Tiba-tiba badanku merinding. Dingin
tengkuk leherku. Rasa-rasanya tadi ada sesuatu lewat dibelakang punggungku.
Ditempati seorang diri, rumah ini terlalu besar. Lebih luas dari rumahku
sendiri. Langit-langit atapnya tinggi diatas. Dinding dan pintu seolah
merapatkan diri mencegah aku lari. Setiap benda yang tampak dicekam kebisuan.,
membeku dalam keangkeran. Rasa-rasanya rumah ini telah mengunyahku dalam-dalam.
Diluar juga, dilingkungan perumahan begini, apalagi habis hujan, sepi
lengang tak terperi.
Kata kebanyakan orang disaat tak ada
siapapun disekeliling kita, sesungguhnya kita tak benar-benar sendirian.
Barangkali inilah yang dirasakan penguji nyali dalam acara-acara mistis
ditelevisi. Mereka ditempatkan sendirian di tempat-tempat keramat dan angker,
dijadikan umpan untuk memancing hantu keluar, lalu memburunya. Tapi setidaknya
dari kejauhan ada orang-orang yang memantau gerak-gerik ketakutannya. Tak tahan
tinggal melambaikan tangan kearah kamera.
Sementara tak ada seorangpun yang
memperhatikanku disini. Aku orang baru disini. Tak ada siapapun yang aku kenal.
Tetangga-tetangga disini lebih senang menutup pagar dan pintu rumah. Lingkungan
perumahan ini masih asing. Apabila terjadi sesuatu hal padaku, tak tahu pada
siapa aku minta tolong.
Pelan-pelan aku coba atasi ketakutan
ini, meyakinkan diri, dan sedikit menertawai keadaan. Hantu itu hanya karangan
para penakut. Seumur-umur tak pernah aku lihat bayangan-bayangan hantu, kecuali
hanya dengar-dengar saja atau melihatnya dalam acara televisi yang pasti sudah
diskenariokan dan diatur. Sekalipun ada, takkan ia menggangguku. Buang-buang
waktu menggoda manusia yang jelas-jelas tak taat beragama. Sepertinya lebih
pantas aku menjadi temannya.
Yang lebih mengancam dari hantu itu
justru manusia----maling. Untuk itulah aku diperkerjakan disini. Selain tukang
bersih-bersih dan mengurus keberesan administrasi, juga untuk memastikan rumah
ini tak disusupi garong. Keamanan rumah ini juga bagian dari tanggung jawabku.
Radio di meja kerja aku bawa kedalam
kamar. Aku setel radio itu pelan-pelan. Suara musik mengalun mencoba memecah
sunyi. Tapi sepi lebih kuasa menjajah. Suara musik itu cukup terdengar
sayup-sayup ditelinga. Radio ini adalah teman satu-satunya yang kumiliki dikala
sendiri begini. Juga pengantar tidurku.
Pelan-pelan sepasang kelopak mataku
memberat. Berbagai ancaman dan ketakutan terlupakan. Sesaat aku terlepas dari
kenyataan.
*****
Suara kokok ayam bersahutan diatas
udara. Mataku terbuka. Kupandangi langit-langit kamar. Pandanganku kosong dan
nyalang. Di kamar ini tak ada satupun benda yang berpindah tempat. Matahari
mulai menampakkan diri di ufur timur sana. Kenyataan menghadang kembali
dihadapanku. Rasanya malas sekali memulai hari ini.
Aku menggeliat sesaat, mengendurkan
otot-otot badan yang tegang. Setengah terpejam aku ambil handuk, lalu
sempoyongan menuju kamar mandi. Guyuran pertama membuatku begidik. Airnya cukup
dingin dan panas tubuhku perlu menyesuaikan. Berkali-kali mengguyur badan dan
mataku kembali segar. Terlihat lantai kamar mandi perlu digosok dan bak air
perlu dikuras.
Habis mandi aku ambil seember air dan
menaburkan sedikit detergent kedalamnya. Mulailah aku melakukan tugas
bersih-bersihku; menyapu dan mengepel seluruh lantai ruang kelas. Beberapa
sudut kelas dipenuhi genangan air hujan kemarin. Posisi genteng diatas atap
sana banyak bergeser akibat gerakan aliran air hujan dan angin. Banyak sekali
pekerjaan yang mesti aku tanggungkan. Kebocoran-kebocoran itu harus aku
perbaiki sebelum hujan kembali turun. Barangkali juga aku takkan
memperbaikinya.
Pintu garasi aku buka. Bocah-bocah
TK, berseragam polisi, mulai masuk kelas. Mereka bernyanyi dan melompat-lompat
memasuki kelas. Begitu ringan hidup sebagai bocah. Hidup mereka hanya diisi
dengan kegembiraan belaka tanpa beban. Lalu, para ibu pengantar mulai berkumpul
dengan sesama mereka, sambil memperhatikan anak-anak mereka belajar.
Aku kembali masuk kedalam, membuang
air pel, mengisinya lagi dengan beberapa gayung air, dicampur bubuk detergent,
lalu aku rendam pakaian-pakaian kotorku. Menunggu bubuk detergent itu melakukan
tugasnya, aku ambil sebungkus mie dan merebusnya diatas kompor.
Sengaja aku sarapan lebih lambat.
Semakin mendekati makan siang itu semakin baik. Itulah caraku menghemat
persediaan mie instan dalam laci makananku. Bahkan terkadang aku tidak sarapan
sama sekali. Memang sebisa mungkin jatah makanku normal; tiga kali sehari, tapi
seringkali dua kali sehari. Itupun menunya sama. Selalu mie dan mie, tanpa
tambahan apapun.
Mie itu makanan instant. Biasanya
makanan-makanan semacam itu mengandung pengawet. Tak baik dikonsumsi
berlebihan, itu kata seorang ahli gizi. Menurut ahli gizi itu juga makan mie
dengan nasi rentan terkena diabetes. Mie dan nasi sama-sama mengandung
karbohidrat; biang dari segala penyakit gula. Memang karena keadaan aku
berlebihan mengonsumsi mie, tapi setidaknya aku tak makan mie dengan nasi. Ah,
bagaimanapun juga semangkuk mie dan sepiring nasi lebih bisa mengenyangkan. Mie
disini adalah pengganti lauk dan sayur, bukan pengganti nasi.
Tapi dalam kondisi serba pailit
begini mie jelas-jelas makanan pokokku sekarang. Mie sama sekali tak
mengakibatkan diabetes, tapi mungkin merusak organ cernaku---maag.
Sebulan sudah aku kerja disini,
terhitung sejak 8 Januari 2006, menghadapi tiap lika-likunya penuh keprihatinan
dan kesabaran. Kini sudah seminggu Februari berlalu. Ditengah kepailitan aku
terus bertahan. Aku sadar ternyata kebal juga aku menghadapi hidup. Sekecil
apapun uang yang aku punya selalu aku sesuaikan dengan keadaan. Sebisa mungkin
aku tak ambil hutang. Kini awal Februari, itupun terlambat seminggu, aku telah
siap menerima gaji pertamaku.
Jam sepuluh pagi sekolah TK bubar.
Para ibu sibuk menuntun anak-anak mereka dan berpencaran menuju rumah
masing-masing. Aku mulai cemas. Sesekali aku tengokkan pandang kearah jalan.
Belum tampak juga batang hidung Agus itu. Biasanya jam sembilan pagi ia sudah
ada disini. Dialah yang bakal membawakan amplop gaji itu dan menemaniku menjaga
rumah kursus ini hingga jam tujuh malam. Sekaligus juga aku akan menyuruhnya
memperbaiki genteng-genteng bocor itu.
Kembali aku kebelakang. Daripada
bengong-bengong menunggu, aku gosok-gosok lantai kamar mandi, menguras bak,
lalu mencuci baju dan menjemurnya dibalkon belakang rumah.
Dua jam berlalu. Belum tampak juga
orang yang aku tunggu itu. Yang datang justru seorang perempuan; berambut
pirang cat, berkulit putih, dan montok. Meski begitu, penampilannya sangat
memperlihatkan bahwa ia seorang ibu rumah tangga muda. Ia terus-terusan
merengut kesal, bibirnya ikut manyun kedepan. Belum lagi mengucapkan salam,
perempuan itu langsung menggebrak meja didepanku. Kelihatannya ia marah.
“Mana Agus?”, bentaknya. Ia
memelototiku.
Aku gelagapan. Aku tak tahu siapa dia
dan tiba-tiba mesti menghadapi amarahnya. Bisa-bisa aku diterkamnya. Gugup aku
menjawab, “Belum datang”.
“Bohong!”, tegahnya. Ia langsung
menerobos masuk. Gopah-gopoh aku mengikutinya. Takut ada apa-apa. Tepat
diambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur ia berdiri, tengok
kanan-kiri, matanya terbuka lesat, melihat sisi-sisi ruangan, mencari-cari,
seraya teriak, “Agus! Agus! Jangan sembunyi lu”.
Tak ada jawaban kecuali gema suaranya
sendiri yang dipantulkan dinding-dinding. Kemudian ia menengok padaku, masih
dengan mata melotot. “Kemana dia?”.
“Belum datang”, jawabku sekali lagi.
Tak tahu lagi harus menjawab apa. Melihat mata penuh benci itu menggentarkan.
Repot apabila harus berurusan dengan perempuan macam ini.
“Kalau datang”, ia menunjuk-nunjukku
penuh peringatan, “bilang segera bayar gaji saya. Termasuk juga gaji bulan
kemarin. Dua bulan gaji saya belum dibayar”.
Ia keluar dan pergi. Dalam langkahnya
ia nyaris terpeleset tepat diturunan depan pintu garasi. Amarah membuatnya
kurang awas. Saat itu juga aku mendengar umpatannya yang menggumam, barisan
giginya ia gemeretakkan, “Mamet sialan!”.
Itulah, yang aku pikir, Mbak Mira
itu. Dia mengundurkan diri seminggu sebelum aku masuk kerja. Biasanya ia
menagih gajinya itu lewat telepon, berbicara langsung dengan Agus. Dengan
menyabar-nyabarkan, Agus memberi pengertian dan berjanji segera membayar
gajinya itu. Barangkali merasa tuntutannya tak ditanggapi serius, setelah berkali-kali
menagih, akhirnya Mbak Mira datang langsung kemari. Gaji, sama sepertimu Mbak
Mira, aku juga tengah menunggunya.
Makan siang. Menunya lagi; mie rebus.
Kuahnya aku perbanyak dengan menambahkan sedikit garam. Dalam keadaan begini
tak boleh aku merasa lelah. Hidup prihatin seperti yang sering dikampanyekan
Pak Mamet padaku. Tak boleh ada banyak syarat-syarat, apalagi sekedar rasa
makanan.
Adzan zhuhur berkumandang beberapa
lama lalu. Agus belum terlihat juga. Aku takut Mbak Mira datang lagi, lalu
marah-marah lagi padaku. Bisa-bisa dalam keadaan kalut, ia bobol laci dimana
uang kas pemasukan kursus disimpan.
Kembali aku setel radio, mencari-cari
saluran yang lebih banyak memutar lagu daripada cuap-cuap penyiarnya. Pelan-pelan
aku dengar derap langkah mendekat. Dari balik meja aku tengok kedepan. Lega rasanya;
Agus datang. Ia mengenakan setelan kemeja kotak-kotak dan celana jins buluk.
Aku menyambutnya riang.
“Mana gajinya?”, tuntutku tak sabar
“Gaji apa?”, ia malah balik tanya.
“Aku juga belum gajian”.
Aku diam menganga. Seperti orang
tolol. Kepalaku diliputi pikiran dan pertanyaan.
“Pak Mamet nanti sore mau kemari”,
ujarnya memberitahu. “Katanya mau mengaudit cara kerja kamu”.
Aku berpikir aneh. “Audit? Kayak perusahaan
gede saja. Jelas-jelas aku kerja disini baik-baik”.
Agus lepas sepatu. Ia letakkan alas
kaki itu begitu saja disudut dekat pintu.
“Tadi Mbak Mira kemari”, aku
lanjutkan. “Tagih gaji. Katanya gajinya dua bulan belum dibayar”.
“Dua bulan?”, tukas Agus agak heran.
“Sebulan, Anom. Kan dia keluar akhir Desember lalu, tepat seminggu sebelum kamu
masuk. Januari dia sudah tidak punya gaji lagi.
Aku angkat bahu. “Dia bilang begitu”.
Agus diam melihatku. Aku pikir ia
akan mengucapkan sesuatu, tapi ia justru bertanya, “Ada mie, nggak?”.
Aku diam, tak mengangguk, tak
menggeleng. Agus salah seorang yang selalu merusak anggaran keuanganku seminggu
kedepan ini. Aku mesti menyusun rencana kedua biar tetap bertahan; besok aku
mesti mengurangi jatah makan mieku. Intinya hemat dan irit. Kalau perlu pelit.
Tapi selama berada disini, Agus temanku satu-satunya. Aku mesti selalu berbagi
dengannya.
“Memangnya belum makan?”, tanyaku.
Ia membuka-buka laci diatas dinding
dapur. “Dari pagi”, jawabnya singkat. “Gak punya duit”.
haahaaa.....biasanya Mahasiswa yang gitu....
BalasHapus