Warga
Jakarta yang selalu dikenal sebagai kaum individualis, di sini sama sekali tak
terbukti. Golongan bawah memang tak bisa disamakan dengan golongan atas.
Sebagai masyarakat yang hidup seadanya di Jakarta tak bisa satu sama lain
saling mengasingkan diri, bersikap mementingkan diri sendiri. Aku menikmati
suasana kebersamaan di sini, sekalipun antara penghuni kost dan warga ada
hal-hal yang membatasi. Selalu ada senyum dan sedikit keramahan. Di waktu-waktu
sibuk di kamar mandi mereka saling berbagi sabun cuci dan saling memompakan
air. Di waktu senggang para ibu dan istri berkumpul di teras sempit salah satu
rumah tetangga. Tiap kali terjadi kecerobohan dan kesalahan kecil selalu
terdengar kata maaf, kemudian dibalas dengan kata tidak apa-apa. Keributan paling
lazim di sini paling-paling pertengkaran suami istri ataupun kerewelan
anak-anak.
Aku
pikir di sini memang ada aturan tak tertulis bahwa apabila antar warga ada
sedikit hal-hal yang tidak disukai atau sedikit merugikan ada baiknya
dibicarakan di belakang punggung.
Pagi
merupakan saat-saat ramai di kamar mandi, tepat begitu adzan shubuh
dikumandangkan, bahkan sebelum panggilan shalat itu dilantunkan orang-orang
sudah mulai berdatangan ke kamar mandi. Dengan mata setengah terpejam dan
malas-malasan mereka menunggu giliran menggunakan kamar mandi tersebut. Tak ada
yang berebutan. Siapa-siapa yang datang belakangan, meskipun ia tengah
diburu-buru waktu, ia harus menunggu, menghargai orang yang datang lebih awal,
kecuali ia minta izin dan orang yang mengantri lebih awal mengizinkannya.
Aku
tak habis pikir mengapa warga sini masih bersedia menggunakan pompa air manual,
rela mengayunkan tangan naik turun hingga telapak tangan licin dan bahu
pegal-pegal. Padahal mereka bisa patungan membeli pompa air listrik dan bisa
menghemat waktu mengantri. Aku sempat
hendak menanyakan hal itu. Tapi saat aku ingat dan melihat orang-orang terbiasa
memompa air dengan kedua tangan, muncul keenggananku seakan-akan itu pertanyaan
yang tak perlu dipertanyakan. Barangkali, sebagai seorang penghuni kost yang
datang kemari hanya sekedar berteduh, aku takut mereka tersinggung, meski aku
sendiri tak tahu dimana letak kesensitifannnya.
Tentu
saja yang paling menyebalkan, dalam urusan kamar mandi, adalah perempuan; para
ibu dan remaja gadis. Mereka tak peduli dengan antrian, seolah-olah mereka
penguasa tempat tersebut. Para ibu biasanya bangun lebih awal, kemudian sebelum
yang lainnya berdatangan, ia buru-buru memompa air hingga ember di dalam penuh.
Setelah terisi penuh, meski ada beberapa orang tengah menunggu giliran, ia
malah lari-lari menuju rumahnya, membangunkan anaknya. Pagi-pagi begini
pastilah butuh usaha besar untuk menyuruh anaknya mandi dan berangkat sekolah.
Setelah anaknya selesai mandi, ia tak perlu repot-repot lagi menunggu. Ia
langsung masuk kamar mandi dan menghabiskan sisa air mandi anaknya. Kami
menyebut itu sabotase, sementara kami hanya bisa mendumel dalam hati
menyaksikan sabotase-sabotase semacam itu terus terjadi.
Untuk
tipe kedua ini, sebagai lelaki sejati, seharusnya aku bisa mengalah dan
memakluminya; anak gadis. Aku tak tahu mengapa para anak gadis betah
berlama-lama di kamar mandi. Memang mereka selalu punya banyak ritual dan proses
untuk masalah kecantikan, dan kamar mandi merupakan tempat untuk memulai proses
tersebut. Sekali-kali aku ingin mengintip mereka, tapi karena suasana kamar
mandi selalu ramai, dan sekalipun dalam keadaan kosong pasti selalu ada mata
yang melihat, aku tak pernah punya kesempatan untuk melakukan itu.
Kadang
ketika kandung kemihku penuh dan aku malas turun ke kamar mandi dan mengantri,
aku selalu kencing di dalam botol, kemudian aku buang di atas atap seng.
Kecuali pada malam hari, saat orang-orang tertidur, aku tak perlu menampungnya
dahulu dalam botol, langsung saja aku julurkan penisku ke atas atap seng.
Sialnya, kadang penghuni rumah di bawah kamar kostku tiba-tiba keluar, mengira
ketukan di atap seng itu sebagai suara hujan turun. Cepat aku menahan
kencingku, menutup resleting, bersembunyi di balik pintu, dan berharap orang
itu tak sempat melihat tetesan air kencingku.
Keesokan harinya aku terlambat
bangun. Biasanya aku mandi pukul enam pagi, karena pada saat itu jam-jam sepi
kamar mandi dan anak-anak mulai berangkat sekolah. Kamar mandi ramai kembali
sejam kemudian hingga pukul sepuluh pagi. Dengan terburu-buru aku segera turun
dari kamar kost. Di depan kamar mandi ada beberapa orang tengah duduk mengantri
dan beberapa ibu rumah tangga tengah mencuci baju. Karena tak mungkin aku
menunggu sampai orang-orang itu selesai mandi, aku memutuskan kembali naik ke
kamar kost. Aku langsung ganti pakaian. Tanpa cuci muka dan gosok gigi, hanya
menggunakan deodorant, aku berangkat kerja.
Memang hampir semua perihal
kehidupan di lingkungan semacam ini sama sekali tak menyenangkan, tapi benar-benar
menguji kesabaranmu, menuntutmu pandai-pandai mengatur waktu dan menghargainya.
Saat mengantri mandi aku dapat mengambil satu pelajaran hebat bahwa ketika
bertemu dan berurusan dengan ibu-ibu, dimanapun kita berada, wajib kita
berwaspada, karena menghadapi mereka tak cukup dengan bersabar. Sekaligus juga
aku mengerti, meskipun keadaan hidupku tidak mengikuti kemajuan Jakarta, itu
bukanlan sesuatu yang merugikan.
******
Kebersamaan warga sini juga terjalin
saat merayakan hari-hari kebesaran tertentu atau salah seorang warga atau
keluarga mengadakan acara-acara tertentu.
Sebulan menjelang hari raya Idul
Adha, ketika hendak berangkat kerja para ibu dan beberapa gadis duduk berbaris
di lorong-lorong. Mereka tengah mengupas kentang dan memotong sayuran. Daging
dan ikan dicuci di kamar mandi sehingga lantainya menjadi licin dan amis.
Mereka bekerja sama membantu salah satu warga yang hendak mengadakan pesta
pernikahan-----menjelang hari raya memang musimnya orang-orang kawin dan surat
undangan kerap membuat orang menggerutu karena pengeluaran mereka bertambah. Di
lorong-lorong sempit itu mereka tertawa dan membicarakan banyak hal. Aku
terpaksa melewati lorong tersebut dan para ibu segera menggeser posisi duduk
mereka, juga bak-bak berisi sayuran dan daging ke tepi. Lorong itu menjadi
becek dan anyir seolah-olah aku tengah berjalan di dalam pasar.
Pulang kerja jalan menuju kamar kost
ditutup palang bambu dan lalu lintas kendaraan dialihkan ke arah jalan lain.
Beberapa meter dari palang bambu itu
telah berdiri tenda dan panggung hiburan. Para tamu berdatangan, lalu pergi
setelah makan dan menyerahkan selembar amplop. Seorang penyanyi mendendangkan
sebuah lagu dangdut sambil bergoyang-goyang memperlihatkan lekuk-lekuk
tubuhnya, menggoda para lelaki yang bersedia menyelipkan rupiah ke balik
dadanya. Anak-anak berlari kesana-kemari seakan-akan jalan yang diblokir ini
tiba-tiba menjelma menjadi lapangan sepak bola. Pesta pernikahan itu cukup
meriah meski diadakan di atas lahan terbatas. Sambil menundukkan muka dan
membungkuk aku melewati panggung hiburan tersebut
Seminggu menjelang hari raya Idul
Adha di depan mushalla, sudah terikat hewan kurban. Seekor sapi dan beberapa
ekor kambing. Hewan itu kurus-kurus. Terik matahari yang garang seolah bukan
masalah. Mereka santai mengunyah-ngunyah dedaunan di sekitar mereka sambil
buang air. Mereka asyik bermalas-malasan seakan tak ada satu masalah apapun.
Tapi mereka juga tampak lesu seolah-olah mereka tahu tak lama lagi ajal bakal
menjemput.
Tak seperti hari-hari lainnya, pulang kerja
aku duduk dulu di depan teras mushalla. Memandangi hewan-hewan kurban itu
membangkitkan rasa empatiku. Mereka adalah hewan ternak yang tak membutuhkan
kemandirian. Meski mereka tak meminta, segala kebutuhan mereka dicukupi
manusia. Urusan makan dan minum tak perlu dirisaukan. Kawin pun tinggal kawin.
Tapi sejak awal hidup mereka telah divonis; menjadi bahan konsumsi manusia. Aku
berpikir kira-kira bagaimana perasaannya menjelang hari kematiannya.
Seperti halnya hewan-hewan kurban itu, aku
juga tak perlu merisaukan makan dan minumku. Tapi bekerja di sini membuat
waktuku terasa sempit, dengan gaji secukup buat kebutuhan dasar semata, aku
merasa hidupku telah tervonis; aku tak punya keleluasaan. Aku bak
mempertaruhkan sisi kemanusiaanku, bersedia menjadi hewan kurban demi
keuntungan segelintir pihak. Kebebasan langkah kakiku hanya berjarak beberapa
ratus meter saja----jarak dari kamar kost hingga restoran.
Aku pikir beginilah kira-kira hidup
berada dalam kebun binatang. Tiap hari, hari demi hari, kau hanya berkeliaran,
berlari-lari dari satu sudut ke sudut itu juga; bolak-balik. Dalam kemonotonan
hidup tidur menjadi sesuatu yang menakjubkan, menjadi sebuah ritual untuk
melupakan sejenak aneka kejenuhan. Tak pernah menempuh jarak pasti atau menuju
suatu tempat. Sementara energi dari makanan yang kau makan dipergunakan hanya
untuk menjadikan diri sebagai tontonan. Hidup tak lagi bergantung pada Tuhan,
tapi pada mereka yang punya banyak uang.
******
Ini salah satu akibat hilang
keleluasaan; hari raya Idul Adha ini aku tak bisa libur. Karena Idul Adha tak
sebesar hari raya Lebaran, aku tak ikut shalat Id di masjid. Aku malas bangun
pagi. Ketika orang-orang pulang dari masjid, para penjagal tengah mengasah
golok, dan anak-anak merasa tak sabar melihat hewan-hewan kurban disembelih,
aku malah baru bangun dan pergi mandi. Aku pikir bakal ada mulut comel yang
bertanya mengapa di hari raya ini aku tak ikut suka cita, tapi ternyata warga
sini mengambil sikap tak peduli. Setelah berpakaian sesaat aku memandangi seisi
kamarku kemudian berangkat kerja seperti biasa, melakukan kesibukan-kesibukan
yang tak memiliki nilai istimewa.
Sorenya, dengan langkah kaki penuh
kehampaan, terdapat ceceran darah mengering di atas tanah serta bekas lubang
sempit tempat menampung darah hewan kurban telah ditimbun kembali. Kulit-kulit
hewan kurban disandarkan di depan dinding mushalla. Ratusan lalat berterbangan
kesana kemari, menghinggapi titik-titik yang mengeluarkan bau anyir daging dan
darah. Sebelum tengah hari hewan-hewan itu pasti telah disembelih, untuk kemudian
dikuliti, dipotong-potong, dan dibagikan kepada warga sekitar.
Di kamar kost aku langsung lemparkan
tas ransel ke pojok kamar dan membuka baju. Aku duduk di muka pintu kamar yang
terbuka, membiarkan angin sore masuk ke dalam, untuk mengurangi rasa gerah dan
mengeringkan keringat badan..
Saat aku pikir hari raya ini bakal
menyakitkan, bahwa paling-paling hanya bisa memandangi orang-orang sibuk
mengipasi bara panggangan, membolak-balik tusuk sate, kemudian menyantapnya,
tiba-tiba Bu Warni mendatangi kamar kost-ku. Ia membawa sepiring gulai kambing
dengan kuah minyak berkilau-kilau. Bumbu rempahnya semakin membangkitkan gelora
perut dan lidah. “Kalau kurang minta lagi saja sama Bu Susi. Dia panitia daging
hewan kurbannya.”
Bu Warni juga menjelaskan bahwa
daging kurban tidak dibagikan dalam keadaan mentah melainkan dalam keadaan
masak. Para ibu di lingkungan ini yang memasaknya bersama-sama. Seluruh
penghuni pemukiman ini, tak terkecuali para penghuni kost juga mendapat jatah.
Pikiranku tadi yang hanya bisa menikmati kesesakan asap hasil pembakaran sate
terobati. Untuk sekian lamanya tinggal sebagai anak kost, dimana nasi warteg
merupakan makanan mewah, akhirnya aku dapat mencicipi gulai kambing.