Diatas meja telah terseduh secangkir kopi
panas. Uapnya bergoyang-goyang naik ke udara, menghantarkan aroma manis dan
pekat ke indera penciuman. Aku seruput kopi itu sedikit, meresapi rasa dan aroma
kopi tersebut dalam pikiran. Aku mendesah tenang seiring kopi itu menggaruk
permukaan lidahku yang kasar dan mengalir tenang melalui kerongkongan dibalik
leherku. Kandungan kafein dalam kopi tersebut dapat membantuku terjaga
sepanjang malam ini, mengoptimalkan jalan pikiranku yang aku tumpahkan kedalam
bentuk tulisan.
Jari jemariku bergerak teratur diatas tombol-tombol mesin tik sederhana
tersebut. Setiapkali aku menekankan jari tanganku pada tombol-tombol tersebut
terdengar bunyi-bunyi yang dapat menggerahkan telinga siapapun yang terjaga
malam ini. Tapi, didalam kamar yang sumpek nan pengap hanya ada aku seorang
diri. Bunyi-bunyi berisik mesin tik itu menjadi satu-satunya sumber keramaian
dalam kesendirianku.
Ku ketikkan kata per katanya penuh khidmat, berusaha menciptakan
kesakralan dalam serangkaian kalimat yang kubuat. Dibalik maknanya aku sisipkan
perasaan, berharap isi pedalaman jiwa dan pikir yang telah kujelajahi sanggup
menyentuh naluri para insan yang membaca karya-karyaku nanti.
Aku ingat-ingat peristiwa yang telah kubaca dan kulihat dalam berbagai media. Aku ingat-ingat
pula segala kejadian yang pernah menimpaku. Juga tragedi yang pernah menerpa
pribadi diluar diriku sendiri. Lalu, kuracik dan kukembangkan sedemikian rupa
kisah-kisah nyata tersebut kedalam dunia dongengan hasil rekaanku sendiri. Kubayangkan
segala peristiwa baru itu kedalam pikiranku dan kupikirkan jalan ceritanya agar
runtut dan teratur. Namun, ilham yang menghampiriku malam ini seolah enggan menyerahkan
jiwanya begitu saja. Aku tak bisa asal-asalan menuliskan sebuah karya. Saat aku
mulai menjentikkan jemariku diatas tombol-tombol huruf tersebut, tiba-tiba
keleluasaanku seakan menghilang. Entah berapa kali aku melakukan kesalahan,
menghapus kata atau kalimat yang kurasa tak padan. Bahkan sudah
berlembar-lembar kertas yang nasibnya berakhir di tong sampah.
Banyaknya penolakan yang sering kuterima, barangkali, telah mengambil
sedikit peran pada kepercayaan diriku, memaksaku harus lebih teliti dan
seksama. Mengerjakan satu kalimat saja seperti menyelesaikan satu rumusan
matematika yang teramat sulit. Karya-karyaku bersaing dengan penulis yang sudah
punya nama. Hal itu membuatku meragu pada hasil tulisanku sendiri; apakah layak
untuk dibaca umum atau tidak.
Seluruh tulisan dari penulis ternama yang dimuat aku pelajari dan
pahami. Aku baca seteliti mungkin sampai otakku mampu meresapinya. Tak hanya kuperhatikan
dari segi tata bahasa dan alurnya saja, bahkan aku sampai memperkirakan
bagaimana sang penulis ternama tersebut menggerakan jari jemarinya saat menulis
atau mengetik. Kadang, ada beberapa tulisan yang kutemui lebih kering dari apa
yang kutulis. Aku heran mengapa tulisanku sampai kalah bersaing dengan tulisan
picisan begini. Nama, yang seharusnya tak layak dijadikan satu-satunya sumber
jaminan telah menjadi patokan mutu dalam membandingkan kualitas dengan penulis
pemula.
Barangkali juga persangkaanku itu salah. Kurang dari seminggu saja,
beratus-ratus judul kisah fiktif telah tertumpuk dimeja redaksi. Jika
dikalkulasikan, maka dalam setahun akan ada ribuan judul yang terkirim. Tak
mungkin sang redaktur, dalam keterbatasan waktu deadline, membaca satu per satu
tulisan-tulisan itu. Sementara itupula, kolom yang disediakan dan waktu
pemuatannya pun sangat dibatasi. Alhasil namalah yang menjadi acuannya. Tak
peduli isi karya tersebut berkualitas atau tidak.
Lama-lama, memikirkan tentang nama tersebut memberikan jalur batas yang
tak bisa ditembus pikiranku lagi. Sebuah dinding tebal tiba-tiba tumbuh menghalangi
laju daya imajinasiku. Semuanya tertutup. Lenyap. Tanganku berhenti bergerak
diatas tombol-tombol mesin tik tersebut. Sementara pikiranku masih bersusah
payah membobol dinding tebal tersebut.
Buntu.
Aku sandarkan punggungku diatas kursi yang kududuki. Aku tatap
langit-langit kamarku yang rendah. Bidang diatas kepalaku itu tak memberikan
bacaan apapun. Kulirik kanan kiri. Kamar yang sempit dan berantakan. Empat sisi
dinding kamar ini seakan diam-diam hendak menjepitku. Aku sudah lelah memeras
ide-ide diotakku. Aku butuh relaksasi. Semua sisi-sisi yang membentuk kamar ini
terasa membatasi daya kreatifitasku.
Kuatur nafas baik-baik, berusaha menahan ledakan yang mungkin bakal
muncul dari kekalutan jiwaku. Kalau sudah meledak, aku tahu, aku takkan
segan-segan mengacaukan seluruh isi kamar ini. Bahkan aku akan melemparkan
tubuhku sendiri berkali-kali keatas dinding dan menggetok-getok isi kepalaku
sendiri, seakan dengan cara seperti itu seluruh ide yang terpasung dalam otakku
dapat mencair.
Aku ambil sebatang rokok disaku celanaku. Aku nyalakan ujungnya sambil
menghisapnya. Kepulan asap putih berhamburan keluar dari lubang mulut dan
hidungku seiring kuhembuskan nafas ke udara. Bumbungan asap yang keluar dari
dua lubang pernafasanku itu melayang gelisah di udara bagai mencari arah tepat
hingga akhirnya pecah terbawa angin malam. Aku tak peduli lagi pada batuk-batuk
kecil yang kuderita sebagai pertanda penyakit paru-paru mulai menjangkiti organ
pernafasanku. Rokok, adalah satu-satunya hiburan terbaik yang kumiliki.
Saat kupandangi kepulan asap rokok, selalu timbul rasa cemburuku. Aku
mulai memikirkan banyak pengandaian. Betapa asap rokok itu begitu ringan,
terangkat ke udara, melayang bebas kemanapun ia ingin menuju, menemui
kebebasannya. Aku ingin begitu----menjalani kehidupan tanpa banyak beban,
mendapatkan semua apa yang diinginkan tanpa harus lelah putar-putar isi kepala
dan memeras keringat.
Waktu terus merambat. Jam dinding telah menunjukkan waktu dini hari.
Tapi tak ada niat menutup mata barang sebentarpun. Aku bangkit dari dudukku.
Sedikit meregangkan otot-otot pinggangku yang pegal. Aku menuju jendela kecil
disebelahnya dan membukanya. Lekas saja angin malam mendorong wajahku dan
merndinginkan lubang pori-pori disekujur tubuhku. Sepasang mataku memandang
luas permukaan langit dan bumi, hingga akhirnya tertumpu pada satu titik
pandang terjauh yang dapat dijangkau penglihatan mataku. Gelap telah meredam
hingar bingar kesibukan kota, namun dikejauhan kelihatannya keramaian masih
berlangsung. Disekitarku, satu-satunya partikel yang masih berani mengeluarkan
suaranya adalah udara yang bergemerisik
ringan ditelingaku sebagai angin. Lampu-lampu menyala kelap-kelip mereplikakan
taburan bintang dilangit.
Dititik terjauh pandanganku itu,
kucoba mencari-cari sebentuk ilham yang mungkin bersembunyi diantara
tembok-tembok beton gedung pencakar langit. Aku ingin melepaskan segala beban
yang selalu menggelayuti nafas didadaku. Memandang panorama malam di kota
begini dapat membuat pikiranku sedikit tercerahkan kembali. Aku yakin banyak
ilham yang dapat dijadikan sumber ide dibalik rahasia malam yang dapat
kutumpahkan dalam bentuk tulisan. Yang paling patut kusayangkan hanya satu;
langit kota sepi dari taburan bintang. Polusi telah menutupi kemegahan gemerlap
bintang-bintang.
Alam telah sekian lama membantu mengakrabkanku dengan pena. Sayang,
tidak dengan kedua orangtuaku. Mereka melarang anaknya habis-habisan
berkecimpung didunia sastra. Bagi mereka itu sangat diluar rasionalitas. Fokus
mereka hanya terpaku pada kebutuhan materi saja. Apabila aku kedapatan tengah
asyik menulis, segera kobaran api akan menyala diwajah mereka. Mereka takkan
tanggung-tanggung membakar semua karya yang telah kuselesaikan.
“Apa yang dapat kau harapkan dari
menulis? Lihat saja Chairil Anwar! Apakah dia orang kaya! Lihat saja Van Gogh!
Apakah dia orang berbahagia! Yang namanya seniman, entah itu penulis atau
pelukis, hidupnya pasti sengsara. Masa depannya suram. Kau mau seperti itu?
Ingat, Nak, tak ada keturunan moyang kita yang jadi penulis. Menulis itu
pekerjaan pengecut!”.
Kata-kata yang dibumbui oleh amarah itu terasa benar menusuk pedalaman
kalbuku. Namun, aku tahu itu sebentuk perhatian kedua orangtuaku demi kebaikan
buah hatinya. Walaupun demikian, aku tetap bersikeras pada prinsipku. Pandangan
orangtuaku terhadap seni terlalu kolot. Ini lebih sekedar dari uang. Ini adalah
tentang sebuah jalan hidup yang mesti kutempuh
dalam mengenali kesejatian diri.
Akhirnya, pertentangan dengan orangtuaku itu membangkitkan semangat
kemandirianku. Aku kabur. Diatas meja didalam kamarku, kutinggalkan selembar
surat. Aku berharap orangtuaku tak mengkhawatirkan kepergianku dan tak perlu
repot-repot mencariku. Yang paling penting dari itu semua, aku berharap
orangtuaku dapat mengerti makna dibalik keminggatan diriku ini.
Aku akui kata-kata terakhir orangtuaku yang menyebutkan kepengecutan
seorang penulis sangat menyakitkan hatiku. Aku merasa rendah dengan talentaku
ini. Salah satu maksud aku minggat dari rumah ini adalah ingin membuktikan pada
dunia dan orangtuaku bahwa apa yang kulakukan dan kuusahakan ini adalah memang
sebuah kepantasan yang layak. Huruf-huruf merupakan simbol dari peradaban, maka
aku yakin menulis dapat menjadikanku selalu hidup dalam sejarah diberbagai
masa.
Seorang Chairil memang bukan orang yang dianugerahkan limpahan harta
benda, tapi melalui kekuatan penanya, meskipun setelah matinya, ia berhasil
melewati keadaan berbagai zaman dan kaya dalam ingatan para generasi
selanjutnya. Begitupula seorang Van Gogh. Karya-karyanya yang tergores indah
dalam kanvas masih begitu dipuja-puja dalam daya inspirasi generasi kini.
Meskipun dalam menjalani kegalauan hidup, aku sendiri takkan melakukan hal
tragis seekstrim Van Gogh memotong telinganya.
Maka akhirnya, langkah kaki ini membawaku pada tempat dan suasana baru. Disudut kota,
terjauhkan dari glamornya kehidupan metropolis, diantara gang-gang sempit yang
berkelok-kelok, aku menyewa sebuah kamar. Disinilah kini aku bertempat tinggal,
berteduh dari terik panas dan hujan.
Awalnya cukup sulit menyesuaikan diri dilingkungan padat dengan luas lahan
yang tak sesuai dengan jumlah penduduknya. Setidaknya kondisi sempit dan sesak
disini justru membuatku dapat sedikit bernafas lega. Aku tak perlu lagi
mendengar komentar buruk, keluhan, atau amarah orangtuaku sendiri. Aku merasa
bebas dan leluasa mengembangkan ambisiku ini.
Memang tinggal diantara gang-gang sempit sangat menyesakkan. Saking
sempitnya, apabila terjadi kebakaran atau banjir akan sulit menyelamatkan diri,
apalagi menyelamatkan harta benda. Tata ruangnya sangat memprihatinkan. Rumah-rumah
dibangun diatas lahan yang sangat terbatas, saling berdempetan dan berdesakan.
Untuk menyiasati kekurangan lahan tersebut, biasanya warga meninggikan bangunan
rumahnya. Salah satunya menyulap loteng menjadi kamar.
Dikamar loteng ini pulalah aku kini tengah berdiri memandang keluar
menikmati semilir angin malam. Hidup ditengah-tengah masyarakat baru memberikan
sedikit ruang dalam pikiranku. Aku merasa semakin didekatkan pada dimensi
kehidupan urban yang berbeda, yang sesungguhnya. Ide-ide segar kerapkali
menghampiri diriku, meski terkadang, seperti saat ini, tiba-tiba semuanya buntu.
