Terletak di belakang Senayan City,
pertigaan Simprug cukup ramai. Gerobak-gerobak kaki lima berjejer di pinggiran
pertigaan tersebut. Begitu pula warteg dan warung-warung kecil. Di waktu-waktu
ramai kemacetan tak terhindarkan. Para pedagang kaki lima kebanjiran pembeli,
mobil-mobil berbaris, puluhan bahkan ratusan pengemudi motor mengintip-intip
mencari celah jalan untuk mendahului, orang-orang yang menyeberang kelimpungan.
Entah pengemudi kendaraan, pedagang kaki lima, ataupun pejalan kaki seperti
saling berebut tempat, saling tabrak dan senggol, berusaha mendominasi jalanan.
Pertigaan Simprug menjelma menjadi pasar; acak-acakkan.
Di antara jalan-jalan pertigaan
Simprug berdiri sebuah bangunan kumuh. Tak seperti gedung apartemen atau rusun
yang dibangun dengan disusun ke atas, bangunan kumuh ini didirikan dengan cara
ditumpuk-tumpuk seperti pakaian kotor. Papan, kayu, dan seng menjadi bahan
utama penopang bangunan tersebut. Sisanya, hanya sebagian kecilnya, menggunakan
tembok dan semen. Apabila suatu ketika Jakarta dilanda gempa dengan kekuatan
sekian skala richter, bisa jadi bangunan rongsok di pertigaan Simprug ini
merupakan salah satu bangunan tahan gempa. Memang digoyang sedikit saja pasti
roboh, tapi setidaknya mudah dibangun kembali. Aku pikir itulah yang disebut
bangunan tahan gempa; sekali roboh tak perlu mengeluarkan biaya besar untuk
membangunnya lagi.
Selain itu bangunan semacam ini
takkan banyak menimbulkan korban jiwa. Sekalipun pada akhirnya, saat gempa itu,
ada orang-orang yang tak sempat melarikan diri, terjebak, lantas tertindih
material-material bangunan, takkan terlalu sulit menolong mereka, menyingkirkan
puing-puing yang menindihnya itu.
Memasuki
bangunan kumuh tersebut, udara terasa pengap, tak ada angin yang bergerak.
Sementara sinar matahari hanya mampu menerobos melalui lubang atau celah kecil.
Lembab dan menyesakkan. Tikus-tikus sebesar dua kali lipat kepalan tanganku
bahkan berkeliaran di siang hari. Lubang-lubang tikus itu tersebar di sepanjang
lorong. Sementara di kiri dan kanan lorong-lorong tersebut berderet pintu-pintu
triplek. Dibalik pintu-pintu itulah warga, yang didominasi suku Jawa, tinggal.
Mereka menyebutnya rumah.
Berada di tengah kota yang mengalami
pembangunan begitu pesat, aku merasa bersalah sekaligus prihatin menyebut
bangunan kumuh----rumah-rumah petak---di pertigaan Simprug ini sebagai
pemukiman padat penduduk.
Tiap-tiap rumah warga hanya
dipisahkan sekat tipis dari triplek dan antar tetangga dihubungkan dengan
lorong-lorong sempit selebar lubang kuburan. Sepertinya rumah setiap keluarga
diberi jatah dua kamar; satu lantai bawah dan satu lantai atas. Segala
perabotan dan harta benda----kasur, kulkas, lemari, televisi, rak,
kompor----didesak-desakkan dalam satu ruangan. Aku tak habis pikir ruangan
seluas kandang kerbau bisa memuat banyak barang. Begitu malam turun satu
keluarga bisa saling berbagi kasur dan bantal. Cukup mengherankan mereka bisa
mengaturnya. Segala kegiatan dan kerepotan rumah tangga bisa dilakukan dalam
satu ruangan; nonton televisi, tidur, masak, makan. Benar-benar ruangan serba
guna.
Bagi warga yang letak pintu rumahnya
menghadap jalan cukup beruntung. Meski rumah mereka sama-sama sempit,
setidaknya tidak sesumpek bagian dalam. Mereka bisa mendapatkan sinar
matahari dan angin lebih banyak. Karena
jalan itu kerap dilintasi banyak orang dan kendaraan, mereka bisa membuka warung-kecil-kecilan
atau menyewakan teras rumahnya yang sempit sebagai parkiran motor.
Aku sendiri, nyata-nyatanya, kini
menjadi bagian dari warga sini. Terhimpit-himpit di antara keriuhan dan
kesibukan warga Simprug. Tapi kamar kost ini hanya aku gunakan untuk tempat
tidur belaka.
Bu Warni, induk semangku,
tergopoh-gopoh menunjukkan kamar kost yang berada di atas lantai rumahnya. Ia
bertubuh kurus, agak bungkuk, dan berkulit kendur. Ia agak kesulitan sewaktu
menaiki tangga kayu seolah-olah tengah mendaki gunung dengan kemiringan yang
cukup terjal. Ia mempersilahkanku untuk melihat-lihat. Aku mengangguk-ngangguk.
Dengan hati-hati aku melangkah masuk, takut lantai kamar kost ini tiba-tiba
roboh ke bawah. Kemudian aku menekan-nekan telapak kakiku ke atas lantai
tersebut, sekedar memastikan lantai ini benar-benar cukup kuat menahan bobot
badanku.
Bu Warni menyebutkan harga sewa per
bulan kamar ini setelah aku menanyakannya. Ia tampak agak ragu menyebutkan
harga itu seakan-akan ia belum menentukan harga pastinya. Dari sorot matanya
terlihat ia takut aku batal tinggal di sini karena harga yang terlampau mahal,
tapi ia punya alasan kuat mematok harga sebesar itu. Aku mencoba menawar-nawar
harga. “Itu sudah harga standar di sini,” ucapnya membela diri dengan hati-hati
agar aku tak tersinggung.
Aku sendiri tak terlalu heran kamar
sekelas kandang kambing ini disewakan dengan harga semahal itu. Dibandingkan
kamar kontrakan di Bogor aku seperti berusaha membandingkan hotel bintang lima
dengan rumah susun. Pak Imron sempat bilang padaku bahwa di Jakarta ini punya
tanah seluas kuburan saja bisa dijadikan sumber penghasilan. “Bahkan trotoar
dan pinggiran jalan umum pun bisa dijadikan tempat parkir motor,” sambungnya
tentang betapa semuanya dapat dimanfaatkan menjadi uang di Jakarta ini. Aku
sendiri sudah melihat buktinya.
“Apakah kamar kost ini tidak
difasilitasi apa-apa?” kataku melihat tak ada satupun perabotan yang dapat aku
gunakan.
Bu Warni tersenyum was-was. “Tentu.
Nanti ibu kasih tikar dan bantal.”
“Hanya itu?” tuntutku.
“Ya,” tiba-tiba ia pasrah, sambil
memaksakan diri tertawa, berharap aku menganggapnya lucu dan memakluminya bahwa
beginilah Jakarta. “Kipas angin dan lemari pakaian kau bawa sendiri.”
“Bagaimana dengan kamar mandinya?”
Bu
Warni mengajakku kesana. Kamar mandi itu memiliki dua pintu kamar dengan ubin
berwarna coklat. Bagian pojok bawah dinding dibuatkan sebuah lubang sebesar
bola tenis. Sebuah pompa air manual berdiri di depan kedua pintu kamar mandi
tersebut. Cat biru pompa air itu telah mengelupas di sana sini sehingga
karatnya terlihat. Sebuah pipa air berlumut menghubungkan pompa tersebut dengan
kamar mandi melalui lubang sebesar bola tenis itu. “Kamar mandi ini digunakan
bersama-sama seluruh warga di sini,” lanjutnya menerangkan.
Aku tak tahu ada berapa kepala
manusia yang menghuni bangunan kumuh ini. Pastinya aku harus mengantri tiap
kali menggunakan kamar mandi ini. Aku pikir kamar mandi merupakan area paling
sibuk dan ramai di sini.
Tanpa memikirkan banyak hal atau
pertimbangan lainnya aku memberikan uang muka pada Bu Warni. Mungkin
sebulan-dua bulan saja aku di sini. Apabila aku menemukan tempat yang lebih
baik aku akan pindah.
Kemudian sambil menghitung uang muka
yang aku berikan, Bu Warni bertanya mengenai asalku. Ia tampak lega setelah
menerima uang itu. Aku menjawab apa adanya.
“Sunda?” simpulnya kemudian.
“Betawi.”
Ia tersenyum sambil menarik
keningnya. “Jawa adalah Jawa. Sunda adalah Sunda. Tapi Betawi seperti Amerika;
siapapun bisa jadi.”
******
Tak pernah terbayangkan sebelumnya
aku bakal tinggal di kamar kost semacam ini. Aku sendiri tak cukup punya uang
dan pilihan untuk mendapatkan yang lebih baik. Sungguh jauh dari kriteria kamar
kost yang diharapkan. Sering aku dapati iklan-iklan kamar kost dengan berbagai
fasilitas. Tak hanya kasur, lemari pakaian, kipas angin, AC, layar televisi,
bahkan lengkap dengan jaringan wi-fi. Tentu saja kamar kost yang diiklankan itu
dibanderol dengan harga tinggi, bahkan bisa diatas gajiku. Sasarannya memang
bukan para pekerja rendahan sepertiku, melainkan para pekerja kantoran. Tapi
kalau dihitung-hitung, dilihat dari fasilitas yang diberikan, tentulah menjadi
pekerja kantoran biaya tinggalnya bisa lebih murah daripada seorang tukang cuci
piring.
Uniknya
aku tinggal di sini lebih lama dari yang aku perkirakan. Mula-mula aku tidak
betah. Aku tak pernah bisa tidur nyenyak. Tidur hanya beralaskan tikar tipis
itu soal biasa. Persoalan utamanya tikus-tikus sebesar anak kucing kerap
melintas bahkan berkejar-kejaran di depanku. Mereka melahap apa saja; sabun,
odol, minyak kayu putih, balsem, kaus kaki. Kemarin aku mendapati celana
dalamku bolong-bolong digerogoti hewan pengerat itu. Kerakusan tikus-tikus itu
membuatku berhati-hati menyimpan makanan karena ditinggal sedikit saja, kalau
aku sembarangan menyimpan makanan, kamar kost-ku bisa berantakan. Aku selalu
terkejut dan merasa terancam tiap kali mendengar suara garukan dari balik
dinding, takut tikus-tikus itu menyenggol kakiku dan menggigitnya. Hal demikian
tak mustahil terjadi. Salah seorang balita di sini sampai-sampai berdarah karena
jari-jarinya digigit tikus dan sehari semalam ia menangis tanpa henti. Karena
kejadian itu ketakutannya pada tikus melebihi ketakutan sewajarnya.
Hal serupa terjadi padaku meski tak
sampai berdarah. Tapi kejadian itu hampir-hampir membuatku sakit jiwa.
Malam itu aku tidur lebih cepat dari
biasanya. Aku pergi ke kamar mandi, gosok gigi, dan memompa air empat-lima kali
ayunan sambil cuci muka dan kumur-kumur. Karena terlalu lelah kepalaku enggan
memikirkan banyak hal. Biasanya aku selalu waspada sebelum mematikan lampu,
takut-takut keluarga tikus itu bersembunyi di balik tumpukan baju-baju kotor.
Kali ini aku justru langsung mematikan lampu dan membaringkan badan. Meski
hanya tidur diatas tikar tipis, rasanya begitu nyaman. Pekerjaan mencuci piring
kedengarannya memang sepele dan ringan, tapi benar-benar menyita seluruh
tenagaku. Malam ini aku hanya ingin cepat tidur tanpa gangguan sedikitpun dan
esok pagi dapat kembali segar.
Tapi baru setengah jam tidur ada
yang menggerayangiku. Rasa geli menjalari kakiku. Pelan-pelan naik ke atas
paha. Begitu terkejutnya aku tak kuasa mengendalikan diri. Aku melompat-lompat
dan menjerit ketakutan seperti orang kalap. Sampai-sampai lantai kamar kost
bergoyang-goyang dan hampir roboh. Untung tak sampai membangunkan orang yang
tinggal di bawah kamar kost-ku. Begitu aku menyalakan lampu, seekor tikus jatuh
dari balik celanaku dan berlari cepat ke balik dinding. Aku merasa terpukul,
tapi cukup lega tikus itu akhirnya lari pontang-panting. Anehnya, sejak saat itu tikus-tikus itu tak
lagi mengganggu tidurku seolah-olah mereka sadar area kamar kost ku sudah tak
aman lagi untuk dilewati.
Semut-semut di sini juga tak kalah
mengerikan. Mereka berukuran lebih kecil dan berwarna kemerahan, berbaris di
sudut dinding hingga memanjang ke pojok lantai seperti barisan mobil-mobil saat
jam-jam sibuk kota Jakarta. Aku tahu bisa semut jenis ini lebih dahsyat
daripada semut hitam yang biasa aku temui di pohon rambutan atau jambu. Untuk
menghalau gerombolan semut itu aku membeli sekotak kapur khusus di mini market
dekat pompa bensin. Aku coretkan kapur itu diatas dinding, lantai, dan
sudut-sudut yang biasa dilewatinya. Tapi semut-semut itu tak bisa benar-benar
lenyap.
Pada suatu pagi selepas mandi dan
handukan tiba-tiba sekujur tubuhku diserang rasa gatal. Aku menggaruk-garuknya
hingga aku berputar-putar, seperti orang kerasukan. Makin digaruk kulitku
menjadi kemerahan dan bentol-bentol. Semut-semut itu berhasil menyusup ke dalam
handukku dan balas dendam menyerangku. Tapi semut-semut itu ikut mati begitu
berhasil menggigit kulitku. Terpaksa aku membasuh kembali badanku, tapi itu tak
cukup. Selama beberapa jam aku mesti menahan rasa panas dan gatal-gatal.
Yang membuatku cukup nyaman adalah
aku tak perlu membeli obat nyamuk. Nyamuk di kamarku tidak banyak dan tidak
terlalu mengganggu, bahkan dengungannya pun jarang terdengar di telinga.
Makin hari aku mulai mendapati diri
ini terasa begitu konyol dan lucu. Malam tidur di atas tikar yang membikin
punggung dan leher pegal-pegal. Pakaian bersih dan kotor saling bercampur di
pojok kamar. Makan seadanya kecuali baru gajian. Pagi-pagi sekali aku mengantri
mandi bersama warga lainnya, memompa air selama kurang lebih sepuluh menit
hingga ember di dalam penuh, kadang-kadang aku mengisi setengahnya saja, dan
mandi cepat-cepat karena di tunggu oleh banyak orang. Dengan memompa air tiap
kali mandi dan mencuci baju otot tanganku makin terlatih dan kuat. Seiring
waktu berjalan aku mulai tahu saat-saat kamar mandi sepi dan ramai. Di
waktu-waktu sepilah aku mulai menggunakan kamar mandi. Punggung dan leherku
juga tak lagi merasa pegal-pegal.
Berangkat kerja, begitu keluar pintu
kamar dan memandangi rumah-rumah berpagar tinggi dan julangan gedung-gedung
kadang aku merasa seperti tinggal dalam sebuah peternakan besar. Setidak-tidaknya
aku tak perlu merasa iri dengan orang-orang bermobil. Dari kost aku hanya cukup
berjalan kaki lima belas menit menuju tempat kerja.
Di saat bekerja di dapur restoran
aku merasa bertambah konyol. Aku terus-terusan mencuci dan berlari-lari
menuruti perintah ini dan itu. Jari-jari tanganku keriput karena tak pernah
jauh dari air dan sabun. Sungguh ini bukanlah kehidupan sepatutnya,
setidak-tidaknya tak sesuai dengan yang aku damba-dambakan. Saat istirahat
tiba, untuk pertama kalinya, iseng-iseng aku mengelilingi mall Senayan City,
naik turun tangga berjalan, dan memperhatikan setiap orang yang aku papasi.
Para pengunjung mall selalu terlihat dalam penampilan terbaiknya; tampan, rapi,
dan wangi. Sementara aku begitu kumal, mengenakan sepatu bolong dan seragam
basah karena terciprat air cucian. Aku ingin menertawai diri sendiri; tinggal
di kota berjuluk metropolitan, tapi gaya hidupku terlambat selangkah dua
langkah dari adab budaya modern.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus