Frustasi, itulah
mungkin kata yang paling tepat untukku saat ini. Tak hanya soal kata, juga apa
yang bergejolak dibalik pikir. Semua serba stress dan stress.
Kurang lebih selama dua
bulan aku tak punya pekerjaan. Aksi demo karyawan tempat pabrik aku bekerja
sudah berlangsung dua minggu. Dimulai sejak akhir Januari lalu. Tetapi rencana
dan rapat-rapat sudah berlangsung sebelum tahun baru. Praktis, aku tak punya
penghasilan alias gaji.
Keseharianku akhir-akhir
ini hanya berkumpul dan beraksi didepan pintu gerbang pabrik. Berbagai
persoalan yang menghimpit tak kunjung tuntas. Sebelas tuntutan yang diajukan
tak kunjung dipenuhi. Titik cerah keputusan seakan timbul tenggelam tanpa
kepastian.
Pihak perusahaan juga seakan-akan sengaja
mengulur-ngulur waktu. Sebenarnya, sebelum melakukan aksi massa begini, pihak
buruh yang digawangi FB HUKATAN KSBSI dari Tangerang, telah melayangkan surat
pada pihak perusahaan. Jawabannya cukup mengecewakan; para karyawan dilarang
berserikat dan diharapkan keluar dari serikat buruh yang bermarkas di Tangerang
tersebut. Akhirnya kembali beberapa surat dilayangkan namun tak ditanggapi sama
sekali. Karena dirasa tak ada itikad baik dari pihak perusahaan, demo-lah jalan
terakhir yang mesti kami tempuh.
Selama sebulan lebih
kami, para buruh, dirumahkan tanpa jaminan. Hingga keputusan demo dibuat, nasib
saya sebagai buruh PT. Tri Banyan Tirta yang memproduksi air minum dalam
kemasan dengan merk ALTO, terkatung-katung. Juga demikian dengan teman-teman
lainnya. Padahal saya sendiri, apapun keputusan yang diambil oleh pihak
perusahaan, sudah siap dengan lapang dada. Setidaknya, meski keputusannya
adalah PHK, saya tak perlu lagi membuang-buang waktu lagi dengan berdemo.
Oleh sebab belum ada
kesepakatan antara pihak buruh dengan perusahaan, selain berdemo, disela-sela
waktu menganggur itu aku sempatkan mencari lowongan baik melalui media massa
ataupun info dari mulut seseorang.
Sekonyong harapku bagai
menjadi kenyataan. Datang pesan SMS dari salah seorang temanku, Aris Munandar.
“Fajri, mau kerja di
toko tidak?”
Setitik depresi dari
sekian titik yang tumbuh lenyap. Segera saja kubalas;
“Mau banget. Kerja di
toko apa? Gajinya berapa?”
Aris kembali membalas SMS-ku. Namun isi
pesannya sama sekali tak menjawab keseluruhan pertanyaanku barusan. Begini isi
pesannya;
“Kalau mau, nanti aku
jemput kamu di rumah”.
Sebenarnya untuk urusan gaji, berapapun
upahnya tak masalah. Bagiku asalkan ada penghasilan yang masuk kantong itu
sudah cukup. Apalagi sebagai penjaga toko pasti upahnya dibawah standar, bahkan
lebih rendah daripada gaji sebagai buruh pabrik.
Aris memang temanku
sepekerjaan yang juga berstatus buruh di PT. Tri Banyan Tirta alias Alto. Namun
tak pernah sekalipun ia hadir dalam rapat-rapat serikat buruh apalagi saat aksi
demo digelar. Mungkin ketika teman-teman lain tahu atas selalu absennya ia,
Aris pasti dianggap sebagai sosok yang tak setia kawan. Tak ikut berjuang demi
perbaikan nasib.
Tapi aku cukup maklum
padanya. Pasalnya rumahnya jauh di Sentul. Selama bekerja pulang pergi menempuh
jarak yang lumayan panjang. Hingga pada akhirnya ia memutuskan mengontrak kamar
yang lokasinya tak jauh dari tempat ia bekerja. Namun semenjak dirumahkan,
karena biaya kontrakan tak terbayarkan, ia keluar.
Meski begitu ia sama
sekali tak pulang ke rumahnya di Sentul. Ia justru tinggal dengan seorang janda
yang ia sebut-sebut sebagai pacarnya. Janda itu sendiri tinggal dikomplek
perumahan Grand Kahuripan. Berita terakhir yang kudengar ia kini tinggal di
rumah kontrakan yang berada dalam kawasan Graha Garuda. Pada masa kejayaannya,
Graha Garuda merupakan satu-satunya hotel di Cileungsi. Kini kawasan itu tak
terawat, bahkan pada malam hari seperti bangunan yang tak berpenghuni. Padahal
petak-petak kamar dalam bangunan hotel Graha Garuda itu dijadikan kamar-kamar
kontrakan bagi perantau. Terutama perantau dari luar Pulau Jawa.
Kepindahan Aris ke kontrakan Graha
Garuda itu juga menegaskan putusnya hubungan cinta dengan janda Grand
Kahuripan. Kini, ia beralih ke janda lain yang juga tinggal di kontrakan Graha
Garuda. Menurut pengakuannya pula, janda-janda itu kini berselisih karena
memperebutkannya. Bahkan saat tidur, percaya atau tidak, katanya kini ia satu
ranjang beserta tiga perempuan lainnya.
“Lu pegang-pegang
mereka, dong! Lu pernah gituan ya sama si janda itu”, simpulku namun masih
berada dalam batas percaya atau tidak pada setiap katanya.
Aris malah
cengar-cengir. “Nggaklah. Gue cuma numpang merem aja”.
“Nggak mungkin banget.
Lu punya banyak kesempatan disana”.
Maka dari itu, disertai
penasaran yang menggebu-gebu, pagi itu aku habiskan dengan menunggu kedatangan
Aris ke rumahku.
Tengah hari baru ia
muncul didepan rumahku. Mungkin ia terlalu sibuk menjaga toko dan ia gunakan
istirahat siang itu untuk menjemputku di rumah.
“Sudah siap? Bawa
pakaian dan celana?”.
Karena aku sudah menebak
kalau bekerja di toko pasti juga harus tinggal disana, aku tuduhkan tas
ranselku yang penuh dihadapan Aris. Kalaupun memang tak tinggal disana, upah
sebagai penjaga toko pasti hanya cukup untuk biaya ongkos saja.
Yang membuatku heran dan tak habis pikir
justru ketika Aris meminta ijazah asliku. Padahal saat melamar kerja ke pabrik
pun, orang-orang hanya melampirkan foto copy-nya saja. Ini sangat tak biasa.
Biasanya, bekerja sebagai penjaga toko sudah cukup dengan menuduhkan KTP saja.
Lagipula apakah bekerja di toko tersebut membutuhkan pendidikan tingkat tinggi?
Karena Aris
mendesak-desak, akhirnya kubawa juga ijazah asliku itu.
Semula aku berpikir, kami
akan bekerja di toko sembako tak jauh dari pasar Cileungsi, perempatan, atau
ruko-ruko di Kenari. Ternyata Aris membelokkan motornya ke sebuah gang lebar
berbatu. Gang ini terletak tepat diseberang jalan Graha Garuda. Aku tak tahu
persis nama kampung yang tengah kulewati ini. Tapi Aris menyebutkan wilayah ini
sebagai Garapan (ditulisnya entah dengan G atau g, tapi sepertinya lebih baik
pakai G karena ini terkait nama tempat). Walau disebut Garapan, tempat ini
bukanlah lahan kosong yang siap digarap untuk bertani. Rumah-rumah serta
kamar-kamar kontrakan berdiri disana-sini, disamping kanan-kiri jalan yang kami
lalui. Kawasan ini tidak terlalu padat juga tidak terlalu renggang. Yang paling
menakutkanku dari kawasan ini adalah banyaknya anjing-anjing berkeliaran disekitar
jalan yang kami lalui. Saking banyaknya aku jadi berpikir, sepertinya jumlah
warga di kawasan ini sama banyaknya dengan jumlah anjing yang berkeliaran
“Anjing-anjing itu
sengaja dipelihara buat keamanan di kawasan kampung ini”, jawab Aris setelah
aku bertanya padanya mengenai anjing-anjing tersebut. Kuakui aku bukanlah orang
penyuka anjing. Sebaliknya, aku takut pada hewan itu. Apalagi kalau sampai
melihat juluran lidahnya yang terkadang meneteskan air liur. Maka dari itu aku
tak percaya anjing-anjing itu ada yang memeliharanya. Sebagian besar dari
anjing-anjing itu tampak kotor tak terawat. Lebih mirip anjing tak bertuan.
Apabila semua anjing ini ada yang memeliharanya, melihat jumlahnya saja, dapat
dipastikan setiap rumah memelihara lebih dari seekor.
Herannya lagi, rumah-rumah
disini tidaklah terbilang mewah. Sama saja dengan rumah-rumah lain seumumnya di
kampungku. Bahkan tak satupun rumah yang terlihat mentereng diantara
rumah-rumah lainnya. Yang artinya, aku perkirakan, warga di Garapan ini
bukanlah orang-orang dari kalangan ekonomi tinggi. Entah harta macam apa yang
mereka lindungi sementara di kampungku saja yang tak ada satu wargapun
memelihara anjing keadaan santai-santai saja.
Tiba di toko yang
dimaksud baru aku sadar ternyata Aris mengajakku berkeliling dahulu di kawasan
Garapan tersebut, karena letak toko yang bakal menjadi tempat kerjaku hanya
berjarak sepuluh meter saja didalam gang dari jalan raya. Padahal aku sudah
khawatir saja letak toko ini jauh masuk kedalam gang. Seandainya aku memerlukan
keluar pasti aku akan menjumpai banyak anjing disepanjang jalan. Tentu saja
karena aku benci anjing aku takkan berani seorang diri berjalan kaki.
Kemungkinan paling buruk
adalah apabila aku tak betah kerja di toko tersebut. bagaimana caranya aku bisa
pulang sementara kalau jalan kaki sendirian situasinya mirip berada
ditengah-tengah kumpulan ular berbisa yang tengah berkembang-biak.
Diterima kerja disitu,
ijazah asli langsung ditahan dan dimasukkan dalam lemari besi terkunci.
Sebenarnya aku ragu menyerahkan ijazah asliku. Tapi karena aku sudah berada
disini dan kemauan buat kerja juga begitu besar, aku tak bisa mengelak. Aku
sendiri tak mengerti apa maksud si pemilik toko menahan ijazah asliku.
Barangkali, dengan ditahannya ijazahku dalam lemari besi terkunci, akan
memperkecil kemungkinan buruk terjadi. Aku takkan berani macam-macam.
Meskipun toko ini persis
seperti toko-toko lainnya di kampungku, keamanan didalam toko ini sangat ketat.
Toko ini tidaklah cukup besar bahkan toko sembakonya Haji Dadang saja lebih
besar dari ini. Letaknya juga jauh dari strategis dan keramaian sekitar. Tapi
kamera CCTV mengintai disetiap sudut ruang. Aku sendiri melihat layar tv-nya
yang memperlihatkan gambar-gambar terkini dari setiap ruang yang terpantau
CCTV. Setidaknya dengan adanya CCTV aku sedikit lega, karena artinya toko ini
tak memelihara anjing. Hanya saja saat aku berjalan kebelakang toko, seekor
monyet terikat disana.
Ketatnya aturan dan
keamanan disini tak seimbang dengan upah yang diberikan. Pada masa awal-awal
kerja kami cuma dibayar 500.000 rupiah. Kedepannya, apabila kami kerjanya bagus
dan rajin, upah naik 200.000 rupiah. “Dapat makan tiga kali sehari. Juga
sebungkus rokok tiap harinya. Kalau tidak merokok diganti dengan susu”,
begitulah selengkapnya yang kami dapatkan dari pemilik toko ini.
Pertama-tama yang aku
kerjakan di toko ini adalah menumpuk cemilan yang terbuat dari berbagai jenis
kacang-kacangan. Cemilan-cemilan kacang itu ditumpuk dalam satu ruang dengan tv
yang memperlihatkan gambar dari pantauan CCTV. Setelah itu kami mengemas dua
kantong besar kacang telor kedalam bungkusan-bungkusan kecil plastik yang
dijual seharga seribu rupiah. Ditengah kesibukan mengemas itulah, tiap kali ada
pembeli, tercium bau yang begitu kuat diudara. Aromanya begitu menyerap dan
merangsang indera penciumanku. Seolah-olah udara telah menguapkan semacam zat
kimia. Aku sedikit pasti merasa pernah mencium aroma ini sebelumnya. Akhirnya setelah
mencium untuk ketiga kalinya, aku bertanya pada Aris.
“Itu anggur merah”,
jawabnya sambil nyengir. Aku menengok kedepan, menunda sesaat kesibukanku
mengemas. Barat, yang merupakan nama pemilik toko ini, tengah menuangkan
sebotol minuman beralkohol kedalam kantong plastik. Pada saat itulah, aku
melihat lebih banyak lagi botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang tersimpan
dalam rak serta keranjang yang sebelumnya luput dari perhatianku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar