Ia seorang lelaki pemberani. Barangkali juga
ia lelaki paling sadis. Tapi ia bukan seorang koruptor. Meskipun urusan potong
memotong adalah keahliannya, ia bukanlah seorang algojo ataupun mutilator.
Itupun yang dipotongnya hanya berupa sebagian kecil dari tubuh
manusia---seonggok daging yang tak semestinya tumbuh dalam raga manusia.
Namun, meskipun daging yang dipotongnya
sedikit, pangaruhnya sangat besar pada kelangsungan hidup umat manusia. Karena
itulah, diusianya yang semakin beranjak tua ia tetap bersinar dan makin tenar.
Dia
adalah Pak Muchtar. Kendati kegagahannya telah digantikan oleh wujud fisiknya
yang telah usang, keahlian potong memotong tetaplah menjadi kebanggaan dan
kebesarannya. Boleh dibilang ketenarannya melebihi lurah dan camat setempat.
Saking terkenalnya plus usianya yang memang lumayan sepuh, iapun begitu
disegani dan dihormati oleh masyarakat.
Tapi,
segala bentuk penghormatan dan penghargaan yang dimilikinya dapat menjadi
sumber ketakutan bagi anak laki-laki. Kehadiran Pak Muchtar dihadapan mereka
bagaikan menebar keangkeran yang teramat nyata. Pada saat itu, satu-satunya
keinginan yang tertinggal dibenak mereka adalah berlari dan sembunyi,
takut-takut naluri ke-bengkong-an Pak
Muchtar kambuh mengancam lambang kejantanan mereka. Sebaliknya, anak-anak
perempuan saat itu justru tertawa lepas melihat makhluk yang suka berkelahi dan
jorok kehilangan dominasinya.
Pak
Muchtar sendiri tak terlalu ambil pusing pada persoalan-persoalan semacam itu.
Waktu telah dengan baik membuktikan segalanya. Ketika para anak laki-laki itu
beranjak dewasa dan mendapatkan keakilannya, mereka justru akan menganggap Pak
Muchtar sebagai pahlawan. Mereka akan mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya karena merasa telah berhutang budi. Pak Muchtar telah membebaskan mereka dari segala aib dan
kekotoran di dunia ini, karena kelihaian tangan Pak Muchtar telah menyelamatkan
kehidupan dewasa mereka dari masalah kebersihan yang paling intim hingga urusan
paling vital dalam rumah tangga.
Sebenarnya
pokok masalah satu-satunya yang dihadapi Pak Muchtar serupa urusan watak
kemanusiaan belaka; rasa ketidakpuasan. Meskipun ia telah mendapatkan gelar dan
namanya dengan limpahan puja-puji, betapa ia tetap masih merasa ada yang
kurang. Dibalik sanubarinya masih ada bagian yang belum tergenapi. Segala sikap
hormat yang dipersembahkan orang-orang kepadanya dan segala julukan yang
tersemat dalam dirinya tidaklah terlalu memberikan sensasi yang luar biasa. Apa
yang diabdikannya kepada masyarakat sejauh ini barulah seujung kuku jari. Ia
ingin menantang nyalinya, mengerahkan seluruh kemampuannya agar dapat
memperlihatkan kepada dunia siapa ia sebenarnya. Tak hanya mendapatkan
ketenaran semata, tapi layak pula dikenang sepanjang masa. Ia berkehendak
menguji adrenalinnya demi melepaskan segala jenuh, benci, dan geramnya. Didalam
benaknya tersimpan sebuah ambisi yang dapat membuatnya menjelma raksasa
kebanggaan, dan akan lebih banyak mulut lagi yang memperbincangkannya.
Sejauh
ini, Pak Muchtar merasa kehidupan yang dijalaninya adalah sebentuk pergaulan
hidup yang terus menerus terjadi secara seragam. Tiada gerak ataupun kehendak
untuk melawan riak. Sekedar secuil penambahan dan pengurangan adegan yang tidak
terlalu penting. Semuanya terasa hambar dan datar. Kesan-kesan indah yang
didapatkannya selama ini seperti sebuah persinggahan sementara yang membuatnya
terbuai sesaat, lena terbawa angin sanjungan yang mampu membawanya terbang
sejauh ia mau. Lantas, secara tiba-tiba
ia menyadarinya bahwa ia belum berada di puncak segala puncak.
Seringkali ia menjadi tamu istimewa diacara-acara khitanan, mendapatkan
senyuman ramah dan jabat tangan mesra seakan-akan acara khitanan tanpa
kehadirannya dapat menjadi momen yang kurang mengesankan. Saat itupula ia dihadapkan
pada seorang anak laki-laki yang telah bersembunyi menghindarinya. Anak itu dituntun
keluar. Seraya semua pandang mata tertuju kearahnya, menjadi satu-satunya
perhatian sekian banyak orang bagaikan makhluk terupawan dimuka bumi ini. Semua
orang memberikannya semangat dan dukungan, namun ada sedikit keprihatinan
dibalik suara mereka yang membuat anak itu tak lagi merasa sebagai pangeran tampan melainkan tumbal yang
diharapkan mampu memberikan kesejahteraan
bagi banyak orang.
Dibalik
bola mata anak itupun selalu terlihat jelas kecemasan yang membuncah. Pak
Muchtar juga dapat melihat kedua kaki anak itu bergemetar hebat, bahkan Pak
Muchtar seakan dapat mendengar dengan pekak debaran jantung anak itu yang tak
terkendali bak mengalirkan rasa takut keseluruh syaraf tubuhnya. Jauh-jauh hari
sebelum khitanan, pasti anak itu telah diwanti-wanti oleh orangtuanya. Seluruh
kebiasaan yang sering dilakukannya terpaksa ditinggalkan sementara. Begitu
banyak pantangan-pantangan yang mesti dijalaninya. Dilarang ini dan dilarang
itu.
“Kamu
jangan main terlalu capek dan berkeringat, Nak! Jangan lari-lari karena dapat
membuat darah yang keluar nanti banyak dan sulit dihentikan”.
Menjelang akan dikhitan pun, seorang anak laki-laki mesti melakukan satu
ritual lagi yang dapat membuat tubuhnya menggigil dan mati rasa. Mereka harus
berendam didalam air dingin disaat matahari belum benar-benar menampakkan wujud
utuhnya. “Selama kamu berendam, air ini akan cukup berguna membuat tubuhmu
bebal. Cukup ampuh mengurangi rasa sakit saat kau menerima tebasan terpenting
dalam hidupmu. Walau dingin, cobalah kamu tahan, Nak!”
Tak
heran, para anak laki-laki pun bertingkah seperti dendam pada Pak Muchtar.
Ketika
mereka berada diatas pangkuan bapak mereka dan Pak Muchtar menyibakkan kain
sarungnya keatas, tak jarang, mereka tak segan-segan langsung mengencingi wajah
Pak Muchtar. Mereka akan menjerit dan menangis sekeras mungkin. Mereka sadar
setelah disunat pasti akan lebih banyak lagi pantangan yang harus mereka lalui
sambil menahan nyeri sebelum luka sunat itu mengering. Sementara, Pak Muchtar
hanya dapat mengelap wajahnya saja sambil memendam geram dalam hati dan
meyakinkan pada semua orang dengan senyum bahwa ini hal yang normal-normal
saja.
Walaupun
demikian, suatu saat nanti para anak laki-laki pasti menyadari hari ia dikhitan
dapat menjadi peristiwa yang paling bersejarah, hari teristimewa sekaligus hari
tersulit dalam hidup mereka. Kejantanan mereka diuji. Keperkasaan mereka
dipertaruhkan. Mereka tak boleh takut apalagi gentar. Semuanya pasti akan
segera terlunaskan. Orang-orang pasti akan sibuk membakar seekor ayam khusus
untuknya dan memberikannya amplop-amplop. Peristiwa ini selalu mengajari dan
mengingatkan Pak Muchtar tentang makna kehidupan; sebelum seseorang mendapatkan
kebesaran dan kesuksesannya, maka terlebih dahulu mesti dapat menerima dengan
lapang dada segala bentuk panghinaan dan pelecehan. Hukum ini berlaku semata
demi umat manusia dapat selalu bersikap rendah hati.
Kini,
Pak Muchtar hanya mampu menghela nafas
dan mengelus dada, seiring waktu bergulir memenuhi takdirnya, iapun akhirnya
merasa prihatin terhadap nasib yang telah terlalui. Kemonotonan membuatnya
terjebak dalam lingkaran waktu.
Barangkali, ia dapat beralih menjadi tukang jagal. Sekedar memberikan
warna baru ditengah kemonotonan hidupnya. Setidaknya ia telah membuat hiburan sedarhana
dikehidupannya. Tapi iapun enggan keluar dari jalur yang digelutinya sekarang
ini. Meskipun menjadi seorang tukang jagalpun masih termasuk kedalam kode etik
yang sejenis, tetap saja diperlukan latihan khusus kembali. Ia harus mampu
memegang senjata tajam dengan ukuran yang lebih besar dan harus tahu
titik-titik yang tepat dimana ia dapat menggoreskan senjata tajam tersebut agar
tak menimbulkan rasa nyeri berlebihan pada hewan yang hendak disembelih.
Iapun
semakin bertambah bingung. Akhirnya, pada malam-malam yang sunyi ia keluar
rumah. Tak peduli usianya telah uzur, langkah kakinya tergopoh-gopoh, dan
matanya rabun. Angin malam mungkin dapat membantu menyejukkan dan menjernihkan
pikirannya. Ia berharap suasana kelam malam dapat memberikannya inspirasi dan
ilham-ilham, mengembangkan segala pemikiran dan pemahamannya. Dalam benaknya
saat ini hanya tersisip arti kata semoga.
Ternyata, berlama-lama ditengah gelapnya
malam membuatnya semakin tak karuan. Kepalanya berputar-putar dan menyesakkan
dada. Semua ini bukan karena ia telah berusia, keropos, ataupun rabun. Tapi
betapa terpukulnya ia ketika melihat deretan warung remang-remang yang
dilaluinya. Awalnya ia mengira ini mungkin disebabkan pandangan matanya yang
tak sempurna lagi. Namun saat ia memakai kacamatanya semua justru terlihat
lebih jelas lagi. Dibalik redupnya cahaya lampu, orang-orang yang berlainan
muhrim saling bersentuhan tanpa sungkan-sungkan lagi. Hubungan sakral antara
pria dan wanita seolah-olah tak memiliki jarak dan aturan lagi. Dengan
leluasanya, mereka memamerkan aurat pada sembarang tempat dan sembarang
kelamin, lantas melepaskan gelora gairah bersama-sama. Dengan begitu mereka
justru merasa bangga, gembira, dan terpuaskan. Yang lebih membuat Pak Muchtar
terpukul ternyata sebagian lelaki yang berlaku hewani tersebut adalah anak
laki-laki yang dulu dikhitannya.
Apakah
semua ini juga ada kaitannya dengan dikhitan sehingga mereka merasa bebas
berlaku seperti hewan----merasa resiko tertular penyakit semakin rendah?
Melihat
tingkah laku manusia pada malam hari seperti ini membuat Pak Muchtar merasa
dikelabui. Segala gelar dan nama yang diberikan oleh mereka tak ubahnya seperti
topeng untuk mengecohnya. Ketenaran dan penghormatan yang selama ini didapatnya
seperti sebuah alat yang dapat membuatnya lena dan lupa. Semacam tipuan. Tak
berarti apa-apa. pada kenyataannya,
semua yang dilakukannya seperti sebuah kesia-siaan. Orang-orang diluar
sana telah curang terhadap keahlian dan jasa-jasanya. Apalagi zaman sekarang
telah dikenal alat-alat kontrasepsi sebagai bentuk pencegahan penuran
penyakit-penyakit kelamin.
Kalau
begitu mungkin lebih baik ia pensiun dari tugas-tugas ke-bengkong-annya. Dengan kelamin yang lebih dari utuh, mungkin para
lelaki dapat lebih menahan diri untuk berlaku seronok dan kotor terhadap
syahwatnya sendiri. Tapi tak mungkin juga. Tanpa seorang bengkong pasti tidak
akan ada lagi keharmonisan dalam rumah tangga dan semakin mudah ditemui
orang-orang yang tertular penyakit kelamin. Kalau sudah begitu mungkin kaum
wanita akan menjadi kumpulan makhluk anti lelaki. Bukankah ia sendiripin masih
membutuhkan dinamika agar membuat hidupnya tak berkesan seragam lagi dari hari
ke hari?
Jadi,
apa yang harus dilakukan oleh tangan dingin ini yang telah terlatih memotong
untuk membasmi kebinalan dan kejalangan hidup manusia-manusia malam?
***###***
Disuatu
pagi yang hening seorang pemuda mendatangi rumahnya. Ia tampan dan putih.
Melihat keseluruhan postur tubuh pemuda ini membuat Pak Muchtar merasa
bercermin dengan masa mudanya. Namun sinar dibalik bola mata pemuda itu
menyiratkan kegelisahan. Ia terlihat ragu-ragu dan malu-malu berdiri
dihadapannya. Sepanjang percakapan ia terus menunduk, berusaha menyembunyikan wajah tampannya dari tatapan
Pak Muchtar. Pak Muchtar mengira maksud kedatangan pemuda ini ke rumahnya pasti
hendak mengundangnya pada acara khitanan anak atau keponakannya, tapi pemuda
itu justru berbisik-bisik pelan padanya.
“Saya
kesini mau minta bantuan Pak Muchtar. Saya mohon Bapak berkenan membantu saya”.
Merasa pemuda itu akan berkata bertele-tele, Pak
Muchtar segera menyergapnya. “Langsung saja kau katakan. Tak perlu malu. Disini
tak ada siapa-siapa. Meskipun itu bersifat rahasia, hanya bapak dan kamu saja
yang tahu”.
“Ini memang sangat rahasia. Saya
tak mau orang-orang di luarsana sampai tahu. Ini adalah aib”.
“Kalau begitu cepat kau katakan”, Pak Muchtar sudah tak sabar lagi.
“Percayalah, Bapak orang yang paling bisa dipercaya memegang rahasia”.
“Tidak lama lagi saya akan segera
menikah”, kata pemuda itu. “Saya tak mau malam pertama nanti menjadi malapetaka
seumur hidup saya. Saya ingin bahagia sampai mati dengan pernikahan ini”.
“Lantas, apa rahasia yang membuatmu
sampai takut dan malu begitu?”
“Saya belum disunat”.
Pak Muchtar terbengong-bengong. Pada saat
bersamaan, iapun ingin tertawa sekeras-kerasnya. Ini benar-benar mengherankan
sekaligus menggelikan. Seorang pria yang telah mencapai akilnya dengan kelamin
yang belum disunat adalah sesuatu yang mengerikan. Memang saat akan disunat, ia
seringkali mendapati seorang anak yang kabur. Namun semua itu dapat dikendalikan
dan berjalan sesuai dengan mestinya. Tapi, entah bagaimana ceritanya sudah
sedewasa ini pemuda ini belum disunat.
Ups!!
Seharusnya ia tak perlu mempersoalkan ini terlalu jauh. Seharusnya ia
bisa menjaga kerahasiaan aib ini seperti yang telah dijanjikan. Bukankah
kejadian diluar sana lebih banyak lagi yang menggemparkan, yang tak bisa
ditangkap oleh akal sehatnya sendiri dan tak terduga-duga?
Ditengah kegelian dan keheranannya tiba-tiba Pak Muchtar memperoleh ide
besar. Pikirannya terbuka luas. Setiap malam ia pergi jauh-jauh, namun kini
justru ilham-ilham itulah yang menyergapnya didepan pintu rumahnya sendri.
Kedatangan pemuda ini bersama masalah yang dihadapinya dapat membawa suasana
baru kepada hidupnya yang sudah tak terkondisikan. Dengan ide besarnya ini, ia
dapat membuat sensasi yang lebih dari heboh. Nyalinya akan teruji. Ia dapat
membuktikan pada dunia sebagai manusia yang memiliki dendam terhadap segala
tipuan, muslihat, ataupun pengelabuan. Takkan ada lagi pelacuran. Takkan ada
lagi kejalangan. Malam akan kembali berdamai dengan batas-batas
seharusnya----kesetiaan, keharmonisan, dan kebahagiaan.
Segera
ia ambil sebilah pisau. Dengan gerakan yang teratur dan penuh toleransi, ia
mengerak-gerakkan benda tajam tersebut diatas batu asah. Hingga pikiran
sadarnya hanyut terbawa daya imajinasinya yang selama ini dicita-citakannya.
Kali ini ia benar-benar dapat menikmati pekerjaannya. Begitu bersemangat. Seluruh
hasrat yang selama ini terpendam seperti tersalurkan melalui desah nafas dan
keringatnya.
Selesai
mengasah, ia picingkan kedua matanya memeriksa seteliti mungkin setiap inci
dari ketajaman pisau tersebut. Ia tahu daging pemuda itu pasti lebih liat
daripada anak laki-laki yang pernah disunatnya,. Lalu, pisau itupun mengkilat
seperti mengedipkan cahaya kepada matanya.
Pemuda
itu telah menunggunya didalam ruangan. Ia telah mengenakan sarunganya. Selama
menunggu Pak Muchtar masuk, pikirannya tak karuan, berkelebat berbagai bayangan
yang mungkin akan menimpanya. Namun pernikahan itu menjadi satu-satunya
penyemangat.
Pak
Muchtar masuk. Tangan kanannya menenteng sebilah pisau yang berkilat-kilat. Pemuda
itu segera berbaring diatas dipan dan menekuk kedua lututnya keatas. Debaran jantungnya
menegang. Begitupula tatapannya menjadi awas memandangi Pak Muchtar seakan
lelaki tua itu adalah algojo yang hendak memancungnya. Hawa dingin yang
merasuki perasaannya sebisa mungkin ia
tahan.
Pak
Muchtar menyibakkan kain sarung itu keatas. Dengan ragu-ragu dan sedikit jiik,
ia memegang kelamin pemuda itu. Pemuda itu merasa geli dan malu. Lantas, dengan
cepat pisau menggores. Darapun mengucur deras keluar. Pak Muchtar tertawa
keras-keras memperlihatkan hasil potongannya. Ia merasa bangga. Ia merasa puas.
Sementara, pemuda itu justru menjerit sekeras-kerasnya sampai suaranya habis.
Mungkin rasa nyeri dan perih yang ia rasakan dapat ia tahan. Tapi, ini
benar-benar membuatnya kehilangan jati diri sebagai lelaki yang sesungguhnya.
Ia telah menjadi betina, karena kelaminnya bukan lagi disunat tapi dikebiri.
CATATAN: Bengkong= dukun sunat dalam masyarakat
Sunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar