Menjelang maghrib, langit pelan-pelan
menghitam. Siluet-siluet lembayung menggores ditepian langit. Semua kelas
kursus selesai. Murid-murid sudah pulang. Selesai mengajar, Heni dan Dinda
duduk di ruang kerjaku. Mereka muda seumuran, masih kuliah, dan menunggu lelaki
yang siap meminang. Mereka tengah sibuk merapikan kerudung masing-masing. Tak
lain dari diriku, mereka juga menunggu kedatangan Pak Mamet. Gaji memang sudah
terlambat seminggu.
Mobil Suzuki Carry warna silver
berhenti didepan. Kedua perempuan itu menengok kedepan, seraya berteriak
kedalam, “Pak Mamet datang!”
Dibantu Agus makan, lekas aku habisi
mieku; sebungkus mie rebus disantap berdua. Secara bergilir, kuahnya kami teguk
langsung dari mangkuknya. Kami keluar dan pandangan kami sama-sama tertuju pada
Suzuki Carry yang terparkir dibalik pagar rumah.
Pak Mamet turun dari mobilnya itu. Ia
masih mengenakan baju seragam gurunya. Tubuh dibalik seragam itu bulat dan
pendek, perutnya buncit, kulit sawo matangnya tampak lebih gelap dan kusam
dibawah sinar lampu, tampangnya lesu, lebih lusuh dari pakaian seragamnya.
Kelesuan itu lebih kepada banyak pikiran daripada lelah. Kentara ia butuh
banyak-banyak istirahat untuk melepaskan penatnya. Agak gugup aku menyalami
tangannya.
Aku tahu kedatangan Pak Mamet kemari
tak sekedar membagi-bagikan amplop gaji. Juga memeriksa bagaimana aku bekerja
disini. Apakah kerjaku memuaskan? Sekaligus mendikte apakah aku termasuk orang
jujur?
Ia sandarkan tubuhnya keatas kursi,
menghembuskan nafasnya sekali, lalu melihat kami satu-satu. Sejenak matanya
menerawang keatas langit-langit. Seperti berpikir keras-keras. Garis-garis
keriput menghiasi keningnya yang lebar. Ia tampak begitu lelah. Lebih dari
fisiknya, batinnya lebih lelah lagi. Ia memendam segala kesialan dan
kesusahannya dalam-dalam dibalik dada.
Kami menunggu. Ketegangan diam-diam
menyelimuti perasaan kami. Kami takut kenyataan tak sesuai dengan harapan; gaji
ditunda.
“Anom, tolong ambilkan air minum”,
suruhnya.
Aku lupa. Sambil menepuk kening, aku
masuk ke dapur, ambil segelas air putih. Pak Mamet minum beberapa teguk.
Kelihatannya air itu sedikit mengebaskan rasa lelahnya. Lalu, ia menarik tas
kerjanya diatas meja. Ia keluarkan beberapa pucuk amplop putih dari dalam tas
tersebut. Akhirnya diam-diam kami menarik nafas lega. Amplop-amplop itu ia
bagikan pada Heni, Dinda, dan…..yang sepucuk lagi pada Agus. “Gus, berikan
amplop ini sama Mbak Mira. Biar gak bawel-bawel terus”.
Agus mengangguk-ngangguk tanpa
protes. Dalam lain hal, ia adalah keponakan Pak Mamet. Sekolahnya juga dibiayai
Pak Mamet. Selain itu, selama berada disini biaya hidup Agus ditanggung Pak
Mamet sepenuhnya. Ia diperkerjakan di rumah kursus ini tanpa syarat apapun.
Sudah menjadi posisinya segala sesuatu harus didasari rasa kekeluargaan. Kurang
lebih Agus mesti mengerti bahwa rumah kursus PKBI ini dalam kondisi krisis.
Dan aku, tanpa gaji, tak tahu
bagaimana aku harus bertahan. Tak tahu kemana pula aku harus bertumpu.
Lalu, perhatian Pak Mamet tertuju
padaku. “Anom, untuk saat ini Bapak belum bisa menggajimu”, ia mencoba memberi
pengertian padaku, aksen bicaranya ditekan dan ditahan khas Jawa. “Kamu harus
mengerti kondisi keuangan kami tengah sulit. Apabila ada pemasukan lagi, besok
atau kapan, pasti Bapak gaji. Nanti setengah gajimu Bapak potong buat melunasi
tunggakanmu dan sisanya buat kamu pergunakan”.
Ia meremas-remas tanganku, berharap
aku sedia berbesar hati. Sorot matanya menghiba-hiba padaku. “Kamu mesti
prihatin. Bapak yakin kalau kamu bisa hidup prihatin kamu pasti bakal menjadi
orang sukses”.
Aku hanya mengangguk-ngangguk. Tak
tahu apakah aku setuju atau tidak. Yang aku tahu aku tak punya pilihan lain
selain menerima kenyataan ini. Tak ada hakku untuk menggugat.
Aku mesti tahu diri dan mengerti
keadaan. Rasa-rasanya prihatin itu tak perlu aku buat-buat. Dengan sendirinya
aku pasti menyesuaikan diri, tanpa harus mengikuti nasehat ataupun petuah.
Sejauh aku kenal Pak Mamet itu sosok
yang cukup baik. Ditempatkannya aku bekerja disini, merangkap sebagai tukang
bersih-bersih, penjaga rumah kursus, juga sedikit banyak urusan administrasi,
adalah bagian dari kebaikannya. Pak Mamet pandai bersikap ramah. Tapi kadang
dibalik senyum ramahnya itu terbaca hasrat untuk menerkam dan merendahkan.
Segala bentuk emosinya ia pendam dalam-dalam. Bahkan seringkali senyum dan tawanya
itu terkesan dibuat-buat.
Mulanya aku mendaftar sebagai peserta ujian kejar
paket C di PKBI. Banyak-banyak aku berharap ijazah persamaan ini nanti membawa
harapan baru, membawaku keluar dari rasa putus asa ini. Berkas-berkas
persyaratan pendaftaran aku lengkapi. Masalah biaya baru aku bisa membayar uang
pendaftarannya saja. Program pembelajarannya sendiri dilaksanakan selama enam
bulan. Selama itulah aku diberi kesempatan untuk mengangsur. Sebelum ujian
dilaksanakan aku mesti sudah melunasinya. Tapi per bulannya aku hanya mampu
membayar Rp 50.000-. Padahal jumlah yang wajib aku lunasi dua juta lebih.
Masa enam bulan terlewatkan.
Tenang-tenang ujian kejar paket C berlalu, tapi dengan kepuasan yang
menggantung. Nilai-nilai ujian yang tak murni tengah digodok di dinas
pendidikan provinsi dan pusat. Sementara tunggakanku sama sekali jauh dari kata
lunas.
Hari itu Minggu. Memang setiap akhir
pekan, setelah proses ujian selesai, para peserta ujian persamaan datang
berkumpul. Tujuannya untuk mengetahui perkembangan ijazah kami dan kapan
tepatnya kami dapat menerima ijazah itu. Meski begitu aku tak berharap banyak.
Sadar tunggakkanku masih besar.
Selain itu teman-teman peserta ujian
juga merencanakan hari perpisahan yang berkesan seperti yang dilakukan
sekolah-sekolah umum. Kebanyakan mereka sudah punya pekerjaan. Uang tak mereka
permasalahkan. Kecuali aku. Karena kondisi kantongku tak memungkinkan, aku tak
pernah merasa antusias mengikuti pembicaraan itu.
Setelah kelas bubar, aku dipanggil
Pak Mamet. Ia duduk dibalik mejanya. Ia terlihat kuyu dan menderita. Berton-ton
pikiran seperti membebani hidupnya. Berat dan tak tertahankan. Ia persilahkan
aku duduk dihadapannya.
“Kapan?”.
Aku menunduk. Tanpa ia bertanya, aku
sudah tahu maksudnya memanggilku ke ruangannya. Ia menatapku lekat. Ia
menunggu. Ia sangat berharap aku segera melunasi tunggakkanku. Sepertinya ia
ingin mengomeliku habis-habisan, tapi ia coba kendalikan rasa geramnya itu.
Aku tak tahu mesti menjawab apa. Aku
perlu banyak waktu. Dengan sedikit keyakinan yang mungkin tak memberi kepastian
apapun, akhirnya aku menjawab. “Saya pasti bayar, Pak”.
Pak Mamet menghembuskan nafas berat,
seolah nafas itu sudah bertumpuk-tumpuk dibalik dadanya, lalu ia hembuskan
dalam sekali tarik. Barangkali ia merasa sedikit lega. Meski jawabanku diluar
harapannya, setidak-tidaknya mengurangi ketegangannya. Dari situ ia kembali
memperoleh satu kepastian; masih ada waktu untuk menyusun rencana kedua.
“Kamu mau bekerja disini?”, tawar Pak
Mamet tiba-tiba. Ia lancarkan rencana cadangannya itu. Merasa tak yakin barusan
apa yang aku dengar, aku pasang telinga baik-baik. “Begini, rumah kursus PKBI
punya dua tempat. Satu di Citeureup ini---pusatnya. Satunya lagi, cabangnya, di
Wanaherang. Kebetulan Mbak Mira, bagian administrasi disana, mengundurkan diri
seminggu yang lalu”.
Aku gembira mendengar tawaran ini. Ada
sebuah jalan untuk melalui semua ini. “Jadi saya disana menggantikan tempat
Mbak Mira?”.
“Bukan”, tukas Pak Mamet. “Kamu
sebagai cleaning service seperti
Rahmat disini. Tidak diperkenankan pulang kecuali Minggu, tanggal merah, atau
ada alasan lain yang masuk akal. Dengan kata lain kamu tinggal disana”.
“Sama siapa saya disana?”.
“Agus”, Pak Mamet menunjuk salah
seorang lelaki berambut ikal yang tengah duduk asyik menonton televisi. “Dia
yang mengurus administrasi disana menggantikan Mbak Mira. Tapi dia tidak
menemanimu tinggal disana. Dia kerjanya bolak-balik. Siangnya ia bersama kamu
disana. Malamnya ia menemani Rahmat disini. Karena posisinya berada dipinggir
jalan raya, kamu tahu, PKBI Citeureup ini lebih rawan daripada PKBI Wanaherang
yang berada ditengah-tengah kompleks perumahan. Sementara Nina---adik
Agus----yang pegang administrasi disini. Dia perempuan. Jadi dia tidak menginap
disini. Tiap sore ia pulang ke rumah Bapak”.
Aku mengangguk-ngangguk tanda
mengerti. Tak ada masalah aku bekerja dengan cara seperti itu. Tak aku tanyakan
pula berapa besar gajiku. Tak enak bertanya soal uang sementara tugas belum aku
kerjakan. Aku merasa aku tak punya hak apapun untuk menuntut. Modalku cukup
kemandirian. Meski aku tak pernah jauh dari orangtua, tak pernah tinggal di asrama,
karena aku berasal dari keluarga sederhana bahkan cenderung kurang, aku telah
tumbuh sebagai manusia mandiri secara alami.
“Jadi kapan kamu mulai bisa kerja?”,
tuntut Pak Mamet. “Kalau bisa secepatnya”.
“Besok”, ucapku tanpa pikir, gembira
akhirnya punya pekerjaan.
“Yakin? Siap?”.
Aku mengangguk pasti.
Sebulan telah lewat. Duka dan kecewa
aku jalani ikhlas-ikhlas. Kerjaku juga ternyata lebih kompleks daripada yang
disebutkan. Gaji pertama yang diharap-harap juga tak menjadi nyata. Di dunia
mungkin diri ini hanya mendapatkan tempat sebagai penerima. Bukan untuk
menuntut apalagi memberi. Indah nian dalam posisi begini banyak orang memberi,
terbuka banyak pintu kesempatan, tapi tanpa diberipun aku masih harus menerima.
Oh, dunia berikanlah aku kesempatan!
Baca juga part lainnya :Sebelumnya-Berikutnya
Baca juga part lainnya :Sebelumnya-Berikutnya