Halaman

Jumat, 24 Januari 2014

SURAT IJAZAH eps RUMAH KURSUS

         Langit murung. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung. Lintasan sinar matahari menuju bumi terhalang arakan. Angin meniup membawa kekalutan, menerbangkan apa saja yang dilaluinya; debu, daun, juga jemuran. Di ufuk kejauhan kilatan-kilatan listrik hendak menjangkau bumi. Seakan tanda alam itu mengajak manusia bersiap-siap; perbaiki genteng-genteng bocor, bersihkan saluran air, sedia payung dan ember. Kalau perlu sedia pelampung dan perahu karet takut-takut banjir datang. Awal tahun 2006 diliputi muram durja alam. Begitupula pedalaman diriku.
          Tapi di kawasan Wanaherang, tempat aku berada kini, air selalu mengalir menuju tempat-tempat rendah. Sekalipun tergenang hanya membentuk kubangan di lubang-lubang sempit.
        Sepanjang siang tadi aku habiskan waktu duduk-duduk saja dibalik meja. Santai begini lama-lama menemukan kejenuhannya juga. Tak seorangpun datang kemari. Padahal aku berharap. Kedatangan satu-dua orang setidaknya cukup menggerakkan syaraf-syaraf motorikku.
          Sebuah pelang besi didirikan didepan pekarangan rumah. Huruf-huruf berukuran besar tercetak dalam pelang itu; Pusat Kursus Bahasa Inggris----PKBI. Selain kursus bahasa, ada juga kursus komputer. Lebih dari itu rumah kursus ini juga menyelenggarakan ujian kesetaraan kejar paket B dan C.
          Pelang itu merupakan tanda alamat dan iklan rumah kursus ini. Disinilah, terhitung sejak awal Januari, aku bekerja. Bukan sebagai tenaga pengajar, tapi penjaga rumah kursus merangkap administrasi.
          Bangunan rumah kursus ini merupakan sebuah rumah utuh dan bertingkat. Berada ditengah lingkungan perumahan dan mengisi sebuah deretan diantara rumah-rumah disebelahnya. Kamar-kamar didalam rumah ini dijadikan kelas-kelas. Satu kamar disisakan buat aku tidur. Dapur tetap dapur. Pak Mamet, sang pemilik usaha kursus ini, mengontrak rumah ini per tahun lamanya. Itu sebelum aku masuk kerja di PKBI ini. Habis kontrak tahunan itu, karena kondisi keuangan PKBI morat-marit, Pak Mamet memutuskan mengontrak rumah ini dengan bayar per bulan.
          Ruang kerjaku sendiri merupakan sebuah garasi rumah ini. Garasi ini diberikan sentuhan layaknya sebuah kantor. Rak-rak berisi buku-buku memenuhi ruang ini. Sebuah kaligrafi Arab dan almanak menghiasi sisi dinding. Di sisi lainnya sebuah jam berdetak-detak tergantung. Ruangan ini cukup longgar, namun rak-rak buku itu mampu menelanku hidup-hidup dari pandangan orang lewat.
          Didepan sana rumah kursus ini berhadapan langsung dengan sekolah taman kanak-kanak---TK. Tiap pagi murid-murid TK itu selalu ramai diisi suara jerit, tangis, dan ribut-ribut. Mereka berlari-lari, melompat-lompat, seperti anak kelinci lepas kandang. Dengan sendirinya, teras depan rumah kursus ini dijadikan para ibu berkumpul. Diwaktu-waktu menunggu jam belajar anak-anak mereka selesai, mereka banyak berceloteh khas ibu-ibu.
          Para ibu, mulut wanita, selalu liar. Teori-teori mereka ungkapkan tanpa landasan. Apa saja dapat dibahas tanpa perlu rumus. Utara-selatan dan timur-barat dapat mereka kejar tanpa perlu jarak. Mulut itu juga penghibur atas kebosanan hidup berumah tangga.
           Begitu mereka pulang, kembali aku menyapu lantai teras itu.
           Pukul dua sore murid-murid kursus mulai berdatangan. Kebanyakan mereka masih duduk dibangku sekolah dasar antara kelas tiga sampai kelas enam. Ada pula yang sudah masuk sekolah menengah; SMP.  Murid SD digolongkan masih anak-anak dan SMP sudah termasuk remaja. Kelas mereka di rumah kursus ini dipisah. Jadwal masuk kelas mereka juga sudah diatur oleh pihak PKBI. Biasanya dalam seminggu ada tiga kali pertemuan.
          Kursus komputer biasanya diminati oleh golongan buruh pabrik. Meski rumah kursus ini bertetangga dengan kawasan industri Wanaherang, kursus komputer disini tak banyak menarik minat. Tak lebih dari dua orang peserta kursus disini.
          Hari ini tak ada kelas anak SMP ataupun kursus komputer. Hanya kelas anak SD saja.
          Murid-murid sudah memulai kelasnya sejak satu jam lalu. Heni adalah pengajarnya. Ia terampil mengajar anak-anak usia sekolah dasar, tapi kaku mengajar kelas anak SMP. Kelas SMP akhirnya diisi sesosok guru supel; Bu Dinda.
          Dari sini aku tahu bahwa usia murid mempengaruhi bagaimana seorang guru mestinya bersikap dalam mengajar. Anak-anak suka pada guru yang ceria, menyelingi permainan dalam belajarnya. Para remaja lebih suka pada guru yang dapat dijadikan tempat curhat. Dalam belajarpun diisi dengan cerita galau-galau mereka. Dan para buruh pabrik adalah murid yang paling patuh bagaimanapun karakter guru mereka. Pengajarnya Ikhwan, seorang mahasiswa Informatika dari Gunadharma.
          Selama duduk menganggur begini dibelakang meja biasanya aku setel radio. Tapi kali ini tak ada musik atau lagu. Listrik mati. Mungkin penyebabnya gelegar-gelagar petir itu. Sekedar mengisi waktu, iseng aku membaca kamus dan mengingat satu-dua arti bahasa Inggris dalam bahasa Indonesianya. Lumayan tambah-tambah pengetahuan.
          Mendung mulai menurunkan gerimisnya. Setitik demi setitik bagai ratusan jarum yang dihambur dari atas langit. Diantara bisik-bisik suara angin sekonyong seseorang berteriak dari tingkat atas. “Anom! Tolong buka pintunya!”.
          Tak sekali teriakan itu dijeritkan. Cepat aku tutup kamus itu, tinggalkan meja, dan berlari naik tangga. Ruang dilantai atas inilah yang digunakan sebagai kelas anak SD. Dari dalam Heni menggedor-gedor pintu. Beberapa siswa histeris. Satu-dua anak menangis. Selebihnya diam-diam takut. Dapat aku tebak betapa repotnya Heni menenangkan murid-muridnya. Sampai-sampai ia juga ikut tegang.
          Dan diluar langit tambah kelabu. Hitam memekat mengurung kami dibawahnya. Petir-petir menggelegar, siap menghantam apa saja yang dilaluinya. Kelas menjadi gelap. Suasana alam yang tak bersahabat ini seolah-olah mengalirkan teror dalam dada murid-murid. Bahwa tak ada lagi tempat aman diluar sana kecuali kelas ini. Seperti bumi didera perang. Saking tak adanya tempat berlari mereka berpandangan satu sama lain.
          “Sebentar”, sahutku, menandakan keberadaanku.
          Biasanya pintu kelas dilantai atas ini tak pernah ditutup. Sengaja dibiarkan terbuka. Kuncinya rusak. Hanya tuasnya saja yang terpasang dibalik daun pintu. Baik bagian dalam dan luarnya, tak bergagang lagi, lepas entah kemana. Sebuah batu atau genteng diletakkan dibawah pintu sebagai ganjalan. Mungkin salah seorang murid telah menendang ganjalan itu. Heni tak sadar ganjalan itu hilang ditempat. Lalu begitu angin bertiup cukup laju, pintu itu mengayun diam-diam, menyatu dengan kusennya, menutup, mengurung mereka yang berada didalam.
          Aku akali lubang kunci pintu. Sebuah paku aku julur-julurkan masuk. Mungkin bentuk paku ini tak sesuai lubang kuncinya, pintu tetap tak terbuka. Kemudian aku gebrak-gebrak juga pintu ini. Aku hentak-hentakkan tubuhku keatas permukaan pintu ini. Seraya menendang-nendangnya. Rupa-rupanya badanku tidak cukup kuat mendobrak pintu itu. Yang terasa hanya sakitnya saja.
          Jalan terakhir akupun menyarankan, “Kalian keluar lewat pintu balkon saja”. Saran ini aku ungkapkan antara yakin dan tak yakin. Hanya karena pintu, level kejantananku terungkap ke muka dunia.
          “Apa?”, Heni tak habis pikir.
          “Turun pakai pohon belimbing”. Dasar kau lelaki!
          Aku tahu Heni menolak. Tapi cepat aku tinggalkan pintu itu.
          Pohon belimbing itu tumbuh didepan teras rumah yang sempit, tepat disebelahnya pelang berdiri. Batangnya kecil-kecil, bercabang-cabang, dan bercagak. Tiap kali ada buah masak langsung aku petik dan makan ditempat. Lumayan pengganjal perut disaat-saat krisis. Daunnya cukup rindang. Tiupan angin menggugurkan daun-daunnya yang kuning dan tua. Lantai teras pun diseraki daun-daun kering. Kali ini pohon belimbing ini aku gunakan juga sebagai tangga.
          Heni pasang muka cemberut. Kentara sekali ia ingin mengomel-ngomel. Kalau perlu menjitak kepalaku sekeras-kerasnya. Tapi ia turuti juga saran bodohku itu.
          Satu per satu anak kami turunkan. Ulah saranku ini seperti menempatkan kami dalam kondisi serba sulit. Seperti dalam film-film Hollywood, seolah-olah kami mesti mengungsikan banyak orang dari wabah yang telah menjangkiti kota. Ini salah perhitunganku. Anom, kau pemuda generasi masa depan, aneh pikiranmu begitu pendek. Padahal cuma urusan pintu, tapi mengapa pula mesti serepot ini. Kau punya jerawat diwajah, tapi bukan berarti mesti operasi plastik, kan?
          Tak aku gubris pula bentak-bentak suara batin itu.
          Suara gemuruh di langit terus menggelegar seperti mengejar-ngejar kami. Serentak anak-anak menjerit menimpali gemuruh petir itu. Mereka ketakutan dan menangis. Mereka takut-takut menuruni pohon belimbing, tapi situasi memaksa mereka berani. Kalau ada apa-apa tak ada lagi yang bertanggung jawab kecuali aku seorang. Begitu hujan mengguyur, aku bersyukur, semua anak berhasil diselamatkan.
         Adzan maghrib mulai diperdengarkan. Hujan mulai surut, basah disana-sini. Air menggenang dimana-mana. Dijemput para orangtua, anak-anak pulang. Juga Heni. Malam ini sudah tak ada kelas lagi. Tinggal aku sendiri disini, menjaga rumah kursus ini hingga pukul sembilan malam. Barangkali saja ada satu-dua orang pendaftar baru. Ada pendaftar berarti karunia. Kerjaku diberkahi.
          Sejak aku bekerja disini aku tahu rumah kursus ini diambang krisis. Satu persatu siswa keluar. Satu dua orang guru mengundurkan diri. Beberapa kelas ditutup. Yang tersisa digabung dengan kelas lainnya. Peristiwa pintu tertutup tadi menjadi awal ruang dilantai atas tak digunakan lagi. Kelas itu terbengkalai. Lama-lama debu dan sarang laba-laba menghiasi kelas itu. Pak Mamet tetap pada ambisinya; punya gedung sendiri.
          Seringkali aku juga merasa tidak betah kerja disini. Demi melunasi hutang-hutangku pada Pak Mamet aku mesti bertahan.
           Langit jauh disana terasa teduh. Tampaknya adzan pawang paling ampuh mengatasi hujan setelah bumi digempur habis-habisan peluru air dari langit. Hujan, gemuruh petir, angin, kilat seperti bentuk amarah dari langit. Kini alam kembali tenang. Damai tapi sunyi.
          Pintu garasi ditutup. Aku pastikan juga pintu dan jendela terkunci semua. Lampu-lampu aku matikan. Beginilah caraku mengurung diri sendiri di rumah ini. Tanggung jawab kebersihan dan keamanan rumah ini berada diatas pundakku. Begitupula beres-tidaknya administrasi. Memang rumah ini bukan tempat menetap, tapi sebagai penjaga rumah kursus ini, tentu saja, disinilah aku tinggal.

Baca juga part lainnya; Berikutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar