Halaman

Kamis, 30 Januari 2014

SURAT IJAZAH eps MIE DAN MIE

          Tiba-tiba badanku merinding. Dingin tengkuk leherku. Rasa-rasanya tadi ada sesuatu lewat dibelakang punggungku. Ditempati seorang diri, rumah ini terlalu besar. Lebih luas dari rumahku sendiri. Langit-langit atapnya tinggi diatas. Dinding dan pintu seolah merapatkan diri mencegah aku lari. Setiap benda yang tampak dicekam kebisuan., membeku dalam keangkeran. Rasa-rasanya rumah ini telah mengunyahku dalam-dalam.
          Diluar juga, dilingkungan perumahan begini, apalagi habis hujan, sepi lengang tak terperi.
          Kata kebanyakan orang disaat tak ada siapapun disekeliling kita, sesungguhnya kita tak benar-benar sendirian. Barangkali inilah yang dirasakan penguji nyali dalam acara-acara mistis ditelevisi. Mereka ditempatkan sendirian di tempat-tempat keramat dan angker, dijadikan umpan untuk memancing hantu keluar, lalu memburunya. Tapi setidaknya dari kejauhan ada orang-orang yang memantau gerak-gerik ketakutannya. Tak tahan tinggal melambaikan tangan kearah kamera.
          Sementara tak ada seorangpun yang memperhatikanku disini. Aku orang baru disini. Tak ada siapapun yang aku kenal. Tetangga-tetangga disini lebih senang menutup pagar dan pintu rumah. Lingkungan perumahan ini masih asing. Apabila terjadi sesuatu hal padaku, tak tahu pada siapa aku minta tolong.
          Pelan-pelan aku coba atasi ketakutan ini, meyakinkan diri, dan sedikit menertawai keadaan. Hantu itu hanya karangan para penakut. Seumur-umur tak pernah aku lihat bayangan-bayangan hantu, kecuali hanya dengar-dengar saja atau melihatnya dalam acara televisi yang pasti sudah diskenariokan dan diatur. Sekalipun ada, takkan ia menggangguku. Buang-buang waktu menggoda manusia yang jelas-jelas tak taat beragama. Sepertinya lebih pantas aku menjadi temannya.
          Yang lebih mengancam dari hantu itu justru manusia----maling. Untuk itulah aku diperkerjakan disini. Selain tukang bersih-bersih dan mengurus keberesan administrasi, juga untuk memastikan rumah ini tak disusupi garong. Keamanan rumah ini juga bagian dari tanggung jawabku.
          Radio di meja kerja aku bawa kedalam kamar. Aku setel radio itu pelan-pelan. Suara musik mengalun mencoba memecah sunyi. Tapi sepi lebih kuasa menjajah. Suara musik itu cukup terdengar sayup-sayup ditelinga. Radio ini adalah teman satu-satunya yang kumiliki dikala sendiri begini. Juga pengantar tidurku.
          Pelan-pelan sepasang kelopak mataku memberat. Berbagai ancaman dan ketakutan terlupakan. Sesaat aku terlepas dari kenyataan.
*****

          Suara kokok ayam bersahutan diatas udara. Mataku terbuka. Kupandangi langit-langit kamar. Pandanganku kosong dan nyalang. Di kamar ini tak ada satupun benda yang berpindah tempat. Matahari mulai menampakkan diri di ufur timur sana. Kenyataan menghadang kembali dihadapanku. Rasanya malas sekali memulai hari ini.
          Aku menggeliat sesaat, mengendurkan otot-otot badan yang tegang. Setengah terpejam aku ambil handuk, lalu sempoyongan menuju kamar mandi. Guyuran pertama membuatku begidik. Airnya cukup dingin dan panas tubuhku perlu menyesuaikan. Berkali-kali mengguyur badan dan mataku kembali segar. Terlihat lantai kamar mandi perlu digosok dan bak air perlu dikuras.
          Habis mandi aku ambil seember air dan menaburkan sedikit detergent kedalamnya. Mulailah aku melakukan tugas bersih-bersihku; menyapu dan mengepel seluruh lantai ruang kelas. Beberapa sudut kelas dipenuhi genangan air hujan kemarin. Posisi genteng diatas atap sana banyak bergeser akibat gerakan aliran air hujan dan angin. Banyak sekali pekerjaan yang mesti aku tanggungkan. Kebocoran-kebocoran itu harus aku perbaiki sebelum hujan kembali turun. Barangkali juga aku takkan memperbaikinya.
          Pintu garasi aku buka. Bocah-bocah TK, berseragam polisi, mulai masuk kelas. Mereka bernyanyi dan melompat-lompat memasuki kelas. Begitu ringan hidup sebagai bocah. Hidup mereka hanya diisi dengan kegembiraan belaka tanpa beban. Lalu, para ibu pengantar mulai berkumpul dengan sesama mereka, sambil memperhatikan anak-anak mereka belajar.
          Aku kembali masuk kedalam, membuang air pel, mengisinya lagi dengan beberapa gayung air, dicampur bubuk detergent, lalu aku rendam pakaian-pakaian kotorku. Menunggu bubuk detergent itu melakukan tugasnya, aku ambil sebungkus mie dan merebusnya diatas kompor.
          Sengaja aku sarapan lebih lambat. Semakin mendekati makan siang itu semakin baik. Itulah caraku menghemat persediaan mie instan dalam laci makananku. Bahkan terkadang aku tidak sarapan sama sekali. Memang sebisa mungkin jatah makanku normal; tiga kali sehari, tapi seringkali dua kali sehari. Itupun menunya sama. Selalu mie dan mie, tanpa tambahan apapun.
          Mie itu makanan instant. Biasanya makanan-makanan semacam itu mengandung pengawet. Tak baik dikonsumsi berlebihan, itu kata seorang ahli gizi. Menurut ahli gizi itu juga makan mie dengan nasi rentan terkena diabetes. Mie dan nasi sama-sama mengandung karbohidrat; biang dari segala penyakit gula. Memang karena keadaan aku berlebihan mengonsumsi mie, tapi setidaknya aku tak makan mie dengan nasi. Ah, bagaimanapun juga semangkuk mie dan sepiring nasi lebih bisa mengenyangkan. Mie disini adalah pengganti lauk dan sayur, bukan pengganti nasi.
          Tapi dalam kondisi serba pailit begini mie jelas-jelas makanan pokokku sekarang. Mie sama sekali tak mengakibatkan diabetes, tapi mungkin merusak organ cernaku---maag.
          Sebulan sudah aku kerja disini, terhitung sejak 8 Januari 2006, menghadapi tiap lika-likunya penuh keprihatinan dan kesabaran. Kini sudah seminggu Februari berlalu. Ditengah kepailitan aku terus bertahan. Aku sadar ternyata kebal juga aku menghadapi hidup. Sekecil apapun uang yang aku punya selalu aku sesuaikan dengan keadaan. Sebisa mungkin aku tak ambil hutang. Kini awal Februari, itupun terlambat seminggu, aku telah siap menerima gaji pertamaku.
          Jam sepuluh pagi sekolah TK bubar. Para ibu sibuk menuntun anak-anak mereka dan berpencaran menuju rumah masing-masing. Aku mulai cemas. Sesekali aku tengokkan pandang kearah jalan. Belum tampak juga batang hidung Agus itu. Biasanya jam sembilan pagi ia sudah ada disini. Dialah yang bakal membawakan amplop gaji itu dan menemaniku menjaga rumah kursus ini hingga jam tujuh malam. Sekaligus juga aku akan menyuruhnya memperbaiki genteng-genteng bocor itu.
          Kembali aku kebelakang. Daripada bengong-bengong menunggu, aku gosok-gosok lantai kamar mandi, menguras bak, lalu mencuci baju dan menjemurnya dibalkon belakang rumah.
          Dua jam berlalu. Belum tampak juga orang yang aku tunggu itu. Yang datang justru seorang perempuan; berambut pirang cat, berkulit putih, dan montok. Meski begitu, penampilannya sangat memperlihatkan bahwa ia seorang ibu rumah tangga muda. Ia terus-terusan merengut kesal, bibirnya ikut manyun kedepan. Belum lagi mengucapkan salam, perempuan itu langsung menggebrak meja didepanku. Kelihatannya ia marah.
           “Mana Agus?”, bentaknya. Ia memelototiku.
          Aku gelagapan. Aku tak tahu siapa dia dan tiba-tiba mesti menghadapi amarahnya. Bisa-bisa aku diterkamnya. Gugup aku menjawab, “Belum datang”.
          “Bohong!”, tegahnya. Ia langsung menerobos masuk. Gopah-gopoh aku mengikutinya. Takut ada apa-apa. Tepat diambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur ia berdiri, tengok kanan-kiri, matanya terbuka lesat, melihat sisi-sisi ruangan, mencari-cari, seraya teriak, “Agus! Agus! Jangan sembunyi lu”.
          Tak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri yang dipantulkan dinding-dinding. Kemudian ia menengok padaku, masih dengan mata melotot. “Kemana dia?”.
           “Belum datang”, jawabku sekali lagi. Tak tahu lagi harus menjawab apa. Melihat mata penuh benci itu menggentarkan. Repot apabila harus berurusan dengan perempuan macam ini.
          “Kalau datang”, ia menunjuk-nunjukku penuh peringatan, “bilang segera bayar gaji saya. Termasuk juga gaji bulan kemarin. Dua bulan gaji saya belum dibayar”.
          Ia keluar dan pergi. Dalam langkahnya ia nyaris terpeleset tepat diturunan depan pintu garasi. Amarah membuatnya kurang awas. Saat itu juga aku mendengar umpatannya yang menggumam, barisan giginya ia gemeretakkan, “Mamet sialan!”.
          Itulah, yang aku pikir, Mbak Mira itu. Dia mengundurkan diri seminggu sebelum aku masuk kerja. Biasanya ia menagih gajinya itu lewat telepon, berbicara langsung dengan Agus. Dengan menyabar-nyabarkan, Agus memberi pengertian dan berjanji segera membayar gajinya itu. Barangkali merasa tuntutannya tak ditanggapi serius, setelah berkali-kali menagih, akhirnya Mbak Mira datang langsung kemari. Gaji, sama sepertimu Mbak Mira, aku juga tengah menunggunya.
          Makan siang. Menunya lagi; mie rebus. Kuahnya aku perbanyak dengan menambahkan sedikit garam. Dalam keadaan begini tak boleh aku merasa lelah. Hidup prihatin seperti yang sering dikampanyekan Pak Mamet padaku. Tak boleh ada banyak syarat-syarat, apalagi sekedar rasa makanan.
          Adzan zhuhur berkumandang beberapa lama lalu. Agus belum terlihat juga. Aku takut Mbak Mira datang lagi, lalu marah-marah lagi padaku. Bisa-bisa dalam keadaan kalut, ia bobol laci dimana uang kas pemasukan kursus disimpan.
          Kembali aku setel radio, mencari-cari saluran yang lebih banyak memutar lagu daripada cuap-cuap penyiarnya. Pelan-pelan aku dengar derap langkah mendekat. Dari balik meja aku tengok kedepan. Lega rasanya; Agus datang. Ia mengenakan setelan kemeja kotak-kotak dan celana jins buluk. Aku menyambutnya riang.
          “Mana gajinya?”, tuntutku tak sabar
          “Gaji apa?”, ia malah balik tanya. “Aku juga belum gajian”.
          Aku diam menganga. Seperti orang tolol. Kepalaku diliputi pikiran dan pertanyaan.
         “Pak Mamet nanti sore mau kemari”, ujarnya memberitahu. “Katanya mau mengaudit cara kerja kamu”.
          Aku berpikir aneh. “Audit? Kayak perusahaan gede saja. Jelas-jelas aku kerja disini baik-baik”.
          Agus lepas sepatu. Ia letakkan alas kaki itu begitu saja disudut dekat pintu.
          “Tadi Mbak Mira kemari”, aku lanjutkan. “Tagih gaji. Katanya gajinya dua bulan belum dibayar”.
          “Dua bulan?”, tukas Agus agak heran. “Sebulan, Anom. Kan dia keluar akhir Desember lalu, tepat seminggu sebelum kamu masuk. Januari dia sudah tidak punya gaji lagi.
          Aku angkat bahu. “Dia bilang begitu”.
          Agus diam melihatku. Aku pikir ia akan mengucapkan sesuatu, tapi ia justru bertanya, “Ada mie, nggak?”.
          Aku diam, tak mengangguk, tak menggeleng. Agus salah seorang yang selalu merusak anggaran keuanganku seminggu kedepan ini. Aku mesti menyusun rencana kedua biar tetap bertahan; besok aku mesti mengurangi jatah makan mieku. Intinya hemat dan irit. Kalau perlu pelit. Tapi selama berada disini, Agus temanku satu-satunya. Aku mesti selalu berbagi dengannya.
          “Memangnya belum makan?”, tanyaku.
          Ia membuka-buka laci diatas dinding dapur. “Dari pagi”, jawabnya singkat. “Gak punya duit”.

          Ia ambil satu dan rebus mie itu.

Baca juga part lainnya: Sebelumnya-Berikutnya

1 komentar: