Kejantananku
sebagai laki-laki dipertaruhkan malam tahun baru ini.
Mata ini
benar-benar tak bisa dipuaskan. Semenjak tumbuh menjadi lelaki puber baru kali
ini aku mendapatkan kesempatan dahsyat; duduk berhadap-hadapan dengan seorang
perempuan. Aku tak bisa membohongi naluriku sendiri. Ia cantik, bening, dan
mulus. Di hadapan keindahan ini aku tak tahu bagaimana cara menatapnya. Aku
ingin memuaskan sepasang mata ini.
“Kenapa?”,
kata perempuan itu tiba-tiba menatap kearahku.
Merasa
kepergok, cepat-cepat aku menurunkan pandanganku dan mengedipkannya. “Mau
teh?”, tawarku agak gugup dan malu.
“Tentu,”
ia mengangguk.
“Sebentar
aku buatkan.”
Aku
menuju dispenser dan menuangkan air panas kedalam gelas. Perempuan itu masih
asyik menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan selembar handuk kecil. Ia
mengenakan kaosku yang tampak longgar dikenakan. Tubuh kurusnya agak tenggelam
dibalik kaos itu.
“Namaku
Namira,” ucapnya.
Sambil
mengaduk-aduk teh dalam gelas, aku pun menyebutkan namaku.
Malam
tahun baru kali ini sungguh istimewa; satu insiden diikuti dengan satu
anugerah. Dalam keadaan basah kuyup dan gigil, berjalan terseret-seret melewati
kerumunan orang-orang, menghindari tatapan dan bisik-bisik mereka, aku berhasil
membawa seorang perempuan masuk kedalam kamar kostku. Lalu aku membiarkannya
mengeringkan diri dan berganti baju di dalam kamar ini.
Aku
pikir apa yang aku lakukan ini sudah benar. Tak mungkin aku meninggalkannya di
tengah kerumunan manusia dan membiarkannya masuk angin. Ini adalah tanggung
jawabku dan sudah seharusnya aku berterima kasih.
Aku
sajikan segelas teh hangat itu dihadapannya. Uap teh yang meliuk-liuk di udara
menghantarkan aroma sedap ke dalam hidung kami. Aku tahu berdua di dalam kamar
dengan seorang pria mungkin membuat Namira takut. Aku harap sikap ramahku ini
dapat membuatnya lebih nyaman. Meski akhirnya malah aku yang merasa canggung
sendiri.
“Terima
kasih,” senyum Namira malu-malu.
“Tidak.
Seharusnya aku yang berterima kasih. Tanpa kamu mungkin aku sudah mati
tenggelam.”
Kemudian
suasana kembali hening. Kami benar-benar berdua di sini. Diantara kami, satu
sama lain, saling melirik dan memandang dengan perasaan malu, takut, dan ragu.
Kami bagaikan sepasang manusia polos, yang belum mengalami sekalipun hubungan
antara laki-laki dan perempuan di malam pengantin mereka.
Hanya
saja aku masih tak habis pikir. Tak mungkin gadis semanis ini datang seorang
diri ke pesta tahun baru di pusat kota. Biasanya gadis semacam ini datang
bersama pacar atau teman-temannya. Setidaknya bersama keluarga.
“Apa
yang mendorongmu berani terjun ke dalam air di malam tahun baru ini?” tanyaku
kemudian.
“Karena
ada seseorang yang perlu ditolong,” jawabnya sederhana. “Seorang lelaki yang
tak pandai berenang.”
“Kau
meledekku,” aku tertawa jengkel. “Aku pikir siapapun juga pasti berpikir
berulang kali merayakan tahun baru dengan basah-basahan.”
“Menolong
orang tidaklah perlu berpikir,” timpal Namira. “Cukup dengan rasa. Menolong
dengan berpikir hanya dilakukan oleh orang-orang yang mengatas-namakan hak
asasi manusia. Tak ada keikhlasan. Tak ada ketulusan.”
Akhirnya
dalam keheningan berikutnya kami bisa saling bertatapan lebih dalam. Kami
menyelami pancaran sinar mata kami masing-masing. Dalam pertemuanku dengan
gadis ini, takdir seperti mengingatkanku; diusia hampir tiga puluh aku perlu
seorang perempuan untuk dijadikan sebagai jodoh. Tapi aku tahu ditolak
perempuan pasti lebih menyakitkan tinimbang ditolak penerbit atau media.
Mungkin
Namira tak melihat sedikitpun pesona dalam wajahku, akhirnya ia mengedarkan
pandangannya ke sisi-sisi ruangan. Aku berharap ia menganggap kamarku bersih
dan nyaman. Lalu ia bertanya, “Sudah lama tinggal di sini?”
“Lumayan,”
kemudian dengan sedikit lancang aku bertanya, “Kau punya pacar?”
Tiba-tiba
Namira terbatuk-batuk. “Boleh aku minum tehnya?”
Dengan
sigap aku membantu mengangkat gelas berisi air teh itu dan membiarkan Namira
meminumnya sendiri. Aku merasa bersalah bertanya demikian. Aku
menimbang-nimbang untuk meminta maaf hingga akhirnya aku urungkan.
Tiba-tiba
Namira bilang padaku, “Boleh malam ini aku menginap?’”
Rasa-rasanya
sepasang telingaku ini salah dengar. Aku terperanjat. Ini sulit aku mengerti.
Aku pikir ada sesuatu hal yang mengguncang pikiran perempuan ini. Kalau ia
baik-baik saja, ia pasti minta diantarkan pulang segera. Aku melihat sepasang
bola matanya yang sendu, yang tampak memohon padaku, menyimpan sebuah
kegetiran.
“Kamu
tidak keberatan, kan?”, mintanya lagi.
Pernah
di tempat kostku dulu seorang pria membawa masuk pacarnya ke dalam kamar. Ia
kepergok. Tak hanya dimarahi habis-habisan, ia juga langsung diusir oleh induk
semangnya. Apabila aku mengalami hal serupa malunya sungguh tak tertanggungkan.
Aku betah disini. Jarang-jarang di Jakarta ada tempat kost senyaman tempat
tinggal aku sekarang.
Seharusnya
aku menolak, tapi aku malah menggeleng; aku tidak keberatan. Pertimbanganku
sederhana saja; induk semangku tak ada di sini. Ia merayakan tahun baru di Bogor
bersama anak-cucunya. Tapi melihat kecantikan wajah dan kemulusan kulit
tubuhnya, aku tahu ada alasan lain aku mengizinkannya menginap di kamarku.
“Terima
kasih,” ucap Namira malu-malu. “Maaf, aku merepotkan.”
Seperti
orang yang tak bisa berpikir apa-apa lagi, aku bilang, “Tidak apa-apa. Aku
harap kamarku tidak bikin gatal-gatal.”
Seraya
aku keluar dan menutup pintu pelan-pelan. Aku mengelus dada dan menghembuskan
nafas lega.
Diam-diam,
melalui lubang kunci pintu, aku mengintip ke dalam kamar. Namira mengibaskan
rambut panjangnya ke samping, kemudian ia meliuk-liukkan kepalanya.
Gerak-geriknya sungguh memukau dan menggairahkan. Rasanya aku baru berhasil
menangkap hewan buruan, menguncinya rapat-rapat dalam kandang, lalu tinggal
sesuka hatiku memperlakukan hewan buruan itu bagaimana. Begitu ereksiku
memuncak, tak tahan aku ingin menerkamnya.
Tiba-tiba
sebuah tangan menepuk-nepuk bahuku. Karena kaget, refleks aku berbalik. Setelah
berpisah menonton panggung hiburan, akhirnya Kris kembali berada dihadapanku.
Tegap-tegap aku berdiri menjaga pintu. Jantungku berdebar-debar. Kehadiran
induk semang telah aku pertimbangkan, tapi Kris luput dari ingatanku. Sorot
mataku waspada menghadapinya.
“Kenapa?”
tanyanya curiga.
“Tidak
apa-apa,” jawabku gugup, sulit menguasai diri sendiri.
Kris
memicingkan matanya. Ia penasaran. Ia mendorong-dorongku, memaksaku menyingkir,
dan berusaha menjangkau gagang pintu. Aku bertahan. Ternyata Kris lebih kuat.
Ia berhasil mendorongku jatuh, lalu segera ia buka pintu. Tampangnya melongo
kaget. Ia tak percaya melihat siapa yang berada dalam kamarku. Namira yang
tengah berbaring langsung terhenyak bangun. Cepat Kris menutup pintu itu
kembali.
“Bajingan!”
umpatnya padaku.
Aku
mendesis dengan menempelkan telunjuk diatas bibirku. Dengan suara lebih rendah
Kris bilang, “Pintar sekarang. Mentang-mentang nggak ada Ibu kost kamu bawa
perempuan kemari.”
“Jangan
pikir macam-macam,” bisikku menyanggah. “Ini hanya kebetulan.”
“Kebetulan
ini malam tahun baru dan kebetulan juga Ibu kost lagi ke Bogor”.
“Baik,”
aku coba tenangkan keadaan. “Kamu duduk dulu dan aku akan cerita.”
Dari
kejauhan suara musik kemeriahan tahun baru pelan-pelan lenyap. Aku mendengar
suara derap langkah di luar dan sayup bunyi orang mengobrol baru pulang dari
pesta tahun baru. Sisa dini hari itu aku habiskan menceritakan kembali
pengalaman bodohku itu. Kris tertawa-tawa. Ia baru sadar lelaki yang jatuh
masuk ke dalam kolam tadi adalah aku.
“Terus
sudah berbuat apa saja dengan perempuan itu?” godanya makin jahil.
“Aku
lelaki baik-baik, tahu!”
“Aku
percaya,” ia cengengesan menertawaiku. “Lelaki impoten mana mungkin berani
jantan pada seorang perempuan.”
“Sialan,”
aku dorong ia hingga jatuh tersungkur ke belakang.
Sekitar
jam sembilan pagi aku mengantarkan Namira pulang. Sebelum Ibu kost pulang,
semuanya harus beres. Membawa teman laki-laki menginap paling-paling kena denda
alias tambahan uang kost. Tapi kalau itu perempuan bisa-bisa aku kena hardik
dan usir.
Menuju
pintu depan, kami berjalan mengendap dan waspada takut-takut Ibu kost sudah
pulang. Beruntung semuanya aman terkendali. Di depan Plaza Indonesia kami
berpisah. Tapi aku lupa meminta alamat dan nomor telepon gadis penolongku itu.
Bagian lainnya dibaca di sini; Sebelumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar