Halaman

Selasa, 31 Mei 2016

MATA KOLAM: Perempuan Itu Menginap di Kamar Lelaki Impoten ( 3 )

            Kejantananku sebagai laki-laki dipertaruhkan malam tahun baru ini.
           Mata ini benar-benar tak bisa dipuaskan. Semenjak tumbuh menjadi lelaki puber baru kali ini aku mendapatkan kesempatan dahsyat; duduk berhadap-hadapan dengan seorang perempuan. Aku tak bisa membohongi naluriku sendiri. Ia cantik, bening, dan mulus. Di hadapan keindahan ini aku tak tahu bagaimana cara menatapnya. Aku ingin memuaskan sepasang mata ini.
            “Kenapa?”, kata perempuan itu tiba-tiba menatap kearahku.
         Merasa kepergok, cepat-cepat aku menurunkan pandanganku dan mengedipkannya. “Mau teh?”, tawarku agak gugup dan malu.
            “Tentu,” ia mengangguk.
            “Sebentar aku buatkan.”
            Aku menuju dispenser dan menuangkan air panas kedalam gelas. Perempuan itu masih asyik menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan selembar handuk kecil. Ia mengenakan kaosku yang tampak longgar dikenakan. Tubuh kurusnya agak tenggelam dibalik kaos itu.
            “Namaku Namira,” ucapnya.
            Sambil mengaduk-aduk teh dalam gelas, aku pun menyebutkan namaku.
          Malam tahun baru kali ini sungguh istimewa; satu insiden diikuti dengan satu anugerah. Dalam keadaan basah kuyup dan gigil, berjalan terseret-seret melewati kerumunan orang-orang, menghindari tatapan dan bisik-bisik mereka, aku berhasil membawa seorang perempuan masuk kedalam kamar kostku. Lalu aku membiarkannya mengeringkan diri dan berganti baju di dalam kamar ini.
           Aku pikir apa yang aku lakukan ini sudah benar. Tak mungkin aku meninggalkannya di tengah kerumunan manusia dan membiarkannya masuk angin. Ini adalah tanggung jawabku dan sudah seharusnya aku berterima kasih.
     Aku sajikan segelas teh hangat itu dihadapannya. Uap teh yang meliuk-liuk di udara menghantarkan aroma sedap ke dalam hidung kami. Aku tahu berdua di dalam kamar dengan seorang pria mungkin membuat Namira takut. Aku harap sikap ramahku ini dapat membuatnya lebih nyaman. Meski akhirnya malah aku yang merasa canggung sendiri.
          “Terima kasih,” senyum Namira malu-malu.
        “Tidak. Seharusnya aku yang berterima kasih. Tanpa kamu mungkin aku sudah mati tenggelam.”
          Kemudian suasana kembali hening. Kami benar-benar berdua di sini. Diantara kami, satu sama lain, saling melirik dan memandang dengan perasaan malu, takut, dan ragu. Kami bagaikan sepasang manusia polos, yang belum mengalami sekalipun hubungan antara laki-laki dan perempuan di malam pengantin mereka.
         Hanya saja aku masih tak habis pikir. Tak mungkin gadis semanis ini datang seorang diri ke pesta tahun baru di pusat kota. Biasanya gadis semacam ini datang bersama pacar atau teman-temannya. Setidaknya bersama keluarga.
       “Apa yang mendorongmu berani terjun ke dalam air di malam tahun baru ini?” tanyaku kemudian.
           “Karena ada seseorang yang perlu ditolong,” jawabnya sederhana. “Seorang lelaki yang tak pandai berenang.”
            “Kau meledekku,” aku tertawa jengkel. “Aku pikir siapapun juga pasti berpikir berulang kali merayakan tahun baru dengan basah-basahan.”
          “Menolong orang tidaklah perlu berpikir,” timpal Namira. “Cukup dengan rasa. Menolong dengan berpikir hanya dilakukan oleh orang-orang yang mengatas-namakan hak asasi manusia. Tak ada keikhlasan. Tak ada ketulusan.”
         Akhirnya dalam keheningan berikutnya kami bisa saling bertatapan lebih dalam. Kami menyelami pancaran sinar mata kami masing-masing. Dalam pertemuanku dengan gadis ini, takdir seperti mengingatkanku; diusia hampir tiga puluh aku perlu seorang perempuan untuk dijadikan sebagai jodoh. Tapi aku tahu ditolak perempuan pasti lebih menyakitkan tinimbang ditolak penerbit atau media.
            Mungkin Namira tak melihat sedikitpun pesona dalam wajahku, akhirnya ia mengedarkan pandangannya ke sisi-sisi ruangan. Aku berharap ia menganggap kamarku bersih dan nyaman. Lalu ia bertanya, “Sudah lama tinggal di sini?”
            “Lumayan,” kemudian dengan sedikit lancang aku bertanya, “Kau punya pacar?”
            Tiba-tiba Namira terbatuk-batuk. “Boleh aku minum tehnya?”
        Dengan sigap aku membantu mengangkat gelas berisi air teh itu dan membiarkan Namira meminumnya sendiri. Aku merasa bersalah bertanya demikian. Aku menimbang-nimbang untuk meminta maaf hingga akhirnya aku urungkan.
            Tiba-tiba Namira bilang padaku, “Boleh malam ini aku menginap?’”
            Rasa-rasanya sepasang telingaku ini salah dengar. Aku terperanjat. Ini sulit aku mengerti. Aku pikir ada sesuatu hal yang mengguncang pikiran perempuan ini. Kalau ia baik-baik saja, ia pasti minta diantarkan pulang segera. Aku melihat sepasang bola matanya yang sendu, yang tampak memohon padaku, menyimpan sebuah kegetiran.
            “Kamu tidak keberatan, kan?”, mintanya lagi.
          Pernah di tempat kostku dulu seorang pria membawa masuk pacarnya ke dalam kamar. Ia kepergok. Tak hanya dimarahi habis-habisan, ia juga langsung diusir oleh induk semangnya. Apabila aku mengalami hal serupa malunya sungguh tak tertanggungkan. Aku betah disini. Jarang-jarang di Jakarta ada tempat kost senyaman tempat tinggal aku sekarang.
            Seharusnya aku menolak, tapi aku malah menggeleng; aku tidak keberatan. Pertimbanganku sederhana saja; induk semangku tak ada di sini. Ia merayakan tahun baru di Bogor bersama anak-cucunya. Tapi melihat kecantikan wajah dan kemulusan kulit tubuhnya, aku tahu ada alasan lain aku mengizinkannya menginap di kamarku.
            “Terima kasih,” ucap Namira malu-malu. “Maaf, aku merepotkan.”
         Seperti orang yang tak bisa berpikir apa-apa lagi, aku bilang, “Tidak apa-apa. Aku harap kamarku tidak bikin gatal-gatal.”
            Seraya aku keluar dan menutup pintu pelan-pelan. Aku mengelus dada dan menghembuskan nafas lega.
            Diam-diam, melalui lubang kunci pintu, aku mengintip ke dalam kamar. Namira mengibaskan rambut panjangnya ke samping, kemudian ia meliuk-liukkan kepalanya. Gerak-geriknya sungguh memukau dan menggairahkan. Rasanya aku baru berhasil menangkap hewan buruan, menguncinya rapat-rapat dalam kandang, lalu tinggal sesuka hatiku memperlakukan hewan buruan itu bagaimana. Begitu ereksiku memuncak, tak tahan aku ingin menerkamnya.
            Tiba-tiba sebuah tangan menepuk-nepuk bahuku. Karena kaget, refleks aku berbalik. Setelah berpisah menonton panggung hiburan, akhirnya Kris kembali berada dihadapanku. Tegap-tegap aku berdiri menjaga pintu. Jantungku berdebar-debar. Kehadiran induk semang telah aku pertimbangkan, tapi Kris luput dari ingatanku. Sorot mataku waspada menghadapinya.
            “Kenapa?” tanyanya curiga.
            “Tidak apa-apa,” jawabku gugup, sulit menguasai diri sendiri.
            Kris memicingkan matanya. Ia penasaran. Ia mendorong-dorongku, memaksaku menyingkir, dan berusaha menjangkau gagang pintu. Aku bertahan. Ternyata Kris lebih kuat. Ia berhasil mendorongku jatuh, lalu segera ia buka pintu. Tampangnya melongo kaget. Ia tak percaya melihat siapa yang berada dalam kamarku. Namira yang tengah berbaring langsung terhenyak bangun. Cepat Kris menutup pintu itu kembali.
            “Bajingan!” umpatnya padaku.
            Aku mendesis dengan menempelkan telunjuk diatas bibirku. Dengan suara lebih rendah Kris bilang, “Pintar sekarang. Mentang-mentang nggak ada Ibu kost kamu bawa perempuan kemari.”
            “Jangan pikir macam-macam,” bisikku menyanggah. “Ini hanya kebetulan.”
            “Kebetulan ini malam tahun baru dan kebetulan juga Ibu kost lagi ke Bogor”.
            “Baik,” aku coba tenangkan keadaan. “Kamu duduk dulu dan aku akan cerita.”
            Dari kejauhan suara musik kemeriahan tahun baru pelan-pelan lenyap. Aku mendengar suara derap langkah di luar dan sayup bunyi orang mengobrol baru pulang dari pesta tahun baru. Sisa dini hari itu aku habiskan menceritakan kembali pengalaman bodohku itu. Kris tertawa-tawa. Ia baru sadar lelaki yang jatuh masuk ke dalam kolam tadi adalah aku.
            “Terus sudah berbuat apa saja dengan perempuan itu?” godanya makin jahil.
            “Aku lelaki baik-baik, tahu!”
            “Aku percaya,” ia cengengesan menertawaiku. “Lelaki impoten mana mungkin berani jantan pada seorang perempuan.”
            “Sialan,” aku dorong ia hingga jatuh tersungkur ke belakang.
        Sekitar jam sembilan pagi aku mengantarkan Namira pulang. Sebelum Ibu kost pulang, semuanya harus beres. Membawa teman laki-laki menginap paling-paling kena denda alias tambahan uang kost. Tapi kalau itu perempuan bisa-bisa aku kena hardik dan usir.
            Menuju pintu depan, kami berjalan mengendap dan waspada takut-takut Ibu kost sudah pulang. Beruntung semuanya aman terkendali. Di depan Plaza Indonesia kami berpisah. Tapi aku lupa meminta alamat dan nomor telepon gadis penolongku itu.

Bagian lainnya dibaca di sini; Sebelumnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar