Tahun baru? Apa istimewanya? Kira-kira adakah alasan aku pantas
merayakannya?
Malam pergantian tahun baru kali ini aku memilih mengurung diri di dalam
kamar kost, duduk didepan komputer, dan mulai mengetik. Dari tahun ke tahun
inilah ambisiku; menyelesaikan sebuah tulisan dan mendapatkan pengakuan.
Mengingat tahun-tahun belakang, aku tak cukup punya alasan merayakan
tahun baru malam ini. Pikiranku pesimis; paling-paling keadaanku begini-begini
saja, sedikit kegembiraan dan petualangan kecil. Takkan banyak berubah.
Bukannya aku hidup tanpa arah dan rencana. Ambisiku jelas. Hanya saja selalu
gagal. Kenyataan tak memberikanku lompatan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
Aku terjebak dan jalan ditempat.
Kerap
aku menertawakan diri sendiri. Aku merasa hidupku seperti seorang penulis
betulan; menjauh dari keramaian, berteman sunyi, merenung, lantas berpikir. Aku
manusia merdeka, tapi terbelenggu.
Aku telah gagal berkali-kali. Menjadikan mentalku lemah dan tertekan.
Rasa percaya diriku hilang. Meski banyak ide berkelebat-kelebat di kepala, aku
tak bisa langsung menuliskannya. Biasanya aku biarkan dulu ide-ide itu
mengendap dan meresap masuk ke dalam
otak, menunggu diri sendiri yakin. Lagi pula aku merasa kesulitan merangkai
kalimat per kalimatnya. Tak tahu harus memulainya seperti apa. Begitu berhasil
dituliskan, aku juga tak langsung yakin. Kembali aku baca berulang-ulang walau
sekalimat. Selalu apa yang aku tulis ini terasa jelek dan tak layak.
Aku bingung. Rasa-rasanya ingin aku copot kepala ini dari lehernya.
Pintu diketuk. Dengan gundah aku buka. Kris sudah berdiri diluar.
Dandanan dan penampilannya necis habis. Semangatnya membuatku iri. Ia pasti
butuh waktu berjam-jam hanya untuk menyisir dan meminyaki rambutnya. Ia sudah
siap keluar malam ini dan menebar pesona pada setiap wanita yang ditemuinya
nanti.
“Ayo,” ajaknya. Ia kedip-kedipkan mata dan alisnya bergoyang naik turun
seolah-olah minta pendapatku bagaimana gayanya malam ini.
“Aku tidak keluar malam ini,” ucapku malas.
Agak tercengang ia menatapku, lalu ia tertawa habis-habisan. “Di malam
tahun baru, seorang pemuda mengurung diri didalam kamar kost?”, singgungnya. Ia
menepuk pipiku. “Mau jadi apa pemuda semacam itu kelak. Ayolah! Kita keluar
malam ini seperti orang-orang. Jangan sumpek-sumpek melulu. Mumpung masih muda.
Kalau tua mana bisa?”.
“Tahun baru,” balasku sinis, “kebanyakan orang paling-paling tahunya
hanya ganti kalender saja. Kalau sekedar pergantian angka, aku bisa saja tiap
saat merayakan pergantian tanggal atau bulan.”
Kris tertawa. Aku tahu ia melecehkan.
“Tapi kau tak cukup punya uang untuk merayakannya, bukan? Apalagi pesta tiap
saat. Ini tahun baru, Yus. Banyak hiburan gratis.”
“Tahun baru bukan momen istimewa. Lagi pula tahun baru belumlah
berjalan. Ia belum memberikan apa-apa. Kecuali janji dan harapan. Sementara di dalam
janji dan harapan dapat terjadi banyak kemungkinan. Tahun baru; apakah itu
artinya kita merayakan ketidak-pastian? Mengapa kita merayakan sesuatu yang
belum pasti? Lebih tepat tahun baru itu dijadikan awal dari peringatan,”
ceramahku mentah-mentah. Melirik raut muka Kris, aku tahu ia menolak isi
ceramahku itu.
Peringatan, pikirku kembali, bukan perayaan. Berapa umurku sekarang?
Diusia sebanyak ini aku cocok memasuki usia pernikahan, bahkan memiliki seorang
anak. Anak teman-teman sekolahku saja sudah besar-besar. Aku tak tahu diusia
berapa mereka menikah. Tiga tahun lagi aku menginjak usia tiga puluh. Usiaku
sudah mencapai dewasa, bukan remaja. Diusia sebanyak ini seharusnya aku punya
karir yang menjamin, setidaknya punya satu-dua karya yang dilirik dunia.
Kenyataannya aku belum menjadi apa-apa.
Bagaimana kalau-kalau umurku tak mencukupi untuk menghasilkan sebuah
karya? Sementara kesempatan tak selalu datang. Tahun baru sungguh momok
mengerikan. Ia menambah angka ketuaan umurku sekaligus mengurangi sisa hidupku.
Sedetikpun aku tak boleh menyiakan waktu. Untuk memanfaatkan tiap detiknya aku
menulis. Tak boleh tidak.
“Kita tak selalu mendapatkan hiburan besar-besaran seperti malam tahun
baru, Yus”, kilah Kris kembali.
“Bersenang-senanglah,” tukasku. Sebelum Kris terus memaksaku, aku dorong
ia keluar dan tutup pintu kamar.
Kris tinggal tepat disebelah kamar kostku. Ia tetanggaku satu-satunya.
Tak ada yang lain. Memang disini hanya terdapat dua pintu kamar kost.
Kelihatannya induk semang kami tak terlalu membutuhkan uang. Padahal kalau mau
ia bisa menjadikan lantai atas rumahnya ini lima pintu kamar kost. Karena ia
tinggal sendiri dan anak-anaknya sudah berumah tangga semua, mungkin motivasi
induk semang kami membuka kamar kost ini lebih didasari kondisi mentalnya. Ia tak mau
kesepian di masa tuanya, juga tak mau suasana ramai-ramai. Sekaligus biar lantai
atas rumah ini tak menjadi sarang tikus atau laba-laba.
Kamar kostku ini terbilang nyaman dan leluasa. Seperti berada di rumah
sendiri. Diluar pintu kamar kost juga disediakan sofa dan sebuah rak berisi
buku dan majalah. Suasana yang tenteram dan hening sangat cocok dengan hobi
menulisku.
Mendapatkan kamar kost seperti ini di Jakarta sungguh untung-untungan.
Kebanyakan teman kerjaku mengeluhkan kamar kostnya; bentuknya seperti kandang
ayam, kebersihan tempat, air mandi berbau comberan, hingga tikus-tikus sebesar
kelinci yang doyan makan sabun dan odol. Tak heran kami mudah terserang
penyakit gatal-gatal dan sesak nafas. Kualitas hidup kami di Jakarta sangatlah
rendah.
Itu sangat tak sesuai
dengan mahalnya harga sewa kamar per bulan, juga tak sebanding dengan pemasukan
kami bekerja di Jakarta ini. Hampir-hampir uang gaji kami habis untuk membayar
kamar kost sekelas kandang kambing. Biasanya untuk menghemat, kami kost bareng-bareng, tidur berbaris diatas tikar bersama-sama seperti
ikan cue asap yang dimasukkan kedalam keranjang bambu kecil. Begitu merasa tidak
betah kami segera pindah kost. Itu kerap kami lakukan untuk mencari tempat yang
lebih baik lagi. Malangnya, untuk orang-orang sekelas kami mendapatkan kost
dengan air mandi berbau kaporit dan gampang keluar masuk jamban sudah lebih
mencukupi.
Ketika aku mencari kost
baru dibelakang gedung Grand Indonesia, tiba-tiba seorang wanita penuh baya
memanggilku dari balik pintu sebuah rumah. Sebagian besar rambutnya memutih,
agak bungkuk, dan jalannya tertatih-tatih. Ia bertanya apakah aku sedang
mencari kamar kost. Aku mengangguk. Lalu ia membawaku kedalam rumahnya dan
menuduhkan sebuah kamar kosong di lantai
atas. Kamar ini seperti umumnya kamar kost di Jakarta; setengah dindingnya
tembok, setengahnya lagi papan. Tapi lebih rapi dan bersih. Sebelum aku huni, harga
sewanya juga dapat aku tawar. Si ibu bersedia menurunkannya sedikit. Jelas
tujuannya menyewakan kamar ini bukanlah uang----sesuatu hal yang teramat langka
di kota kapitalis dan materialistis seperti Jakarta ini. Aku bersyukur akhirnya
aku punya kamar kost yang layak daripada teman-temanku. Dan aku tinggal
sendiri. Rasanya lebih bebas daripada sekamar bersama. Lagi pula aku tak mudah
percaya sama orang lain. Apalagi aku hobi menulis. Aku butuh banyak-banyak
waktu sendiri.
Akhirnya disinilah aku bertemu dan berkenalan dengan Kris.
Dari tadi duduk didepan
layar komputer belum satu kalimat pun
berhasil aku ketik. Begitu aku mengetikkan sebuah kalimat langsung aku hapus
lagi. Biar para pembaca terus tertarik membaca tulisanku sampai akhir, aku harus
memulainya dengan kalimat yang bikin penasaran. Teknik itu aku dapatkan saat
mengikuti pelatihan-pelatihan menulis. Tapi ternyata itu cukup sulit. Apalagi
selera tiap orang bermacam-macam. Bagus menurut seseorang, belum tentu orang
lain juga sepakat.
Memikirkan teknik justru membuatku terjebak. Pikiranku malah
berputar-putar. Rasa minderku bertambah-tambah. Mengapa pula aku mesti menulis?
Apa motivasiku menulis? Uang? Popularitas?
Memangnya menulis bisa
menghasilkan uang, Yus? Kalimat semacam itulah yang ibu sindir-sindirkan padaku.
Aku bukanlah anak yang
dilahirkan dari kalangan berada apalagi kaya. Orangtuaku tak memiliki banyak
harta untuk diwariskan pada anaknya. Ibu menginginkan aku, anaknya, bekerja
sewajarnya, melakukan sesuatu yang pasti-pasti saja. Seperti kebanyakan orang
bekerja di pabrik dan mendapatkan gaji per bulan. Kalau cukup pintar bukalah
usaha sendiri. Aku pernah mencobanya. Meski aku punya gaji lumayan, aku masih
merasakan sesuatu yang kosong dalam jiwa. Pekerjaan buruh tak mengenal dinamika.
Hidup sekedar menunggu gaji belaka dan belas kasihan tuan besar. Melihat para
buruh berbondong-bondong demo ke ibukota makin menjelaskan padaku; buruh hanya
cukup kenyang.
Berwiraswasta pun aku tak punya kemampuan. Menghitung berapa keuntungan
dan kerugian bukanlah sesuatu hal yang aku sukai. Sukses tak harus berharta dan
berpangkat besar. Aku hanya ingin menjadi manusia bebas berpikiran, tak terikat
oleh kekangan norma-norma, bebas dari hukum ciptaan tangan manusia,
berpetualang kemanapun mengikuti kesejatian hidup. Aku ingin melihat hidup
lebih sebagai ilmu, bukan peluang.
Peluang.
Aku selalu meringis mendengar dan membaca kata itu. Aku tahu posisi kata itu
lebih tinggi dari uang dan untung.
Untuk menghindari Ibu, aku melarikan diri ke Jakarta dan bekerja di
sebuah restoran. Rupa-rupanya disini aku malah dikutuk oleh sumpahku sendiri.
Bekerja sebagai pelayan restoran juga termasuk pekerjaan buruh. Waktuku tersita
untuk mengikuti peraturan di tempat kerja. Kamera yang terpasang disudut
ruangan bak sosok pengintai. Seolah dianggapnya kami ini binatang rakus yang
tak pernah kenyang. Hidupku berjalan berulang-ulang; bangun pagi, berangkat
kerja, pulang, tidur, dan bangun lagi. Waktuku sempit untuk menilai
peristiwa-peristiwa. Tak berwarna dan seutuhnya suram. Aku tak bisa menghindari rutinitas ini demi memenuhi kebutuhan hidup. Kadang
aku berpikir ini cerminan ego pribadi karena hasilnya hanya cukup untuk perut
sendiri. Setidaknya, jauh dari orangtua, aku merasa terhindar dari
sindiran-sindiran.
Jujur saja barangkali tujuanku menulis tak lain dari uang. Tapi
mengingat berkali-kali gagal, rasa-rasanya ini lebih dari sekedar uang. Meski
menulis tak menjanjikan pangkat dan harta,
malahan menguras isi kantong, nyata-nyatanya aku masih
saja menulis. Kata per kata, kalimat per kalimat, yang aku tuliskan itulah
hidupku. Inilah sepenuh jiwaku. Aku mengerti; arti kesuksesan bagi seorang penulis akan lain dari
sewajarnya. Karena ia adalah pencipta, pembangun, perancang. Ia tak memerlukan
peluang untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Seorang penulis mesti rela
dipandang orang sebagai manusia gagal seumur hidup.
Persoalannya, dengan menulis, apakah Ibu
akan bangga padaku? Bisakah aku membanggakannya? Seperti yang lainnya, mungkin Ibu menganggap kalau
menulis dan membaca adalah pekerjaan para pemalas; banyak berpikir tapi tak
tahu kerja. Kalau aku terus
menulis rasa-rasanya aku menjadi manusia paling egois. Lebih mementingkan diri
sendiri. Dan pemikiran ini membuat otakku kehilangan daya cipta. Pikiranku
sulit terpusatkan, melayang-layang tanpa arah tujuan.
Sekali lagi aku hapus kalimat pembuka yang berhasil aku tulis. Kris ada
benarnya. Untuk menjernihkan pikiran kembali, aku butuh keluar dan menghirup
suasana baru. Himpitan dinding-dinding kamar kost takkan mampu memberikan
banyak ilham. Begitu aku matikan komputer, langsung aku ambil jaket dan keluar.
Ternyata Kris belum berangkat. Ia duduk diatas sofa sambil asyik
pencet-pencet telepon genggamnya. Ia agak terkesiap melihatku menutup pintu dan
menguncinya
dari luar.
“Mau kemana?”, Kris terlonjak dari duduknya. Matanya mengharap.
“Keluar.”
Apa?”
“Kamu belum berangkat?”.
“Nggak ada teman buat diajak
jalan bareng”.
Jadilah kami berangkat
bersama untuk melihat kembang api tahun baru.
Malam menjelang
pergantian tahun di belakang gedung Grand Indonesia sunyi senyap. Deretan
pintu-pintu rumah disepanjang gang hampir tertutup semua. Nyala kekuningan
lampu-lampu pijar menambah merana suasana. Kamar-kamar kost terkunci. Hanya
warung-warung kecil yang masih buka menunggu pembeli. Masjid dan mushalla yang
terjepit diantara deretan rumah bisu ditinggalkan jemaah. Tanpa derap langkah
kaki dan ribut-ribut suara manusia, tikus-tikus sebesar kelinci tampak lebih
leluasa keluar sarang, berjalan dipinggiran got, merayap-rayap naik keatas
dinding mencari makan. Dibalik atap-atap rumah tersembul julangan gedung-gedung
pencakar langit Jakarta, lampu didalamnya berkedip-kedip, memancing warga
mendekat mencari keramaian dan kemeriahan.
Kelihatannya hampir semua orang bersuka cita, apalagi pemuda dan pemudi,
kompak meninggalkan rumah masing-masing menuju keramaian acara pergantian tahun
baru diadakan.
Seorang gadis berambut panjang tampak gembira menutup pintu pagar, lalu
ia duduk diatas sepeda motor dibelakang punggung lelaki berjaket kulit.
Kemudian lelaki itu menyodorkan helm sambil tersenyum. Begitu si lelaki
melajukan motornya, gadis itu memeluk erat-erat pinggangnya. Kami menepi
mempersilahkan sepeda motor itu melaju didepan kami. Kebersamaan mereka
membuatku iri. Dilihat-lihat usia mereka lebih muda dariku.
Aku perhatikan motor itu hingga berbelok ditikungan depan gang.
Seumur-umur aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya punya pacar,
bermanja-manja, dan saling mengucapkan kata sayang dan cinta. Jomblo sejati.
Pasti menyenangkan memiliki seorang perempuan yang selalu memperhatikan, meski
terkadang sikapnya seperti seseorang yang selalu ingin tahu saja urusan orang
lain. Rasa minder terhadap perempuan membuatku betah sendiri. Padahal aku
kesepian.
Kris menepuk bahuku. Aku menggeregap. Secara refleks mataku mengedip
sekali, lepas dari lamunan.
“Kenapa?”, ledek Kris kembali. “Naksir sama gadis itu?”.
Aku tahu Kris juga ikut
memanjangkan lehernya memperhatikan sepeda motor itu hilang ditikungan gang.
Kris berasal dari jenis lelaki pandai mengoceh. Seringkali ocehan-ocehannya itu
mengganggu telingaku. Diantara orang-orang yang kukenal dan teman-temanku di
Jakarta, Kris adalah teman paling dekat. Karena selain ocehannya menganggu,
juga cukup mampu menghiburku. Ia juga menghibur dirinya sendiri dengan segala
omong kosongnya seolah-olah cara itu cukup ampuh menutupi kekurangannya.
Sementara aku berasal dari jenis lelaki pendiam yang bahkan tak tahu bagaimana caranya menghibur diri sendiri.
Aku pemurung.
“Mungkin,” jawabku tak peduli.
Kris tertawa jahil. “Beginilah
nasib jomblo sejati. Cuma bisa mengagumi dari jauh.”
“Jomblo atau tidak itu pilihan”,
tukasku.
“Hanya saja pilihan paling
terbuka itu menjomblo, bukan?”
“Kalau sama-sama jomblo tak perlu
saling ledek.”
“Kalau mau aku bisa saja punya
pacar. Masalahnya aku cepat bosan. Karena watak playboy dari lahir aku memilih sendiri, takut menyakiti hati wanita dan disangka bajingan.”
Mulailah ia membual dan menyombong-nyombongkan diri. Aku menatapnya jijik. Playboy?
Tampang senorak itu lebih pantas sering diserang patah hati dan mesti
kuat-kuat memendam perasaan batin karena cinta tak pernah sampai.
Tapi begitulah cara
Kris menghibur dirinya sendiri, melupakan getirnya hidup barang sesaat.
Berpura-pura itu kuncinya. Aku mengerti betul sikapnya. Tapi kali ini emosiku
tersulut. Tak tahan mendengar ocehannya, aku dorong ia ke samping. Hampir saja
ia terjerembab jatuh masuk got. Begitu berhasil menyeimbangkan tubuhnya
kembali, ia mengekor dibelakang. Lalu kami masuk ke sebuah warung, membeli
sebungkus rokok.
Keluar gang, suasana
metropolitan langsung menyapa kami. Gang tempat kami keluar ini seperti lubang
tikus yang menghubungkan sekaligus batas dua sisi kota yang berlainan; kemegahan
dan kesederhanaan, kemakmuran dan kemiskinan. Dari tempat temaram, pengap, dan
sumpek kami seperti disulap menuju gemerlap dan kemeriahan pergantian tahun.
Cuaca ibukota malam ini
cukup bersahabat. Meski tak berbintang, karena nyala lampu-lampu kota, langit
cukup terang dan menjanjikan kecerahan. Kabarnya jalan Sudirman-Thamrin ditutup
sejak sore tadi untuk lalu lintas kendaraan dan beberapa panggung hiburan
dibangun disejumlah titik sepanjang jalan ini. Jakarta benar-benar telah
berbenah sebelum matahari tenggelam demi menyambut tahun baru ini.
Malam ini sungguh cocok buat keluar dan bersenang-senang. Aneka ragam
manusia seperti ditarik langsung dari pintu rumahnya masing-masing,
berlomba-lomba melangkah, dan berbaur antara satu dengan yang lainnya. Wajah
mereka menyimpan suka cita, mata berseri-seri, seolah-olah tak ada hal yang
patut dikhawatirkan. Erat-erat seorang ayah menggendong anaknya sementara sang
ibu menuntun anaknya yang lain. Sepasang kekasih tanpa malu-malu bergandengan
tangan dan berangkulan. Ada pula yang datang bersama rombongan teman-temannya.
Gerobak-gerobak penjual minuman dan makanan terparkir diatas trotoar dan
disepanjang bahu jalan. Akibatnya persimpangan jalan Bundaran HI berubah
menjadi alun-alun kota.
Aku dan Kris jalan beriringan menuju Bundaran HI. Disana, tepat didepan
gedung Plaza Indonesia dan Grand Hyatt dibangun sebuah panggung hiburan.
Sebenarnya aku tak begitu berminat menonton aksi panggung para artis menyanyi.
Begitu banyaknya penolakan yang aku alami, aku tak tahu lagi hiburan macam apa
yang bisa membantuku melepas penat ini. Sekeren apapun penampilan mereka nanti,
aku sudah dapat merasakan musik-musik mereka hanya menimbulkan kebisingan
ditelinga. Dari sekian banyak orang yang aku perhatikan, kelihatannya hanya aku
seorang yang tak berbahagia.
Kris menerobos lautan penonton yang berdiri gembira didepan panggung
hiburan. Ia senggol dan sodok kanan-kiri demi mendapatkan tempat terdepan. Jarang-jarang
ia merasakan suasana semeriah ini. Lain dari diriku. Aku memilih tempat agak
jauh dari kerumunan orang-orang, mencari-cari tempat longgar, dekat kolam air
mancur yang berada tepat ditengah-tengah persimpangan jalan. Aku cukup
perhatikan seorang pria diatas panggung memandu para penonton menghitung mundur
menuju pukul dua belas malam tepat.
Seketika ratusan kembang api melesat cepat ke angkasa. Pekatnya langit
mendadak ramai. Suara letusan mengelegar di telinga bak membelah keheningan langit dan malamnya.
Percikan bunga api berhamburan. Dibawahnya menderu-deru suara riuh, sorak, dan
tepuk tangan sekumpulan manusia. Akhirnya aku ikut bergembira juga, takjub
menyaksikan kemeriahan pesta kembang api ini. Kepalaku menengadah keatas langit
seperti berharap percikan bunga api itu jatuh tepat diatas kepalaku. Diam-diam
aku percaya hal demikian membawa berkah dan keberuntungan.
Saking terpesonanya melihat langit, tiba-tiba kakiku menjejak pada
pinggiran kolam yang licin. Tubuh dan kakiku seperti digelitik tangan-tangan
gaib, bergerak-gerak mempertahankan posisi dan keseimbangan. Merasa sulit untuk
terus mengendalikannya akhirnya aku tergelincir dan jatuh ke dalam kolam air
mancur. Seketika riak besar tercipta di permukaan kolam.
Sekumpulan air berbau
anyir mengepung dan terasa menarik-narikku kedalam dasarnya. Rasa-rasanya
begitu banyak air yang masuk kedalam lubang telinga dan hidungku. Juga terminum
oleh mulutku. Aku tercekik dan sulit bernafas. Sepasang kakiku bergerak-gerak
dalam tekanan air tanpa harapan. Tanganku menggapai-gapai udara dengan liar, berusaha membuat kepalaku tetap berada
diatas permukaan air dan mendapatkan udara.
“Tolong! Tolong!”, lolongku
seperti orang tercekik.
Lalu, dari kemeriahan letusan kembang api diatas langit perhatian
orang-orang teralih padaku. Mereka melihatku panik dan ketakutan. Repot-repot
mereka mengenakan pakaian terbaik dan merasa bingung apakah mereka harus
merusak penampilan mereka dengan menceburkan diri menolongku. Masing-masing
mereka saling mengandalkan dan menunggu seseorang yang lain untuk menolongku.
Sekian detik aku masih terus berusaha menyelamatkan nyawaku dan hampir-hampir
putus asa, lalu merasa yakin mungkin beginilah nasib akhir hidupku; mati konyol.
Sekelebat bayangan muncul dari balik kerumunan orang-orang. Ia berlari,
melompat, dan tubuhnya melengkung di udara
seperti atraksi seekor lumba-lumba melompati lingkaran besi berapi. Seperti kecebong rawa cepat ia berenang kearahku, menangkap
badanku, dan membawanya ke tepi. Kemudian aku naik ke pinggiran kolam air
mancur
sambil terbatuk-batuk kecil.
Di bawah temaramnya cahaya lampu nafas
penolongku
tersengal-sengal dan dadanya naik turun. Aku tahu ia pasti mengerahkan seluruh tenaga dan
keberaniannya untuk mengangkat badanku dari tekanan air kolam ini. Lalu ia
menyingkirkan rambut panjangnya yang menutupi sebagian wajahnya. Aku terpukau; ia seorang gadis. Ia tampak kelelahan
dan kedinginan. Demikian juga aku; kuyup seluruhnya.
Kini dunia telah menyaksikan kelemahanku dan aku merasa malu; seorang
lelaki tak pandai berenang dan malah ditolong oleh seorang perempuan.
Bagian lainnya baca disini; Sebelumnya Berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar