Halaman

Sabtu, 07 April 2012

SENSASI AKU DAN PENA


 Diatas meja telah terseduh secangkir kopi panas. Uapnya bergoyang-goyang naik ke udara, menghantarkan aroma manis dan pekat ke indera penciuman. Aku seruput kopi itu sedikit, meresapi rasa dan aroma kopi tersebut dalam pikiran. Aku  mendesah tenang seiring kopi itu menggaruk permukaan lidahku yang kasar dan mengalir tenang melalui kerongkongan dibalik leherku. Kandungan kafein dalam kopi tersebut dapat membantuku terjaga sepanjang malam ini, mengoptimalkan jalan pikiranku yang aku tumpahkan kedalam bentuk tulisan.
    Jari jemariku bergerak teratur diatas tombol-tombol mesin tik sederhana tersebut. Setiapkali aku menekankan jari tanganku pada tombol-tombol tersebut terdengar bunyi-bunyi yang dapat menggerahkan telinga siapapun yang terjaga malam ini. Tapi, didalam kamar yang sumpek nan pengap hanya ada aku seorang diri. Bunyi-bunyi berisik mesin tik itu menjadi satu-satunya sumber keramaian dalam kesendirianku.
    Ku ketikkan kata per katanya penuh khidmat, berusaha menciptakan kesakralan dalam serangkaian kalimat yang kubuat. Dibalik maknanya aku sisipkan perasaan, berharap isi pedalaman jiwa dan pikir yang telah kujelajahi sanggup menyentuh naluri para insan yang membaca karya-karyaku nanti.
    Aku ingat-ingat peristiwa yang telah  kubaca dan kulihat dalam berbagai media. Aku ingat-ingat pula segala kejadian yang pernah menimpaku. Juga tragedi yang pernah menerpa pribadi diluar diriku sendiri. Lalu, kuracik dan kukembangkan sedemikian rupa kisah-kisah nyata tersebut kedalam dunia dongengan hasil rekaanku sendiri. Kubayangkan segala peristiwa baru itu kedalam pikiranku dan kupikirkan jalan ceritanya agar runtut dan teratur. Namun, ilham yang menghampiriku malam ini seolah enggan menyerahkan jiwanya begitu saja. Aku tak bisa asal-asalan menuliskan sebuah karya. Saat aku mulai menjentikkan jemariku diatas tombol-tombol huruf tersebut, tiba-tiba keleluasaanku seakan menghilang. Entah berapa kali aku melakukan kesalahan, menghapus kata atau kalimat yang kurasa tak padan. Bahkan sudah berlembar-lembar kertas yang nasibnya berakhir di tong sampah.
    Banyaknya penolakan yang sering kuterima, barangkali, telah mengambil sedikit peran pada kepercayaan diriku, memaksaku harus lebih teliti dan seksama. Mengerjakan satu kalimat saja seperti menyelesaikan satu rumusan matematika yang teramat sulit. Karya-karyaku bersaing dengan penulis yang sudah punya nama. Hal itu membuatku meragu pada hasil tulisanku sendiri; apakah layak untuk dibaca umum atau tidak.
    Seluruh tulisan dari penulis ternama yang dimuat aku pelajari dan pahami. Aku baca seteliti mungkin sampai otakku mampu meresapinya. Tak hanya kuperhatikan dari segi tata bahasa dan alurnya saja, bahkan aku sampai memperkirakan bagaimana sang penulis ternama tersebut menggerakan jari jemarinya saat menulis atau mengetik. Kadang, ada beberapa tulisan yang kutemui lebih kering dari apa yang kutulis. Aku heran mengapa tulisanku sampai kalah bersaing dengan tulisan picisan begini. Nama, yang seharusnya tak layak dijadikan satu-satunya sumber jaminan telah menjadi patokan mutu dalam membandingkan kualitas dengan penulis pemula.
    Barangkali juga persangkaanku itu salah. Kurang dari seminggu saja, beratus-ratus judul kisah fiktif telah tertumpuk dimeja redaksi. Jika dikalkulasikan, maka dalam setahun akan ada ribuan judul yang terkirim. Tak mungkin sang redaktur, dalam keterbatasan waktu deadline, membaca satu per satu tulisan-tulisan itu. Sementara itupula, kolom yang disediakan dan waktu pemuatannya pun sangat dibatasi. Alhasil namalah yang menjadi acuannya. Tak peduli isi karya tersebut berkualitas atau tidak.
    Lama-lama, memikirkan tentang nama tersebut memberikan jalur batas yang tak bisa ditembus pikiranku lagi. Sebuah dinding tebal tiba-tiba tumbuh menghalangi laju daya imajinasiku. Semuanya tertutup. Lenyap. Tanganku berhenti bergerak diatas tombol-tombol mesin tik tersebut. Sementara pikiranku masih bersusah payah membobol dinding tebal tersebut.
    Buntu.
    Aku sandarkan punggungku diatas kursi yang kududuki. Aku tatap langit-langit kamarku yang rendah. Bidang diatas kepalaku itu tak memberikan bacaan apapun. Kulirik kanan kiri. Kamar yang sempit dan berantakan. Empat sisi dinding kamar ini seakan diam-diam hendak menjepitku. Aku sudah lelah memeras ide-ide diotakku. Aku butuh relaksasi. Semua sisi-sisi yang membentuk kamar ini terasa membatasi daya kreatifitasku.
    Kuatur nafas baik-baik, berusaha menahan ledakan yang mungkin bakal muncul dari kekalutan jiwaku. Kalau sudah meledak, aku tahu, aku takkan segan-segan mengacaukan seluruh isi kamar ini. Bahkan aku akan melemparkan tubuhku sendiri berkali-kali keatas dinding dan menggetok-getok isi kepalaku sendiri, seakan dengan cara seperti itu seluruh ide yang terpasung dalam otakku dapat mencair.
    Aku ambil sebatang rokok disaku celanaku. Aku nyalakan ujungnya sambil menghisapnya. Kepulan asap putih berhamburan keluar dari lubang mulut dan hidungku seiring kuhembuskan nafas ke udara. Bumbungan asap yang keluar dari dua lubang pernafasanku itu melayang gelisah di udara bagai mencari arah tepat hingga akhirnya pecah terbawa angin malam. Aku tak peduli lagi pada batuk-batuk kecil yang kuderita sebagai pertanda penyakit paru-paru mulai menjangkiti organ pernafasanku. Rokok, adalah satu-satunya hiburan terbaik yang kumiliki.
    Saat kupandangi kepulan asap rokok, selalu timbul rasa cemburuku. Aku mulai memikirkan banyak pengandaian. Betapa asap rokok itu begitu ringan, terangkat ke udara, melayang bebas kemanapun ia ingin menuju, menemui kebebasannya. Aku ingin begitu----menjalani kehidupan tanpa banyak beban, mendapatkan semua apa yang diinginkan tanpa harus lelah putar-putar isi kepala dan memeras keringat.
    Waktu terus merambat. Jam dinding telah menunjukkan waktu dini hari. Tapi tak ada niat menutup mata barang sebentarpun. Aku bangkit dari dudukku. Sedikit meregangkan otot-otot pinggangku yang pegal. Aku menuju jendela kecil disebelahnya dan membukanya. Lekas saja angin malam mendorong wajahku dan merndinginkan lubang pori-pori disekujur tubuhku. Sepasang mataku memandang luas permukaan langit dan bumi, hingga akhirnya tertumpu pada satu titik pandang terjauh yang dapat dijangkau penglihatan mataku. Gelap telah meredam hingar bingar kesibukan kota, namun dikejauhan kelihatannya keramaian masih berlangsung. Disekitarku, satu-satunya partikel yang masih berani mengeluarkan suaranya adalah udara yang  bergemerisik ringan ditelingaku sebagai angin. Lampu-lampu menyala kelap-kelip mereplikakan taburan bintang dilangit.
    Dititik terjauh pandanganku itu, kucoba mencari-cari sebentuk ilham yang mungkin bersembunyi diantara tembok-tembok beton gedung pencakar langit. Aku ingin melepaskan segala beban yang selalu menggelayuti nafas didadaku. Memandang panorama malam di kota begini dapat membuat pikiranku sedikit tercerahkan kembali. Aku yakin banyak ilham yang dapat dijadikan sumber ide dibalik rahasia malam yang dapat kutumpahkan dalam bentuk tulisan. Yang paling patut kusayangkan hanya satu; langit kota sepi dari taburan bintang. Polusi telah menutupi kemegahan gemerlap bintang-bintang.
    Alam telah sekian lama membantu mengakrabkanku dengan pena. Sayang, tidak dengan kedua orangtuaku. Mereka melarang anaknya habis-habisan berkecimpung didunia sastra. Bagi mereka itu sangat diluar rasionalitas. Fokus mereka hanya terpaku pada kebutuhan materi saja. Apabila aku kedapatan tengah asyik menulis, segera kobaran api akan menyala diwajah mereka. Mereka takkan tanggung-tanggung membakar semua karya yang telah kuselesaikan.
“Apa yang dapat kau harapkan dari menulis? Lihat saja Chairil Anwar! Apakah dia orang kaya! Lihat saja Van Gogh! Apakah dia orang berbahagia! Yang namanya seniman, entah itu penulis atau pelukis, hidupnya pasti sengsara. Masa depannya suram. Kau mau seperti itu? Ingat, Nak, tak ada keturunan moyang kita yang jadi penulis. Menulis itu pekerjaan pengecut!”.
    Kata-kata yang dibumbui oleh amarah itu terasa benar menusuk pedalaman kalbuku. Namun, aku tahu itu sebentuk perhatian kedua orangtuaku demi kebaikan buah hatinya. Walaupun demikian, aku tetap bersikeras pada prinsipku. Pandangan orangtuaku terhadap seni terlalu kolot. Ini lebih sekedar dari uang. Ini adalah tentang sebuah jalan hidup yang mesti  kutempuh dalam mengenali kesejatian diri.
    Akhirnya, pertentangan dengan orangtuaku itu membangkitkan semangat kemandirianku. Aku kabur. Diatas meja didalam kamarku, kutinggalkan selembar surat. Aku berharap orangtuaku tak mengkhawatirkan kepergianku dan tak perlu repot-repot mencariku. Yang paling penting dari itu semua, aku berharap orangtuaku dapat mengerti makna dibalik keminggatan diriku ini.
    Aku akui kata-kata terakhir orangtuaku yang menyebutkan kepengecutan seorang penulis sangat menyakitkan hatiku. Aku merasa rendah dengan talentaku ini. Salah satu maksud aku minggat dari rumah ini adalah ingin membuktikan pada dunia dan orangtuaku bahwa apa yang kulakukan dan kuusahakan ini adalah memang sebuah kepantasan yang layak. Huruf-huruf merupakan simbol dari peradaban, maka aku yakin menulis dapat menjadikanku selalu hidup dalam sejarah diberbagai masa.
    Seorang Chairil memang bukan orang yang dianugerahkan limpahan harta benda, tapi melalui kekuatan penanya, meskipun setelah matinya, ia berhasil melewati keadaan berbagai zaman dan kaya dalam ingatan para generasi selanjutnya. Begitupula seorang Van Gogh. Karya-karyanya yang tergores indah dalam kanvas masih begitu dipuja-puja dalam daya inspirasi generasi kini. Meskipun dalam menjalani kegalauan hidup, aku sendiri takkan melakukan hal tragis seekstrim Van Gogh memotong telinganya.
    Maka akhirnya, langkah kaki ini membawaku pada  tempat dan suasana baru. Disudut kota, terjauhkan dari glamornya kehidupan metropolis, diantara gang-gang sempit yang berkelok-kelok, aku menyewa sebuah kamar. Disinilah kini aku bertempat tinggal, berteduh dari terik panas dan hujan.
    Awalnya cukup sulit menyesuaikan diri dilingkungan padat dengan luas lahan yang tak sesuai dengan jumlah penduduknya. Setidaknya kondisi sempit dan sesak disini justru membuatku dapat sedikit bernafas lega. Aku tak perlu lagi mendengar komentar buruk, keluhan, atau amarah orangtuaku sendiri. Aku merasa bebas dan leluasa mengembangkan ambisiku ini.
    Memang tinggal diantara gang-gang sempit sangat menyesakkan. Saking sempitnya, apabila terjadi kebakaran atau banjir akan sulit menyelamatkan diri, apalagi menyelamatkan harta benda. Tata ruangnya sangat memprihatinkan. Rumah-rumah dibangun diatas lahan yang sangat terbatas, saling berdempetan dan berdesakan. Untuk menyiasati kekurangan lahan tersebut, biasanya warga meninggikan bangunan rumahnya. Salah satunya menyulap loteng menjadi kamar.
    Dikamar loteng ini pulalah aku kini tengah berdiri memandang keluar menikmati semilir angin malam. Hidup ditengah-tengah masyarakat baru memberikan sedikit ruang dalam pikiranku. Aku merasa semakin didekatkan pada dimensi kehidupan urban yang berbeda, yang sesungguhnya. Ide-ide segar kerapkali menghampiri diriku, meski terkadang, seperti saat ini, tiba-tiba semuanya buntu. Memang sampai saat ini, aku belum berhasil menelurkan karya satupun. Sudah dikatakan tadi aku terganjal nama.
    Biasanya nama seseorang dapat besar karena prestasinya. Sementara aku justru dihadapkan pada kondisi sebaliknya.  Sebenarnya ada satu cara yang dapat membuat namaku dikenal banyak orang; menjadi artis. Barangkali dengan nama keartisanku nanti aku akan mudah mempublikasikan karya-karyaku nanti. Jalan pintas dari semua ini adalah ikut casting.
***&&&**

    Aku duduk dipojok ruangan. Tas ransel kecil yang kubawa, kudekap erat diatas pangkuanku seolah benda tersebut yang paling berharga diantara benda lainnya yang kumiliki. Tak tahu akan melewatkan waktu berapa lama aku menunggu namaku dipanggil. Aku telah menyerahkan foto terbaikku dengan senyum sumringah yang paling dipaksakan. Aku juga telah mengisi formulir pendaftaran sebagai peserta casting.
    Satu per satu nama dipanggil masuk kedalam ruangan tertutup. Aku telah sangka sebelumnya akan mengantre seperti ini. Cukup banyak orang yang hendak menggantungkan nasibnya dalam dunia hiburan. Mereka datang kemari dengan penampilan paling nyentrik, berharap dengan cara seperti itu dapat mengundang perhatian dan mendapatkan peran. Sementara aku tampil apa adanya tanpa dandanan yang cemerlang. Aku perhatikan setiap wajah yang hadir disini. Penuh ketegangan dan penuh debar penantian. Aku juga perhatikan langkah tergesa-gesa yang memasuki ruang tertutup tersebut, sambil membayangkan bagaimana rupa wajahku sendiri saat disuruh berakting.
    Sebelum-sebelumnya aku tak pernah mencita-citakan diri terjun ke dunia keartisan. Menjalani kehidupan didepan kamera dan mata masyarakat perlu banyak keterbukaan, namun juga perlu lebih banyak lagi kemunafikan. Diri ini mesti selalu pandai menyesuaikan diri seperti yang diinginkan publik tanpa memiliki kesempatan untuk menampilkan diri dengan sejujur-jujurnya. Kesempurnaan tanpa cacat dan cela yang mesti ditampakkan. Sementara aku bukanlah jenis manusia yang senang pamer diri, namun jalan hidup yang menyimpang dari keinginanku inilah yang justru mesti  kulewati.
    Seorang perempuan yang baru datang duduk disebelahku. Pakaiannya yang ketat seperti menempel rekat pada setiap lekuk tubuh mungilnya. Rok mininya tak sanggup menutupi aurat disekitar kaki jenjangnya dan pahanya. Kulit yang halus mulus terpapar begitu saja, disentuh udara dan panas matahari.
    Saat hendak duduk, ia begitu hati-hati dan berusaha sebisa mungkin agar bagian yang seharusnya tertutupi benar-benar tak terlihat mata jahil. Kentara sekali ia kurang nyaman dengan busana yang dikenakannya itu. Namun pada saat itu juga, ia masih sempat mengibaskan rambut sebahunya yang hitam kemilau. Melalui adegan dramatis tersebut, aku sendiri dapat meresapi pesonanya. Jauh dilubuk pikiran ini aku begitu bergairah pada kemolekan dari keindahan struktur bentuk tubuh perempuan tersebut.
    Perempuan itu menoleh dan melempar senyum padaku. Aku membalas ala kadarnya saja, tapi tarikan senyum itu mengisyarakatkan sebuah persahabatan. Karena senyum itulah aku berani bertanya.
“Ikut casting juga?”
“Selain tempat casting, memangnya rumah produksi ini terima pendaftaran apalagi?”, kata perempuan itu sama sekali tak seragam dengan makna senyuman yang ia lemparkan tadi.
“”Pastinya kau sering ikut-ikut casting begini”, kataku lagi namun lebih hati-hati.
“Menjadi artis tidak membutuhkan banyak gelar atau sekolah tinggi-tinggi”, jawab perempuan itu serius. “Kehidupan kita akan diperhatikan banyak orang, bahkan ditiru layaknya orang yang memiliki kehormatan dan keistimewaan tinggi. Yang dibutuhkan cuma keberanian dan percaya diri berlebih. Itulah yang diinginkan oleh banyak orang. Walaupun seringkali kebodohan kitalah yang justru diperbincangkan”.
“Aku pikir kita memang harus siap dengan segala resikonya”.
Perempuan itu barpaling kearahku, dan menatapku lebih lama, menyorotkan sinar matanya kedalam bola mataku. “Kau sendiri yakin dan siap?”
          Pandangan itu terasa menerkam mentalku. Aku bagai kehilangan diri sesungguhnya, dan mesti menjaga sikap agar hal-hal yang memalukan dariku tak menampak keluar. Diperhatikan lebih dalam, penampilanku memang yang paling buruk ditempat ini sekarang. Paras peserta casting rata-rata enak dipandang mata. Namun, diantara mereka juga ada yang wajahnya pas-pasan. Walaupun demikian, itu tak menumbuhkan rasa percaya diriku dihadapan perempuan yang tubuhnya menggoda sekali. Maka dari itu jawaban yang paling tepat atas pertanyaan perampuan tadi adalah mengangkat bahu tak tahu.
      “Semua orang dapat menjadi artis”, sambung perempuan tersebut, “tapi tidak semua orang dapat menjadi bintang dalam dunia keartisan. Butuh waktu lama dan usaha keras untuk mendapatkan popularitas sebagai papan atas. Namun untuk mendapatkan itu semua seringkali kita mesti rela merendahkan diri terlebih dahulu. Ya, seperti yang kau lihat sekarang. Aku pakai pakaian dengan bahan terbatas demi menarik perhatian produser atau sutradara”.
          Dibidang apapun persaingan itu selalu ada. Semakin banyak penduduk yang tersensus, maka keketatan persaingan semakin terbaca jelas. Masing-masing individu harus mampu memperlihatkan keunikannya yang dapat menjadi karakter pembeda dengan yang lainnya. Tak jarang pula, ketika seorang invidu tak mengenal jati dirinya dengan baik, mereka memilih jalan pintas. Dalam dunia keartisan biasanya tak jauh-jauh dari seputar pamer aurat atau bahkan jauh hingga menyangkut sex.
          Tapi aku sendiri tak mau terlalu memikirkan problema perempuan ini lebih dalam. Prasangkaku bisa saja salah. Ada baiknya aku memikirkan keadaan diriku saja yang masih saja terpuruk dalam dunia persaingan. Akan lebih patut aku mengutarakan diriku saja. Mungkin saja melalui pembicaraan ini aku memperoleh jalan keluar yang tepat untuk mengatasi masalahku ini.
     “Aku senang menulis”, jawabku tenang. “Aku ingin menjadi penulis”.
      “Lantas kenapa kau ada disini?”.
      “Aku ingin namaku dikenal dan terkenal”.
Perempuan itu justru tertawa lepas. “Kenapa kau ingin menjadi penulis?”
     “Karena tak ada lagi yang dapat kulakukan selain menulis”.
     “Apa kau berniat menjadikan menulis adalah pekerjaan profesionalmu?
Nada bicara perempuan berkesan itu menyelidikku. Akupun jadi ragu untuk menjawabnya.
     “Karena kau hanya mampu menulis” sambung perempuan itu lagi, “maka dapat dipastikan menulis akan menjadi sandaran hidupmu. Mau tak mau, ujungnya pasti tentang uang”.
     “Banyak hal yang dapat ditulis tanpa harus berfokus pada uang?”
     “Kalau begitu apa maksudmu ingin dikenal dan terkenal kalau bukan tujuanmu supaya karya-karyamu laris manis?”
     “Aku belum menelurkan karya satupun”.
     “Nah, apalagi seperti itu. Kau pasti ingin namamu cepat melesat sehingga tepat karyamu diterbitkan, orang-orang akan segera tahu dan membelinya”.
        Sungguh perempuan ini mulai keterlaluan padaku. Padahal,  apabila aku melenyapkan tata krama dalam obrolan ini, aku bisa saja membalikkannya. Apapula tujuannya memakai busana seminim ini kalau bukan untuk menggoda sutradara atau produsernya? Jelas saja itu pasti karena ia butuh uang.
      “Bagiku penulis pastilah seorang pengecut”, bisik perempuan itu menyentil lubuk terdalam sanubariku. Ia persis kedua orangtuaku yang selalu menilai segala sesuatunya dari segi materi saja. “Mereka biasanya cuma berani mengkritik tanpa berani memperlihatkan wujud aslinya. Kata lainnya jago kandang. Mereka bersembunyi dibalik kata dan mengecoh logika orang-orang dengan rangkaian kata-katanya. Apa yang ditulis dengan makna dibalik semua itu selalu dibuat bertentangan. Ya, walaupun demikian apalah arti seorang artis tanpa penulis. Tapi setidak-tidaknya harap kau tahu, produser dan sutradara seringkali mengintimidasi penulis”.
     “Dilihat dari sejarahnya, lebih banyak nama penulis yang melegenda daripada nama produser atau sutradara”, belaku.
     “Kalau begitu buktikanlah. Kau mau nama kepenulisanmu dikenal dan terkenal, bukan?”.
Bibirku tak bergerak sedikitpun. Aku seperti telah terjebak diantara kata ‘dikenal’ dan ‘terkenal’. Sulit bagiku untuk bersikap melalui suara, harus mengatakan ya atau tidak.
     “Mau aku kasih tahu rahasia termudah dan tercepat untuk dapat dikenal dan terkenal?”.
    “Apa?”, kataku pelan menyimpan sedikit rasa penasaran, meski aku juga tahu sebenarnya aku salah untuk mengucap kata tanya tersebut.
   “Buatlah sensasi baru”.
***&&***

          Udara kota tak pernah terasa nyaman dipernafasan. Debu dan asap layaknya campuran tepat yang dapat memberikan rasa khas pada paru-paruku. Lebih-lebih terik matahari membakar kulit. Sekujur tubuhku berkeringat dan lengket. Panas-panas begini enaknya dekat-dekat dengan air dingin, entah itu mandi berlama-lama untuk menyegarkan tubuhku kembali atau minum banyak-banyak untuk menyegarkan tenggorokanku lagi.
          Sepulang dari rumah produksi itu, aku merasa hidupku telah diuji sebelum masuk neraka. Ternyata menjadi seorang artispun membutuhkan perjuangan yang panjang. Aku harus mengalahkan banyak saingan dan sering casting. Setelah aku tak terpilih dicasting tersebut, aku sadar wajahku mungkin bukan tipe yang dibutuhkan kamera. Lalu, aku pulang dengan hati lunglai, melewati terjangan gelombang panas matahari dan polusi. Aku berharap setibanya di kamar lotengku, aku dapat menenangkan keadaan ini.
          Tapi apa yang kuharapkan itu tak terkabul. Dengan air muka tercengang heran, aku mendapati sebuah koper kecil didepan pintu kamar lotengku. Ada yang ganjil. Kucoba raba-raba palang diatas pintu, namun kunci pintu yang biasa aku simpan diatas palang tersebut tak ada. Aku tarik gerendel pintunya. Terkunci. Tak puas dengan hanya satu tarikan, aku terus gerakkkan gerendelnya sambil kudorong-dorong daun pintu tersebut dengan bahuku. Pintu tak mau terbuka.
      “Pintu itu takkan terbuka sebelum kau bayar uang sewanya”.
          Aku putar badan mengikuti arah suara tersebut. Sesosok wanita paruh baya berdiri menghadangku dengan tatapan yang tak mencerminkan perdamaian. Ribuan helai rambut yang menempel dikepalanya terlihat seperti tak pernah disisir. Wajahnya kusam dengan tempelan hidung yang besar dan mata yang hitam. Penampilan sosok wanita paruh baya ini memang seadanya, tapi kunci yang tergenggam ditangannya itu membuktikan ia punya kuasa terhadap diriku.
      “Aku sudah bilang aku pasti membayarnya”, belaku penuh pengharapan
      “Kapan?”, ucap pemilik kamar loteng ini dengan menekankan nada bicaranya.
     “Secepatnya. Kalau ada tulisanku yang dimuat”, singkatku berusaha meyakinkan.
Wanita paruh baya itu mendengus sekali pada hidung besarnya. “Itu tak ada kepastiannya”.
      “Aku mohon Ibu mau berbaik hati sama saya. Sekali ini saja”, mintaku. Terus terang, baru kali ini saja aku mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Posisiku benar-benar dalam keadaan terjepit. Aku tak tahu siapa lagi yang dapat aku mintai bantuannya.
      “Sekali lagi?”, melalui matanya yang terbuka lebar, menampakkan keterkejutannya, aku tahu Ibu pemilik kamar loteng ini telah memilih perannya sebagai antagonis, “Kau pikir apa yang telah aku lakukan selama tiga bulan belakangan ini padamu. Aku telah memberikanmu banyak kesempatan. Sekarang, aku tak bisa mentolerirnya lagi. Aku juga punya banyak kebutuhan”.
          Ia meninggalkanku yang penuh kebingungan dibelakangnya. Ia kelihatan tak peduli lagi dengan kondisiku yang menyedihkan ini. Dan, entah siapa yang memang peduli padaku. Orangtuaku sendiri tak bisa aku jadikan sandaran. Akupun sudah tak berani minta apa-apa pada mereka. Apabila aku datang kembali pada pangkuan mereka, dalam keadaan memprihatinkan begini, maka artinya aku kalah.
          Aku kembali pada koper yang tergeletak didepan pintu. Hanya koper yang berisi pakaian-pakaianku. Ada satu benda milikku yang paling berharga tak ada disini. Aku putar badan lagi, memanggil Ibu pemilik kamar loteng ini.
     “Tunggu, Bu!”
Wanita paruh baya itu terpaksa menghentikan langkahnya. Dengan malas ia menghadap dan menatap wajahku. “Mau apa lagi? Mau ngajak negosiasi? Kompromi?”.
      “Mesin tikku mana?”
      “Itu barang rongsokan”, jawabnya tanpa rasa bersalah. “Tidak cukup untuk membayar semua tunggakanmu”.
      “Jadi Ibu menjualnya?”, bibirku gemetar tak sanggup mengucapkannya. Si Ibu itu justru memberikan punggung, meninggalkanku dibelakangnya. Rasa geram yang kutunjukkan melalui gemelutuk gigiku sama sekali tak digubrisnya.
          Ingin sekali aku menggonggongi wanita paruh baya tersebut. Boleh orang bilang mesin tikku itu barang rongsokan yang tak bernilai. Tapi setidaknya, disaat-saat posisiku tengah terjepit begini, barang yang disebut rongsokan itu masih dapat menolongku dari masalah yang dapat terbawa sampai ke liang lahat; hutang. Meskipun jemari tangan ini takkan bisa lagi bergerak diatas tombol-tombol kerasnya. Sekarang, aku tak tahu lagi apa yang dapat kulakukan dengan tangan ini selain menyeret koper itu dan segera meninggalkan tempat ini.
          Kulangkahkan kaki tanpa arah pasti. Sejauh mata memandang yang terlihat didepan sana hanyalah setitik kehampaan. Jalan-jalan seakan memberikan persimpangan yang tak berhak aku pilih. Entah apa yang mesti kuharapkan. Setelah merasa diuji, kini sungguh-sungguh aku merasa dijebloskan langsung kedalam api neraka. Panas matahari diatas sana tak hanya membakar kulit dan ubun-ubunku, tapi juga jiwa dan pikiranku.
          Aku hidup bagai musafir ditengah perjalanan jauh dan kehabisan persediaan. Sebongkah batu besar terasa menekan dadaku kuat-kuat. Kutundukkan wajah melihat bayang-bayang sendiri yang bulat dan padat. Dibumi seluas ini dan seramai ini, aku berjalan dalam keterasingan. Aku harus tegarkan diri ini, menghirup nafas dalam-dalam, tak peduli debu dan asap memenuhi paru-paruku, meyakinkan hati bahwa hari esok pasti masih kan terjelang.
          Disebuah halte aku istirahatkan diri. Aku mencoba duduk tenang sambil menjaga koper dan tas ranselku. Peluh dan keringat tak kuasa jatuh menetes dari keningku. Aku usap, namun justru semakin menodai kebersihan wajahku. Dihadapanku, kendaraan-kendaraan berlalu lalang dengan suara yang bising diatas jalanan beraspal. Aku diam menunggu, tapi tak tahu apa yang tengah kutunggu. Mukzizat Tuhan seolah terperangkap diatas langit sana.
          Kuambil handphoneku. Kutekan terus tombolnya ke bawah. Nama orangtuaku terpampang dilayar telepon genggamku. Saat itu juga segera kuurungkan niat menghubungi mereka. Aku adalah anak laki-laki. Aku harus mampu berdiri walau diterpa badai sekencang apapun. Anak laki-laki tak boleh cengeng dan menyerah. Anak laki-laki harus mampu mempertahankan prinsipnya, menjadikan kenyataan selalu mengikuti segala kehendak dan maunya. Anak laki-laki harus sanggup mengenggam hidupnya sendiri. Apabila aku tak mampu, keperkasaan dan ketangkasan yang menjadi takdir garis tangan seorang anak laki-laki hanyalah isapan jempol belaka bagiku. Sepatutnya aku dilempari kerikil dan diludahi.
          Kubuka tas ranselku kembali. Ku ambil salah satu karyaku. Tanganku mulai beraksi, membolak-balik kertas-kertas yang berisi tulisanku. Tiba-tiba saja pikiranku terbawa ke rumah produksi itu dan perempuan manis yang duduk disampingku. Masih kuingat jelas kalimat terakhir yang diucapkannya. Tiga kata itu diucapkannya dengan penuh penekanan, seakan mendesakku untuk berani tampil dengan keunikan dan ekspresi yang berbeda.
          Buatlah sensasi baru!
          Tak salah juga apabila aku mengikuti sarannya itu. Aku harus menciptakan sebuah drama yang memukau. Tentu saja, aku harus langsung mempraktekkannya. Aku harus melakukannya baik-baik agar orang-orang bersedia melihat bakatku. Mereka pasti akan terperangah begitu ajaibnya aku ini. Aku hanya membutuhkan satu saja sentuhan baru; keberanian.
          Pada saat itu juga aku langsung menuju kantor redaksi, alamat yang sering aku kirimi karya-karyaku. Kutekan nomor telepon kantor redaksi tersebut. Selama menunggu teleponku diangkat, ketenanganku terganggu. Aku merasa gemetar dan takut. Namun dengan suara diberat-beratkan dan dikasar-kasarkan, aku melontarkan sebuah ancaman kepada yang mengangkat teleponku itu.
          Jauh dari balik telepon ini, siapapun yang mengangkatnya, aku yakin ia pasti diserang ketakutan yang tiba-tiba. Bibirnya tak sanggup bergerak membalas ocehanku ini. Diakhir kalimat dalam ancamanku itu aku semakin menekankan, “Di gedung ini telah aku letakkan bom waktu. Tidak lama lagi, dalam sekian detik, bom itu akan meledak dan memporak-porandakan seisi gedung ini”.
          Setelah itu segera kuputuskan hubungan telepon ini. Sejauh ini aku tak bisa menterjemahkan keadaan hati ini; lega atau tidak. Setidaknya aku telah menyelesaikan salah satu adegan yang paling menegangkan. Selanjutnya aku tinggal memamerkan inti dari rencanaku ini.
       Tak lama hubungan telepon itu terputus, terdengar suara teriakan yang riuh, “Teroris! Teroris! Teroris!”.
       Lantas saja, semua orang yang berada dalam gedung ini kaget dan berlari-lari keluar menyelamatkan diri. Cepat-cepat aku menuju lift dan naik hingga ke lantai paling atas. Disana aku membuka seluruh kain yang menutupi tubuhku. Aku tampil telanjang dan polos. Ragu-ragu aku melangkah keluar sambil mengenggam lembaran salah satu puisi yang kutulis. Semua orang yang berlari ketakutan tiba-tiba diam terperangah melihat aksiku tanpa busana. Semuanya berkerumun menyaksikanku tanpa suara. Untuk pertama kalinya aku diperhatikan banyak orang. Sinar matahari diatas sana bagai lampu yang fokus menyorot diriku saja. Inilah panggung sesungguhnya. Dengan gemetar akupun membaca puisiku itu;

penulis-penulis yang mengemis
pena-pena yang pucat dan kertas-kertas yang kusut
adalah sandaran sanubari meluangkan ide
pelukis-pelukis fakir ditengah rimbun jelaga
melarutkan warna-warna kesepian diselembar kanvas
sepanjang waktu tangan giat mencoret
memanfaatkan mabuk berjalan diawang-awang
lekas saja sang penari ilham terpeleset
diantara timbunan kata dan tumpahan cat warna-warni

teriakan kebun binatang tak henti bersumpah serapah
sepengecut keledai seorang seniman mencari nafkah

pandangan diri disembunyikan pada apa sebenarnya makna
tak mau lagi dijajah dan dijelajah sang manusia bebal
tapi nyatanya hanya angan kosong yang dapat diterima

aku berdiri direlung hati domba
sambil memberi makan buaya rakus
dipenangkaran, kebun binatang

tak ada yang tahu
telah terlahir seorang pangeran dipinggiran kota tersudutkan
memulai pengembaraan dengan beribu-ribu selisih
sayangnya, tuhan pun mulai tersisih
ditengah hedonis yang fasih menghafal
ayat-ayat wahyu pembaharuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar