Halaman

Selasa, 31 Mei 2016

MATA KOLAM: Perempuan Itu Menginap di Kamar Lelaki Impoten ( 3 )

            Kejantananku sebagai laki-laki dipertaruhkan malam tahun baru ini.
           Mata ini benar-benar tak bisa dipuaskan. Semenjak tumbuh menjadi lelaki puber baru kali ini aku mendapatkan kesempatan dahsyat; duduk berhadap-hadapan dengan seorang perempuan. Aku tak bisa membohongi naluriku sendiri. Ia cantik, bening, dan mulus. Di hadapan keindahan ini aku tak tahu bagaimana cara menatapnya. Aku ingin memuaskan sepasang mata ini.
            “Kenapa?”, kata perempuan itu tiba-tiba menatap kearahku.
         Merasa kepergok, cepat-cepat aku menurunkan pandanganku dan mengedipkannya. “Mau teh?”, tawarku agak gugup dan malu.
            “Tentu,” ia mengangguk.
            “Sebentar aku buatkan.”
            Aku menuju dispenser dan menuangkan air panas kedalam gelas. Perempuan itu masih asyik menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan selembar handuk kecil. Ia mengenakan kaosku yang tampak longgar dikenakan. Tubuh kurusnya agak tenggelam dibalik kaos itu.
            “Namaku Namira,” ucapnya.
            Sambil mengaduk-aduk teh dalam gelas, aku pun menyebutkan namaku.
          Malam tahun baru kali ini sungguh istimewa; satu insiden diikuti dengan satu anugerah. Dalam keadaan basah kuyup dan gigil, berjalan terseret-seret melewati kerumunan orang-orang, menghindari tatapan dan bisik-bisik mereka, aku berhasil membawa seorang perempuan masuk kedalam kamar kostku. Lalu aku membiarkannya mengeringkan diri dan berganti baju di dalam kamar ini.
           Aku pikir apa yang aku lakukan ini sudah benar. Tak mungkin aku meninggalkannya di tengah kerumunan manusia dan membiarkannya masuk angin. Ini adalah tanggung jawabku dan sudah seharusnya aku berterima kasih.
     Aku sajikan segelas teh hangat itu dihadapannya. Uap teh yang meliuk-liuk di udara menghantarkan aroma sedap ke dalam hidung kami. Aku tahu berdua di dalam kamar dengan seorang pria mungkin membuat Namira takut. Aku harap sikap ramahku ini dapat membuatnya lebih nyaman. Meski akhirnya malah aku yang merasa canggung sendiri.
          “Terima kasih,” senyum Namira malu-malu.
        “Tidak. Seharusnya aku yang berterima kasih. Tanpa kamu mungkin aku sudah mati tenggelam.”
          Kemudian suasana kembali hening. Kami benar-benar berdua di sini. Diantara kami, satu sama lain, saling melirik dan memandang dengan perasaan malu, takut, dan ragu. Kami bagaikan sepasang manusia polos, yang belum mengalami sekalipun hubungan antara laki-laki dan perempuan di malam pengantin mereka.
         Hanya saja aku masih tak habis pikir. Tak mungkin gadis semanis ini datang seorang diri ke pesta tahun baru di pusat kota. Biasanya gadis semacam ini datang bersama pacar atau teman-temannya. Setidaknya bersama keluarga.
       “Apa yang mendorongmu berani terjun ke dalam air di malam tahun baru ini?” tanyaku kemudian.
           “Karena ada seseorang yang perlu ditolong,” jawabnya sederhana. “Seorang lelaki yang tak pandai berenang.”
            “Kau meledekku,” aku tertawa jengkel. “Aku pikir siapapun juga pasti berpikir berulang kali merayakan tahun baru dengan basah-basahan.”
          “Menolong orang tidaklah perlu berpikir,” timpal Namira. “Cukup dengan rasa. Menolong dengan berpikir hanya dilakukan oleh orang-orang yang mengatas-namakan hak asasi manusia. Tak ada keikhlasan. Tak ada ketulusan.”
         Akhirnya dalam keheningan berikutnya kami bisa saling bertatapan lebih dalam. Kami menyelami pancaran sinar mata kami masing-masing. Dalam pertemuanku dengan gadis ini, takdir seperti mengingatkanku; diusia hampir tiga puluh aku perlu seorang perempuan untuk dijadikan sebagai jodoh. Tapi aku tahu ditolak perempuan pasti lebih menyakitkan tinimbang ditolak penerbit atau media.
            Mungkin Namira tak melihat sedikitpun pesona dalam wajahku, akhirnya ia mengedarkan pandangannya ke sisi-sisi ruangan. Aku berharap ia menganggap kamarku bersih dan nyaman. Lalu ia bertanya, “Sudah lama tinggal di sini?”
            “Lumayan,” kemudian dengan sedikit lancang aku bertanya, “Kau punya pacar?”
            Tiba-tiba Namira terbatuk-batuk. “Boleh aku minum tehnya?”
        Dengan sigap aku membantu mengangkat gelas berisi air teh itu dan membiarkan Namira meminumnya sendiri. Aku merasa bersalah bertanya demikian. Aku menimbang-nimbang untuk meminta maaf hingga akhirnya aku urungkan.
            Tiba-tiba Namira bilang padaku, “Boleh malam ini aku menginap?’”
            Rasa-rasanya sepasang telingaku ini salah dengar. Aku terperanjat. Ini sulit aku mengerti. Aku pikir ada sesuatu hal yang mengguncang pikiran perempuan ini. Kalau ia baik-baik saja, ia pasti minta diantarkan pulang segera. Aku melihat sepasang bola matanya yang sendu, yang tampak memohon padaku, menyimpan sebuah kegetiran.
            “Kamu tidak keberatan, kan?”, mintanya lagi.
          Pernah di tempat kostku dulu seorang pria membawa masuk pacarnya ke dalam kamar. Ia kepergok. Tak hanya dimarahi habis-habisan, ia juga langsung diusir oleh induk semangnya. Apabila aku mengalami hal serupa malunya sungguh tak tertanggungkan. Aku betah disini. Jarang-jarang di Jakarta ada tempat kost senyaman tempat tinggal aku sekarang.
            Seharusnya aku menolak, tapi aku malah menggeleng; aku tidak keberatan. Pertimbanganku sederhana saja; induk semangku tak ada di sini. Ia merayakan tahun baru di Bogor bersama anak-cucunya. Tapi melihat kecantikan wajah dan kemulusan kulit tubuhnya, aku tahu ada alasan lain aku mengizinkannya menginap di kamarku.
            “Terima kasih,” ucap Namira malu-malu. “Maaf, aku merepotkan.”
         Seperti orang yang tak bisa berpikir apa-apa lagi, aku bilang, “Tidak apa-apa. Aku harap kamarku tidak bikin gatal-gatal.”
            Seraya aku keluar dan menutup pintu pelan-pelan. Aku mengelus dada dan menghembuskan nafas lega.
            Diam-diam, melalui lubang kunci pintu, aku mengintip ke dalam kamar. Namira mengibaskan rambut panjangnya ke samping, kemudian ia meliuk-liukkan kepalanya. Gerak-geriknya sungguh memukau dan menggairahkan. Rasanya aku baru berhasil menangkap hewan buruan, menguncinya rapat-rapat dalam kandang, lalu tinggal sesuka hatiku memperlakukan hewan buruan itu bagaimana. Begitu ereksiku memuncak, tak tahan aku ingin menerkamnya.
            Tiba-tiba sebuah tangan menepuk-nepuk bahuku. Karena kaget, refleks aku berbalik. Setelah berpisah menonton panggung hiburan, akhirnya Kris kembali berada dihadapanku. Tegap-tegap aku berdiri menjaga pintu. Jantungku berdebar-debar. Kehadiran induk semang telah aku pertimbangkan, tapi Kris luput dari ingatanku. Sorot mataku waspada menghadapinya.
            “Kenapa?” tanyanya curiga.
            “Tidak apa-apa,” jawabku gugup, sulit menguasai diri sendiri.
            Kris memicingkan matanya. Ia penasaran. Ia mendorong-dorongku, memaksaku menyingkir, dan berusaha menjangkau gagang pintu. Aku bertahan. Ternyata Kris lebih kuat. Ia berhasil mendorongku jatuh, lalu segera ia buka pintu. Tampangnya melongo kaget. Ia tak percaya melihat siapa yang berada dalam kamarku. Namira yang tengah berbaring langsung terhenyak bangun. Cepat Kris menutup pintu itu kembali.
            “Bajingan!” umpatnya padaku.
            Aku mendesis dengan menempelkan telunjuk diatas bibirku. Dengan suara lebih rendah Kris bilang, “Pintar sekarang. Mentang-mentang nggak ada Ibu kost kamu bawa perempuan kemari.”
            “Jangan pikir macam-macam,” bisikku menyanggah. “Ini hanya kebetulan.”
            “Kebetulan ini malam tahun baru dan kebetulan juga Ibu kost lagi ke Bogor”.
            “Baik,” aku coba tenangkan keadaan. “Kamu duduk dulu dan aku akan cerita.”
            Dari kejauhan suara musik kemeriahan tahun baru pelan-pelan lenyap. Aku mendengar suara derap langkah di luar dan sayup bunyi orang mengobrol baru pulang dari pesta tahun baru. Sisa dini hari itu aku habiskan menceritakan kembali pengalaman bodohku itu. Kris tertawa-tawa. Ia baru sadar lelaki yang jatuh masuk ke dalam kolam tadi adalah aku.
            “Terus sudah berbuat apa saja dengan perempuan itu?” godanya makin jahil.
            “Aku lelaki baik-baik, tahu!”
            “Aku percaya,” ia cengengesan menertawaiku. “Lelaki impoten mana mungkin berani jantan pada seorang perempuan.”
            “Sialan,” aku dorong ia hingga jatuh tersungkur ke belakang.
        Sekitar jam sembilan pagi aku mengantarkan Namira pulang. Sebelum Ibu kost pulang, semuanya harus beres. Membawa teman laki-laki menginap paling-paling kena denda alias tambahan uang kost. Tapi kalau itu perempuan bisa-bisa aku kena hardik dan usir.
            Menuju pintu depan, kami berjalan mengendap dan waspada takut-takut Ibu kost sudah pulang. Beruntung semuanya aman terkendali. Di depan Plaza Indonesia kami berpisah. Tapi aku lupa meminta alamat dan nomor telepon gadis penolongku itu.

Bagian lainnya dibaca di sini; Sebelumnya

Sabtu, 14 Mei 2016

MATA KOLAM: Si Jomblo Kecebur Kolam ( 2 )

          Tahun baru? Apa istimewanya? Kira-kira adakah alasan aku pantas merayakannya?
          Malam pergantian tahun baru kali ini aku memilih mengurung diri di dalam kamar kost, duduk didepan komputer, dan mulai mengetik. Dari tahun ke tahun inilah ambisiku; menyelesaikan sebuah tulisan dan mendapatkan pengakuan.
          Mengingat tahun-tahun belakang, aku tak cukup punya alasan merayakan tahun baru malam ini. Pikiranku pesimis; paling-paling keadaanku begini-begini saja, sedikit kegembiraan dan petualangan kecil. Takkan banyak berubah. Bukannya aku hidup tanpa arah dan rencana. Ambisiku jelas. Hanya saja selalu gagal. Kenyataan tak memberikanku lompatan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Aku terjebak dan jalan ditempat.
            Kerap aku menertawakan diri sendiri. Aku merasa hidupku seperti seorang penulis betulan; menjauh dari keramaian, berteman sunyi, merenung, lantas berpikir. Aku manusia merdeka, tapi terbelenggu.
          Aku telah gagal berkali-kali. Menjadikan mentalku lemah dan tertekan. Rasa percaya diriku hilang. Meski banyak ide berkelebat-kelebat di kepala, aku tak bisa langsung menuliskannya. Biasanya aku biarkan dulu ide-ide itu mengendap dan meresap masuk  ke dalam otak, menunggu diri sendiri yakin. Lagi pula aku merasa kesulitan merangkai kalimat per kalimatnya. Tak tahu harus memulainya seperti apa. Begitu berhasil dituliskan, aku juga tak langsung yakin. Kembali aku baca berulang-ulang walau sekalimat. Selalu apa yang aku tulis ini terasa jelek dan tak layak.
         Aku bingung. Rasa-rasanya ingin aku copot kepala ini dari lehernya.
       Pintu diketuk. Dengan gundah aku buka. Kris sudah berdiri diluar. Dandanan dan penampilannya necis habis. Semangatnya membuatku iri. Ia pasti butuh waktu berjam-jam hanya untuk menyisir dan meminyaki rambutnya. Ia sudah siap keluar malam ini dan menebar pesona pada setiap wanita yang ditemuinya nanti.
          “Ayo,” ajaknya. Ia kedip-kedipkan mata dan alisnya bergoyang naik turun seolah-olah minta pendapatku bagaimana gayanya malam ini.
          “Aku tidak keluar malam ini,” ucapku malas.
          Agak tercengang ia menatapku, lalu ia tertawa habis-habisan. “Di malam tahun baru, seorang pemuda mengurung diri didalam kamar kost?”, singgungnya. Ia menepuk pipiku. “Mau jadi apa pemuda semacam itu kelak. Ayolah! Kita keluar malam ini seperti orang-orang. Jangan sumpek-sumpek melulu. Mumpung masih muda. Kalau tua mana bisa?”.
          “Tahun baru,” balasku sinis, “kebanyakan orang paling-paling tahunya hanya ganti kalender saja. Kalau sekedar pergantian angka, aku bisa saja tiap saat merayakan pergantian tanggal atau bulan.”
         Kris tertawa. Aku tahu ia melecehkan. “Tapi kau tak cukup punya uang untuk merayakannya, bukan? Apalagi pesta tiap saat. Ini tahun baru, Yus. Banyak hiburan gratis.”
         “Tahun baru bukan momen istimewa. Lagi pula tahun baru belumlah berjalan. Ia belum memberikan apa-apa. Kecuali janji dan harapan. Sementara di dalam janji dan harapan dapat terjadi banyak kemungkinan. Tahun baru; apakah itu artinya kita merayakan ketidak-pastian? Mengapa kita merayakan sesuatu yang belum pasti? Lebih tepat tahun baru itu dijadikan awal dari peringatan,” ceramahku mentah-mentah. Melirik raut muka Kris, aku tahu ia menolak isi ceramahku itu.
          Peringatan, pikirku kembali, bukan perayaan. Berapa umurku sekarang? Diusia sebanyak ini aku cocok memasuki usia pernikahan, bahkan memiliki seorang anak. Anak teman-teman sekolahku saja sudah besar-besar. Aku tak tahu diusia berapa mereka menikah. Tiga tahun lagi aku menginjak usia tiga puluh. Usiaku sudah mencapai dewasa, bukan remaja. Diusia sebanyak ini seharusnya aku punya karir yang menjamin, setidaknya punya satu-dua karya yang dilirik dunia. Kenyataannya aku belum menjadi apa-apa.
          Bagaimana kalau-kalau umurku tak mencukupi untuk menghasilkan sebuah karya? Sementara kesempatan tak selalu datang. Tahun baru sungguh momok mengerikan. Ia menambah angka ketuaan umurku sekaligus mengurangi sisa hidupku. Sedetikpun aku tak boleh menyiakan waktu. Untuk memanfaatkan tiap detiknya aku menulis. Tak boleh tidak.
         “Kita tak selalu mendapatkan hiburan besar-besaran seperti malam tahun baru, Yus”, kilah Kris kembali.
          “Bersenang-senanglah,” tukasku. Sebelum Kris terus memaksaku, aku dorong ia keluar dan tutup pintu kamar.
          Kris tinggal tepat disebelah kamar kostku. Ia tetanggaku satu-satunya. Tak ada yang lain. Memang disini hanya terdapat dua pintu kamar kost. Kelihatannya induk semang kami tak terlalu membutuhkan uang. Padahal kalau mau ia bisa menjadikan lantai atas rumahnya ini lima pintu kamar kost. Karena ia tinggal sendiri dan anak-anaknya sudah berumah tangga semua, mungkin motivasi induk semang kami membuka kamar kost ini lebih didasari kondisi mentalnya. Ia tak mau kesepian di masa tuanya, juga tak mau suasana ramai-ramai. Sekaligus biar lantai atas rumah ini tak menjadi sarang tikus atau laba-laba.
          Kamar kostku ini terbilang nyaman dan leluasa. Seperti berada di rumah sendiri. Diluar pintu kamar kost juga disediakan sofa dan sebuah rak berisi buku dan majalah. Suasana yang tenteram dan hening sangat cocok dengan hobi menulisku.
          Mendapatkan kamar kost seperti ini di Jakarta sungguh untung-untungan. Kebanyakan teman kerjaku mengeluhkan kamar kostnya; bentuknya seperti kandang ayam, kebersihan tempat, air mandi berbau comberan, hingga tikus-tikus sebesar kelinci yang doyan makan sabun dan odol. Tak heran kami mudah terserang penyakit gatal-gatal dan sesak nafas. Kualitas hidup kami di Jakarta sangatlah rendah.
Itu sangat tak sesuai dengan mahalnya harga sewa kamar per bulan, juga tak sebanding dengan pemasukan kami bekerja di Jakarta ini. Hampir-hampir uang gaji kami habis untuk membayar kamar kost sekelas kandang kambing. Biasanya untuk menghemat, kami kost bareng-bareng, tidur berbaris diatas tikar bersama-sama seperti ikan cue asap yang dimasukkan kedalam keranjang bambu kecil. Begitu merasa tidak betah kami segera pindah kost. Itu kerap kami lakukan untuk mencari tempat yang lebih baik lagi. Malangnya, untuk orang-orang sekelas kami mendapatkan kost dengan air mandi berbau kaporit dan gampang keluar masuk jamban sudah lebih mencukupi.
Ketika aku mencari kost baru dibelakang gedung Grand Indonesia, tiba-tiba seorang wanita penuh baya memanggilku dari balik pintu sebuah rumah. Sebagian besar rambutnya memutih, agak bungkuk, dan jalannya tertatih-tatih. Ia bertanya apakah aku sedang mencari kamar kost. Aku mengangguk. Lalu ia membawaku kedalam rumahnya dan menuduhkan sebuah kamar kosong di lantai atas. Kamar ini seperti umumnya kamar kost di Jakarta; setengah dindingnya tembok, setengahnya lagi papan. Tapi lebih rapi dan bersih. Sebelum aku huni, harga sewanya juga dapat aku tawar. Si ibu bersedia menurunkannya sedikit. Jelas tujuannya menyewakan kamar ini bukanlah uang----sesuatu hal yang teramat langka di kota kapitalis dan materialistis seperti Jakarta ini. Aku bersyukur akhirnya aku punya kamar kost yang layak daripada teman-temanku. Dan aku tinggal sendiri. Rasanya lebih bebas daripada sekamar bersama. Lagi pula aku tak mudah percaya sama orang lain. Apalagi aku hobi menulis. Aku butuh banyak-banyak waktu sendiri.
          Akhirnya disinilah aku bertemu dan berkenalan dengan Kris.
Dari tadi duduk didepan layar komputer belum satu  kalimat pun berhasil aku ketik. Begitu aku mengetikkan sebuah kalimat langsung aku hapus lagi. Biar para pembaca terus tertarik membaca tulisanku sampai akhir, aku harus memulainya dengan kalimat yang bikin penasaran. Teknik itu aku dapatkan saat mengikuti pelatihan-pelatihan menulis. Tapi ternyata itu cukup sulit. Apalagi selera tiap orang bermacam-macam. Bagus menurut seseorang, belum tentu orang lain juga sepakat.
         Memikirkan teknik justru membuatku terjebak. Pikiranku malah berputar-putar. Rasa minderku bertambah-tambah. Mengapa pula aku mesti menulis? Apa motivasiku menulis? Uang? Popularitas?
          Memangnya menulis bisa menghasilkan uang, Yus? Kalimat semacam itulah yang ibu sindir-sindirkan padaku.
Aku bukanlah anak yang dilahirkan dari kalangan berada apalagi kaya. Orangtuaku tak memiliki banyak harta untuk diwariskan pada anaknya. Ibu menginginkan aku, anaknya, bekerja sewajarnya, melakukan sesuatu yang pasti-pasti saja. Seperti kebanyakan orang bekerja di pabrik dan mendapatkan gaji per bulan. Kalau cukup pintar bukalah usaha sendiri. Aku pernah mencobanya. Meski aku punya gaji lumayan, aku masih merasakan sesuatu yang kosong dalam jiwa. Pekerjaan buruh tak mengenal dinamika. Hidup sekedar menunggu gaji belaka dan belas kasihan tuan besar. Melihat para buruh berbondong-bondong demo ke ibukota makin menjelaskan padaku; buruh hanya cukup kenyang.
         Berwiraswasta pun aku tak punya kemampuan. Menghitung berapa keuntungan dan kerugian bukanlah sesuatu hal yang aku sukai. Sukses tak harus berharta dan berpangkat besar. Aku hanya ingin menjadi manusia bebas berpikiran, tak terikat oleh kekangan norma-norma, bebas dari hukum ciptaan tangan manusia, berpetualang kemanapun mengikuti kesejatian hidup. Aku ingin melihat hidup lebih sebagai ilmu, bukan peluang.
            Peluang. Aku selalu meringis mendengar dan membaca kata itu. Aku tahu posisi kata itu lebih tinggi dari uang dan untung.
          Untuk menghindari Ibu, aku melarikan diri ke Jakarta dan bekerja di sebuah restoran. Rupa-rupanya disini aku malah dikutuk oleh sumpahku sendiri. Bekerja sebagai pelayan restoran juga termasuk pekerjaan buruh. Waktuku tersita untuk mengikuti peraturan di tempat kerja. Kamera yang terpasang disudut ruangan bak sosok pengintai. Seolah dianggapnya kami ini binatang rakus yang tak pernah kenyang. Hidupku berjalan berulang-ulang; bangun pagi, berangkat kerja, pulang, tidur, dan bangun lagi. Waktuku sempit untuk menilai peristiwa-peristiwa. Tak berwarna dan seutuhnya suram. Aku tak bisa menghindari rutinitas ini demi memenuhi kebutuhan hidup. Kadang aku berpikir ini cerminan ego pribadi karena hasilnya hanya cukup untuk perut sendiri. Setidaknya, jauh dari orangtua, aku merasa terhindar dari sindiran-sindiran.
         Jujur saja barangkali tujuanku menulis tak lain dari uang. Tapi mengingat berkali-kali gagal, rasa-rasanya ini lebih dari sekedar uang. Meski menulis tak menjanjikan pangkat dan harta, malahan menguras isi kantong, nyata-nyatanya aku masih saja menulis. Kata per kata, kalimat per kalimat, yang aku tuliskan itulah hidupku. Inilah sepenuh jiwaku. Aku mengerti; arti kesuksesan bagi seorang penulis akan lain dari sewajarnya. Karena ia adalah pencipta, pembangun, perancang. Ia tak memerlukan peluang untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Seorang penulis mesti rela dipandang orang sebagai manusia gagal seumur hidup.
         Persoalannya, dengan menulis, apakah Ibu akan bangga padaku? Bisakah aku membanggakannya? Seperti yang lainnya, mungkin Ibu menganggap kalau menulis dan membaca adalah pekerjaan para pemalas; banyak berpikir tapi tak tahu kerja. Kalau aku terus menulis rasa-rasanya aku menjadi manusia paling egois. Lebih mementingkan diri sendiri. Dan pemikiran ini membuat otakku kehilangan daya cipta. Pikiranku sulit terpusatkan, melayang-layang tanpa arah tujuan.
         Sekali lagi aku hapus kalimat pembuka yang berhasil aku tulis. Kris ada benarnya. Untuk menjernihkan pikiran kembali, aku butuh keluar dan menghirup suasana baru. Himpitan dinding-dinding kamar kost takkan mampu memberikan banyak ilham. Begitu aku matikan komputer, langsung aku ambil jaket dan keluar.
         Ternyata Kris belum berangkat. Ia duduk diatas sofa sambil asyik pencet-pencet telepon genggamnya. Ia agak terkesiap melihatku menutup pintu dan menguncinya dari luar.
           “Mau kemana?”, Kris terlonjak dari duduknya. Matanya mengharap.
           “Keluar.”
            Apa?”
           “Kamu belum berangkat?”.
           “Nggak ada teman buat diajak jalan bareng”.
Jadilah kami berangkat bersama untuk melihat kembang api tahun baru.
Malam menjelang pergantian tahun di belakang gedung Grand Indonesia sunyi senyap. Deretan pintu-pintu rumah disepanjang gang hampir tertutup semua. Nyala kekuningan lampu-lampu pijar menambah merana suasana. Kamar-kamar kost terkunci. Hanya warung-warung kecil yang masih buka menunggu pembeli. Masjid dan mushalla yang terjepit diantara deretan rumah bisu ditinggalkan jemaah. Tanpa derap langkah kaki dan ribut-ribut suara manusia, tikus-tikus sebesar kelinci tampak lebih leluasa keluar sarang, berjalan dipinggiran got, merayap-rayap naik keatas dinding mencari makan. Dibalik atap-atap rumah tersembul julangan gedung-gedung pencakar langit Jakarta, lampu didalamnya berkedip-kedip, memancing warga mendekat mencari keramaian dan kemeriahan.
          Kelihatannya hampir semua orang bersuka cita, apalagi pemuda dan pemudi, kompak meninggalkan rumah masing-masing menuju keramaian acara pergantian tahun baru diadakan.
        Seorang gadis berambut panjang tampak gembira menutup pintu pagar, lalu ia duduk diatas sepeda motor dibelakang punggung lelaki berjaket kulit. Kemudian lelaki itu menyodorkan helm sambil tersenyum. Begitu si lelaki melajukan motornya, gadis itu memeluk erat-erat pinggangnya. Kami menepi mempersilahkan sepeda motor itu melaju didepan kami. Kebersamaan mereka membuatku iri. Dilihat-lihat usia mereka lebih muda dariku.
       Aku perhatikan motor itu hingga berbelok ditikungan depan gang. Seumur-umur aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya punya pacar, bermanja-manja, dan saling mengucapkan kata sayang dan cinta. Jomblo sejati. Pasti menyenangkan memiliki seorang perempuan yang selalu memperhatikan, meski terkadang sikapnya seperti seseorang yang selalu ingin tahu saja urusan orang lain. Rasa minder terhadap perempuan membuatku betah sendiri. Padahal aku kesepian.
          Kris menepuk bahuku. Aku menggeregap. Secara refleks mataku mengedip sekali, lepas dari lamunan.
         “Kenapa?”, ledek Kris kembali. “Naksir sama gadis itu?”.
          Aku tahu Kris juga ikut memanjangkan lehernya memperhatikan sepeda motor itu hilang ditikungan gang. Kris berasal dari jenis lelaki pandai mengoceh. Seringkali ocehan-ocehannya itu mengganggu telingaku. Diantara orang-orang yang kukenal dan teman-temanku di Jakarta, Kris adalah teman paling dekat. Karena selain ocehannya menganggu, juga cukup mampu menghiburku. Ia juga menghibur dirinya sendiri dengan segala omong kosongnya seolah-olah cara itu cukup ampuh menutupi kekurangannya. Sementara aku berasal dari jenis lelaki pendiam yang bahkan tak tahu bagaimana caranya menghibur diri sendiri. Aku pemurung.
           “Mungkin,” jawabku tak peduli.
            Kris tertawa jahil. “Beginilah nasib jomblo sejati. Cuma bisa mengagumi dari jauh.”
           “Jomblo atau tidak itu pilihan”, tukasku.
           “Hanya saja pilihan paling terbuka itu menjomblo, bukan?”
           “Kalau sama-sama jomblo tak perlu saling ledek.”
           “Kalau mau aku bisa saja punya pacar. Masalahnya aku cepat bosan. Karena watak playboy dari lahir aku memilih sendiri, takut menyakiti hati wanita dan disangka bajingan.”
         Mulailah ia membual dan menyombong-nyombongkan diri. Aku menatapnya jijik. Playboy? Tampang senorak itu lebih pantas sering diserang patah hati dan mesti kuat-kuat memendam perasaan batin karena cinta tak pernah sampai.
Tapi begitulah cara Kris menghibur dirinya sendiri, melupakan getirnya hidup barang sesaat. Berpura-pura itu kuncinya. Aku mengerti betul sikapnya. Tapi kali ini emosiku tersulut. Tak tahan mendengar ocehannya, aku dorong ia ke samping. Hampir saja ia terjerembab jatuh masuk got. Begitu berhasil menyeimbangkan tubuhnya kembali, ia mengekor dibelakang. Lalu kami masuk ke sebuah warung, membeli sebungkus rokok.
          Keluar gang, suasana metropolitan langsung menyapa kami. Gang tempat kami keluar ini seperti lubang tikus yang menghubungkan sekaligus batas dua sisi kota yang berlainan; kemegahan dan kesederhanaan, kemakmuran dan kemiskinan. Dari tempat temaram, pengap, dan sumpek kami seperti disulap menuju gemerlap dan kemeriahan pergantian tahun.
Cuaca ibukota malam ini cukup bersahabat. Meski tak berbintang, karena nyala lampu-lampu kota, langit cukup terang dan menjanjikan kecerahan. Kabarnya jalan Sudirman-Thamrin ditutup sejak sore tadi untuk lalu lintas kendaraan dan beberapa panggung hiburan dibangun disejumlah titik sepanjang jalan ini. Jakarta benar-benar telah berbenah sebelum matahari tenggelam demi menyambut tahun baru ini.
          Malam ini sungguh cocok buat keluar dan bersenang-senang. Aneka ragam manusia seperti ditarik langsung dari pintu rumahnya masing-masing, berlomba-lomba melangkah, dan berbaur antara satu dengan yang lainnya. Wajah mereka menyimpan suka cita, mata berseri-seri, seolah-olah tak ada hal yang patut dikhawatirkan. Erat-erat seorang ayah menggendong anaknya sementara sang ibu menuntun anaknya yang lain. Sepasang kekasih tanpa malu-malu bergandengan tangan dan berangkulan. Ada pula yang datang bersama rombongan teman-temannya. Gerobak-gerobak penjual minuman dan makanan terparkir diatas trotoar dan disepanjang bahu jalan. Akibatnya persimpangan jalan Bundaran HI berubah menjadi alun-alun kota.
          Aku dan Kris jalan beriringan menuju Bundaran HI. Disana, tepat didepan gedung Plaza Indonesia dan Grand Hyatt dibangun sebuah panggung hiburan. Sebenarnya aku tak begitu berminat menonton aksi panggung para artis menyanyi. Begitu banyaknya penolakan yang aku alami, aku tak tahu lagi hiburan macam apa yang bisa membantuku melepas penat ini. Sekeren apapun penampilan mereka nanti, aku sudah dapat merasakan musik-musik mereka hanya menimbulkan kebisingan ditelinga. Dari sekian banyak orang yang aku perhatikan, kelihatannya hanya aku seorang yang tak berbahagia.
          Kris menerobos lautan penonton yang berdiri gembira didepan panggung hiburan. Ia senggol dan sodok kanan-kiri demi mendapatkan tempat terdepan. Jarang-jarang ia merasakan suasana semeriah ini. Lain dari diriku. Aku memilih tempat agak jauh dari kerumunan orang-orang, mencari-cari tempat longgar, dekat kolam air mancur yang berada tepat ditengah-tengah persimpangan jalan. Aku cukup perhatikan seorang pria diatas panggung memandu para penonton menghitung mundur menuju pukul dua belas malam tepat.
          Seketika ratusan kembang api melesat cepat ke angkasa. Pekatnya langit mendadak ramai. Suara letusan mengelegar di telinga bak membelah keheningan langit dan malamnya. Percikan bunga api berhamburan. Dibawahnya menderu-deru suara riuh, sorak, dan tepuk tangan sekumpulan manusia. Akhirnya aku ikut bergembira juga, takjub menyaksikan kemeriahan pesta kembang api ini. Kepalaku menengadah keatas langit seperti berharap percikan bunga api itu jatuh tepat diatas kepalaku. Diam-diam aku percaya hal demikian membawa berkah dan keberuntungan.
          Saking terpesonanya melihat langit, tiba-tiba kakiku menjejak pada pinggiran kolam yang licin. Tubuh dan kakiku seperti digelitik tangan-tangan gaib, bergerak-gerak mempertahankan posisi dan keseimbangan. Merasa sulit untuk terus mengendalikannya akhirnya aku tergelincir dan jatuh ke dalam kolam air mancur. Seketika riak besar tercipta di permukaan kolam.
Sekumpulan air berbau anyir mengepung dan terasa menarik-narikku kedalam dasarnya. Rasa-rasanya begitu banyak air yang masuk kedalam lubang telinga dan hidungku. Juga terminum oleh mulutku. Aku tercekik dan sulit bernafas. Sepasang kakiku bergerak-gerak dalam tekanan air tanpa harapan. Tanganku menggapai-gapai udara dengan liar, berusaha membuat kepalaku tetap berada diatas permukaan air dan mendapatkan udara.
          “Tolong! Tolong!”, lolongku seperti orang tercekik.
          Lalu, dari kemeriahan letusan kembang api diatas langit perhatian orang-orang teralih padaku. Mereka melihatku panik dan ketakutan. Repot-repot mereka mengenakan pakaian terbaik dan merasa bingung apakah mereka harus merusak penampilan mereka dengan menceburkan diri menolongku. Masing-masing mereka saling mengandalkan dan menunggu seseorang yang lain untuk menolongku. Sekian detik aku masih terus berusaha menyelamatkan nyawaku dan hampir-hampir putus asa, lalu merasa yakin mungkin beginilah nasib akhir hidupku; mati konyol.
          Sekelebat bayangan muncul dari balik kerumunan orang-orang. Ia berlari, melompat, dan tubuhnya melengkung di udara seperti atraksi seekor lumba-lumba melompati lingkaran besi berapi. Seperti kecebong rawa cepat ia berenang kearahku, menangkap badanku, dan membawanya ke tepi. Kemudian aku naik ke pinggiran kolam air mancur sambil terbatuk-batuk kecil. Di bawah temaramnya cahaya lampu nafas penolongku tersengal-sengal dan dadanya naik turun. Aku tahu ia pasti mengerahkan seluruh tenaga dan keberaniannya untuk mengangkat badanku dari tekanan air kolam ini. Lalu ia menyingkirkan rambut panjangnya yang menutupi sebagian wajahnya. Aku terpukau; ia seorang gadis. Ia tampak kelelahan dan kedinginan. Demikian juga aku; kuyup seluruhnya.
          Kini dunia telah menyaksikan kelemahanku dan aku merasa malu; seorang lelaki tak pandai berenang dan malah ditolong oleh seorang perempuan.

       Dunia benar-benar telah terbalik.

  Bagian lainnya baca disini;  Sebelumnya   Berikutnya