Halaman

Rabu, 28 Desember 2016

KEBUN BINATANG part 3; Suaka Baru

            Terletak di belakang Senayan City, pertigaan Simprug cukup ramai. Gerobak-gerobak kaki lima berjejer di pinggiran pertigaan tersebut. Begitu pula warteg dan warung-warung kecil. Di waktu-waktu ramai kemacetan tak terhindarkan. Para pedagang kaki lima kebanjiran pembeli, mobil-mobil berbaris, puluhan bahkan ratusan pengemudi motor mengintip-intip mencari celah jalan untuk mendahului, orang-orang yang menyeberang kelimpungan. Entah pengemudi kendaraan, pedagang kaki lima, ataupun pejalan kaki seperti saling berebut tempat, saling tabrak dan senggol, berusaha mendominasi jalanan. Pertigaan Simprug menjelma menjadi pasar; acak-acakkan.
            Di antara jalan-jalan pertigaan Simprug berdiri sebuah bangunan kumuh. Tak seperti gedung apartemen atau rusun yang dibangun dengan disusun ke atas, bangunan kumuh ini didirikan dengan cara ditumpuk-tumpuk seperti pakaian kotor. Papan, kayu, dan seng menjadi bahan utama penopang bangunan tersebut. Sisanya, hanya sebagian kecilnya, menggunakan tembok dan semen. Apabila suatu ketika Jakarta dilanda gempa dengan kekuatan sekian skala richter, bisa jadi bangunan rongsok di pertigaan Simprug ini merupakan salah satu bangunan tahan gempa. Memang digoyang sedikit saja pasti roboh, tapi setidaknya mudah dibangun kembali. Aku pikir itulah yang disebut bangunan tahan gempa; sekali roboh tak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membangunnya lagi.
            Selain itu bangunan semacam ini takkan banyak menimbulkan korban jiwa. Sekalipun pada akhirnya, saat gempa itu, ada orang-orang yang tak sempat melarikan diri, terjebak, lantas tertindih material-material bangunan, takkan terlalu sulit menolong mereka, menyingkirkan puing-puing yang menindihnya itu.
Memasuki bangunan kumuh tersebut, udara terasa pengap, tak ada angin yang bergerak. Sementara sinar matahari hanya mampu menerobos melalui lubang atau celah kecil. Lembab dan menyesakkan. Tikus-tikus sebesar dua kali lipat kepalan tanganku bahkan berkeliaran di siang hari. Lubang-lubang tikus itu tersebar di sepanjang lorong. Sementara di kiri dan kanan lorong-lorong tersebut berderet pintu-pintu triplek. Dibalik pintu-pintu itulah warga, yang didominasi suku Jawa, tinggal. Mereka menyebutnya rumah.
            Berada di tengah kota yang mengalami pembangunan begitu pesat, aku merasa bersalah sekaligus prihatin menyebut bangunan kumuh----rumah-rumah petak---di pertigaan Simprug ini sebagai pemukiman padat penduduk.
            Tiap-tiap rumah warga hanya dipisahkan sekat tipis dari triplek dan antar tetangga dihubungkan dengan lorong-lorong sempit selebar lubang kuburan. Sepertinya rumah setiap keluarga diberi jatah dua kamar; satu lantai bawah dan satu lantai atas. Segala perabotan dan harta benda----kasur, kulkas, lemari, televisi, rak, kompor----didesak-desakkan dalam satu ruangan. Aku tak habis pikir ruangan seluas kandang kerbau bisa memuat banyak barang. Begitu malam turun satu keluarga bisa saling berbagi kasur dan bantal. Cukup mengherankan mereka bisa mengaturnya. Segala kegiatan dan kerepotan rumah tangga bisa dilakukan dalam satu ruangan; nonton televisi, tidur, masak, makan. Benar-benar ruangan serba guna.
            Bagi warga yang letak pintu rumahnya menghadap jalan cukup beruntung. Meski rumah mereka sama-sama sempit, setidaknya tidak sesumpek bagian dalam. Mereka bisa mendapatkan sinar matahari  dan angin lebih banyak. Karena jalan itu kerap dilintasi banyak orang dan kendaraan, mereka bisa membuka warung-kecil-kecilan atau menyewakan teras rumahnya yang sempit sebagai parkiran motor.
            Aku sendiri, nyata-nyatanya, kini menjadi bagian dari warga sini. Terhimpit-himpit di antara keriuhan dan kesibukan warga Simprug. Tapi kamar kost ini hanya aku gunakan untuk tempat tidur belaka.
            Bu Warni, induk semangku, tergopoh-gopoh menunjukkan kamar kost yang berada di atas lantai rumahnya. Ia bertubuh kurus, agak bungkuk, dan berkulit kendur. Ia agak kesulitan sewaktu menaiki tangga kayu seolah-olah tengah mendaki gunung dengan kemiringan yang cukup terjal. Ia mempersilahkanku untuk melihat-lihat. Aku mengangguk-ngangguk. Dengan hati-hati aku melangkah masuk, takut lantai kamar kost ini tiba-tiba roboh ke bawah. Kemudian aku menekan-nekan telapak kakiku ke atas lantai tersebut, sekedar memastikan lantai ini benar-benar cukup kuat menahan bobot badanku.
            Bu Warni menyebutkan harga sewa per bulan kamar ini setelah aku menanyakannya. Ia tampak agak ragu menyebutkan harga itu seakan-akan ia belum menentukan harga pastinya. Dari sorot matanya terlihat ia takut aku batal tinggal di sini karena harga yang terlampau mahal, tapi ia punya alasan kuat mematok harga sebesar itu. Aku mencoba menawar-nawar harga. “Itu sudah harga standar di sini,” ucapnya membela diri dengan hati-hati agar aku tak tersinggung.
            Aku sendiri tak terlalu heran kamar sekelas kandang kambing ini disewakan dengan harga semahal itu. Dibandingkan kamar kontrakan di Bogor aku seperti berusaha membandingkan hotel bintang lima dengan rumah susun. Pak Imron sempat bilang padaku bahwa di Jakarta ini punya tanah seluas kuburan saja bisa dijadikan sumber penghasilan. “Bahkan trotoar dan pinggiran jalan umum pun bisa dijadikan tempat parkir motor,” sambungnya tentang betapa semuanya dapat dimanfaatkan menjadi uang di Jakarta ini. Aku sendiri sudah melihat buktinya.
            “Apakah kamar kost ini tidak difasilitasi apa-apa?” kataku melihat tak ada satupun perabotan yang dapat aku gunakan.
            Bu Warni tersenyum was-was. “Tentu. Nanti ibu kasih tikar dan bantal.”
            “Hanya itu?” tuntutku.
            “Ya,” tiba-tiba ia pasrah, sambil memaksakan diri tertawa, berharap aku menganggapnya lucu dan memakluminya bahwa beginilah Jakarta. “Kipas angin dan lemari pakaian kau bawa sendiri.”
            “Bagaimana dengan kamar mandinya?”
Bu Warni mengajakku kesana. Kamar mandi itu memiliki dua pintu kamar dengan ubin berwarna coklat. Bagian pojok bawah dinding dibuatkan sebuah lubang sebesar bola tenis. Sebuah pompa air manual berdiri di depan kedua pintu kamar mandi tersebut. Cat biru pompa air itu telah mengelupas di sana sini sehingga karatnya terlihat. Sebuah pipa air berlumut menghubungkan pompa tersebut dengan kamar mandi melalui lubang sebesar bola tenis itu. “Kamar mandi ini digunakan bersama-sama seluruh warga di sini,” lanjutnya menerangkan.
            Aku tak tahu ada berapa kepala manusia yang menghuni bangunan kumuh ini. Pastinya aku harus mengantri tiap kali menggunakan kamar mandi ini. Aku pikir kamar mandi merupakan area paling sibuk dan ramai di sini.
            Tanpa memikirkan banyak hal atau pertimbangan lainnya aku memberikan uang muka pada Bu Warni. Mungkin sebulan-dua bulan saja aku di sini. Apabila aku menemukan tempat yang lebih baik aku akan pindah.
            Kemudian sambil menghitung uang muka yang aku berikan, Bu Warni bertanya mengenai asalku. Ia tampak lega setelah menerima uang itu. Aku menjawab apa adanya.
            “Sunda?” simpulnya kemudian.
            “Betawi.”
            Ia tersenyum sambil menarik keningnya. “Jawa adalah Jawa. Sunda adalah Sunda. Tapi Betawi seperti Amerika; siapapun bisa jadi.”
******

            Tak pernah terbayangkan sebelumnya aku bakal tinggal di kamar kost semacam ini. Aku sendiri tak cukup punya uang dan pilihan untuk mendapatkan yang lebih baik. Sungguh jauh dari kriteria kamar kost yang diharapkan. Sering aku dapati iklan-iklan kamar kost dengan berbagai fasilitas. Tak hanya kasur, lemari pakaian, kipas angin, AC, layar televisi, bahkan lengkap dengan jaringan wi-fi.  Tentu saja kamar kost yang diiklankan itu dibanderol dengan harga tinggi, bahkan bisa diatas gajiku. Sasarannya memang bukan para pekerja rendahan sepertiku, melainkan para pekerja kantoran. Tapi kalau dihitung-hitung, dilihat dari fasilitas yang diberikan, tentulah menjadi pekerja kantoran biaya tinggalnya bisa lebih murah daripada seorang tukang cuci piring.
Uniknya aku tinggal di sini lebih lama dari yang aku perkirakan. Mula-mula aku tidak betah. Aku tak pernah bisa tidur nyenyak. Tidur hanya beralaskan tikar tipis itu soal biasa. Persoalan utamanya tikus-tikus sebesar anak kucing kerap melintas bahkan berkejar-kejaran di depanku. Mereka melahap apa saja; sabun, odol, minyak kayu putih, balsem, kaus kaki. Kemarin aku mendapati celana dalamku bolong-bolong digerogoti hewan pengerat itu. Kerakusan tikus-tikus itu membuatku berhati-hati menyimpan makanan karena ditinggal sedikit saja, kalau aku sembarangan menyimpan makanan, kamar kost-ku bisa berantakan. Aku selalu terkejut dan merasa terancam tiap kali mendengar suara garukan dari balik dinding, takut tikus-tikus itu menyenggol kakiku dan menggigitnya. Hal demikian tak mustahil terjadi. Salah seorang balita di sini sampai-sampai berdarah karena jari-jarinya digigit tikus dan sehari semalam ia menangis tanpa henti. Karena kejadian itu ketakutannya pada tikus melebihi ketakutan sewajarnya.
            Hal serupa terjadi padaku meski tak sampai berdarah. Tapi kejadian itu hampir-hampir membuatku sakit jiwa.
            Malam itu aku tidur lebih cepat dari biasanya. Aku pergi ke kamar mandi, gosok gigi, dan memompa air empat-lima kali ayunan sambil cuci muka dan kumur-kumur. Karena terlalu lelah kepalaku enggan memikirkan banyak hal. Biasanya aku selalu waspada sebelum mematikan lampu, takut-takut keluarga tikus itu bersembunyi di balik tumpukan baju-baju kotor. Kali ini aku justru langsung mematikan lampu dan membaringkan badan. Meski hanya tidur diatas tikar tipis, rasanya begitu nyaman. Pekerjaan mencuci piring kedengarannya memang sepele dan ringan, tapi benar-benar menyita seluruh tenagaku. Malam ini aku hanya ingin cepat tidur tanpa gangguan sedikitpun dan esok pagi dapat kembali segar.
            Tapi baru setengah jam tidur ada yang menggerayangiku. Rasa geli menjalari kakiku. Pelan-pelan naik ke atas paha. Begitu terkejutnya aku tak kuasa mengendalikan diri. Aku melompat-lompat dan menjerit ketakutan seperti orang kalap. Sampai-sampai lantai kamar kost bergoyang-goyang dan hampir roboh. Untung tak sampai membangunkan orang yang tinggal di bawah kamar kost-ku. Begitu aku menyalakan lampu, seekor tikus jatuh dari balik celanaku dan berlari cepat ke balik dinding. Aku merasa terpukul, tapi cukup lega tikus itu akhirnya lari pontang-panting.  Anehnya, sejak saat itu tikus-tikus itu tak lagi mengganggu tidurku seolah-olah mereka sadar area kamar kost ku sudah tak aman lagi untuk dilewati.
            Semut-semut di sini juga tak kalah mengerikan. Mereka berukuran lebih kecil dan berwarna kemerahan, berbaris di sudut dinding hingga memanjang ke pojok lantai seperti barisan mobil-mobil saat jam-jam sibuk kota Jakarta. Aku tahu bisa semut jenis ini lebih dahsyat daripada semut hitam yang biasa aku temui di pohon rambutan atau jambu. Untuk menghalau gerombolan semut itu aku membeli sekotak kapur khusus di mini market dekat pompa bensin. Aku coretkan kapur itu diatas dinding, lantai, dan sudut-sudut yang biasa dilewatinya. Tapi semut-semut itu tak bisa benar-benar lenyap.
            Pada suatu pagi selepas mandi dan handukan tiba-tiba sekujur tubuhku diserang rasa gatal. Aku menggaruk-garuknya hingga aku berputar-putar, seperti orang kerasukan. Makin digaruk kulitku menjadi kemerahan dan bentol-bentol. Semut-semut itu berhasil menyusup ke dalam handukku dan balas dendam menyerangku. Tapi semut-semut itu ikut mati begitu berhasil menggigit kulitku. Terpaksa aku membasuh kembali badanku, tapi itu tak cukup. Selama beberapa jam aku mesti menahan rasa panas dan gatal-gatal.
            Yang membuatku cukup nyaman adalah aku tak perlu membeli obat nyamuk. Nyamuk di kamarku tidak banyak dan tidak terlalu mengganggu, bahkan dengungannya pun jarang terdengar di telinga.
            Makin hari aku mulai mendapati diri ini terasa begitu konyol dan lucu. Malam tidur di atas tikar yang membikin punggung dan leher pegal-pegal. Pakaian bersih dan kotor saling bercampur di pojok kamar. Makan seadanya kecuali baru gajian. Pagi-pagi sekali aku mengantri mandi bersama warga lainnya, memompa air selama kurang lebih sepuluh menit hingga ember di dalam penuh, kadang-kadang aku mengisi setengahnya saja, dan mandi cepat-cepat karena di tunggu oleh banyak orang. Dengan memompa air tiap kali mandi dan mencuci baju otot tanganku makin terlatih dan kuat. Seiring waktu berjalan aku mulai tahu saat-saat kamar mandi sepi dan ramai. Di waktu-waktu sepilah aku mulai menggunakan kamar mandi. Punggung dan leherku juga tak lagi merasa pegal-pegal.
            Berangkat kerja, begitu keluar pintu kamar dan memandangi rumah-rumah berpagar tinggi dan julangan gedung-gedung kadang aku merasa seperti tinggal dalam sebuah peternakan besar. Setidak-tidaknya aku tak perlu merasa iri dengan orang-orang bermobil. Dari kost aku hanya cukup berjalan kaki lima belas menit menuju tempat kerja.

            Di saat bekerja di dapur restoran aku merasa bertambah konyol. Aku terus-terusan mencuci dan berlari-lari menuruti perintah ini dan itu. Jari-jari tanganku keriput karena tak pernah jauh dari air dan sabun. Sungguh ini bukanlah kehidupan sepatutnya, setidak-tidaknya tak sesuai dengan yang aku damba-dambakan. Saat istirahat tiba, untuk pertama kalinya, iseng-iseng aku mengelilingi mall Senayan City, naik turun tangga berjalan, dan memperhatikan setiap orang yang aku papasi. Para pengunjung mall selalu terlihat dalam penampilan terbaiknya; tampan, rapi, dan wangi. Sementara aku begitu kumal, mengenakan sepatu bolong dan seragam basah karena terciprat air cucian. Aku ingin menertawai diri sendiri; tinggal di kota berjuluk metropolitan, tapi gaya hidupku terlambat selangkah dua langkah dari adab budaya modern.

1 komentar: