Halaman

Rabu, 14 Maret 2012

BENGKONG AMBISIUSME


    
       Ia seorang lelaki pemberani. Barangkali juga ia lelaki paling sadis. Tapi ia bukan seorang koruptor. Meskipun urusan potong memotong adalah keahliannya, ia bukanlah seorang algojo ataupun mutilator. Itupun yang dipotongnya hanya berupa sebagian kecil dari tubuh manusia---seonggok daging yang tak semestinya tumbuh dalam raga manusia. Namun,  meskipun daging yang dipotongnya sedikit, pangaruhnya sangat besar pada kelangsungan hidup umat manusia. Karena itulah, diusianya yang semakin beranjak tua ia tetap bersinar dan makin tenar.
       Dia adalah Pak Muchtar. Kendati kegagahannya telah digantikan oleh wujud fisiknya yang telah usang, keahlian potong memotong tetaplah menjadi kebanggaan dan kebesarannya. Boleh dibilang ketenarannya melebihi lurah dan camat setempat. Saking terkenalnya plus usianya yang memang lumayan sepuh, iapun begitu disegani dan dihormati oleh masyarakat.
       Tapi, segala bentuk penghormatan dan penghargaan yang dimilikinya dapat menjadi sumber ketakutan bagi anak laki-laki. Kehadiran Pak Muchtar dihadapan mereka bagaikan menebar keangkeran yang teramat nyata. Pada saat itu, satu-satunya keinginan yang tertinggal dibenak mereka adalah berlari dan sembunyi, takut-takut naluri ke-bengkong-an Pak Muchtar kambuh mengancam lambang kejantanan mereka. Sebaliknya, anak-anak perempuan saat itu justru tertawa lepas melihat makhluk yang suka berkelahi dan jorok kehilangan dominasinya.
     Pak Muchtar sendiri tak terlalu ambil pusing pada persoalan-persoalan semacam itu. Waktu telah dengan baik membuktikan segalanya. Ketika para anak laki-laki itu beranjak dewasa dan mendapatkan keakilannya, mereka justru akan menganggap Pak Muchtar sebagai pahlawan. Mereka akan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya karena merasa telah berhutang budi. Pak Muchtar  telah membebaskan mereka dari segala aib dan kekotoran di dunia ini, karena kelihaian tangan Pak Muchtar telah menyelamatkan kehidupan dewasa mereka dari masalah kebersihan yang paling intim hingga urusan paling vital dalam rumah tangga.
       Sebenarnya pokok masalah satu-satunya yang dihadapi Pak Muchtar serupa urusan watak kemanusiaan belaka; rasa ketidakpuasan. Meskipun ia telah mendapatkan gelar dan namanya dengan limpahan puja-puji, betapa ia tetap masih merasa ada yang kurang. Dibalik sanubarinya masih ada bagian yang belum tergenapi. Segala sikap hormat yang dipersembahkan orang-orang kepadanya dan segala julukan yang tersemat dalam dirinya tidaklah terlalu memberikan sensasi yang luar biasa. Apa yang diabdikannya kepada masyarakat sejauh ini barulah seujung kuku jari. Ia ingin menantang nyalinya, mengerahkan seluruh kemampuannya agar dapat memperlihatkan kepada dunia siapa ia sebenarnya. Tak hanya mendapatkan ketenaran semata, tapi layak pula dikenang sepanjang masa. Ia berkehendak menguji adrenalinnya demi melepaskan segala jenuh, benci, dan geramnya. Didalam benaknya tersimpan sebuah ambisi yang dapat membuatnya menjelma raksasa kebanggaan, dan akan lebih banyak mulut lagi yang memperbincangkannya.
       Sejauh ini, Pak Muchtar merasa kehidupan yang dijalaninya adalah sebentuk pergaulan hidup yang terus menerus terjadi secara seragam. Tiada gerak ataupun kehendak untuk melawan riak. Sekedar secuil penambahan dan pengurangan adegan yang tidak terlalu penting. Semuanya terasa hambar dan datar. Kesan-kesan indah yang didapatkannya selama ini seperti sebuah persinggahan sementara yang membuatnya terbuai sesaat, lena terbawa angin sanjungan yang mampu membawanya terbang sejauh  ia mau. Lantas, secara tiba-tiba ia menyadarinya bahwa ia belum berada di puncak segala puncak.
      Seringkali ia menjadi tamu istimewa diacara-acara khitanan, mendapatkan senyuman ramah dan jabat tangan mesra seakan-akan acara khitanan tanpa kehadirannya dapat menjadi momen yang kurang mengesankan. Saat itupula ia dihadapkan pada seorang anak laki-laki yang telah bersembunyi menghindarinya. Anak itu dituntun keluar. Seraya semua pandang mata tertuju kearahnya, menjadi satu-satunya perhatian sekian banyak orang bagaikan makhluk terupawan dimuka bumi ini. Semua orang memberikannya semangat dan dukungan, namun ada sedikit keprihatinan dibalik suara mereka yang membuat anak itu tak lagi merasa sebagai  pangeran tampan melainkan tumbal yang diharapkan mampu memberikan kesejahteraan  bagi banyak orang.
       Dibalik bola mata anak itupun selalu terlihat jelas kecemasan yang membuncah. Pak Muchtar juga dapat melihat kedua kaki anak itu bergemetar hebat, bahkan Pak Muchtar seakan dapat mendengar dengan pekak debaran jantung anak itu yang tak terkendali bak mengalirkan rasa takut keseluruh syaraf tubuhnya. Jauh-jauh hari sebelum khitanan, pasti anak itu telah diwanti-wanti oleh orangtuanya. Seluruh kebiasaan yang sering dilakukannya terpaksa ditinggalkan sementara. Begitu banyak pantangan-pantangan yang mesti dijalaninya. Dilarang ini dan dilarang itu.
     “Kamu jangan main terlalu capek dan berkeringat, Nak! Jangan lari-lari karena dapat membuat darah yang keluar nanti banyak dan sulit dihentikan”.
       Menjelang akan dikhitan pun, seorang anak laki-laki mesti melakukan satu ritual lagi yang dapat membuat tubuhnya menggigil dan mati rasa. Mereka harus berendam didalam air dingin disaat matahari belum benar-benar menampakkan wujud utuhnya. “Selama kamu berendam, air ini akan cukup berguna membuat tubuhmu bebal. Cukup ampuh mengurangi rasa sakit saat kau menerima tebasan terpenting dalam hidupmu. Walau dingin, cobalah kamu tahan, Nak!”
       Tak heran, para anak laki-laki pun bertingkah seperti dendam pada Pak Muchtar.
       Ketika mereka berada diatas pangkuan bapak mereka dan Pak Muchtar menyibakkan kain sarungnya keatas, tak jarang, mereka tak segan-segan langsung mengencingi wajah Pak Muchtar. Mereka akan menjerit dan menangis sekeras mungkin. Mereka sadar setelah disunat pasti akan lebih banyak lagi pantangan yang harus mereka lalui sambil menahan nyeri sebelum luka sunat itu mengering. Sementara, Pak Muchtar hanya dapat mengelap wajahnya saja sambil memendam geram dalam hati dan meyakinkan pada semua orang dengan senyum bahwa ini hal yang normal-normal saja.
       Walaupun demikian, suatu saat nanti para anak laki-laki pasti menyadari hari ia dikhitan dapat menjadi peristiwa yang paling bersejarah, hari teristimewa sekaligus hari tersulit dalam hidup mereka. Kejantanan mereka diuji. Keperkasaan mereka dipertaruhkan. Mereka tak boleh takut apalagi gentar. Semuanya pasti akan segera terlunaskan. Orang-orang pasti akan sibuk membakar seekor ayam khusus untuknya dan memberikannya amplop-amplop. Peristiwa ini selalu mengajari dan mengingatkan Pak Muchtar tentang makna kehidupan; sebelum seseorang mendapatkan kebesaran dan kesuksesannya, maka terlebih dahulu mesti dapat menerima dengan lapang dada segala bentuk panghinaan dan pelecehan. Hukum ini berlaku semata demi umat manusia dapat selalu bersikap rendah hati.
      Kini, Pak Muchtar  hanya mampu menghela nafas dan mengelus dada, seiring waktu bergulir memenuhi takdirnya, iapun akhirnya merasa prihatin terhadap nasib yang telah terlalui. Kemonotonan membuatnya terjebak dalam lingkaran waktu.
       Barangkali, ia dapat beralih menjadi tukang jagal. Sekedar memberikan warna baru ditengah kemonotonan hidupnya. Setidaknya  ia telah membuat hiburan sedarhana dikehidupannya. Tapi iapun enggan keluar dari jalur yang digelutinya sekarang ini. Meskipun menjadi seorang tukang jagalpun masih termasuk kedalam kode etik yang sejenis, tetap saja diperlukan latihan khusus kembali. Ia harus mampu memegang senjata tajam dengan ukuran yang lebih besar dan harus tahu titik-titik yang tepat dimana ia dapat menggoreskan senjata tajam tersebut agar tak menimbulkan rasa nyeri berlebihan pada hewan yang hendak disembelih.
      Iapun semakin bertambah bingung. Akhirnya, pada malam-malam yang sunyi ia keluar rumah. Tak peduli usianya telah uzur, langkah kakinya tergopoh-gopoh, dan matanya rabun. Angin malam mungkin dapat membantu menyejukkan dan menjernihkan pikirannya. Ia berharap suasana kelam malam dapat memberikannya inspirasi dan ilham-ilham, mengembangkan segala pemikiran dan pemahamannya. Dalam benaknya saat ini hanya tersisip arti kata semoga.
     Ternyata, berlama-lama ditengah gelapnya malam membuatnya semakin tak karuan. Kepalanya berputar-putar dan menyesakkan dada. Semua ini bukan karena ia telah berusia, keropos, ataupun rabun. Tapi betapa terpukulnya ia ketika melihat deretan warung remang-remang yang dilaluinya. Awalnya ia mengira ini mungkin disebabkan pandangan matanya yang tak sempurna lagi. Namun saat ia memakai kacamatanya semua justru terlihat lebih jelas lagi. Dibalik redupnya cahaya lampu, orang-orang yang berlainan muhrim saling bersentuhan tanpa sungkan-sungkan lagi. Hubungan sakral antara pria dan wanita seolah-olah tak memiliki jarak dan aturan lagi. Dengan leluasanya, mereka memamerkan aurat pada sembarang tempat dan sembarang kelamin, lantas melepaskan gelora gairah bersama-sama. Dengan begitu mereka justru merasa bangga, gembira, dan terpuaskan. Yang lebih membuat Pak Muchtar terpukul ternyata sebagian lelaki yang berlaku hewani tersebut adalah anak laki-laki yang dulu dikhitannya.
       Apakah semua ini juga ada kaitannya dengan dikhitan sehingga mereka merasa bebas berlaku seperti hewan----merasa resiko tertular penyakit semakin rendah?
       Melihat tingkah laku manusia pada malam hari seperti ini membuat Pak Muchtar merasa dikelabui. Segala gelar dan nama yang diberikan oleh mereka tak ubahnya seperti topeng untuk mengecohnya. Ketenaran dan penghormatan yang selama ini didapatnya seperti sebuah alat yang dapat membuatnya lena dan lupa. Semacam tipuan. Tak berarti apa-apa. pada kenyataannya,  semua yang dilakukannya seperti sebuah kesia-siaan. Orang-orang diluar sana telah curang terhadap keahlian dan jasa-jasanya. Apalagi zaman sekarang telah dikenal alat-alat kontrasepsi sebagai bentuk pencegahan penuran penyakit-penyakit kelamin.
       Kalau begitu mungkin lebih baik ia pensiun dari tugas-tugas ke-bengkong-annya. Dengan kelamin yang lebih dari utuh, mungkin para lelaki dapat lebih menahan diri untuk berlaku seronok dan kotor terhadap syahwatnya sendiri. Tapi tak mungkin juga. Tanpa seorang bengkong pasti tidak akan ada lagi keharmonisan dalam rumah tangga dan semakin mudah ditemui orang-orang yang tertular penyakit kelamin. Kalau sudah begitu mungkin kaum wanita akan menjadi kumpulan makhluk anti lelaki. Bukankah ia sendiripin masih membutuhkan dinamika agar membuat hidupnya tak berkesan seragam lagi dari hari ke hari?
       Jadi, apa yang harus dilakukan oleh tangan dingin ini yang telah terlatih memotong untuk membasmi kebinalan dan kejalangan hidup manusia-manusia malam?
***###***

      Disuatu pagi yang hening seorang pemuda mendatangi rumahnya. Ia tampan dan putih. Melihat keseluruhan postur tubuh pemuda ini membuat Pak Muchtar merasa bercermin dengan masa mudanya. Namun sinar dibalik bola mata pemuda itu menyiratkan kegelisahan. Ia terlihat ragu-ragu dan malu-malu berdiri dihadapannya. Sepanjang percakapan ia terus menunduk, berusaha  menyembunyikan wajah tampannya dari tatapan Pak Muchtar. Pak Muchtar mengira maksud kedatangan pemuda ini ke rumahnya pasti hendak mengundangnya pada acara khitanan anak atau keponakannya, tapi pemuda itu justru berbisik-bisik pelan padanya.
     “Saya kesini mau minta bantuan Pak Muchtar. Saya mohon Bapak berkenan membantu saya”.
Merasa pemuda itu akan berkata bertele-tele, Pak Muchtar segera menyergapnya. “Langsung saja kau katakan. Tak perlu malu. Disini tak ada siapa-siapa. Meskipun itu bersifat rahasia, hanya bapak dan kamu saja yang tahu”.
“Ini memang sangat rahasia. Saya tak mau orang-orang di luarsana sampai tahu. Ini adalah aib”.
  “Kalau begitu cepat kau katakan”, Pak Muchtar sudah tak sabar lagi. “Percayalah, Bapak orang yang paling bisa dipercaya memegang rahasia”.
“Tidak lama lagi saya akan segera menikah”, kata pemuda itu. “Saya tak mau malam pertama nanti menjadi malapetaka seumur hidup saya. Saya ingin bahagia sampai mati dengan pernikahan ini”.
“Lantas, apa rahasia yang membuatmu sampai takut dan malu begitu?”
“Saya belum disunat”.
      Pak Muchtar terbengong-bengong. Pada saat bersamaan, iapun ingin tertawa sekeras-kerasnya. Ini benar-benar mengherankan sekaligus menggelikan. Seorang pria yang telah mencapai akilnya dengan kelamin yang belum disunat adalah sesuatu yang mengerikan. Memang saat akan disunat, ia seringkali mendapati seorang anak yang kabur. Namun semua itu dapat dikendalikan dan berjalan sesuai dengan mestinya. Tapi, entah bagaimana ceritanya sudah sedewasa ini pemuda ini belum disunat.
      Ups!!
         Seharusnya ia tak perlu mempersoalkan ini terlalu jauh. Seharusnya ia bisa menjaga kerahasiaan aib ini seperti yang telah dijanjikan. Bukankah kejadian diluar sana lebih banyak lagi yang menggemparkan, yang tak bisa ditangkap oleh akal sehatnya sendiri dan tak terduga-duga?
        Ditengah kegelian dan keheranannya tiba-tiba Pak Muchtar memperoleh ide besar. Pikirannya terbuka luas. Setiap malam ia pergi jauh-jauh, namun kini justru ilham-ilham itulah yang menyergapnya didepan pintu rumahnya sendri. Kedatangan pemuda ini bersama masalah yang dihadapinya dapat membawa suasana baru kepada hidupnya yang sudah tak terkondisikan. Dengan ide besarnya ini, ia dapat membuat sensasi yang lebih dari heboh. Nyalinya akan teruji. Ia dapat membuktikan pada dunia sebagai manusia yang memiliki dendam terhadap segala tipuan, muslihat, ataupun pengelabuan. Takkan ada lagi pelacuran. Takkan ada lagi kejalangan. Malam akan kembali berdamai dengan batas-batas seharusnya----kesetiaan, keharmonisan, dan kebahagiaan.
       Segera ia ambil sebilah pisau. Dengan gerakan yang teratur dan penuh toleransi, ia mengerak-gerakkan benda tajam tersebut diatas batu asah. Hingga pikiran sadarnya hanyut terbawa daya imajinasinya yang selama ini dicita-citakannya. Kali ini ia benar-benar dapat menikmati pekerjaannya. Begitu bersemangat. Seluruh hasrat yang selama ini terpendam seperti tersalurkan melalui desah nafas dan keringatnya.
       Selesai mengasah, ia picingkan kedua matanya memeriksa seteliti mungkin setiap inci dari ketajaman pisau tersebut. Ia tahu daging pemuda itu pasti lebih liat daripada anak laki-laki yang pernah disunatnya,. Lalu, pisau itupun mengkilat seperti mengedipkan cahaya kepada matanya.
       Pemuda itu telah menunggunya didalam ruangan. Ia telah mengenakan sarunganya. Selama menunggu Pak Muchtar masuk, pikirannya tak karuan, berkelebat berbagai bayangan yang mungkin akan menimpanya. Namun pernikahan itu menjadi satu-satunya penyemangat.
       Pak Muchtar masuk. Tangan kanannya menenteng sebilah pisau yang berkilat-kilat. Pemuda itu segera berbaring diatas dipan dan menekuk kedua lututnya keatas. Debaran jantungnya menegang. Begitupula tatapannya menjadi awas memandangi Pak Muchtar seakan lelaki tua itu adalah algojo yang hendak memancungnya. Hawa dingin yang merasuki perasaannya  sebisa mungkin ia tahan.
      Pak Muchtar menyibakkan kain sarung itu keatas. Dengan ragu-ragu dan sedikit jiik, ia memegang kelamin pemuda itu. Pemuda itu merasa geli dan malu. Lantas, dengan cepat pisau menggores. Darapun mengucur deras keluar. Pak Muchtar tertawa keras-keras memperlihatkan hasil potongannya. Ia merasa bangga. Ia merasa puas. Sementara, pemuda itu justru menjerit sekeras-kerasnya sampai suaranya habis. Mungkin rasa nyeri dan perih yang ia rasakan dapat ia tahan. Tapi, ini benar-benar membuatnya kehilangan jati diri sebagai lelaki yang sesungguhnya. Ia telah menjadi betina, karena kelaminnya bukan lagi disunat tapi dikebiri.


CATATAN: Bengkong= dukun sunat dalam masyarakat Sunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar