Halaman

Rabu, 26 Februari 2014

SURAT IJAZAH eps AMPLOP GAJI

        Menjelang maghrib, langit pelan-pelan menghitam. Siluet-siluet lembayung menggores ditepian langit. Semua kelas kursus selesai. Murid-murid sudah pulang. Selesai mengajar, Heni dan Dinda duduk di ruang kerjaku. Mereka muda seumuran, masih kuliah, dan menunggu lelaki yang siap meminang. Mereka tengah sibuk merapikan kerudung masing-masing. Tak lain dari diriku, mereka juga menunggu kedatangan Pak Mamet. Gaji memang sudah terlambat seminggu.
          Mobil Suzuki Carry warna silver berhenti didepan. Kedua perempuan itu menengok kedepan, seraya berteriak kedalam, “Pak Mamet datang!”
          Dibantu Agus makan, lekas aku habisi mieku; sebungkus mie rebus disantap berdua. Secara bergilir, kuahnya kami teguk langsung dari mangkuknya. Kami keluar dan pandangan kami sama-sama tertuju pada Suzuki Carry yang terparkir dibalik pagar rumah.
         Pak Mamet turun dari mobilnya itu. Ia masih mengenakan baju seragam gurunya. Tubuh dibalik seragam itu bulat dan pendek, perutnya buncit, kulit sawo matangnya tampak lebih gelap dan kusam dibawah sinar lampu, tampangnya lesu, lebih lusuh dari pakaian seragamnya. Kelesuan itu lebih kepada banyak pikiran daripada lelah. Kentara ia butuh banyak-banyak istirahat untuk melepaskan penatnya. Agak gugup aku menyalami tangannya.
          Aku tahu kedatangan Pak Mamet kemari tak sekedar membagi-bagikan amplop gaji. Juga memeriksa bagaimana aku bekerja disini. Apakah kerjaku memuaskan? Sekaligus mendikte apakah aku termasuk orang jujur?
          Ia sandarkan tubuhnya keatas kursi, menghembuskan nafasnya sekali, lalu melihat kami satu-satu. Sejenak matanya menerawang keatas langit-langit. Seperti berpikir keras-keras. Garis-garis keriput menghiasi keningnya yang lebar. Ia tampak begitu lelah. Lebih dari fisiknya, batinnya lebih lelah lagi. Ia memendam segala kesialan dan kesusahannya dalam-dalam dibalik dada.
          Kami menunggu. Ketegangan diam-diam menyelimuti perasaan kami. Kami takut kenyataan tak sesuai dengan harapan; gaji ditunda.
         “Anom, tolong ambilkan air minum”, suruhnya.
          Aku lupa. Sambil menepuk kening, aku masuk ke dapur, ambil segelas air putih. Pak Mamet minum beberapa teguk. Kelihatannya air itu sedikit mengebaskan rasa lelahnya. Lalu, ia menarik tas kerjanya diatas meja. Ia keluarkan beberapa pucuk amplop putih dari dalam tas tersebut. Akhirnya diam-diam kami menarik nafas lega. Amplop-amplop itu ia bagikan pada Heni, Dinda, dan…..yang sepucuk lagi pada Agus. “Gus, berikan amplop ini sama Mbak Mira. Biar gak bawel-bawel terus”.
          Agus mengangguk-ngangguk tanpa protes. Dalam lain hal, ia adalah keponakan Pak Mamet. Sekolahnya juga dibiayai Pak Mamet. Selain itu, selama berada disini biaya hidup Agus ditanggung Pak Mamet sepenuhnya. Ia diperkerjakan di rumah kursus ini tanpa syarat apapun. Sudah menjadi posisinya segala sesuatu harus didasari rasa kekeluargaan. Kurang lebih Agus mesti mengerti bahwa rumah kursus PKBI ini dalam kondisi krisis.
          Dan aku, tanpa gaji, tak tahu bagaimana aku harus bertahan. Tak tahu kemana pula aku harus bertumpu.
          Lalu, perhatian Pak Mamet tertuju padaku. “Anom, untuk saat ini Bapak belum bisa menggajimu”, ia mencoba memberi pengertian padaku, aksen bicaranya ditekan dan ditahan khas Jawa. “Kamu harus mengerti kondisi keuangan kami tengah sulit. Apabila ada pemasukan lagi, besok atau kapan, pasti Bapak gaji. Nanti setengah gajimu Bapak potong buat melunasi tunggakanmu dan sisanya buat kamu pergunakan”.
          Ia meremas-remas tanganku, berharap aku sedia berbesar hati. Sorot matanya menghiba-hiba padaku. “Kamu mesti prihatin. Bapak yakin kalau kamu bisa hidup prihatin kamu pasti bakal menjadi orang sukses”.
          Aku hanya mengangguk-ngangguk. Tak tahu apakah aku setuju atau tidak. Yang aku tahu aku tak punya pilihan lain selain menerima kenyataan ini. Tak ada hakku untuk menggugat.
          Aku mesti tahu diri dan mengerti keadaan. Rasa-rasanya prihatin itu tak perlu aku buat-buat. Dengan sendirinya aku pasti menyesuaikan diri, tanpa harus mengikuti nasehat ataupun petuah.
         Sejauh aku kenal Pak Mamet itu sosok yang cukup baik. Ditempatkannya aku bekerja disini, merangkap sebagai tukang bersih-bersih, penjaga rumah kursus, juga sedikit banyak urusan administrasi, adalah bagian dari kebaikannya. Pak Mamet pandai bersikap ramah. Tapi kadang dibalik senyum ramahnya itu terbaca hasrat untuk menerkam dan merendahkan. Segala bentuk emosinya ia pendam dalam-dalam. Bahkan seringkali senyum dan tawanya itu terkesan dibuat-buat.
         Mulanya  aku mendaftar sebagai peserta ujian kejar paket C di PKBI. Banyak-banyak aku berharap ijazah persamaan ini nanti membawa harapan baru, membawaku keluar dari rasa putus asa ini. Berkas-berkas persyaratan pendaftaran aku lengkapi. Masalah biaya baru aku bisa membayar uang pendaftarannya saja. Program pembelajarannya sendiri dilaksanakan selama enam bulan. Selama itulah aku diberi kesempatan untuk mengangsur. Sebelum ujian dilaksanakan aku mesti sudah melunasinya. Tapi per bulannya aku hanya mampu membayar Rp 50.000-. Padahal jumlah yang wajib aku lunasi dua juta lebih.
          Masa enam bulan terlewatkan. Tenang-tenang ujian kejar paket C berlalu, tapi dengan kepuasan yang menggantung. Nilai-nilai ujian yang tak murni tengah digodok di dinas pendidikan provinsi dan pusat. Sementara tunggakanku sama sekali jauh dari kata lunas.
          Hari itu Minggu. Memang setiap akhir pekan, setelah proses ujian selesai, para peserta ujian persamaan datang berkumpul. Tujuannya untuk mengetahui perkembangan ijazah kami dan kapan tepatnya kami dapat menerima ijazah itu. Meski begitu aku tak berharap banyak. Sadar tunggakkanku masih besar.
          Selain itu teman-teman peserta ujian juga merencanakan hari perpisahan yang berkesan seperti yang dilakukan sekolah-sekolah umum. Kebanyakan mereka sudah punya pekerjaan. Uang tak mereka permasalahkan. Kecuali aku. Karena kondisi kantongku tak memungkinkan, aku tak pernah merasa antusias mengikuti pembicaraan itu.
          Setelah kelas bubar, aku dipanggil Pak Mamet. Ia duduk dibalik mejanya. Ia terlihat kuyu dan menderita. Berton-ton pikiran seperti membebani hidupnya. Berat dan tak tertahankan. Ia persilahkan aku duduk dihadapannya.
          “Kapan?”.
          Aku menunduk. Tanpa ia bertanya, aku sudah tahu maksudnya memanggilku ke ruangannya. Ia menatapku lekat. Ia menunggu. Ia sangat berharap aku segera melunasi tunggakkanku. Sepertinya ia ingin mengomeliku habis-habisan, tapi ia coba kendalikan rasa geramnya itu.
          Aku tak tahu mesti menjawab apa. Aku perlu banyak waktu. Dengan sedikit keyakinan yang mungkin tak memberi kepastian apapun, akhirnya aku menjawab. “Saya pasti bayar, Pak”.
          Pak Mamet menghembuskan nafas berat, seolah nafas itu sudah bertumpuk-tumpuk dibalik dadanya, lalu ia hembuskan dalam sekali tarik. Barangkali ia merasa sedikit lega. Meski jawabanku diluar harapannya, setidak-tidaknya mengurangi ketegangannya. Dari situ ia kembali memperoleh satu kepastian; masih ada waktu untuk menyusun rencana kedua.
        “Kamu mau bekerja disini?”, tawar Pak Mamet tiba-tiba. Ia lancarkan rencana cadangannya itu. Merasa tak yakin barusan apa yang aku dengar, aku pasang telinga baik-baik. “Begini, rumah kursus PKBI punya dua tempat. Satu di Citeureup ini---pusatnya. Satunya lagi, cabangnya, di Wanaherang. Kebetulan Mbak Mira, bagian administrasi disana, mengundurkan diri seminggu yang lalu”.
         Aku gembira mendengar tawaran ini. Ada sebuah jalan untuk melalui semua ini. “Jadi saya disana menggantikan tempat Mbak Mira?”.
         “Bukan”, tukas Pak Mamet. “Kamu sebagai cleaning service seperti Rahmat disini. Tidak diperkenankan pulang kecuali Minggu, tanggal merah, atau ada alasan lain yang masuk akal. Dengan kata lain kamu tinggal disana”.
          “Sama siapa saya disana?”.
         “Agus”, Pak Mamet menunjuk salah seorang lelaki berambut ikal yang tengah duduk asyik menonton televisi. “Dia yang mengurus administrasi disana menggantikan Mbak Mira. Tapi dia tidak menemanimu tinggal disana. Dia kerjanya bolak-balik. Siangnya ia bersama kamu disana. Malamnya ia menemani Rahmat disini. Karena posisinya berada dipinggir jalan raya, kamu tahu, PKBI Citeureup ini lebih rawan daripada PKBI Wanaherang yang berada ditengah-tengah kompleks perumahan. Sementara Nina---adik Agus----yang pegang administrasi disini. Dia perempuan. Jadi dia tidak menginap disini. Tiap sore ia pulang ke rumah Bapak”.
         Aku mengangguk-ngangguk tanda mengerti. Tak ada masalah aku bekerja dengan cara seperti itu. Tak aku tanyakan pula berapa besar gajiku. Tak enak bertanya soal uang sementara tugas belum aku kerjakan. Aku merasa aku tak punya hak apapun untuk menuntut. Modalku cukup kemandirian. Meski aku tak pernah jauh dari orangtua, tak pernah tinggal di asrama, karena aku berasal dari keluarga sederhana bahkan cenderung kurang, aku telah tumbuh sebagai manusia mandiri secara alami.
         “Jadi kapan kamu mulai bisa kerja?”, tuntut Pak Mamet. “Kalau bisa secepatnya”.
         “Besok”, ucapku tanpa pikir, gembira akhirnya punya pekerjaan.
         “Yakin? Siap?”.
         Aku mengangguk pasti.

         Sebulan telah lewat. Duka dan kecewa aku jalani ikhlas-ikhlas. Kerjaku juga ternyata lebih kompleks daripada yang disebutkan. Gaji pertama yang diharap-harap juga tak menjadi nyata. Di dunia mungkin diri ini hanya mendapatkan tempat sebagai penerima. Bukan untuk menuntut apalagi memberi. Indah nian dalam posisi begini banyak orang memberi, terbuka banyak pintu kesempatan, tapi tanpa diberipun aku masih harus menerima. Oh, dunia berikanlah aku kesempatan!

Baca juga part lainnya :Sebelumnya-Berikutnya

Kamis, 30 Januari 2014

SURAT IJAZAH eps MIE DAN MIE

          Tiba-tiba badanku merinding. Dingin tengkuk leherku. Rasa-rasanya tadi ada sesuatu lewat dibelakang punggungku. Ditempati seorang diri, rumah ini terlalu besar. Lebih luas dari rumahku sendiri. Langit-langit atapnya tinggi diatas. Dinding dan pintu seolah merapatkan diri mencegah aku lari. Setiap benda yang tampak dicekam kebisuan., membeku dalam keangkeran. Rasa-rasanya rumah ini telah mengunyahku dalam-dalam.
          Diluar juga, dilingkungan perumahan begini, apalagi habis hujan, sepi lengang tak terperi.
          Kata kebanyakan orang disaat tak ada siapapun disekeliling kita, sesungguhnya kita tak benar-benar sendirian. Barangkali inilah yang dirasakan penguji nyali dalam acara-acara mistis ditelevisi. Mereka ditempatkan sendirian di tempat-tempat keramat dan angker, dijadikan umpan untuk memancing hantu keluar, lalu memburunya. Tapi setidaknya dari kejauhan ada orang-orang yang memantau gerak-gerik ketakutannya. Tak tahan tinggal melambaikan tangan kearah kamera.
          Sementara tak ada seorangpun yang memperhatikanku disini. Aku orang baru disini. Tak ada siapapun yang aku kenal. Tetangga-tetangga disini lebih senang menutup pagar dan pintu rumah. Lingkungan perumahan ini masih asing. Apabila terjadi sesuatu hal padaku, tak tahu pada siapa aku minta tolong.
          Pelan-pelan aku coba atasi ketakutan ini, meyakinkan diri, dan sedikit menertawai keadaan. Hantu itu hanya karangan para penakut. Seumur-umur tak pernah aku lihat bayangan-bayangan hantu, kecuali hanya dengar-dengar saja atau melihatnya dalam acara televisi yang pasti sudah diskenariokan dan diatur. Sekalipun ada, takkan ia menggangguku. Buang-buang waktu menggoda manusia yang jelas-jelas tak taat beragama. Sepertinya lebih pantas aku menjadi temannya.
          Yang lebih mengancam dari hantu itu justru manusia----maling. Untuk itulah aku diperkerjakan disini. Selain tukang bersih-bersih dan mengurus keberesan administrasi, juga untuk memastikan rumah ini tak disusupi garong. Keamanan rumah ini juga bagian dari tanggung jawabku.
          Radio di meja kerja aku bawa kedalam kamar. Aku setel radio itu pelan-pelan. Suara musik mengalun mencoba memecah sunyi. Tapi sepi lebih kuasa menjajah. Suara musik itu cukup terdengar sayup-sayup ditelinga. Radio ini adalah teman satu-satunya yang kumiliki dikala sendiri begini. Juga pengantar tidurku.
          Pelan-pelan sepasang kelopak mataku memberat. Berbagai ancaman dan ketakutan terlupakan. Sesaat aku terlepas dari kenyataan.
*****

          Suara kokok ayam bersahutan diatas udara. Mataku terbuka. Kupandangi langit-langit kamar. Pandanganku kosong dan nyalang. Di kamar ini tak ada satupun benda yang berpindah tempat. Matahari mulai menampakkan diri di ufur timur sana. Kenyataan menghadang kembali dihadapanku. Rasanya malas sekali memulai hari ini.
          Aku menggeliat sesaat, mengendurkan otot-otot badan yang tegang. Setengah terpejam aku ambil handuk, lalu sempoyongan menuju kamar mandi. Guyuran pertama membuatku begidik. Airnya cukup dingin dan panas tubuhku perlu menyesuaikan. Berkali-kali mengguyur badan dan mataku kembali segar. Terlihat lantai kamar mandi perlu digosok dan bak air perlu dikuras.
          Habis mandi aku ambil seember air dan menaburkan sedikit detergent kedalamnya. Mulailah aku melakukan tugas bersih-bersihku; menyapu dan mengepel seluruh lantai ruang kelas. Beberapa sudut kelas dipenuhi genangan air hujan kemarin. Posisi genteng diatas atap sana banyak bergeser akibat gerakan aliran air hujan dan angin. Banyak sekali pekerjaan yang mesti aku tanggungkan. Kebocoran-kebocoran itu harus aku perbaiki sebelum hujan kembali turun. Barangkali juga aku takkan memperbaikinya.
          Pintu garasi aku buka. Bocah-bocah TK, berseragam polisi, mulai masuk kelas. Mereka bernyanyi dan melompat-lompat memasuki kelas. Begitu ringan hidup sebagai bocah. Hidup mereka hanya diisi dengan kegembiraan belaka tanpa beban. Lalu, para ibu pengantar mulai berkumpul dengan sesama mereka, sambil memperhatikan anak-anak mereka belajar.
          Aku kembali masuk kedalam, membuang air pel, mengisinya lagi dengan beberapa gayung air, dicampur bubuk detergent, lalu aku rendam pakaian-pakaian kotorku. Menunggu bubuk detergent itu melakukan tugasnya, aku ambil sebungkus mie dan merebusnya diatas kompor.
          Sengaja aku sarapan lebih lambat. Semakin mendekati makan siang itu semakin baik. Itulah caraku menghemat persediaan mie instan dalam laci makananku. Bahkan terkadang aku tidak sarapan sama sekali. Memang sebisa mungkin jatah makanku normal; tiga kali sehari, tapi seringkali dua kali sehari. Itupun menunya sama. Selalu mie dan mie, tanpa tambahan apapun.
          Mie itu makanan instant. Biasanya makanan-makanan semacam itu mengandung pengawet. Tak baik dikonsumsi berlebihan, itu kata seorang ahli gizi. Menurut ahli gizi itu juga makan mie dengan nasi rentan terkena diabetes. Mie dan nasi sama-sama mengandung karbohidrat; biang dari segala penyakit gula. Memang karena keadaan aku berlebihan mengonsumsi mie, tapi setidaknya aku tak makan mie dengan nasi. Ah, bagaimanapun juga semangkuk mie dan sepiring nasi lebih bisa mengenyangkan. Mie disini adalah pengganti lauk dan sayur, bukan pengganti nasi.
          Tapi dalam kondisi serba pailit begini mie jelas-jelas makanan pokokku sekarang. Mie sama sekali tak mengakibatkan diabetes, tapi mungkin merusak organ cernaku---maag.
          Sebulan sudah aku kerja disini, terhitung sejak 8 Januari 2006, menghadapi tiap lika-likunya penuh keprihatinan dan kesabaran. Kini sudah seminggu Februari berlalu. Ditengah kepailitan aku terus bertahan. Aku sadar ternyata kebal juga aku menghadapi hidup. Sekecil apapun uang yang aku punya selalu aku sesuaikan dengan keadaan. Sebisa mungkin aku tak ambil hutang. Kini awal Februari, itupun terlambat seminggu, aku telah siap menerima gaji pertamaku.
          Jam sepuluh pagi sekolah TK bubar. Para ibu sibuk menuntun anak-anak mereka dan berpencaran menuju rumah masing-masing. Aku mulai cemas. Sesekali aku tengokkan pandang kearah jalan. Belum tampak juga batang hidung Agus itu. Biasanya jam sembilan pagi ia sudah ada disini. Dialah yang bakal membawakan amplop gaji itu dan menemaniku menjaga rumah kursus ini hingga jam tujuh malam. Sekaligus juga aku akan menyuruhnya memperbaiki genteng-genteng bocor itu.
          Kembali aku kebelakang. Daripada bengong-bengong menunggu, aku gosok-gosok lantai kamar mandi, menguras bak, lalu mencuci baju dan menjemurnya dibalkon belakang rumah.
          Dua jam berlalu. Belum tampak juga orang yang aku tunggu itu. Yang datang justru seorang perempuan; berambut pirang cat, berkulit putih, dan montok. Meski begitu, penampilannya sangat memperlihatkan bahwa ia seorang ibu rumah tangga muda. Ia terus-terusan merengut kesal, bibirnya ikut manyun kedepan. Belum lagi mengucapkan salam, perempuan itu langsung menggebrak meja didepanku. Kelihatannya ia marah.
           “Mana Agus?”, bentaknya. Ia memelototiku.
          Aku gelagapan. Aku tak tahu siapa dia dan tiba-tiba mesti menghadapi amarahnya. Bisa-bisa aku diterkamnya. Gugup aku menjawab, “Belum datang”.
          “Bohong!”, tegahnya. Ia langsung menerobos masuk. Gopah-gopoh aku mengikutinya. Takut ada apa-apa. Tepat diambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur ia berdiri, tengok kanan-kiri, matanya terbuka lesat, melihat sisi-sisi ruangan, mencari-cari, seraya teriak, “Agus! Agus! Jangan sembunyi lu”.
          Tak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri yang dipantulkan dinding-dinding. Kemudian ia menengok padaku, masih dengan mata melotot. “Kemana dia?”.
           “Belum datang”, jawabku sekali lagi. Tak tahu lagi harus menjawab apa. Melihat mata penuh benci itu menggentarkan. Repot apabila harus berurusan dengan perempuan macam ini.
          “Kalau datang”, ia menunjuk-nunjukku penuh peringatan, “bilang segera bayar gaji saya. Termasuk juga gaji bulan kemarin. Dua bulan gaji saya belum dibayar”.
          Ia keluar dan pergi. Dalam langkahnya ia nyaris terpeleset tepat diturunan depan pintu garasi. Amarah membuatnya kurang awas. Saat itu juga aku mendengar umpatannya yang menggumam, barisan giginya ia gemeretakkan, “Mamet sialan!”.
          Itulah, yang aku pikir, Mbak Mira itu. Dia mengundurkan diri seminggu sebelum aku masuk kerja. Biasanya ia menagih gajinya itu lewat telepon, berbicara langsung dengan Agus. Dengan menyabar-nyabarkan, Agus memberi pengertian dan berjanji segera membayar gajinya itu. Barangkali merasa tuntutannya tak ditanggapi serius, setelah berkali-kali menagih, akhirnya Mbak Mira datang langsung kemari. Gaji, sama sepertimu Mbak Mira, aku juga tengah menunggunya.
          Makan siang. Menunya lagi; mie rebus. Kuahnya aku perbanyak dengan menambahkan sedikit garam. Dalam keadaan begini tak boleh aku merasa lelah. Hidup prihatin seperti yang sering dikampanyekan Pak Mamet padaku. Tak boleh ada banyak syarat-syarat, apalagi sekedar rasa makanan.
          Adzan zhuhur berkumandang beberapa lama lalu. Agus belum terlihat juga. Aku takut Mbak Mira datang lagi, lalu marah-marah lagi padaku. Bisa-bisa dalam keadaan kalut, ia bobol laci dimana uang kas pemasukan kursus disimpan.
          Kembali aku setel radio, mencari-cari saluran yang lebih banyak memutar lagu daripada cuap-cuap penyiarnya. Pelan-pelan aku dengar derap langkah mendekat. Dari balik meja aku tengok kedepan. Lega rasanya; Agus datang. Ia mengenakan setelan kemeja kotak-kotak dan celana jins buluk. Aku menyambutnya riang.
          “Mana gajinya?”, tuntutku tak sabar
          “Gaji apa?”, ia malah balik tanya. “Aku juga belum gajian”.
          Aku diam menganga. Seperti orang tolol. Kepalaku diliputi pikiran dan pertanyaan.
         “Pak Mamet nanti sore mau kemari”, ujarnya memberitahu. “Katanya mau mengaudit cara kerja kamu”.
          Aku berpikir aneh. “Audit? Kayak perusahaan gede saja. Jelas-jelas aku kerja disini baik-baik”.
          Agus lepas sepatu. Ia letakkan alas kaki itu begitu saja disudut dekat pintu.
          “Tadi Mbak Mira kemari”, aku lanjutkan. “Tagih gaji. Katanya gajinya dua bulan belum dibayar”.
          “Dua bulan?”, tukas Agus agak heran. “Sebulan, Anom. Kan dia keluar akhir Desember lalu, tepat seminggu sebelum kamu masuk. Januari dia sudah tidak punya gaji lagi.
          Aku angkat bahu. “Dia bilang begitu”.
          Agus diam melihatku. Aku pikir ia akan mengucapkan sesuatu, tapi ia justru bertanya, “Ada mie, nggak?”.
          Aku diam, tak mengangguk, tak menggeleng. Agus salah seorang yang selalu merusak anggaran keuanganku seminggu kedepan ini. Aku mesti menyusun rencana kedua biar tetap bertahan; besok aku mesti mengurangi jatah makan mieku. Intinya hemat dan irit. Kalau perlu pelit. Tapi selama berada disini, Agus temanku satu-satunya. Aku mesti selalu berbagi dengannya.
          “Memangnya belum makan?”, tanyaku.
          Ia membuka-buka laci diatas dinding dapur. “Dari pagi”, jawabnya singkat. “Gak punya duit”.

          Ia ambil satu dan rebus mie itu.

Baca juga part lainnya: Sebelumnya-Berikutnya

Jumat, 24 Januari 2014

SURAT IJAZAH eps RUMAH KURSUS

         Langit murung. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung. Lintasan sinar matahari menuju bumi terhalang arakan. Angin meniup membawa kekalutan, menerbangkan apa saja yang dilaluinya; debu, daun, juga jemuran. Di ufuk kejauhan kilatan-kilatan listrik hendak menjangkau bumi. Seakan tanda alam itu mengajak manusia bersiap-siap; perbaiki genteng-genteng bocor, bersihkan saluran air, sedia payung dan ember. Kalau perlu sedia pelampung dan perahu karet takut-takut banjir datang. Awal tahun 2006 diliputi muram durja alam. Begitupula pedalaman diriku.
          Tapi di kawasan Wanaherang, tempat aku berada kini, air selalu mengalir menuju tempat-tempat rendah. Sekalipun tergenang hanya membentuk kubangan di lubang-lubang sempit.
        Sepanjang siang tadi aku habiskan waktu duduk-duduk saja dibalik meja. Santai begini lama-lama menemukan kejenuhannya juga. Tak seorangpun datang kemari. Padahal aku berharap. Kedatangan satu-dua orang setidaknya cukup menggerakkan syaraf-syaraf motorikku.
          Sebuah pelang besi didirikan didepan pekarangan rumah. Huruf-huruf berukuran besar tercetak dalam pelang itu; Pusat Kursus Bahasa Inggris----PKBI. Selain kursus bahasa, ada juga kursus komputer. Lebih dari itu rumah kursus ini juga menyelenggarakan ujian kesetaraan kejar paket B dan C.
          Pelang itu merupakan tanda alamat dan iklan rumah kursus ini. Disinilah, terhitung sejak awal Januari, aku bekerja. Bukan sebagai tenaga pengajar, tapi penjaga rumah kursus merangkap administrasi.
          Bangunan rumah kursus ini merupakan sebuah rumah utuh dan bertingkat. Berada ditengah lingkungan perumahan dan mengisi sebuah deretan diantara rumah-rumah disebelahnya. Kamar-kamar didalam rumah ini dijadikan kelas-kelas. Satu kamar disisakan buat aku tidur. Dapur tetap dapur. Pak Mamet, sang pemilik usaha kursus ini, mengontrak rumah ini per tahun lamanya. Itu sebelum aku masuk kerja di PKBI ini. Habis kontrak tahunan itu, karena kondisi keuangan PKBI morat-marit, Pak Mamet memutuskan mengontrak rumah ini dengan bayar per bulan.
          Ruang kerjaku sendiri merupakan sebuah garasi rumah ini. Garasi ini diberikan sentuhan layaknya sebuah kantor. Rak-rak berisi buku-buku memenuhi ruang ini. Sebuah kaligrafi Arab dan almanak menghiasi sisi dinding. Di sisi lainnya sebuah jam berdetak-detak tergantung. Ruangan ini cukup longgar, namun rak-rak buku itu mampu menelanku hidup-hidup dari pandangan orang lewat.
          Didepan sana rumah kursus ini berhadapan langsung dengan sekolah taman kanak-kanak---TK. Tiap pagi murid-murid TK itu selalu ramai diisi suara jerit, tangis, dan ribut-ribut. Mereka berlari-lari, melompat-lompat, seperti anak kelinci lepas kandang. Dengan sendirinya, teras depan rumah kursus ini dijadikan para ibu berkumpul. Diwaktu-waktu menunggu jam belajar anak-anak mereka selesai, mereka banyak berceloteh khas ibu-ibu.
          Para ibu, mulut wanita, selalu liar. Teori-teori mereka ungkapkan tanpa landasan. Apa saja dapat dibahas tanpa perlu rumus. Utara-selatan dan timur-barat dapat mereka kejar tanpa perlu jarak. Mulut itu juga penghibur atas kebosanan hidup berumah tangga.
           Begitu mereka pulang, kembali aku menyapu lantai teras itu.
           Pukul dua sore murid-murid kursus mulai berdatangan. Kebanyakan mereka masih duduk dibangku sekolah dasar antara kelas tiga sampai kelas enam. Ada pula yang sudah masuk sekolah menengah; SMP.  Murid SD digolongkan masih anak-anak dan SMP sudah termasuk remaja. Kelas mereka di rumah kursus ini dipisah. Jadwal masuk kelas mereka juga sudah diatur oleh pihak PKBI. Biasanya dalam seminggu ada tiga kali pertemuan.
          Kursus komputer biasanya diminati oleh golongan buruh pabrik. Meski rumah kursus ini bertetangga dengan kawasan industri Wanaherang, kursus komputer disini tak banyak menarik minat. Tak lebih dari dua orang peserta kursus disini.
          Hari ini tak ada kelas anak SMP ataupun kursus komputer. Hanya kelas anak SD saja.
          Murid-murid sudah memulai kelasnya sejak satu jam lalu. Heni adalah pengajarnya. Ia terampil mengajar anak-anak usia sekolah dasar, tapi kaku mengajar kelas anak SMP. Kelas SMP akhirnya diisi sesosok guru supel; Bu Dinda.
          Dari sini aku tahu bahwa usia murid mempengaruhi bagaimana seorang guru mestinya bersikap dalam mengajar. Anak-anak suka pada guru yang ceria, menyelingi permainan dalam belajarnya. Para remaja lebih suka pada guru yang dapat dijadikan tempat curhat. Dalam belajarpun diisi dengan cerita galau-galau mereka. Dan para buruh pabrik adalah murid yang paling patuh bagaimanapun karakter guru mereka. Pengajarnya Ikhwan, seorang mahasiswa Informatika dari Gunadharma.
          Selama duduk menganggur begini dibelakang meja biasanya aku setel radio. Tapi kali ini tak ada musik atau lagu. Listrik mati. Mungkin penyebabnya gelegar-gelagar petir itu. Sekedar mengisi waktu, iseng aku membaca kamus dan mengingat satu-dua arti bahasa Inggris dalam bahasa Indonesianya. Lumayan tambah-tambah pengetahuan.
          Mendung mulai menurunkan gerimisnya. Setitik demi setitik bagai ratusan jarum yang dihambur dari atas langit. Diantara bisik-bisik suara angin sekonyong seseorang berteriak dari tingkat atas. “Anom! Tolong buka pintunya!”.
          Tak sekali teriakan itu dijeritkan. Cepat aku tutup kamus itu, tinggalkan meja, dan berlari naik tangga. Ruang dilantai atas inilah yang digunakan sebagai kelas anak SD. Dari dalam Heni menggedor-gedor pintu. Beberapa siswa histeris. Satu-dua anak menangis. Selebihnya diam-diam takut. Dapat aku tebak betapa repotnya Heni menenangkan murid-muridnya. Sampai-sampai ia juga ikut tegang.
          Dan diluar langit tambah kelabu. Hitam memekat mengurung kami dibawahnya. Petir-petir menggelegar, siap menghantam apa saja yang dilaluinya. Kelas menjadi gelap. Suasana alam yang tak bersahabat ini seolah-olah mengalirkan teror dalam dada murid-murid. Bahwa tak ada lagi tempat aman diluar sana kecuali kelas ini. Seperti bumi didera perang. Saking tak adanya tempat berlari mereka berpandangan satu sama lain.
          “Sebentar”, sahutku, menandakan keberadaanku.
          Biasanya pintu kelas dilantai atas ini tak pernah ditutup. Sengaja dibiarkan terbuka. Kuncinya rusak. Hanya tuasnya saja yang terpasang dibalik daun pintu. Baik bagian dalam dan luarnya, tak bergagang lagi, lepas entah kemana. Sebuah batu atau genteng diletakkan dibawah pintu sebagai ganjalan. Mungkin salah seorang murid telah menendang ganjalan itu. Heni tak sadar ganjalan itu hilang ditempat. Lalu begitu angin bertiup cukup laju, pintu itu mengayun diam-diam, menyatu dengan kusennya, menutup, mengurung mereka yang berada didalam.
          Aku akali lubang kunci pintu. Sebuah paku aku julur-julurkan masuk. Mungkin bentuk paku ini tak sesuai lubang kuncinya, pintu tetap tak terbuka. Kemudian aku gebrak-gebrak juga pintu ini. Aku hentak-hentakkan tubuhku keatas permukaan pintu ini. Seraya menendang-nendangnya. Rupa-rupanya badanku tidak cukup kuat mendobrak pintu itu. Yang terasa hanya sakitnya saja.
          Jalan terakhir akupun menyarankan, “Kalian keluar lewat pintu balkon saja”. Saran ini aku ungkapkan antara yakin dan tak yakin. Hanya karena pintu, level kejantananku terungkap ke muka dunia.
          “Apa?”, Heni tak habis pikir.
          “Turun pakai pohon belimbing”. Dasar kau lelaki!
          Aku tahu Heni menolak. Tapi cepat aku tinggalkan pintu itu.
          Pohon belimbing itu tumbuh didepan teras rumah yang sempit, tepat disebelahnya pelang berdiri. Batangnya kecil-kecil, bercabang-cabang, dan bercagak. Tiap kali ada buah masak langsung aku petik dan makan ditempat. Lumayan pengganjal perut disaat-saat krisis. Daunnya cukup rindang. Tiupan angin menggugurkan daun-daunnya yang kuning dan tua. Lantai teras pun diseraki daun-daun kering. Kali ini pohon belimbing ini aku gunakan juga sebagai tangga.
          Heni pasang muka cemberut. Kentara sekali ia ingin mengomel-ngomel. Kalau perlu menjitak kepalaku sekeras-kerasnya. Tapi ia turuti juga saran bodohku itu.
          Satu per satu anak kami turunkan. Ulah saranku ini seperti menempatkan kami dalam kondisi serba sulit. Seperti dalam film-film Hollywood, seolah-olah kami mesti mengungsikan banyak orang dari wabah yang telah menjangkiti kota. Ini salah perhitunganku. Anom, kau pemuda generasi masa depan, aneh pikiranmu begitu pendek. Padahal cuma urusan pintu, tapi mengapa pula mesti serepot ini. Kau punya jerawat diwajah, tapi bukan berarti mesti operasi plastik, kan?
          Tak aku gubris pula bentak-bentak suara batin itu.
          Suara gemuruh di langit terus menggelegar seperti mengejar-ngejar kami. Serentak anak-anak menjerit menimpali gemuruh petir itu. Mereka ketakutan dan menangis. Mereka takut-takut menuruni pohon belimbing, tapi situasi memaksa mereka berani. Kalau ada apa-apa tak ada lagi yang bertanggung jawab kecuali aku seorang. Begitu hujan mengguyur, aku bersyukur, semua anak berhasil diselamatkan.
         Adzan maghrib mulai diperdengarkan. Hujan mulai surut, basah disana-sini. Air menggenang dimana-mana. Dijemput para orangtua, anak-anak pulang. Juga Heni. Malam ini sudah tak ada kelas lagi. Tinggal aku sendiri disini, menjaga rumah kursus ini hingga pukul sembilan malam. Barangkali saja ada satu-dua orang pendaftar baru. Ada pendaftar berarti karunia. Kerjaku diberkahi.
          Sejak aku bekerja disini aku tahu rumah kursus ini diambang krisis. Satu persatu siswa keluar. Satu dua orang guru mengundurkan diri. Beberapa kelas ditutup. Yang tersisa digabung dengan kelas lainnya. Peristiwa pintu tertutup tadi menjadi awal ruang dilantai atas tak digunakan lagi. Kelas itu terbengkalai. Lama-lama debu dan sarang laba-laba menghiasi kelas itu. Pak Mamet tetap pada ambisinya; punya gedung sendiri.
          Seringkali aku juga merasa tidak betah kerja disini. Demi melunasi hutang-hutangku pada Pak Mamet aku mesti bertahan.
           Langit jauh disana terasa teduh. Tampaknya adzan pawang paling ampuh mengatasi hujan setelah bumi digempur habis-habisan peluru air dari langit. Hujan, gemuruh petir, angin, kilat seperti bentuk amarah dari langit. Kini alam kembali tenang. Damai tapi sunyi.
          Pintu garasi ditutup. Aku pastikan juga pintu dan jendela terkunci semua. Lampu-lampu aku matikan. Beginilah caraku mengurung diri sendiri di rumah ini. Tanggung jawab kebersihan dan keamanan rumah ini berada diatas pundakku. Begitupula beres-tidaknya administrasi. Memang rumah ini bukan tempat menetap, tapi sebagai penjaga rumah kursus ini, tentu saja, disinilah aku tinggal.

Baca juga part lainnya; Berikutnya