Langit
murung. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung. Lintasan sinar matahari menuju
bumi terhalang arakan. Angin meniup membawa kekalutan, menerbangkan apa saja
yang dilaluinya; debu, daun, juga jemuran. Di ufuk kejauhan kilatan-kilatan
listrik hendak menjangkau bumi. Seakan tanda alam itu mengajak manusia
bersiap-siap; perbaiki genteng-genteng bocor, bersihkan saluran air, sedia
payung dan ember. Kalau perlu sedia pelampung dan perahu karet takut-takut banjir
datang. Awal tahun 2006 diliputi muram durja alam. Begitupula pedalaman diriku.
Tapi di kawasan Wanaherang, tempat aku berada kini, air selalu mengalir
menuju tempat-tempat rendah. Sekalipun tergenang hanya membentuk kubangan di
lubang-lubang sempit.
Sepanjang siang tadi aku habiskan waktu
duduk-duduk saja dibalik meja. Santai begini lama-lama menemukan kejenuhannya
juga. Tak seorangpun datang kemari. Padahal aku berharap. Kedatangan satu-dua
orang setidaknya cukup menggerakkan syaraf-syaraf motorikku.
Sebuah pelang besi didirikan didepan
pekarangan rumah. Huruf-huruf berukuran besar tercetak dalam pelang itu; Pusat
Kursus Bahasa Inggris----PKBI. Selain kursus bahasa, ada juga kursus komputer.
Lebih dari itu rumah kursus ini juga menyelenggarakan ujian kesetaraan kejar
paket B dan C.
Pelang itu merupakan tanda alamat dan
iklan rumah kursus ini. Disinilah, terhitung sejak awal Januari, aku bekerja.
Bukan sebagai tenaga pengajar, tapi penjaga rumah kursus merangkap administrasi.
Bangunan rumah kursus ini merupakan
sebuah rumah utuh dan bertingkat. Berada ditengah lingkungan perumahan dan
mengisi sebuah deretan diantara rumah-rumah disebelahnya. Kamar-kamar didalam
rumah ini dijadikan kelas-kelas. Satu kamar disisakan buat aku tidur. Dapur
tetap dapur. Pak Mamet, sang pemilik usaha kursus ini, mengontrak rumah ini per
tahun lamanya. Itu sebelum aku masuk kerja di PKBI ini. Habis kontrak tahunan itu,
karena kondisi keuangan PKBI morat-marit, Pak Mamet memutuskan mengontrak rumah
ini dengan bayar per bulan.
Ruang kerjaku sendiri merupakan
sebuah garasi rumah ini. Garasi ini diberikan sentuhan layaknya sebuah kantor.
Rak-rak berisi buku-buku memenuhi ruang ini. Sebuah kaligrafi Arab dan almanak
menghiasi sisi dinding. Di sisi lainnya sebuah jam berdetak-detak tergantung.
Ruangan ini cukup longgar, namun rak-rak buku itu mampu menelanku hidup-hidup
dari pandangan orang lewat.
Didepan sana rumah kursus ini
berhadapan langsung dengan sekolah taman kanak-kanak---TK. Tiap pagi
murid-murid TK itu selalu ramai diisi suara jerit, tangis, dan ribut-ribut.
Mereka berlari-lari, melompat-lompat, seperti anak kelinci lepas kandang.
Dengan sendirinya, teras depan rumah kursus ini dijadikan para ibu berkumpul.
Diwaktu-waktu menunggu jam belajar anak-anak mereka selesai, mereka banyak
berceloteh khas ibu-ibu.
Para ibu, mulut wanita, selalu liar.
Teori-teori mereka ungkapkan tanpa landasan. Apa saja dapat dibahas tanpa perlu
rumus. Utara-selatan dan timur-barat dapat mereka kejar tanpa perlu jarak.
Mulut itu juga penghibur atas kebosanan hidup berumah tangga.
Begitu mereka pulang, kembali aku
menyapu lantai teras itu.
Pukul dua sore murid-murid kursus
mulai berdatangan. Kebanyakan mereka masih duduk dibangku sekolah dasar antara
kelas tiga sampai kelas enam. Ada pula yang sudah masuk sekolah menengah;
SMP. Murid SD digolongkan masih
anak-anak dan SMP sudah termasuk remaja. Kelas mereka di rumah kursus ini
dipisah. Jadwal masuk kelas mereka juga sudah diatur oleh pihak PKBI. Biasanya
dalam seminggu ada tiga kali pertemuan.
Kursus komputer biasanya diminati
oleh golongan buruh pabrik. Meski rumah kursus ini bertetangga dengan kawasan
industri Wanaherang, kursus komputer disini tak banyak menarik minat. Tak lebih
dari dua orang peserta kursus disini.
Hari ini tak ada kelas anak SMP
ataupun kursus komputer. Hanya kelas anak SD saja.
Murid-murid sudah memulai kelasnya
sejak satu jam lalu. Heni adalah pengajarnya. Ia terampil mengajar anak-anak
usia sekolah dasar, tapi kaku mengajar kelas anak SMP. Kelas SMP akhirnya diisi
sesosok guru supel; Bu Dinda.
Dari sini aku tahu bahwa usia murid
mempengaruhi bagaimana seorang guru mestinya bersikap dalam mengajar. Anak-anak
suka pada guru yang ceria, menyelingi permainan dalam belajarnya. Para remaja
lebih suka pada guru yang dapat dijadikan tempat curhat. Dalam belajarpun diisi
dengan cerita galau-galau mereka. Dan para buruh pabrik adalah murid yang
paling patuh bagaimanapun karakter guru mereka. Pengajarnya Ikhwan, seorang
mahasiswa Informatika dari Gunadharma.
Selama duduk menganggur begini
dibelakang meja biasanya aku setel radio. Tapi kali ini tak ada musik atau
lagu. Listrik mati. Mungkin penyebabnya gelegar-gelagar petir itu. Sekedar
mengisi waktu, iseng aku membaca kamus dan mengingat satu-dua arti bahasa
Inggris dalam bahasa Indonesianya. Lumayan tambah-tambah pengetahuan.
Mendung mulai menurunkan gerimisnya.
Setitik demi setitik bagai ratusan jarum yang dihambur dari atas langit.
Diantara bisik-bisik suara angin sekonyong seseorang berteriak dari tingkat
atas. “Anom! Tolong buka pintunya!”.
Tak sekali teriakan itu dijeritkan. Cepat
aku tutup kamus itu, tinggalkan meja, dan berlari naik tangga. Ruang dilantai
atas inilah yang digunakan sebagai kelas anak SD. Dari dalam Heni
menggedor-gedor pintu. Beberapa siswa histeris. Satu-dua anak menangis.
Selebihnya diam-diam takut. Dapat aku tebak betapa repotnya Heni menenangkan
murid-muridnya. Sampai-sampai ia juga ikut tegang.
Dan diluar langit tambah kelabu.
Hitam memekat mengurung kami dibawahnya. Petir-petir menggelegar, siap menghantam
apa saja yang dilaluinya. Kelas menjadi gelap. Suasana alam yang tak bersahabat
ini seolah-olah mengalirkan teror dalam dada murid-murid. Bahwa tak ada lagi
tempat aman diluar sana kecuali kelas ini. Seperti bumi didera perang. Saking
tak adanya tempat berlari mereka berpandangan satu sama lain.
“Sebentar”, sahutku, menandakan
keberadaanku.
Biasanya pintu kelas dilantai atas
ini tak pernah ditutup. Sengaja dibiarkan terbuka. Kuncinya rusak. Hanya
tuasnya saja yang terpasang dibalik daun pintu. Baik bagian dalam dan luarnya,
tak bergagang lagi, lepas entah kemana. Sebuah batu atau genteng diletakkan
dibawah pintu sebagai ganjalan. Mungkin salah seorang murid telah menendang
ganjalan itu. Heni tak sadar ganjalan itu hilang ditempat. Lalu begitu angin
bertiup cukup laju, pintu itu mengayun diam-diam, menyatu dengan kusennya,
menutup, mengurung mereka yang berada didalam.
Aku akali lubang kunci pintu. Sebuah
paku aku julur-julurkan masuk. Mungkin bentuk paku ini tak sesuai lubang
kuncinya, pintu tetap tak terbuka. Kemudian aku gebrak-gebrak juga pintu ini.
Aku hentak-hentakkan tubuhku keatas permukaan pintu ini. Seraya
menendang-nendangnya. Rupa-rupanya badanku tidak cukup kuat mendobrak pintu
itu. Yang terasa hanya sakitnya saja.
Jalan terakhir akupun menyarankan,
“Kalian keluar lewat pintu balkon saja”. Saran ini aku ungkapkan antara yakin
dan tak yakin. Hanya karena pintu, level kejantananku terungkap ke muka dunia.
“Apa?”, Heni tak habis pikir.
“Turun pakai pohon belimbing”. Dasar kau lelaki!
Aku tahu Heni menolak. Tapi cepat aku
tinggalkan pintu itu.
Pohon belimbing itu tumbuh didepan
teras rumah yang sempit, tepat disebelahnya pelang berdiri. Batangnya
kecil-kecil, bercabang-cabang, dan bercagak. Tiap kali ada buah masak langsung
aku petik dan makan ditempat. Lumayan pengganjal perut disaat-saat krisis.
Daunnya cukup rindang. Tiupan angin menggugurkan daun-daunnya yang kuning dan
tua. Lantai teras pun diseraki daun-daun kering. Kali ini pohon belimbing ini
aku gunakan juga sebagai tangga.
Heni pasang muka cemberut. Kentara
sekali ia ingin mengomel-ngomel. Kalau perlu menjitak kepalaku
sekeras-kerasnya. Tapi ia turuti juga saran bodohku itu.
Satu per satu anak kami turunkan.
Ulah saranku ini seperti menempatkan kami dalam kondisi serba sulit. Seperti
dalam film-film Hollywood, seolah-olah kami mesti mengungsikan banyak orang
dari wabah yang telah menjangkiti kota. Ini salah perhitunganku. Anom, kau pemuda
generasi masa depan, aneh pikiranmu begitu pendek. Padahal cuma urusan pintu,
tapi mengapa pula mesti serepot ini. Kau punya jerawat diwajah, tapi bukan
berarti mesti operasi plastik, kan?
Tak aku gubris pula bentak-bentak
suara batin itu.
Suara gemuruh di langit terus
menggelegar seperti mengejar-ngejar kami. Serentak anak-anak menjerit menimpali
gemuruh petir itu. Mereka ketakutan dan menangis. Mereka takut-takut menuruni
pohon belimbing, tapi situasi memaksa mereka berani. Kalau ada apa-apa tak ada
lagi yang bertanggung jawab kecuali aku seorang. Begitu hujan mengguyur, aku
bersyukur, semua anak berhasil diselamatkan.
Adzan maghrib mulai diperdengarkan.
Hujan mulai surut, basah disana-sini. Air menggenang dimana-mana. Dijemput para
orangtua, anak-anak pulang. Juga Heni. Malam ini sudah tak ada kelas lagi.
Tinggal aku sendiri disini, menjaga rumah kursus ini hingga pukul sembilan
malam. Barangkali saja ada satu-dua orang pendaftar baru. Ada pendaftar berarti
karunia. Kerjaku diberkahi.
Sejak aku bekerja disini aku tahu
rumah kursus ini diambang krisis. Satu persatu siswa keluar. Satu dua orang
guru mengundurkan diri. Beberapa kelas ditutup. Yang tersisa digabung dengan
kelas lainnya. Peristiwa pintu tertutup tadi menjadi awal ruang dilantai atas
tak digunakan lagi. Kelas itu terbengkalai. Lama-lama debu dan sarang laba-laba
menghiasi kelas itu. Pak Mamet tetap pada ambisinya; punya gedung sendiri.
Seringkali aku juga merasa tidak
betah kerja disini. Demi melunasi hutang-hutangku pada Pak Mamet aku mesti
bertahan.
Langit jauh disana terasa teduh. Tampaknya adzan pawang paling ampuh
mengatasi hujan setelah bumi digempur habis-habisan peluru air dari langit.
Hujan, gemuruh petir, angin, kilat seperti bentuk amarah dari langit. Kini alam
kembali tenang. Damai tapi sunyi.
Pintu garasi ditutup. Aku pastikan
juga pintu dan jendela terkunci semua. Lampu-lampu aku matikan. Beginilah
caraku mengurung diri sendiri di rumah ini. Tanggung jawab kebersihan dan
keamanan rumah ini berada diatas pundakku. Begitupula beres-tidaknya
administrasi. Memang rumah ini bukan tempat menetap, tapi sebagai penjaga rumah
kursus ini, tentu saja, disinilah aku tinggal.Baca juga part lainnya; Berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar