Halaman

Sabtu, 16 Maret 2013

DUA HARI DI TOKO MIRAS PART 1




           Frustasi, itulah mungkin kata yang paling tepat untukku saat ini. Tak hanya soal kata, juga apa yang bergejolak dibalik pikir. Semua serba stress dan stress.
         Kurang lebih selama dua bulan aku tak punya pekerjaan. Aksi demo karyawan tempat pabrik aku bekerja sudah berlangsung dua minggu. Dimulai sejak akhir Januari lalu. Tetapi rencana dan rapat-rapat sudah berlangsung sebelum tahun baru. Praktis, aku tak punya penghasilan alias gaji.
          Keseharianku akhir-akhir ini hanya berkumpul dan beraksi didepan pintu gerbang pabrik. Berbagai persoalan yang menghimpit tak kunjung tuntas. Sebelas tuntutan yang diajukan tak kunjung dipenuhi. Titik cerah keputusan seakan timbul tenggelam tanpa kepastian.
          Pihak perusahaan juga seakan-akan sengaja mengulur-ngulur waktu. Sebenarnya, sebelum melakukan aksi massa begini, pihak buruh yang digawangi FB HUKATAN KSBSI dari Tangerang, telah melayangkan surat pada pihak perusahaan. Jawabannya cukup mengecewakan; para karyawan dilarang berserikat dan diharapkan keluar dari serikat buruh yang bermarkas di Tangerang tersebut. Akhirnya kembali beberapa surat dilayangkan namun tak ditanggapi sama sekali. Karena dirasa tak ada itikad baik dari pihak perusahaan, demo-lah jalan terakhir yang mesti kami tempuh.
          Selama sebulan lebih kami, para buruh, dirumahkan tanpa jaminan. Hingga keputusan demo dibuat, nasib saya sebagai buruh PT. Tri Banyan Tirta yang memproduksi air minum dalam kemasan dengan merk ALTO, terkatung-katung. Juga demikian dengan teman-teman lainnya. Padahal saya sendiri, apapun keputusan yang diambil oleh pihak perusahaan, sudah siap dengan lapang dada. Setidaknya, meski keputusannya adalah PHK, saya tak perlu lagi membuang-buang waktu lagi dengan berdemo.
          Oleh sebab belum ada kesepakatan antara pihak buruh dengan perusahaan, selain berdemo, disela-sela waktu menganggur itu aku sempatkan mencari lowongan baik melalui media massa ataupun info dari mulut seseorang.
         Sekonyong harapku bagai menjadi kenyataan. Datang pesan SMS dari salah seorang temanku, Aris Munandar.
          “Fajri, mau kerja di toko tidak?”
          Setitik depresi dari sekian titik yang tumbuh lenyap. Segera saja kubalas;
          “Mau banget. Kerja di toko apa? Gajinya berapa?”
          Aris kembali membalas SMS-ku. Namun isi pesannya sama sekali tak menjawab keseluruhan pertanyaanku barusan. Begini isi pesannya;
          “Kalau mau, nanti aku jemput kamu di rumah”.
          Sebenarnya untuk urusan gaji, berapapun upahnya tak masalah. Bagiku asalkan ada penghasilan yang masuk kantong itu sudah cukup. Apalagi sebagai penjaga toko pasti upahnya dibawah standar, bahkan lebih rendah daripada gaji sebagai buruh pabrik.
          Aris memang temanku sepekerjaan yang juga berstatus buruh di PT. Tri Banyan Tirta alias Alto. Namun tak pernah sekalipun ia hadir dalam rapat-rapat serikat buruh apalagi saat aksi demo digelar. Mungkin ketika teman-teman lain tahu atas selalu absennya ia, Aris pasti dianggap sebagai sosok yang tak setia kawan. Tak ikut berjuang demi perbaikan nasib.
          Tapi aku cukup maklum padanya. Pasalnya rumahnya jauh di Sentul. Selama bekerja pulang pergi menempuh jarak yang lumayan panjang. Hingga pada akhirnya ia memutuskan mengontrak kamar yang lokasinya tak jauh dari tempat ia bekerja. Namun semenjak dirumahkan, karena biaya kontrakan tak terbayarkan, ia keluar.
           Meski begitu ia sama sekali tak pulang ke rumahnya di Sentul. Ia justru tinggal dengan seorang janda yang ia sebut-sebut sebagai pacarnya. Janda itu sendiri tinggal dikomplek perumahan Grand Kahuripan. Berita terakhir yang kudengar ia kini tinggal di rumah kontrakan yang berada dalam kawasan Graha Garuda. Pada masa kejayaannya, Graha Garuda merupakan satu-satunya hotel di Cileungsi. Kini kawasan itu tak terawat, bahkan pada malam hari seperti bangunan yang tak berpenghuni. Padahal petak-petak kamar dalam bangunan hotel Graha Garuda itu dijadikan kamar-kamar kontrakan bagi perantau. Terutama perantau dari luar Pulau Jawa.
          Kepindahan Aris ke kontrakan Graha Garuda itu juga menegaskan putusnya hubungan cinta dengan janda Grand Kahuripan. Kini, ia beralih ke janda lain yang juga tinggal di kontrakan Graha Garuda. Menurut pengakuannya pula, janda-janda itu kini berselisih karena memperebutkannya. Bahkan saat tidur, percaya atau tidak, katanya kini ia satu ranjang beserta tiga perempuan lainnya.
          “Lu pegang-pegang mereka, dong! Lu pernah gituan ya sama si janda itu”, simpulku namun masih berada dalam batas percaya atau tidak pada setiap katanya.
           Aris malah cengar-cengir. “Nggaklah. Gue cuma numpang merem aja”.
          “Nggak mungkin banget. Lu punya banyak kesempatan disana”.
          Maka dari itu, disertai penasaran yang menggebu-gebu, pagi itu aku habiskan dengan menunggu kedatangan Aris ke rumahku.
          Tengah hari baru ia muncul didepan rumahku. Mungkin ia terlalu sibuk menjaga toko dan ia gunakan istirahat siang itu untuk menjemputku di rumah.
          “Sudah siap? Bawa pakaian dan celana?”.
          Karena aku sudah menebak kalau bekerja di toko pasti juga harus tinggal disana, aku tuduhkan tas ranselku yang penuh dihadapan Aris. Kalaupun memang tak tinggal disana, upah sebagai penjaga toko pasti hanya cukup untuk biaya ongkos saja.
          Yang membuatku heran dan tak habis pikir justru ketika Aris meminta ijazah asliku. Padahal saat melamar kerja ke pabrik pun, orang-orang hanya melampirkan foto copy-nya saja. Ini sangat tak biasa. Biasanya, bekerja sebagai penjaga toko sudah cukup dengan menuduhkan KTP saja. Lagipula apakah bekerja di toko tersebut membutuhkan pendidikan tingkat tinggi?
          Karena Aris mendesak-desak, akhirnya kubawa juga ijazah asliku itu.
         Semula aku berpikir, kami akan bekerja di toko sembako tak jauh dari pasar Cileungsi, perempatan, atau ruko-ruko di Kenari. Ternyata Aris membelokkan motornya ke sebuah gang lebar berbatu. Gang ini terletak tepat diseberang jalan Graha Garuda. Aku tak tahu persis nama kampung yang tengah kulewati ini. Tapi Aris menyebutkan wilayah ini sebagai Garapan (ditulisnya entah dengan G atau g, tapi sepertinya lebih baik pakai G karena ini terkait nama tempat). Walau disebut Garapan, tempat ini bukanlah lahan kosong yang siap digarap untuk bertani. Rumah-rumah serta kamar-kamar kontrakan berdiri disana-sini, disamping kanan-kiri jalan yang kami lalui. Kawasan ini tidak terlalu padat juga tidak terlalu renggang. Yang paling menakutkanku dari kawasan ini adalah banyaknya anjing-anjing berkeliaran disekitar jalan yang kami lalui. Saking banyaknya aku jadi berpikir, sepertinya jumlah warga di kawasan ini sama banyaknya dengan jumlah anjing yang berkeliaran
           “Anjing-anjing itu sengaja dipelihara buat keamanan di kawasan kampung ini”, jawab Aris setelah aku bertanya padanya mengenai anjing-anjing tersebut. Kuakui aku bukanlah orang penyuka anjing. Sebaliknya, aku takut pada hewan itu. Apalagi kalau sampai melihat juluran lidahnya yang terkadang meneteskan air liur. Maka dari itu aku tak percaya anjing-anjing itu ada yang memeliharanya. Sebagian besar dari anjing-anjing itu tampak kotor tak terawat. Lebih mirip anjing tak bertuan. Apabila semua anjing ini ada yang memeliharanya, melihat jumlahnya saja, dapat dipastikan setiap rumah memelihara lebih dari seekor.
        Herannya lagi, rumah-rumah disini tidaklah terbilang mewah. Sama saja dengan rumah-rumah lain seumumnya di kampungku. Bahkan tak satupun rumah yang terlihat mentereng diantara rumah-rumah lainnya. Yang artinya, aku perkirakan, warga di Garapan ini bukanlah orang-orang dari kalangan ekonomi tinggi. Entah harta macam apa yang mereka lindungi sementara di kampungku saja yang tak ada satu wargapun memelihara anjing keadaan santai-santai saja.
          Tiba di toko yang dimaksud baru aku sadar ternyata Aris mengajakku berkeliling dahulu di kawasan Garapan tersebut, karena letak toko yang bakal menjadi tempat kerjaku hanya berjarak sepuluh meter saja didalam gang dari jalan raya. Padahal aku sudah khawatir saja letak toko ini jauh masuk kedalam gang. Seandainya aku memerlukan keluar pasti aku akan menjumpai banyak anjing disepanjang jalan. Tentu saja karena aku benci anjing aku takkan berani seorang diri berjalan kaki.
          Kemungkinan paling buruk adalah apabila aku tak betah kerja di toko tersebut. bagaimana caranya aku bisa pulang sementara kalau jalan kaki sendirian situasinya mirip berada ditengah-tengah kumpulan ular berbisa yang tengah berkembang-biak.


          Diterima kerja disitu, ijazah asli langsung ditahan dan dimasukkan dalam lemari besi terkunci. Sebenarnya aku ragu menyerahkan ijazah asliku. Tapi karena aku sudah berada disini dan kemauan buat kerja juga begitu besar, aku tak bisa mengelak. Aku sendiri tak mengerti apa maksud si pemilik toko menahan ijazah asliku. Barangkali, dengan ditahannya ijazahku dalam lemari besi terkunci, akan memperkecil kemungkinan buruk terjadi. Aku takkan berani macam-macam.
          Meskipun toko ini persis seperti toko-toko lainnya di kampungku, keamanan didalam toko ini sangat ketat. Toko ini tidaklah cukup besar bahkan toko sembakonya Haji Dadang saja lebih besar dari ini. Letaknya juga jauh dari strategis dan keramaian sekitar. Tapi kamera CCTV mengintai disetiap sudut ruang. Aku sendiri melihat layar tv-nya yang memperlihatkan gambar-gambar terkini dari setiap ruang yang terpantau CCTV. Setidaknya dengan adanya CCTV aku sedikit lega, karena artinya toko ini tak memelihara anjing. Hanya saja saat aku berjalan kebelakang toko, seekor monyet terikat disana.
          Ketatnya aturan dan keamanan disini tak seimbang dengan upah yang diberikan. Pada masa awal-awal kerja kami cuma dibayar 500.000 rupiah. Kedepannya, apabila kami kerjanya bagus dan rajin, upah naik 200.000 rupiah. “Dapat makan tiga kali sehari. Juga sebungkus rokok tiap harinya. Kalau tidak merokok diganti dengan susu”, begitulah selengkapnya yang kami dapatkan dari pemilik toko ini.
          Pertama-tama yang aku kerjakan di toko ini adalah menumpuk cemilan yang terbuat dari berbagai jenis kacang-kacangan. Cemilan-cemilan kacang itu ditumpuk dalam satu ruang dengan tv yang memperlihatkan gambar dari pantauan CCTV. Setelah itu kami mengemas dua kantong besar kacang telor kedalam bungkusan-bungkusan kecil plastik yang dijual seharga seribu rupiah. Ditengah kesibukan mengemas itulah, tiap kali ada pembeli, tercium bau yang begitu kuat diudara. Aromanya begitu menyerap dan merangsang indera penciumanku. Seolah-olah udara telah menguapkan semacam zat kimia. Aku sedikit pasti merasa pernah mencium aroma ini sebelumnya. Akhirnya setelah mencium untuk ketiga kalinya, aku bertanya pada Aris.
          “Itu anggur merah”, jawabnya sambil nyengir. Aku menengok kedepan, menunda sesaat kesibukanku mengemas. Barat, yang merupakan nama pemilik toko ini, tengah menuangkan sebotol minuman beralkohol kedalam kantong plastik. Pada saat itulah, aku melihat lebih banyak lagi botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang tersimpan dalam rak serta keranjang yang sebelumnya luput dari perhatianku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar