Halaman

Kamis, 30 Januari 2014

SURAT IJAZAH eps MIE DAN MIE

          Tiba-tiba badanku merinding. Dingin tengkuk leherku. Rasa-rasanya tadi ada sesuatu lewat dibelakang punggungku. Ditempati seorang diri, rumah ini terlalu besar. Lebih luas dari rumahku sendiri. Langit-langit atapnya tinggi diatas. Dinding dan pintu seolah merapatkan diri mencegah aku lari. Setiap benda yang tampak dicekam kebisuan., membeku dalam keangkeran. Rasa-rasanya rumah ini telah mengunyahku dalam-dalam.
          Diluar juga, dilingkungan perumahan begini, apalagi habis hujan, sepi lengang tak terperi.
          Kata kebanyakan orang disaat tak ada siapapun disekeliling kita, sesungguhnya kita tak benar-benar sendirian. Barangkali inilah yang dirasakan penguji nyali dalam acara-acara mistis ditelevisi. Mereka ditempatkan sendirian di tempat-tempat keramat dan angker, dijadikan umpan untuk memancing hantu keluar, lalu memburunya. Tapi setidaknya dari kejauhan ada orang-orang yang memantau gerak-gerik ketakutannya. Tak tahan tinggal melambaikan tangan kearah kamera.
          Sementara tak ada seorangpun yang memperhatikanku disini. Aku orang baru disini. Tak ada siapapun yang aku kenal. Tetangga-tetangga disini lebih senang menutup pagar dan pintu rumah. Lingkungan perumahan ini masih asing. Apabila terjadi sesuatu hal padaku, tak tahu pada siapa aku minta tolong.
          Pelan-pelan aku coba atasi ketakutan ini, meyakinkan diri, dan sedikit menertawai keadaan. Hantu itu hanya karangan para penakut. Seumur-umur tak pernah aku lihat bayangan-bayangan hantu, kecuali hanya dengar-dengar saja atau melihatnya dalam acara televisi yang pasti sudah diskenariokan dan diatur. Sekalipun ada, takkan ia menggangguku. Buang-buang waktu menggoda manusia yang jelas-jelas tak taat beragama. Sepertinya lebih pantas aku menjadi temannya.
          Yang lebih mengancam dari hantu itu justru manusia----maling. Untuk itulah aku diperkerjakan disini. Selain tukang bersih-bersih dan mengurus keberesan administrasi, juga untuk memastikan rumah ini tak disusupi garong. Keamanan rumah ini juga bagian dari tanggung jawabku.
          Radio di meja kerja aku bawa kedalam kamar. Aku setel radio itu pelan-pelan. Suara musik mengalun mencoba memecah sunyi. Tapi sepi lebih kuasa menjajah. Suara musik itu cukup terdengar sayup-sayup ditelinga. Radio ini adalah teman satu-satunya yang kumiliki dikala sendiri begini. Juga pengantar tidurku.
          Pelan-pelan sepasang kelopak mataku memberat. Berbagai ancaman dan ketakutan terlupakan. Sesaat aku terlepas dari kenyataan.
*****

          Suara kokok ayam bersahutan diatas udara. Mataku terbuka. Kupandangi langit-langit kamar. Pandanganku kosong dan nyalang. Di kamar ini tak ada satupun benda yang berpindah tempat. Matahari mulai menampakkan diri di ufur timur sana. Kenyataan menghadang kembali dihadapanku. Rasanya malas sekali memulai hari ini.
          Aku menggeliat sesaat, mengendurkan otot-otot badan yang tegang. Setengah terpejam aku ambil handuk, lalu sempoyongan menuju kamar mandi. Guyuran pertama membuatku begidik. Airnya cukup dingin dan panas tubuhku perlu menyesuaikan. Berkali-kali mengguyur badan dan mataku kembali segar. Terlihat lantai kamar mandi perlu digosok dan bak air perlu dikuras.
          Habis mandi aku ambil seember air dan menaburkan sedikit detergent kedalamnya. Mulailah aku melakukan tugas bersih-bersihku; menyapu dan mengepel seluruh lantai ruang kelas. Beberapa sudut kelas dipenuhi genangan air hujan kemarin. Posisi genteng diatas atap sana banyak bergeser akibat gerakan aliran air hujan dan angin. Banyak sekali pekerjaan yang mesti aku tanggungkan. Kebocoran-kebocoran itu harus aku perbaiki sebelum hujan kembali turun. Barangkali juga aku takkan memperbaikinya.
          Pintu garasi aku buka. Bocah-bocah TK, berseragam polisi, mulai masuk kelas. Mereka bernyanyi dan melompat-lompat memasuki kelas. Begitu ringan hidup sebagai bocah. Hidup mereka hanya diisi dengan kegembiraan belaka tanpa beban. Lalu, para ibu pengantar mulai berkumpul dengan sesama mereka, sambil memperhatikan anak-anak mereka belajar.
          Aku kembali masuk kedalam, membuang air pel, mengisinya lagi dengan beberapa gayung air, dicampur bubuk detergent, lalu aku rendam pakaian-pakaian kotorku. Menunggu bubuk detergent itu melakukan tugasnya, aku ambil sebungkus mie dan merebusnya diatas kompor.
          Sengaja aku sarapan lebih lambat. Semakin mendekati makan siang itu semakin baik. Itulah caraku menghemat persediaan mie instan dalam laci makananku. Bahkan terkadang aku tidak sarapan sama sekali. Memang sebisa mungkin jatah makanku normal; tiga kali sehari, tapi seringkali dua kali sehari. Itupun menunya sama. Selalu mie dan mie, tanpa tambahan apapun.
          Mie itu makanan instant. Biasanya makanan-makanan semacam itu mengandung pengawet. Tak baik dikonsumsi berlebihan, itu kata seorang ahli gizi. Menurut ahli gizi itu juga makan mie dengan nasi rentan terkena diabetes. Mie dan nasi sama-sama mengandung karbohidrat; biang dari segala penyakit gula. Memang karena keadaan aku berlebihan mengonsumsi mie, tapi setidaknya aku tak makan mie dengan nasi. Ah, bagaimanapun juga semangkuk mie dan sepiring nasi lebih bisa mengenyangkan. Mie disini adalah pengganti lauk dan sayur, bukan pengganti nasi.
          Tapi dalam kondisi serba pailit begini mie jelas-jelas makanan pokokku sekarang. Mie sama sekali tak mengakibatkan diabetes, tapi mungkin merusak organ cernaku---maag.
          Sebulan sudah aku kerja disini, terhitung sejak 8 Januari 2006, menghadapi tiap lika-likunya penuh keprihatinan dan kesabaran. Kini sudah seminggu Februari berlalu. Ditengah kepailitan aku terus bertahan. Aku sadar ternyata kebal juga aku menghadapi hidup. Sekecil apapun uang yang aku punya selalu aku sesuaikan dengan keadaan. Sebisa mungkin aku tak ambil hutang. Kini awal Februari, itupun terlambat seminggu, aku telah siap menerima gaji pertamaku.
          Jam sepuluh pagi sekolah TK bubar. Para ibu sibuk menuntun anak-anak mereka dan berpencaran menuju rumah masing-masing. Aku mulai cemas. Sesekali aku tengokkan pandang kearah jalan. Belum tampak juga batang hidung Agus itu. Biasanya jam sembilan pagi ia sudah ada disini. Dialah yang bakal membawakan amplop gaji itu dan menemaniku menjaga rumah kursus ini hingga jam tujuh malam. Sekaligus juga aku akan menyuruhnya memperbaiki genteng-genteng bocor itu.
          Kembali aku kebelakang. Daripada bengong-bengong menunggu, aku gosok-gosok lantai kamar mandi, menguras bak, lalu mencuci baju dan menjemurnya dibalkon belakang rumah.
          Dua jam berlalu. Belum tampak juga orang yang aku tunggu itu. Yang datang justru seorang perempuan; berambut pirang cat, berkulit putih, dan montok. Meski begitu, penampilannya sangat memperlihatkan bahwa ia seorang ibu rumah tangga muda. Ia terus-terusan merengut kesal, bibirnya ikut manyun kedepan. Belum lagi mengucapkan salam, perempuan itu langsung menggebrak meja didepanku. Kelihatannya ia marah.
           “Mana Agus?”, bentaknya. Ia memelototiku.
          Aku gelagapan. Aku tak tahu siapa dia dan tiba-tiba mesti menghadapi amarahnya. Bisa-bisa aku diterkamnya. Gugup aku menjawab, “Belum datang”.
          “Bohong!”, tegahnya. Ia langsung menerobos masuk. Gopah-gopoh aku mengikutinya. Takut ada apa-apa. Tepat diambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur ia berdiri, tengok kanan-kiri, matanya terbuka lesat, melihat sisi-sisi ruangan, mencari-cari, seraya teriak, “Agus! Agus! Jangan sembunyi lu”.
          Tak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri yang dipantulkan dinding-dinding. Kemudian ia menengok padaku, masih dengan mata melotot. “Kemana dia?”.
           “Belum datang”, jawabku sekali lagi. Tak tahu lagi harus menjawab apa. Melihat mata penuh benci itu menggentarkan. Repot apabila harus berurusan dengan perempuan macam ini.
          “Kalau datang”, ia menunjuk-nunjukku penuh peringatan, “bilang segera bayar gaji saya. Termasuk juga gaji bulan kemarin. Dua bulan gaji saya belum dibayar”.
          Ia keluar dan pergi. Dalam langkahnya ia nyaris terpeleset tepat diturunan depan pintu garasi. Amarah membuatnya kurang awas. Saat itu juga aku mendengar umpatannya yang menggumam, barisan giginya ia gemeretakkan, “Mamet sialan!”.
          Itulah, yang aku pikir, Mbak Mira itu. Dia mengundurkan diri seminggu sebelum aku masuk kerja. Biasanya ia menagih gajinya itu lewat telepon, berbicara langsung dengan Agus. Dengan menyabar-nyabarkan, Agus memberi pengertian dan berjanji segera membayar gajinya itu. Barangkali merasa tuntutannya tak ditanggapi serius, setelah berkali-kali menagih, akhirnya Mbak Mira datang langsung kemari. Gaji, sama sepertimu Mbak Mira, aku juga tengah menunggunya.
          Makan siang. Menunya lagi; mie rebus. Kuahnya aku perbanyak dengan menambahkan sedikit garam. Dalam keadaan begini tak boleh aku merasa lelah. Hidup prihatin seperti yang sering dikampanyekan Pak Mamet padaku. Tak boleh ada banyak syarat-syarat, apalagi sekedar rasa makanan.
          Adzan zhuhur berkumandang beberapa lama lalu. Agus belum terlihat juga. Aku takut Mbak Mira datang lagi, lalu marah-marah lagi padaku. Bisa-bisa dalam keadaan kalut, ia bobol laci dimana uang kas pemasukan kursus disimpan.
          Kembali aku setel radio, mencari-cari saluran yang lebih banyak memutar lagu daripada cuap-cuap penyiarnya. Pelan-pelan aku dengar derap langkah mendekat. Dari balik meja aku tengok kedepan. Lega rasanya; Agus datang. Ia mengenakan setelan kemeja kotak-kotak dan celana jins buluk. Aku menyambutnya riang.
          “Mana gajinya?”, tuntutku tak sabar
          “Gaji apa?”, ia malah balik tanya. “Aku juga belum gajian”.
          Aku diam menganga. Seperti orang tolol. Kepalaku diliputi pikiran dan pertanyaan.
         “Pak Mamet nanti sore mau kemari”, ujarnya memberitahu. “Katanya mau mengaudit cara kerja kamu”.
          Aku berpikir aneh. “Audit? Kayak perusahaan gede saja. Jelas-jelas aku kerja disini baik-baik”.
          Agus lepas sepatu. Ia letakkan alas kaki itu begitu saja disudut dekat pintu.
          “Tadi Mbak Mira kemari”, aku lanjutkan. “Tagih gaji. Katanya gajinya dua bulan belum dibayar”.
          “Dua bulan?”, tukas Agus agak heran. “Sebulan, Anom. Kan dia keluar akhir Desember lalu, tepat seminggu sebelum kamu masuk. Januari dia sudah tidak punya gaji lagi.
          Aku angkat bahu. “Dia bilang begitu”.
          Agus diam melihatku. Aku pikir ia akan mengucapkan sesuatu, tapi ia justru bertanya, “Ada mie, nggak?”.
          Aku diam, tak mengangguk, tak menggeleng. Agus salah seorang yang selalu merusak anggaran keuanganku seminggu kedepan ini. Aku mesti menyusun rencana kedua biar tetap bertahan; besok aku mesti mengurangi jatah makan mieku. Intinya hemat dan irit. Kalau perlu pelit. Tapi selama berada disini, Agus temanku satu-satunya. Aku mesti selalu berbagi dengannya.
          “Memangnya belum makan?”, tanyaku.
          Ia membuka-buka laci diatas dinding dapur. “Dari pagi”, jawabnya singkat. “Gak punya duit”.

          Ia ambil satu dan rebus mie itu.

Baca juga part lainnya: Sebelumnya-Berikutnya

Jumat, 24 Januari 2014

SURAT IJAZAH eps RUMAH KURSUS

         Langit murung. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung. Lintasan sinar matahari menuju bumi terhalang arakan. Angin meniup membawa kekalutan, menerbangkan apa saja yang dilaluinya; debu, daun, juga jemuran. Di ufuk kejauhan kilatan-kilatan listrik hendak menjangkau bumi. Seakan tanda alam itu mengajak manusia bersiap-siap; perbaiki genteng-genteng bocor, bersihkan saluran air, sedia payung dan ember. Kalau perlu sedia pelampung dan perahu karet takut-takut banjir datang. Awal tahun 2006 diliputi muram durja alam. Begitupula pedalaman diriku.
          Tapi di kawasan Wanaherang, tempat aku berada kini, air selalu mengalir menuju tempat-tempat rendah. Sekalipun tergenang hanya membentuk kubangan di lubang-lubang sempit.
        Sepanjang siang tadi aku habiskan waktu duduk-duduk saja dibalik meja. Santai begini lama-lama menemukan kejenuhannya juga. Tak seorangpun datang kemari. Padahal aku berharap. Kedatangan satu-dua orang setidaknya cukup menggerakkan syaraf-syaraf motorikku.
          Sebuah pelang besi didirikan didepan pekarangan rumah. Huruf-huruf berukuran besar tercetak dalam pelang itu; Pusat Kursus Bahasa Inggris----PKBI. Selain kursus bahasa, ada juga kursus komputer. Lebih dari itu rumah kursus ini juga menyelenggarakan ujian kesetaraan kejar paket B dan C.
          Pelang itu merupakan tanda alamat dan iklan rumah kursus ini. Disinilah, terhitung sejak awal Januari, aku bekerja. Bukan sebagai tenaga pengajar, tapi penjaga rumah kursus merangkap administrasi.
          Bangunan rumah kursus ini merupakan sebuah rumah utuh dan bertingkat. Berada ditengah lingkungan perumahan dan mengisi sebuah deretan diantara rumah-rumah disebelahnya. Kamar-kamar didalam rumah ini dijadikan kelas-kelas. Satu kamar disisakan buat aku tidur. Dapur tetap dapur. Pak Mamet, sang pemilik usaha kursus ini, mengontrak rumah ini per tahun lamanya. Itu sebelum aku masuk kerja di PKBI ini. Habis kontrak tahunan itu, karena kondisi keuangan PKBI morat-marit, Pak Mamet memutuskan mengontrak rumah ini dengan bayar per bulan.
          Ruang kerjaku sendiri merupakan sebuah garasi rumah ini. Garasi ini diberikan sentuhan layaknya sebuah kantor. Rak-rak berisi buku-buku memenuhi ruang ini. Sebuah kaligrafi Arab dan almanak menghiasi sisi dinding. Di sisi lainnya sebuah jam berdetak-detak tergantung. Ruangan ini cukup longgar, namun rak-rak buku itu mampu menelanku hidup-hidup dari pandangan orang lewat.
          Didepan sana rumah kursus ini berhadapan langsung dengan sekolah taman kanak-kanak---TK. Tiap pagi murid-murid TK itu selalu ramai diisi suara jerit, tangis, dan ribut-ribut. Mereka berlari-lari, melompat-lompat, seperti anak kelinci lepas kandang. Dengan sendirinya, teras depan rumah kursus ini dijadikan para ibu berkumpul. Diwaktu-waktu menunggu jam belajar anak-anak mereka selesai, mereka banyak berceloteh khas ibu-ibu.
          Para ibu, mulut wanita, selalu liar. Teori-teori mereka ungkapkan tanpa landasan. Apa saja dapat dibahas tanpa perlu rumus. Utara-selatan dan timur-barat dapat mereka kejar tanpa perlu jarak. Mulut itu juga penghibur atas kebosanan hidup berumah tangga.
           Begitu mereka pulang, kembali aku menyapu lantai teras itu.
           Pukul dua sore murid-murid kursus mulai berdatangan. Kebanyakan mereka masih duduk dibangku sekolah dasar antara kelas tiga sampai kelas enam. Ada pula yang sudah masuk sekolah menengah; SMP.  Murid SD digolongkan masih anak-anak dan SMP sudah termasuk remaja. Kelas mereka di rumah kursus ini dipisah. Jadwal masuk kelas mereka juga sudah diatur oleh pihak PKBI. Biasanya dalam seminggu ada tiga kali pertemuan.
          Kursus komputer biasanya diminati oleh golongan buruh pabrik. Meski rumah kursus ini bertetangga dengan kawasan industri Wanaherang, kursus komputer disini tak banyak menarik minat. Tak lebih dari dua orang peserta kursus disini.
          Hari ini tak ada kelas anak SMP ataupun kursus komputer. Hanya kelas anak SD saja.
          Murid-murid sudah memulai kelasnya sejak satu jam lalu. Heni adalah pengajarnya. Ia terampil mengajar anak-anak usia sekolah dasar, tapi kaku mengajar kelas anak SMP. Kelas SMP akhirnya diisi sesosok guru supel; Bu Dinda.
          Dari sini aku tahu bahwa usia murid mempengaruhi bagaimana seorang guru mestinya bersikap dalam mengajar. Anak-anak suka pada guru yang ceria, menyelingi permainan dalam belajarnya. Para remaja lebih suka pada guru yang dapat dijadikan tempat curhat. Dalam belajarpun diisi dengan cerita galau-galau mereka. Dan para buruh pabrik adalah murid yang paling patuh bagaimanapun karakter guru mereka. Pengajarnya Ikhwan, seorang mahasiswa Informatika dari Gunadharma.
          Selama duduk menganggur begini dibelakang meja biasanya aku setel radio. Tapi kali ini tak ada musik atau lagu. Listrik mati. Mungkin penyebabnya gelegar-gelagar petir itu. Sekedar mengisi waktu, iseng aku membaca kamus dan mengingat satu-dua arti bahasa Inggris dalam bahasa Indonesianya. Lumayan tambah-tambah pengetahuan.
          Mendung mulai menurunkan gerimisnya. Setitik demi setitik bagai ratusan jarum yang dihambur dari atas langit. Diantara bisik-bisik suara angin sekonyong seseorang berteriak dari tingkat atas. “Anom! Tolong buka pintunya!”.
          Tak sekali teriakan itu dijeritkan. Cepat aku tutup kamus itu, tinggalkan meja, dan berlari naik tangga. Ruang dilantai atas inilah yang digunakan sebagai kelas anak SD. Dari dalam Heni menggedor-gedor pintu. Beberapa siswa histeris. Satu-dua anak menangis. Selebihnya diam-diam takut. Dapat aku tebak betapa repotnya Heni menenangkan murid-muridnya. Sampai-sampai ia juga ikut tegang.
          Dan diluar langit tambah kelabu. Hitam memekat mengurung kami dibawahnya. Petir-petir menggelegar, siap menghantam apa saja yang dilaluinya. Kelas menjadi gelap. Suasana alam yang tak bersahabat ini seolah-olah mengalirkan teror dalam dada murid-murid. Bahwa tak ada lagi tempat aman diluar sana kecuali kelas ini. Seperti bumi didera perang. Saking tak adanya tempat berlari mereka berpandangan satu sama lain.
          “Sebentar”, sahutku, menandakan keberadaanku.
          Biasanya pintu kelas dilantai atas ini tak pernah ditutup. Sengaja dibiarkan terbuka. Kuncinya rusak. Hanya tuasnya saja yang terpasang dibalik daun pintu. Baik bagian dalam dan luarnya, tak bergagang lagi, lepas entah kemana. Sebuah batu atau genteng diletakkan dibawah pintu sebagai ganjalan. Mungkin salah seorang murid telah menendang ganjalan itu. Heni tak sadar ganjalan itu hilang ditempat. Lalu begitu angin bertiup cukup laju, pintu itu mengayun diam-diam, menyatu dengan kusennya, menutup, mengurung mereka yang berada didalam.
          Aku akali lubang kunci pintu. Sebuah paku aku julur-julurkan masuk. Mungkin bentuk paku ini tak sesuai lubang kuncinya, pintu tetap tak terbuka. Kemudian aku gebrak-gebrak juga pintu ini. Aku hentak-hentakkan tubuhku keatas permukaan pintu ini. Seraya menendang-nendangnya. Rupa-rupanya badanku tidak cukup kuat mendobrak pintu itu. Yang terasa hanya sakitnya saja.
          Jalan terakhir akupun menyarankan, “Kalian keluar lewat pintu balkon saja”. Saran ini aku ungkapkan antara yakin dan tak yakin. Hanya karena pintu, level kejantananku terungkap ke muka dunia.
          “Apa?”, Heni tak habis pikir.
          “Turun pakai pohon belimbing”. Dasar kau lelaki!
          Aku tahu Heni menolak. Tapi cepat aku tinggalkan pintu itu.
          Pohon belimbing itu tumbuh didepan teras rumah yang sempit, tepat disebelahnya pelang berdiri. Batangnya kecil-kecil, bercabang-cabang, dan bercagak. Tiap kali ada buah masak langsung aku petik dan makan ditempat. Lumayan pengganjal perut disaat-saat krisis. Daunnya cukup rindang. Tiupan angin menggugurkan daun-daunnya yang kuning dan tua. Lantai teras pun diseraki daun-daun kering. Kali ini pohon belimbing ini aku gunakan juga sebagai tangga.
          Heni pasang muka cemberut. Kentara sekali ia ingin mengomel-ngomel. Kalau perlu menjitak kepalaku sekeras-kerasnya. Tapi ia turuti juga saran bodohku itu.
          Satu per satu anak kami turunkan. Ulah saranku ini seperti menempatkan kami dalam kondisi serba sulit. Seperti dalam film-film Hollywood, seolah-olah kami mesti mengungsikan banyak orang dari wabah yang telah menjangkiti kota. Ini salah perhitunganku. Anom, kau pemuda generasi masa depan, aneh pikiranmu begitu pendek. Padahal cuma urusan pintu, tapi mengapa pula mesti serepot ini. Kau punya jerawat diwajah, tapi bukan berarti mesti operasi plastik, kan?
          Tak aku gubris pula bentak-bentak suara batin itu.
          Suara gemuruh di langit terus menggelegar seperti mengejar-ngejar kami. Serentak anak-anak menjerit menimpali gemuruh petir itu. Mereka ketakutan dan menangis. Mereka takut-takut menuruni pohon belimbing, tapi situasi memaksa mereka berani. Kalau ada apa-apa tak ada lagi yang bertanggung jawab kecuali aku seorang. Begitu hujan mengguyur, aku bersyukur, semua anak berhasil diselamatkan.
         Adzan maghrib mulai diperdengarkan. Hujan mulai surut, basah disana-sini. Air menggenang dimana-mana. Dijemput para orangtua, anak-anak pulang. Juga Heni. Malam ini sudah tak ada kelas lagi. Tinggal aku sendiri disini, menjaga rumah kursus ini hingga pukul sembilan malam. Barangkali saja ada satu-dua orang pendaftar baru. Ada pendaftar berarti karunia. Kerjaku diberkahi.
          Sejak aku bekerja disini aku tahu rumah kursus ini diambang krisis. Satu persatu siswa keluar. Satu dua orang guru mengundurkan diri. Beberapa kelas ditutup. Yang tersisa digabung dengan kelas lainnya. Peristiwa pintu tertutup tadi menjadi awal ruang dilantai atas tak digunakan lagi. Kelas itu terbengkalai. Lama-lama debu dan sarang laba-laba menghiasi kelas itu. Pak Mamet tetap pada ambisinya; punya gedung sendiri.
          Seringkali aku juga merasa tidak betah kerja disini. Demi melunasi hutang-hutangku pada Pak Mamet aku mesti bertahan.
           Langit jauh disana terasa teduh. Tampaknya adzan pawang paling ampuh mengatasi hujan setelah bumi digempur habis-habisan peluru air dari langit. Hujan, gemuruh petir, angin, kilat seperti bentuk amarah dari langit. Kini alam kembali tenang. Damai tapi sunyi.
          Pintu garasi ditutup. Aku pastikan juga pintu dan jendela terkunci semua. Lampu-lampu aku matikan. Beginilah caraku mengurung diri sendiri di rumah ini. Tanggung jawab kebersihan dan keamanan rumah ini berada diatas pundakku. Begitupula beres-tidaknya administrasi. Memang rumah ini bukan tempat menetap, tapi sebagai penjaga rumah kursus ini, tentu saja, disinilah aku tinggal.

Baca juga part lainnya; Berikutnya