Memang sampai saat ini, aku belum berhasil menelurkan karya satupun. Sudah
dikatakan tadi aku terganjal nama.
Biasanya nama seseorang dapat besar karena prestasinya. Sementara aku
justru dihadapkan pada kondisi sebaliknya.
Sebenarnya ada satu cara yang dapat membuat namaku dikenal banyak orang;
menjadi artis. Barangkali dengan nama keartisanku nanti aku akan mudah
mempublikasikan karya-karyaku nanti. Jalan pintas dari semua ini adalah ikut
casting.
Aku duduk dipojok ruangan. Tas ransel kecil yang kubawa, kudekap erat
diatas pangkuanku seolah benda tersebut yang paling berharga diantara benda
lainnya yang kumiliki. Tak tahu akan melewatkan waktu berapa lama aku menunggu
namaku dipanggil. Aku telah menyerahkan foto terbaikku dengan senyum sumringah
yang paling dipaksakan. Aku juga telah mengisi formulir pendaftaran sebagai
peserta casting.
Satu per satu nama dipanggil masuk kedalam ruangan tertutup. Aku telah
sangka sebelumnya akan mengantre seperti ini. Cukup banyak orang yang hendak
menggantungkan nasibnya dalam dunia hiburan. Mereka datang kemari dengan
penampilan paling nyentrik, berharap dengan cara seperti itu dapat mengundang
perhatian dan mendapatkan peran. Sementara aku tampil apa adanya tanpa dandanan
yang cemerlang. Aku perhatikan setiap wajah yang hadir disini. Penuh ketegangan
dan penuh debar penantian. Aku juga perhatikan langkah tergesa-gesa yang
memasuki ruang tertutup tersebut, sambil membayangkan bagaimana rupa wajahku
sendiri saat disuruh berakting.
Sebelum-sebelumnya aku tak pernah mencita-citakan diri terjun ke dunia
keartisan. Menjalani kehidupan didepan kamera dan mata masyarakat perlu banyak keterbukaan,
namun juga perlu lebih banyak lagi kemunafikan. Diri ini mesti selalu pandai
menyesuaikan diri seperti yang diinginkan publik tanpa memiliki kesempatan
untuk menampilkan diri dengan sejujur-jujurnya. Kesempurnaan tanpa cacat dan
cela yang mesti ditampakkan. Sementara aku bukanlah jenis manusia yang senang
pamer diri, namun jalan hidup yang menyimpang dari keinginanku inilah yang
justru mesti kulewati.
Seorang perempuan yang baru datang duduk disebelahku. Pakaiannya yang
ketat seperti menempel rekat pada setiap lekuk tubuh mungilnya. Rok mininya tak
sanggup menutupi aurat disekitar kaki jenjangnya dan pahanya. Kulit yang halus
mulus terpapar begitu saja, disentuh udara dan panas matahari.
Saat hendak duduk, ia begitu hati-hati dan berusaha sebisa mungkin agar
bagian yang seharusnya tertutupi benar-benar tak terlihat mata jahil. Kentara
sekali ia kurang nyaman dengan busana yang dikenakannya itu. Namun pada saat
itu juga, ia masih sempat mengibaskan rambut sebahunya yang hitam kemilau. Melalui
adegan dramatis tersebut, aku sendiri dapat meresapi pesonanya. Jauh dilubuk
pikiran ini aku begitu bergairah pada kemolekan dari keindahan struktur bentuk
tubuh perempuan tersebut.
Perempuan itu menoleh dan melempar senyum padaku. Aku membalas ala
kadarnya saja, tapi tarikan senyum itu mengisyarakatkan sebuah persahabatan.
Karena senyum itulah aku berani bertanya.
“Ikut casting juga?”
“Selain tempat casting, memangnya
rumah produksi ini terima pendaftaran apalagi?”, kata perempuan itu sama sekali
tak seragam dengan makna senyuman yang ia lemparkan tadi.
“”Pastinya kau sering ikut-ikut
casting begini”, kataku lagi namun lebih hati-hati.
“Menjadi artis tidak membutuhkan
banyak gelar atau sekolah tinggi-tinggi”, jawab perempuan itu serius.
“Kehidupan kita akan diperhatikan banyak orang, bahkan ditiru layaknya orang
yang memiliki kehormatan dan keistimewaan tinggi. Yang dibutuhkan cuma
keberanian dan percaya diri berlebih. Itulah yang diinginkan oleh banyak orang.
Walaupun seringkali kebodohan kitalah yang justru diperbincangkan”.
“Aku pikir kita memang harus siap
dengan segala resikonya”.
Perempuan itu barpaling kearahku, dan menatapku
lebih lama, menyorotkan sinar matanya kedalam bola mataku. “Kau sendiri yakin
dan siap?”
Pandangan itu terasa menerkam mentalku. Aku bagai kehilangan diri
sesungguhnya, dan mesti menjaga sikap agar hal-hal yang memalukan dariku tak
menampak keluar. Diperhatikan lebih dalam, penampilanku memang yang paling
buruk ditempat ini sekarang. Paras peserta casting rata-rata enak dipandang
mata. Namun, diantara mereka juga ada yang wajahnya pas-pasan. Walaupun
demikian, itu tak menumbuhkan rasa percaya diriku dihadapan perempuan yang
tubuhnya menggoda sekali. Maka dari itu jawaban yang paling tepat atas
pertanyaan perampuan tadi adalah mengangkat bahu tak tahu.
“Semua
orang dapat menjadi artis”, sambung perempuan tersebut, “tapi tidak semua orang
dapat menjadi bintang dalam dunia keartisan. Butuh waktu lama dan usaha keras
untuk mendapatkan popularitas sebagai papan atas. Namun untuk mendapatkan itu
semua seringkali kita mesti rela merendahkan diri terlebih dahulu. Ya, seperti
yang kau lihat sekarang. Aku pakai pakaian dengan bahan terbatas demi menarik
perhatian produser atau sutradara”.
Dibidang apapun persaingan itu selalu ada. Semakin banyak penduduk yang
tersensus, maka keketatan persaingan semakin terbaca jelas. Masing-masing
individu harus mampu memperlihatkan keunikannya yang dapat menjadi karakter pembeda
dengan yang lainnya. Tak jarang pula, ketika seorang invidu tak mengenal jati
dirinya dengan baik, mereka memilih jalan pintas. Dalam dunia keartisan
biasanya tak jauh-jauh dari seputar pamer aurat atau bahkan jauh hingga
menyangkut sex.
Tapi
aku sendiri tak mau terlalu memikirkan problema perempuan ini lebih dalam.
Prasangkaku bisa saja salah. Ada baiknya aku memikirkan keadaan diriku saja
yang masih saja terpuruk dalam dunia persaingan. Akan lebih patut aku
mengutarakan diriku saja. Mungkin saja melalui pembicaraan ini aku memperoleh
jalan keluar yang tepat untuk mengatasi masalahku ini.
“Aku senang menulis”, jawabku tenang. “Aku
ingin menjadi penulis”.
“Lantas
kenapa kau ada disini?”.
“Aku
ingin namaku dikenal dan terkenal”.
Perempuan itu justru tertawa lepas. “Kenapa kau
ingin menjadi penulis?”
“Karena
tak ada lagi yang dapat kulakukan selain menulis”.
“Apa kau
berniat menjadikan menulis adalah pekerjaan profesionalmu?
Nada bicara perempuan berkesan itu menyelidikku.
Akupun jadi ragu untuk menjawabnya.
“Karena
kau hanya mampu menulis” sambung perempuan itu lagi, “maka dapat dipastikan
menulis akan menjadi sandaran hidupmu. Mau tak mau, ujungnya pasti tentang
uang”.
“Banyak
hal yang dapat ditulis tanpa harus berfokus pada uang?”
“Kalau
begitu apa maksudmu ingin dikenal dan terkenal kalau bukan tujuanmu supaya
karya-karyamu laris manis?”
“Aku
belum menelurkan karya satupun”.
“Nah,
apalagi seperti itu. Kau pasti ingin namamu cepat melesat sehingga tepat
karyamu diterbitkan, orang-orang akan segera tahu dan membelinya”.
Sungguh perempuan ini mulai keterlaluan padaku. Padahal, apabila aku melenyapkan tata krama dalam
obrolan ini, aku bisa saja membalikkannya. Apapula tujuannya memakai busana
seminim ini kalau bukan untuk menggoda sutradara atau produsernya? Jelas saja
itu pasti karena ia butuh uang.
“Bagiku
penulis pastilah seorang pengecut”, bisik perempuan itu menyentil lubuk
terdalam sanubariku. Ia persis kedua orangtuaku yang selalu menilai segala
sesuatunya dari segi materi saja. “Mereka biasanya cuma berani mengkritik tanpa
berani memperlihatkan wujud aslinya. Kata lainnya jago kandang. Mereka
bersembunyi dibalik kata dan mengecoh logika orang-orang dengan rangkaian
kata-katanya. Apa yang ditulis dengan makna dibalik semua itu selalu dibuat
bertentangan. Ya, walaupun demikian apalah arti seorang artis tanpa penulis.
Tapi setidak-tidaknya harap kau tahu, produser dan sutradara seringkali
mengintimidasi penulis”.
“Dilihat
dari sejarahnya, lebih banyak nama penulis yang melegenda daripada nama
produser atau sutradara”, belaku.
“Kalau
begitu buktikanlah. Kau mau nama kepenulisanmu dikenal dan terkenal, bukan?”.
Bibirku tak bergerak sedikitpun. Aku seperti telah
terjebak diantara kata ‘dikenal’ dan ‘terkenal’. Sulit bagiku untuk bersikap
melalui suara, harus mengatakan ya atau tidak.
“Mau aku
kasih tahu rahasia termudah dan tercepat untuk dapat dikenal dan terkenal?”.
“Apa?”,
kataku pelan menyimpan sedikit rasa penasaran, meski aku juga tahu sebenarnya
aku salah untuk mengucap kata tanya tersebut.
“Buatlah
sensasi baru”.
***&&***
Udara kota tak pernah terasa nyaman dipernafasan. Debu dan asap layaknya
campuran tepat yang dapat memberikan rasa khas pada paru-paruku. Lebih-lebih
terik matahari membakar kulit. Sekujur tubuhku berkeringat dan lengket.
Panas-panas begini enaknya dekat-dekat dengan air dingin, entah itu mandi
berlama-lama untuk menyegarkan tubuhku kembali atau minum banyak-banyak untuk
menyegarkan tenggorokanku lagi.
Sepulang dari rumah produksi itu, aku merasa hidupku telah diuji sebelum
masuk neraka. Ternyata menjadi seorang artispun membutuhkan perjuangan yang
panjang. Aku harus mengalahkan banyak saingan dan sering casting. Setelah aku
tak terpilih dicasting tersebut, aku sadar wajahku mungkin bukan tipe yang
dibutuhkan kamera. Lalu, aku pulang dengan hati lunglai, melewati terjangan
gelombang panas matahari dan polusi. Aku berharap setibanya di kamar lotengku,
aku dapat menenangkan keadaan ini.
Tapi
apa yang kuharapkan itu tak terkabul. Dengan air muka tercengang heran, aku
mendapati sebuah koper kecil didepan pintu kamar lotengku. Ada yang ganjil.
Kucoba raba-raba palang diatas pintu, namun kunci pintu yang biasa aku simpan
diatas palang tersebut tak ada. Aku tarik gerendel pintunya. Terkunci. Tak puas
dengan hanya satu tarikan, aku terus gerakkkan gerendelnya sambil
kudorong-dorong daun pintu tersebut dengan bahuku. Pintu tak mau terbuka.
“Pintu
itu takkan terbuka sebelum kau bayar uang sewanya”.
Aku
putar badan mengikuti arah suara tersebut. Sesosok wanita paruh baya berdiri
menghadangku dengan tatapan yang tak mencerminkan perdamaian. Ribuan helai
rambut yang menempel dikepalanya terlihat seperti tak pernah disisir. Wajahnya
kusam dengan tempelan hidung yang besar dan mata yang hitam. Penampilan sosok
wanita paruh baya ini memang seadanya, tapi kunci yang tergenggam ditangannya
itu membuktikan ia punya kuasa terhadap diriku.
“Aku
sudah bilang aku pasti membayarnya”, belaku penuh pengharapan
“Kapan?”, ucap pemilik kamar loteng ini dengan menekankan nada bicaranya.
“Secepatnya. Kalau ada tulisanku yang dimuat”, singkatku berusaha
meyakinkan.
Wanita paruh baya itu mendengus sekali pada hidung
besarnya. “Itu tak ada kepastiannya”.
“Aku
mohon Ibu mau berbaik hati sama saya. Sekali ini saja”, mintaku. Terus terang,
baru kali ini saja aku mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Posisiku
benar-benar dalam keadaan terjepit. Aku tak tahu siapa lagi yang dapat aku
mintai bantuannya.
“Sekali
lagi?”, melalui matanya yang terbuka lebar, menampakkan keterkejutannya, aku
tahu Ibu pemilik kamar loteng ini telah memilih perannya sebagai antagonis,
“Kau pikir apa yang telah aku lakukan selama tiga bulan belakangan ini padamu.
Aku telah memberikanmu banyak kesempatan. Sekarang, aku tak bisa mentolerirnya
lagi. Aku juga punya banyak kebutuhan”.
Ia
meninggalkanku yang penuh kebingungan dibelakangnya. Ia kelihatan tak peduli
lagi dengan kondisiku yang menyedihkan ini. Dan, entah siapa yang memang peduli
padaku. Orangtuaku sendiri tak bisa aku jadikan sandaran. Akupun sudah tak
berani minta apa-apa pada mereka. Apabila aku datang kembali pada pangkuan
mereka, dalam keadaan memprihatinkan begini, maka artinya aku kalah.
Aku
kembali pada koper yang tergeletak didepan pintu. Hanya koper yang berisi pakaian-pakaianku.
Ada satu benda milikku yang paling berharga tak ada disini. Aku putar badan
lagi, memanggil Ibu pemilik kamar loteng ini.
“Tunggu,
Bu!”
Wanita paruh baya itu terpaksa menghentikan
langkahnya. Dengan malas ia menghadap dan menatap wajahku. “Mau apa lagi? Mau
ngajak negosiasi? Kompromi?”.
“Mesin
tikku mana?”
“Itu
barang rongsokan”, jawabnya tanpa rasa bersalah. “Tidak cukup untuk membayar
semua tunggakanmu”.
“Jadi
Ibu menjualnya?”, bibirku gemetar tak sanggup mengucapkannya. Si Ibu itu justru
memberikan punggung, meninggalkanku dibelakangnya. Rasa geram yang kutunjukkan
melalui gemelutuk gigiku sama sekali tak digubrisnya.
Ingin sekali aku menggonggongi wanita paruh baya tersebut. Boleh orang
bilang mesin tikku itu barang rongsokan yang tak bernilai. Tapi setidaknya,
disaat-saat posisiku tengah terjepit begini, barang yang disebut rongsokan itu
masih dapat menolongku dari masalah yang dapat terbawa sampai ke liang lahat;
hutang. Meskipun jemari tangan ini takkan bisa lagi bergerak diatas
tombol-tombol kerasnya. Sekarang, aku tak tahu lagi apa yang dapat kulakukan
dengan tangan ini selain menyeret koper itu dan segera meninggalkan tempat ini.
Kulangkahkan kaki tanpa arah pasti. Sejauh mata memandang yang terlihat
didepan sana hanyalah setitik kehampaan. Jalan-jalan seakan memberikan
persimpangan yang tak berhak aku pilih. Entah apa yang mesti kuharapkan.
Setelah merasa diuji, kini sungguh-sungguh aku merasa dijebloskan langsung
kedalam api neraka. Panas matahari diatas sana tak hanya membakar kulit dan
ubun-ubunku, tapi juga jiwa dan pikiranku.
Aku
hidup bagai musafir ditengah perjalanan jauh dan kehabisan persediaan.
Sebongkah batu besar terasa menekan dadaku kuat-kuat. Kutundukkan wajah melihat
bayang-bayang sendiri yang bulat dan padat. Dibumi seluas ini dan seramai ini,
aku berjalan dalam keterasingan. Aku harus tegarkan diri ini, menghirup nafas
dalam-dalam, tak peduli debu dan asap memenuhi paru-paruku, meyakinkan hati
bahwa hari esok pasti masih kan terjelang.
Disebuah
halte aku istirahatkan diri. Aku mencoba duduk tenang sambil menjaga koper dan
tas ranselku. Peluh dan keringat tak kuasa jatuh menetes dari keningku. Aku
usap, namun justru semakin menodai kebersihan wajahku. Dihadapanku,
kendaraan-kendaraan berlalu lalang dengan suara yang bising diatas jalanan
beraspal. Aku diam menunggu, tapi tak tahu apa yang tengah kutunggu. Mukzizat
Tuhan seolah terperangkap diatas langit sana.
Kuambil handphoneku. Kutekan terus tombolnya ke bawah. Nama orangtuaku
terpampang dilayar telepon genggamku. Saat itu juga segera kuurungkan niat
menghubungi mereka. Aku adalah anak laki-laki. Aku harus mampu berdiri walau
diterpa badai sekencang apapun. Anak laki-laki tak boleh cengeng dan menyerah.
Anak laki-laki harus mampu mempertahankan prinsipnya, menjadikan kenyataan
selalu mengikuti segala kehendak dan maunya. Anak laki-laki harus sanggup
mengenggam hidupnya sendiri. Apabila aku tak mampu, keperkasaan dan ketangkasan
yang menjadi takdir garis tangan seorang anak laki-laki hanyalah isapan jempol
belaka bagiku. Sepatutnya aku dilempari kerikil dan diludahi.
Kubuka tas ranselku kembali. Ku ambil salah satu karyaku. Tanganku mulai
beraksi, membolak-balik kertas-kertas yang berisi tulisanku. Tiba-tiba saja
pikiranku terbawa ke rumah produksi itu dan perempuan manis yang duduk
disampingku. Masih kuingat jelas kalimat terakhir yang diucapkannya. Tiga kata
itu diucapkannya dengan penuh penekanan, seakan mendesakku untuk berani tampil
dengan keunikan dan ekspresi yang berbeda.
Buatlah sensasi baru!
Tak
salah juga apabila aku mengikuti sarannya itu. Aku harus menciptakan sebuah
drama yang memukau. Tentu saja, aku harus langsung mempraktekkannya. Aku harus
melakukannya baik-baik agar orang-orang bersedia melihat bakatku. Mereka pasti
akan terperangah begitu ajaibnya aku ini. Aku hanya membutuhkan satu saja
sentuhan baru; keberanian.
Pada
saat itu juga aku langsung menuju kantor redaksi, alamat yang sering aku kirimi
karya-karyaku. Kutekan nomor telepon kantor redaksi tersebut. Selama menunggu
teleponku diangkat, ketenanganku terganggu. Aku merasa gemetar dan takut. Namun
dengan suara diberat-beratkan dan dikasar-kasarkan, aku melontarkan sebuah
ancaman kepada yang mengangkat teleponku itu.
Jauh
dari balik telepon ini, siapapun yang mengangkatnya, aku yakin ia pasti
diserang ketakutan yang tiba-tiba. Bibirnya tak sanggup bergerak membalas
ocehanku ini. Diakhir kalimat dalam ancamanku itu aku semakin menekankan, “Di
gedung ini telah aku letakkan bom waktu. Tidak lama lagi, dalam sekian detik,
bom itu akan meledak dan memporak-porandakan seisi gedung ini”.
Setelah itu segera kuputuskan hubungan telepon ini. Sejauh ini aku tak
bisa menterjemahkan keadaan hati ini; lega atau tidak. Setidaknya aku telah
menyelesaikan salah satu adegan yang paling menegangkan. Selanjutnya aku
tinggal memamerkan inti dari rencanaku ini.
Tak
lama hubungan telepon itu terputus, terdengar suara teriakan yang riuh,
“Teroris! Teroris! Teroris!”.
Lantas
saja, semua orang yang berada dalam gedung ini kaget dan berlari-lari keluar
menyelamatkan diri. Cepat-cepat aku menuju lift dan naik hingga ke lantai
paling atas. Disana aku membuka seluruh kain yang menutupi tubuhku. Aku tampil
telanjang dan polos. Ragu-ragu aku melangkah keluar sambil mengenggam lembaran
salah satu puisi yang kutulis. Semua orang yang berlari ketakutan tiba-tiba
diam terperangah melihat aksiku tanpa busana. Semuanya berkerumun menyaksikanku
tanpa suara. Untuk pertama kalinya aku diperhatikan banyak orang. Sinar
matahari diatas sana bagai lampu yang fokus menyorot diriku saja. Inilah
panggung sesungguhnya. Dengan gemetar akupun membaca puisiku itu;
penulis-penulis
yang mengemis
pena-pena
yang pucat dan kertas-kertas yang kusut
adalah
sandaran sanubari meluangkan ide
pelukis-pelukis
fakir ditengah rimbun jelaga
melarutkan
warna-warna kesepian diselembar kanvas
sepanjang
waktu tangan giat mencoret
memanfaatkan
mabuk berjalan diawang-awang
lekas
saja sang penari ilham terpeleset
diantara
timbunan kata dan tumpahan cat warna-warni
teriakan
kebun binatang tak henti bersumpah serapah
sepengecut
keledai seorang seniman mencari nafkah
pandangan
diri disembunyikan pada apa sebenarnya makna
tak
mau lagi dijajah dan
dijelajah sang manusia bebal
tapi
nyatanya hanya angan kosong yang dapat diterima
aku
berdiri direlung hati domba
sambil
memberi makan buaya rakus
dipenangkaran,
kebun binatang
tak
ada yang tahu
telah
terlahir seorang pangeran dipinggiran kota tersudutkan
memulai
pengembaraan dengan beribu-ribu selisih
sayangnya,
tuhan pun mulai tersisih
ditengah
hedonis yang fasih menghafal
ayat-ayat
wahyu pembaharuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar