Halaman

Rabu, 26 Februari 2014

SURAT IJAZAH eps AMPLOP GAJI

        Menjelang maghrib, langit pelan-pelan menghitam. Siluet-siluet lembayung menggores ditepian langit. Semua kelas kursus selesai. Murid-murid sudah pulang. Selesai mengajar, Heni dan Dinda duduk di ruang kerjaku. Mereka muda seumuran, masih kuliah, dan menunggu lelaki yang siap meminang. Mereka tengah sibuk merapikan kerudung masing-masing. Tak lain dari diriku, mereka juga menunggu kedatangan Pak Mamet. Gaji memang sudah terlambat seminggu.
          Mobil Suzuki Carry warna silver berhenti didepan. Kedua perempuan itu menengok kedepan, seraya berteriak kedalam, “Pak Mamet datang!”
          Dibantu Agus makan, lekas aku habisi mieku; sebungkus mie rebus disantap berdua. Secara bergilir, kuahnya kami teguk langsung dari mangkuknya. Kami keluar dan pandangan kami sama-sama tertuju pada Suzuki Carry yang terparkir dibalik pagar rumah.
         Pak Mamet turun dari mobilnya itu. Ia masih mengenakan baju seragam gurunya. Tubuh dibalik seragam itu bulat dan pendek, perutnya buncit, kulit sawo matangnya tampak lebih gelap dan kusam dibawah sinar lampu, tampangnya lesu, lebih lusuh dari pakaian seragamnya. Kelesuan itu lebih kepada banyak pikiran daripada lelah. Kentara ia butuh banyak-banyak istirahat untuk melepaskan penatnya. Agak gugup aku menyalami tangannya.
          Aku tahu kedatangan Pak Mamet kemari tak sekedar membagi-bagikan amplop gaji. Juga memeriksa bagaimana aku bekerja disini. Apakah kerjaku memuaskan? Sekaligus mendikte apakah aku termasuk orang jujur?
          Ia sandarkan tubuhnya keatas kursi, menghembuskan nafasnya sekali, lalu melihat kami satu-satu. Sejenak matanya menerawang keatas langit-langit. Seperti berpikir keras-keras. Garis-garis keriput menghiasi keningnya yang lebar. Ia tampak begitu lelah. Lebih dari fisiknya, batinnya lebih lelah lagi. Ia memendam segala kesialan dan kesusahannya dalam-dalam dibalik dada.
          Kami menunggu. Ketegangan diam-diam menyelimuti perasaan kami. Kami takut kenyataan tak sesuai dengan harapan; gaji ditunda.
         “Anom, tolong ambilkan air minum”, suruhnya.
          Aku lupa. Sambil menepuk kening, aku masuk ke dapur, ambil segelas air putih. Pak Mamet minum beberapa teguk. Kelihatannya air itu sedikit mengebaskan rasa lelahnya. Lalu, ia menarik tas kerjanya diatas meja. Ia keluarkan beberapa pucuk amplop putih dari dalam tas tersebut. Akhirnya diam-diam kami menarik nafas lega. Amplop-amplop itu ia bagikan pada Heni, Dinda, dan…..yang sepucuk lagi pada Agus. “Gus, berikan amplop ini sama Mbak Mira. Biar gak bawel-bawel terus”.
          Agus mengangguk-ngangguk tanpa protes. Dalam lain hal, ia adalah keponakan Pak Mamet. Sekolahnya juga dibiayai Pak Mamet. Selain itu, selama berada disini biaya hidup Agus ditanggung Pak Mamet sepenuhnya. Ia diperkerjakan di rumah kursus ini tanpa syarat apapun. Sudah menjadi posisinya segala sesuatu harus didasari rasa kekeluargaan. Kurang lebih Agus mesti mengerti bahwa rumah kursus PKBI ini dalam kondisi krisis.
          Dan aku, tanpa gaji, tak tahu bagaimana aku harus bertahan. Tak tahu kemana pula aku harus bertumpu.
          Lalu, perhatian Pak Mamet tertuju padaku. “Anom, untuk saat ini Bapak belum bisa menggajimu”, ia mencoba memberi pengertian padaku, aksen bicaranya ditekan dan ditahan khas Jawa. “Kamu harus mengerti kondisi keuangan kami tengah sulit. Apabila ada pemasukan lagi, besok atau kapan, pasti Bapak gaji. Nanti setengah gajimu Bapak potong buat melunasi tunggakanmu dan sisanya buat kamu pergunakan”.
          Ia meremas-remas tanganku, berharap aku sedia berbesar hati. Sorot matanya menghiba-hiba padaku. “Kamu mesti prihatin. Bapak yakin kalau kamu bisa hidup prihatin kamu pasti bakal menjadi orang sukses”.
          Aku hanya mengangguk-ngangguk. Tak tahu apakah aku setuju atau tidak. Yang aku tahu aku tak punya pilihan lain selain menerima kenyataan ini. Tak ada hakku untuk menggugat.
          Aku mesti tahu diri dan mengerti keadaan. Rasa-rasanya prihatin itu tak perlu aku buat-buat. Dengan sendirinya aku pasti menyesuaikan diri, tanpa harus mengikuti nasehat ataupun petuah.
         Sejauh aku kenal Pak Mamet itu sosok yang cukup baik. Ditempatkannya aku bekerja disini, merangkap sebagai tukang bersih-bersih, penjaga rumah kursus, juga sedikit banyak urusan administrasi, adalah bagian dari kebaikannya. Pak Mamet pandai bersikap ramah. Tapi kadang dibalik senyum ramahnya itu terbaca hasrat untuk menerkam dan merendahkan. Segala bentuk emosinya ia pendam dalam-dalam. Bahkan seringkali senyum dan tawanya itu terkesan dibuat-buat.
         Mulanya  aku mendaftar sebagai peserta ujian kejar paket C di PKBI. Banyak-banyak aku berharap ijazah persamaan ini nanti membawa harapan baru, membawaku keluar dari rasa putus asa ini. Berkas-berkas persyaratan pendaftaran aku lengkapi. Masalah biaya baru aku bisa membayar uang pendaftarannya saja. Program pembelajarannya sendiri dilaksanakan selama enam bulan. Selama itulah aku diberi kesempatan untuk mengangsur. Sebelum ujian dilaksanakan aku mesti sudah melunasinya. Tapi per bulannya aku hanya mampu membayar Rp 50.000-. Padahal jumlah yang wajib aku lunasi dua juta lebih.
          Masa enam bulan terlewatkan. Tenang-tenang ujian kejar paket C berlalu, tapi dengan kepuasan yang menggantung. Nilai-nilai ujian yang tak murni tengah digodok di dinas pendidikan provinsi dan pusat. Sementara tunggakanku sama sekali jauh dari kata lunas.
          Hari itu Minggu. Memang setiap akhir pekan, setelah proses ujian selesai, para peserta ujian persamaan datang berkumpul. Tujuannya untuk mengetahui perkembangan ijazah kami dan kapan tepatnya kami dapat menerima ijazah itu. Meski begitu aku tak berharap banyak. Sadar tunggakkanku masih besar.
          Selain itu teman-teman peserta ujian juga merencanakan hari perpisahan yang berkesan seperti yang dilakukan sekolah-sekolah umum. Kebanyakan mereka sudah punya pekerjaan. Uang tak mereka permasalahkan. Kecuali aku. Karena kondisi kantongku tak memungkinkan, aku tak pernah merasa antusias mengikuti pembicaraan itu.
          Setelah kelas bubar, aku dipanggil Pak Mamet. Ia duduk dibalik mejanya. Ia terlihat kuyu dan menderita. Berton-ton pikiran seperti membebani hidupnya. Berat dan tak tertahankan. Ia persilahkan aku duduk dihadapannya.
          “Kapan?”.
          Aku menunduk. Tanpa ia bertanya, aku sudah tahu maksudnya memanggilku ke ruangannya. Ia menatapku lekat. Ia menunggu. Ia sangat berharap aku segera melunasi tunggakkanku. Sepertinya ia ingin mengomeliku habis-habisan, tapi ia coba kendalikan rasa geramnya itu.
          Aku tak tahu mesti menjawab apa. Aku perlu banyak waktu. Dengan sedikit keyakinan yang mungkin tak memberi kepastian apapun, akhirnya aku menjawab. “Saya pasti bayar, Pak”.
          Pak Mamet menghembuskan nafas berat, seolah nafas itu sudah bertumpuk-tumpuk dibalik dadanya, lalu ia hembuskan dalam sekali tarik. Barangkali ia merasa sedikit lega. Meski jawabanku diluar harapannya, setidak-tidaknya mengurangi ketegangannya. Dari situ ia kembali memperoleh satu kepastian; masih ada waktu untuk menyusun rencana kedua.
        “Kamu mau bekerja disini?”, tawar Pak Mamet tiba-tiba. Ia lancarkan rencana cadangannya itu. Merasa tak yakin barusan apa yang aku dengar, aku pasang telinga baik-baik. “Begini, rumah kursus PKBI punya dua tempat. Satu di Citeureup ini---pusatnya. Satunya lagi, cabangnya, di Wanaherang. Kebetulan Mbak Mira, bagian administrasi disana, mengundurkan diri seminggu yang lalu”.
         Aku gembira mendengar tawaran ini. Ada sebuah jalan untuk melalui semua ini. “Jadi saya disana menggantikan tempat Mbak Mira?”.
         “Bukan”, tukas Pak Mamet. “Kamu sebagai cleaning service seperti Rahmat disini. Tidak diperkenankan pulang kecuali Minggu, tanggal merah, atau ada alasan lain yang masuk akal. Dengan kata lain kamu tinggal disana”.
          “Sama siapa saya disana?”.
         “Agus”, Pak Mamet menunjuk salah seorang lelaki berambut ikal yang tengah duduk asyik menonton televisi. “Dia yang mengurus administrasi disana menggantikan Mbak Mira. Tapi dia tidak menemanimu tinggal disana. Dia kerjanya bolak-balik. Siangnya ia bersama kamu disana. Malamnya ia menemani Rahmat disini. Karena posisinya berada dipinggir jalan raya, kamu tahu, PKBI Citeureup ini lebih rawan daripada PKBI Wanaherang yang berada ditengah-tengah kompleks perumahan. Sementara Nina---adik Agus----yang pegang administrasi disini. Dia perempuan. Jadi dia tidak menginap disini. Tiap sore ia pulang ke rumah Bapak”.
         Aku mengangguk-ngangguk tanda mengerti. Tak ada masalah aku bekerja dengan cara seperti itu. Tak aku tanyakan pula berapa besar gajiku. Tak enak bertanya soal uang sementara tugas belum aku kerjakan. Aku merasa aku tak punya hak apapun untuk menuntut. Modalku cukup kemandirian. Meski aku tak pernah jauh dari orangtua, tak pernah tinggal di asrama, karena aku berasal dari keluarga sederhana bahkan cenderung kurang, aku telah tumbuh sebagai manusia mandiri secara alami.
         “Jadi kapan kamu mulai bisa kerja?”, tuntut Pak Mamet. “Kalau bisa secepatnya”.
         “Besok”, ucapku tanpa pikir, gembira akhirnya punya pekerjaan.
         “Yakin? Siap?”.
         Aku mengangguk pasti.

         Sebulan telah lewat. Duka dan kecewa aku jalani ikhlas-ikhlas. Kerjaku juga ternyata lebih kompleks daripada yang disebutkan. Gaji pertama yang diharap-harap juga tak menjadi nyata. Di dunia mungkin diri ini hanya mendapatkan tempat sebagai penerima. Bukan untuk menuntut apalagi memberi. Indah nian dalam posisi begini banyak orang memberi, terbuka banyak pintu kesempatan, tapi tanpa diberipun aku masih harus menerima. Oh, dunia berikanlah aku kesempatan!

Baca juga part lainnya :Sebelumnya-Berikutnya