Barat, begitulah pemilik
toko tempat kini aku bekerja kerap dipanggil. Praktis nama tokonya juga dikenal
Toko Barat. Barat itu sendiri kependekan dari nama marganya Hutabarat. Dari
nama marga dan aksen bicaranya mudah ditebak ia seorang pemuda berdarah Batak.
Tapi dikala menunggu tokonya, ia kerap memutar lagu-lagu Benyamin S. Katanya
ada darah Betawi pula yang mengalir dalam tubuhnya.
Dilihat dari posturnya,
Barat adalah lelaki yang ideal sebagai lelaki juga dimata para wanita. Besar
dan tinggi meski dilihat dari perutnya belumlah terbilang atletis. Tampangnya
lumayan ganteng. Karena ia selalu memakai kaos singlet tanpa lengan, jelas
sekujur tubuhnya dipenuhi tato dengan warna senada. Dengan berpakaian begitu
barangkali ia ingin memperlihatkan keeksisannya sebagai preman dimuka umum atau
mungkin sekadar memberitahu bahwa ia memiliki selera seni yang cukup tinggi.
“Ris, tadi ada cewek
datang kemari cari kamu”, katanya menghampiri kami yang tengah sibuk mengemas. “Dia
bilang kontrakannya sudah ketemu juga sudah dibayarkan. Siapa cewek itu? Pacar
kamu, bukan?”
“Yang janda itu, Ris?”,
tandasku sekonyong-konyong.
“Pacar kamu janda? Mendingan cari perawan
daripada janda”, sarannya.
“Biar janda yang penting baik, Bang”,
selorohku menyindir sambil melirik Aris dengan sudut mataku.
“Sudah putusin saja”,
sarannya lebih ditekankan lagi seperti orangtua yang tak setuju dengan pilihan
hidup anaknya.
“Memangnya kenapa janda,
Bang?”, ujar Aris.
“Sama janda, kamu bakal
membesarkan anak orang lain. Bukan anak kamu sendiri”.
“Sekarang cari perawan
sulit, Bang. Orang yang ngaku perawan saja belum tentu benar ia perawan”,
sanggah Aris.
“Sebenarnya ia putus
asa, Bang”, kataku kembali ikut nimbrung. “Pernah Aris juga pacaran sama
perawan. Tapi pacarnya itu hobinya marah-marah. Sampai digoblok-goblok segala.
Beda katanya sama janda----jauh lebih ramah, lebih perhatian”.
“Janda lebih baik,
Bang”, ucap Aris sambil ketawa-tawa.
“Fajri, pacar kamu
siapa?”, kata Barat mengalihkan topiknya padaku seakan-akan ia sudah kalah
melawan Aris. Aku cuma mesem-mesem nggak jelas sambil pura-pura sibuk mengemas.
Lekas perhatian Barat
tertuju pada hasil kerjaan kami yang kami letakkan satu persatu didalam karton.
Melihat cara kerja kami yang lambat dan cukup banyak hasilnya yang dirasa
kurang rapi, kembali ia menuduhkan cara mengemas yang baik dan cepat. “Hal
sekecil apapun ada ilmunya. Untuk membuka plastiknya tidak apa-apa ditiup dulu,
lalu masukkan kacangnya sekepal-sekepal”, ungkapnya sambil menggenggam
butir-butir kacang itu dalam kepalannya dan memasukkannya dalam kantong
plastik.
“Bang, memangnya toko
ini sejak kapan berdirinya?”, tanyaku biar dapat lebih dekat bos. Kali saja
dapat naik gaji.
“Toko ini sudah berjalan
kurang lebih sembilan tahun lamanya”, jawabnya.
“Sebelum buka toko ini,
memang Bang Barat kerja apa?”, tanyaku lagi seperti orang yang selalu ingin
tahu segala hal.
“Rampok. Di perempatan
Cileungsi”, katanya lugas dengan dua kalimat. Jelas, sepasang matanya terbuka
lebar kearahku seakan-akan ia telah siap menyanggah segala tindakan dan
perkataanku apabila aku melawannya. “Modal toko ini dari hasil merampok”,
terangnya melanjutkan.
Seharusnya memang aku
kaget mendengar kejujuran semacam itu, tapi entah kenapa ekspresi wajahku
datar-datar saja. Aku merasa apa yang diucapkan Bang Barat barusan bukanlah
sesuatu yang mengejutkan. Barangkali hal demikian diluar sana, sering aku lihat
dan dengar, sudah menjadi sesuatu yang biasa meski kebanyakan masih
ditutup-tutupi. Bukankah berita-berita diberbagai media saja lebih cenderung
menginformasikan tentang korupsi?
Memang juga sudah seperti seharusnya dan paling tepat
uang yang diperoleh dengan cara tak halal dimodalkannya juga untuk hal-hal yang
kurang baik.
Dari luar penampilan
toko ini memang terlihat seperti toko-toko lain pada umumnya. Etalasenya
sendiri diisi dengan barang-barang yang umum dijual, seperti rokok dan mie. Dua
kulkas yang diletakkan paling depan toko juga berisi minuman yang umum dijual
dan banyak diiklankan di tv-tv. Tapi ketika melihat rak-rak yang bersandar
dibalik etalase dan tingginya setinggi dinding toko itu sendiri tersimpan
kaleng-kaleng bir dengan berbagai merek; Angker Bir, Bintang, Guinnes, Grand
Sand, juga arak China. Dibawahnya diletakkan keranjang-keranjang minuman;
anggur merah, anggur putih, kolosom, mansion, vodka, intisari, kamput, arak hitam.
Daftar harganya juga dicantumkan diatas etalase. Terselip diantara rak dan
etalase, ada dua lagi kulkas ukuran satu pintu. Kedua lemari es itu diisi
kantong-kantong ciu yang dibuat dengan dua ukuran. Ukuran kecil seharga 10.000
rupiah dan besar 15.000 rupiah.
Barang yang laris manis
disini memang barang-barang demikian, karena memang itulah dagangan utamanya.
Barang-barang diluar itu boleh dibilang sekadar topeng saja. Yang paling laku
diantara minuman alkohol lainnya adalah ciu karena harganya yang paling murah.
Saat ada orang bermobil membeli ciu, Bang Barat mendumel jengkel padaku seperti
anak yang mengadu pada orangtuanya.
“Barangkali ia sopirnya,
Bang”, jawabku santai.
Yang membuatku prihatin
justru yang membeli ciu itu adalah anak-anak seumuran sekolah. Bahkan mereka
datang kemari masih berseragam lengkap. Kalau begini, generasi masa depan
bangsa tengah terancam. Bodohnya, aku adalah bagian dari rusaknya moral para
generasi bangsa.
Menuju malam makin
banyak pemuda-pemuda bahkan pria berumur diatas 40 tahun datang kemari. Tepat
dipuncak malam menuju dini hari lebih banyak lagi orang berdatangan. Jadilah
Aris yang lebih senior tiga hari dariku menjadi bartender melayani mereka.
Sementara aku disuruh memperhatikan bagaimana Aris mengoplos minuman dan
melayani mereka bagai orang yang telah dipersiapkan untuk menggantikan Aris.
Biasanya mereka mengoplos minuman tersebut dengan minuman penambah stamina
seperti Kratingdaeng atau Torpedo. Ada juga yang mengoplosnya dengan minuman
cola atau air teh dalam kemasan botol/gelas. Tak ada satupun yang minta
oplosannya dengan merk atau jenis minuman alkohol lainnya.
Menurut Aris malam ini
pembeli tergolong sedikit. Kemarin, saat malam minggu, sampai pagi pula, pembeli
sampai panjang mengantri ke belakang. “Aku sampai nangis, Jri. Capek banget”,
keluhnya. Makin jelas saja penderitaannya sebagai anak yang jauh dari orangtua
dan rumah bak seorang perantau dari luar pulau.
Selain jadi bartender,
apabila persedian miras habis di toko, ia juga ditugaskan mengambil setoknya di
suatu gudang. Saat malam minggu kemarin ia sampai berkali-kali bolak-balik ke
gudang miras tersebut. Jaraknya cukup jauh dari toko. Jalan menuju kesana saat malam hari begitu gelap. Tiba di gudang
pula ia masih memerlukan mencari-cari merek dan jenis miras yang diminta. Tapi
tugas-tugas itu harus ia lakukan sebaik mungkin.
Saat ia baru kembali
dari gudang penyimpanan membawa dua box karton berisi setengah lusin miras
ditiap box-nya, ia teriak-teriak hp-nya jatuh entah dimana. Kali ini, tanpa
menggunakan sepeda motor, ia disuruh segera mencari hp-nya itu. Bang Barat
sempat menggerutu agar Aris lebih berhati-hati. Tapi akhirnya ia berikan senter
pada Aris. Beberapa menit setelah Aris pergi, aku disuruhnya juga menyusul
Aris. Tampaknya ia agak khawatir Aris tak kunjung kembali. “Missed call hp-nya
biar cepat ketemu”, perintahnya padaku. “Takutnya nanti keburu sama orang
lain”.
Jadilah aku menyusul
Aris. Setelah beberpa meter berjalan, keadaan jalan didepan sana makin lengang
dan sepi. Karena baru turun hujan, jalan tampak terasa becek bahkan mirip
kubangan air. Tak ada lagi rumah atau lampu yang menyala. Sepenuhnya gulita.
Tiba-tiba aku teringat dengan anjing-anjing itu. Tak berani lagi aku melangkah
maju. Kukerahkan cahaya layar hp-ku untuk menerangi jalan. Tapi itu tak cukup
membantu. Jadilah aku teriak-teriak memanggil nama Aris sebagai tanda bahwa aku
menyusulnya. Pandanganku mencoba menembus kepekatan malam. Tak lama kemudian,
dari balik gelap muncul sesosok bayangan. Ternyata itu Aris yang tengah berlari
kearahku. Sama sepertiku, ia juga tampak ketakutan.
Tak terbayangkan memang, ketika
membawa miras dari gudang, tiba-tiba ditengah jalan muncul seorang atau
komplotan kriminal. Pastilah Aris yang bertanggung jawab sepenuhnya. Dapat
ditebak, mungkin gaji kami yang bakal dipotong. Apabila sudah kejadian entah
berapa uang yang kami terima dan entah cukup buat apa.
Lebih mengerikannya
lagi adalah apabila yang mencegat itu adalah orang dari kepolisian. Dan suatu
saat nanti aku pasti mendapatkan giliran tugas seperti Aris tersebut.
“Bang, gudangnya dipindah
kesini saja. Dibelakang toko”, usulku ketika kembali ke toko lagi. “Biar tidak
capek bolak-balik. Jadi, kalau persediaan sudah habis, tinggal ambil
dibelakang. Tak perlu repot-repot lagi”.
“Tidak bisa”, sergah Barat
cepat seakan ini merupakan sistem yang paling benar dan tak bisa ditawar-tawar
lagi. “Kalau ada razia polisi bahaya. Lebih aman kalau gudangnya dipisah jauh”.
“Razia, Bang?’, ucapku penuh pikir-pikir. Dan memang
seharusnya aku tak perlu merasa heran.
“Makanya tiap hari besar
keagamaan toko tutup. Itulah saatnya kita beristirahat”, terang Barat.
“Sebenarnya Abang juga tiap bulan bayar ‘pajak’ sama polisi. Tapi kalau ada
apa-apa kalian tenang saja. Tak bakal kalian tersentuh”.
“Kalau mau bayar
‘pajak’, polisi yang datang kemari atau Abang yang ke kantor polisi?”
“Jelas Abanglah yang
datang. Kalau polisi datang kemari bisa ketahuan belangnya”.
Kembali kulirik potret
yang tergantung dekat jam dinding. Potret itu bergambar seorang pria dengan
latar berwarna merah dibelakangnya. Pria itu mengenakan seragam polisi.
Tubuhnya ditegakkan sehingga bahunya terlihat sejajar dan kukuh. Pandangan
lurus kedepan menatap kamera. Pose itu tampak begitu tegang.
“Kakak Abang kan polisi,
bisa saja kan Abang memanfaatkan posisinya”, sekali lagi aku mengusul dengan
pikiran nakal.
“Jenderal saja bisa
ditangkap, apalagi kakak Abang yang cuma polisi biasa”, sangggah Barat.
Cukup ironi aku melihat
kenyataan disini. Barat yang dahulunya merupakan perampok ternyata memiliki
kakak seorang polisi. Tapi status kakaknya itu tak cukup mampu membuat Barat
lebih berpikir manusiawi. Diotaknya barangkali hanya keuntungan-keuntungan
materi belaka. Bahkan, kalender yang terpasang didepan toko juga bergambar
orang-orang militer yang berpakaian seragam lengkap dengan segala atributnya.
Aku tak tahu pasti apakah benar potret polisi itu adalah kakaknya atau hanya
topeng semata untuk mengelabui patroli?
Lokasi toko Barat itu sendiri
terletak didalam gang yang jarang dilalui mobil patroli polisi. Bahkan mungkin
mobil patroli tak pernah sama sekali melewati gang tempat toko Barat berlokasi.
Alasan itulah yang mungkin membuat Barat mendirikan toko miras di kawasan
Garapan. Jauh dari keramaian pasar dan perempatan Cileungsi. Tapi juga tak
tersembunyi dan terpojokkan dari keadaan masyarakat sekitar.
Toko Barat tutup pukul
tiga pagi. Semua pintu ditutup rapat-rapat. Bahkan pada salah satu daun pintu tertempel selembar
kertas yang isinya peringatan akan kedatangan pencuri masuk apabila pintu tak
terkunci semua. Menurut Barat, saat kali pertama aku menginjakkan kaki dilantai
toko ini, sebenarnya ia masih butuh seorang pegawai lagi. Apabila sudah ada
tiga orang pegawai, toko akan buka 24 jam nonstop. Sistem kerjanya akan dibagi
menjadi tiga shift. Liburnya juga bergiliran seorang-seorang setiap hari
minggu. Sebab itulah, Barat meminta mencarikan orang atau teman kami yang
sekiranya mau kerja di toko ini.
Aku dan Aris sudah
mengantuk sedari tadi. Ketika semua pintu toko pasti sudah terkunci semua, kami
menggelar tikar diatas lantai. Kami tidur dikelilingi etalase dan rak miras.
Selimut kumal yang hanya ada selembar kami rebutkan. Besok kami harus kembali
pada keseharian yang mesti mulai dibiasakan. Karena jam tutup toko ini dini
hari dan kebanyakan pelanggan membeli malam hari, praktis kami tak perlu bangun
pagi-pagi. Toko mulai buka selambat-lambatnya pukul sepuluh menjelang siang.
Sekonyong ada teriakan
dari kamar sebelah tempat Barat tidur yang juga merupakan tempat layar CCTV
diletakkan. Karena kami tak mengerti dan tak mengacuhkan teriakan tersebut,
Barat keluar kamar. “Tidurnya jangan begitu”, tegurnya pada kami berdua. “Balik
arah. Pamali”.
Kami terpaksa memutar
tubuh kami sejauh 180 derajat. Arah kepala kami yang tadi berada di timur
menjadi mengarah ke barat. Aku tak tahu kepercayaan apa yang dianutnya. Melihat
potret Yesus yang ada didalam kamarnya, aku jadi berpikir apakah dalam ajaran
Nasrani tidur dengan kepala mengarah timur adalah sebentuk perbuatan dosa? Atau
ini hanya kepercayaan adat Batak saja? Atau mungkin ini kepercayaan lain diluar
adat dan agama yang dianutnya?
Heran juga memang,
seorang yang dahulunya perampok dan kini penjual miras menyebut pamali. Aku
kira ia orang yang tak kenal apa yang disebut larangan ataupun dosa.
Saat aku memutar tubuhku
mengikuti perintahnya mengatur arah tidur yang menurutnya benar, Barat melihat
kepalaku tak bertopi. Sepanjang hari tadi memang topi tak pernah lepas dari
kepalaku. Topi baru aku lepas ketika mau tidur. Jadilah, Barat melihat rambutku
yang berguguran. Pikiranku lekas bekerja cepat. Hal demikian dapat menjadi
alasanku segera keluar dari toko ini.
“Fajri, kepalamu botak”,
ujarnya sambil memperhatikan jidatku sebaik mungkin. ”Kamu sering pakai topi
ya?”
“Bukan, Bang. Ini
pengaruh obat”, jawabku beralasan. “Jadi rambutku rontok”.
“Emangnya kamu sakit
apa?”.
“Paru-paru”.
“TBC?
“Bukan”.
“TB?”.
Setahuku TBC dan TB
adalah penyakit yang itu-itu juga. Bedanya hanya terletak pada huruf C-nya
saja. Namun saat Barat menyebutkan penyakit itu dalam pertanyaan terpisah, aku
yakin ada perbedaan yang signifikan selain daripada huruf C-nya tersebut.
“Bronchitis”, itulah nama
penyakit yang aku sebut. “Jadi paru-paruku penuh bercak”.
Mengenai bronchitis
sebenarnya aku hanya tahu itu adalah salah satu nama organ yang terdapat
didalam paru-paru. Aku yakin nama tersebut terdengar asing di telinga Barat.
Walaupun demikian, sepertinya ia tak percaya dengan alasanku itu. Berkali-kali
ia masih menuduhkan TBC dan TB padaku. Ia juga seperti memaksaku mengakui bahwa
aku pernah muntah-muntah darah.
“TBC itu penyakitnya
orang miskin, Bang”, selorohku demi meyakinkan dia.
“Jadi kamu orang kaya
gitu?”
Aku cukup ketawa saja.
“Ya, sudahlah tidur.
Nanti jam sepuluh buka toko”.
Selama terbaring yang kulakukan hanya terpaku
menatap jam dinding. Sesekali ku berguling ke kanan dan ke kiri. Mataku sulit
dipejamkan. Pikiranku berputar-putar bagaimana caranya aku keluar dari toko
ini. Sebaliknya, Aris yang berbaring disebelahku terlihat nyenyak.
Hari makin terang, tapi
kondisi didalam toko seperti baru menginjak waktu shubuh. Sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan toko buka kembali. Segala jenis pekerjaan rumah kami
praktekkan disini. Barat bertindak sebagai mandor, menyuruh kami ini dan itu.
Ketika ia melihatku kesulitan menggunakan mesin cuci, ia mengajariku dengan
sikap yang agak keras. Semua pekerjaan yang menuntut keahlian ibu rumah tangga
akhirnya kami selesaikan.
“Sekarang, bereskan
sampah-sampah toko yang ada dibelakang”, suruh Barat kemudian.
Sampah-sampah toko itu
telah menumpuk memenuhi pekarangan belakang toko. Aku dan Aris mesti memilah-milah
sampah tersebut. Sampah-sampah itu terdiri dari karton, botol plastik, botol
kaca, kaleng minuman, gelas plastik, juga macam lainnya. Sampah-sampah tersebut
disortir dan dimasukkan karung sesuai jenisnya masing-masing. Sampah tutup
botol minuman juga dipisahkan secara khusus ditempat terpisah. Kemudian
sampah-sampah tersebut bakal dijual kembali.
Menyortir sampah ternyata membutuhkan waktu
yang cukup lama. Jari-jari tanganku kotor dan kuku-kukuku kemasukan tanah.
Ketika kami memasukkan sampah gelas plastik, Barat serta merta memperingatkan
kami. “Sebelum dibuang, kalian gosok-gosok dulu tutup kemasannya. Biasanya
minuman kemasan gelas ini suka ada undiannya. Lumayan seribu juga. Kalau
dikumpulkan sedikit demi sedikit pasti jadi bukit. Nanti kalau sudah banyak
baru kita tukarkan ke agennya”.
Selain itu, apabila kami
menemukan kantong plastik yang menurutnya masih layak harus disimpan kembali.
“Tambah kerjaan dan tambah lama saja jadinya”, gerutuku seiring Barat berlalu
dari hadapan kami.
Aneh saja, saat ia
melihat sapu tergeletak dilantai dan aku melangkahinya, ia marah. “Sandarkan
sapunya dekat pintu”, perintahnya padaku. “Bagaimana dengan sampahnya apabila
sapunya saja tergeletak begitu”. Tapi kantong plastik yang sudah masuk tong
sampah namun menurutnya masih layak digunakan ia simpan kembali.
“Dasar Batak pelit!”,
gerutu Aris menggumam padaku.
Tiba-tiba hp-ku
bordering. Tak biasanya adikku itu menelepon. Padahal biasanya, biar irit
pulsa, SMS saja sudah lebih dari cukup. Lekas saja kuangkat panggilan tersebut.
“Fajri, kamu dimana. Lagi kerja apa main. Dari kemarin belum pulang”.
Aku tahu adikku pasti
disuruh telepon oleh ibuku. Beberapa aku jawab dengan jujur, tapi tak aku
beritahu di toko apa aku bekerja.
Tepat aku tutup telepon,
Barat muncul dari depan toko. Sepertinya ia memantau terus apa-apa yang kami
perbuat lewat kamera CCTV. Tapi aku pikir aku tak perlu ketakutan apalagi
gemetaran. Kukantongi kembali hp-ku.
“Siapa tadi?”, aku tahu
dalam hatinya ia agak marah melihat aku menelepon saat kerja.
“Bang, aku mau keluar
saja”, kataku langsung pada titik sasaran. Berikutnya telepon tadi aku jadikan
alasan yang kuat. “Tadi ibuku bilang ditelepon, kalau jaga tokonya sampai larut
malam lebih baik jangan. Penyakitku bisa-bisa kambuh lagi. Bang Barat tahu
sendiri, tak baik udara malam bagi penderita paru-paru”.
“Benar kata ibumu itu”,
katanya memperlihatkan sedikit antusiasmenya biar tak kelihatan berlebihan.
“Sebenarnya Abang juga mau ngomong begitu sama kamu, tapi Abang takut kamu
tersinggung. Kalau keputusan keluarmu sudah bulat, pasti Abang izinkan”.
Sejak semalam tadi, aku
pikir, Barat sudah khawatir dengan penyakit yang kureka-reka ini. Bahkan, pagi
tadi saat Aris mencuci piring, ia juga menyuruhku memilih satu piring dan satu
gelas demi mengindari penularan penyakit yang kuderita pada yang lain.
“Bukannya Abang jijik sama kamu. Ini hanya bentuk kewaspadaan saja. Jadi piring
dan gelasmu jangan sampai terpakai oleh yang lainnya”.
Selain itu, aku tahu ia
juga khawatir takut-takut barang dagangannya ikut tercemar oleh virus yang
tengah aku idap. Mungkin fatal akibatnya apabila salah seorang pelanggan toko
Barat tahu kalau salah satu pegawainya menderita penyakit paru-paru.
Karena aku cuma bekerja
di toko ini selama dua hari, aku cukup diberikan sekaleng susu kental juga uang
sebesar 20.000 rupiah.
Tiba di rumah aku merasa
sangat lega. Namun aku tinggalkan Aris disana sendirian. Sebenarnya aku sempat
merasa jengkel dan marah juga karena Aris tak menyebutkan sebelumnya di toko
macam apa aku akan bekerja. Ia bersikap demikian karena tahu aku pasti bakal
menolak dan ia merasa sepi disini tanpa seorang teman. Terakhir ia mengeluh
padaku karena tak punya mitra kerja lagi. Nasehatku lebih baik ia juga segera
keluar dari toko ini dan ikut gabung kembali bersama teman-teman Alto lainnya.
Di pihak lain aku juga tahu, yang paling ia butuhkan saat jauh dari rumah dan
orangtua adalah uang.
Tiba di rumah keluargaku
sedikit kaget ketika aku beritahu bahwa aku kerja di toko miras. Lantas, mereka
menyebutkan keputusanku tepat keluar dari toko tersebut. Kedepannya, barangkali
aku akan ikut berjuang kembali bersama teman-teman berdemo memperjuang hak-hak
kami buruh PT. Tri Banyan Tirta alias Alto.