imron. “Saya pikir semua orang yang bersekolah tertipu demikian.”
Dengan segara Bana menjadi pusat perhatian kami.
“Di zaman apapun, sebelum Si Doel lulusan sekolahpun, yang namanya cari kerja itu sulit. Sementara semua orang dituntut berpendidikan setinggi-tingginya. Hasilnya lapangan kerja tetap langka, sementara tenaga ahli makin banyak. Karena banyaknya pengangguran, tenaga ahli bisa dibayar murah. Efeknya keuntungan yang masuk ke kantong pemilik modal makin besar.”
“Dapat teori darimana kamu?”, Pak Imron menimpali dengan nada skeptis.
“Sekolah memang penting, tapi hanya sedikit memberikan pengaruh,” Bana menukas. “Koneksi. Itu yang paling penting dan berpengaruh. Sebagai orang beragama Islam kalian pasti tahu silahturahmi dapat melapangkan rezeki. Itu artinya memperluas koneksi. Dengan koneksi, tanpa bisa baca tulis pun, kalian bisa diangkat jadi manager.”
“Ngelamun lu,” Pak Imron seakan hendak menertawakan Bana. “Mana bisa begitu?”

“Setelah punya koneksi, syaratnya sederhana saja; berani mengacungkan telunjuk lurus-lurus ke arah mata setiap orang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar