Halaman

Selasa, 24 September 2013

Gigolo-Gay Aku Terjebak Diantara Dua Peran

          Setelah dihantam panas terik, sore itu, langit kota Bogor sedikit mendung. Tiupan angin yang semilir sedikit menyejukkan kulit setelah diterpa gerah kepanasan. Tanpa niat memuaskan nafsu konsumtif kami, iseng-iseng kami masuk Botani Square.
          Kami lewati pintu masuk utama mall tersebut. Setelah setengah mengitari bagian luar mall tersebut, barulah kami masuk melalui pintu masuk yang lain.
         “Sekali-kali kita ngopi di Starbuck, yuk”, ajak Hendra ketika kami melintasi didepan bagian luar cafe berlogo wanita berambut keriting panjang itu.
          Cafe yang menyuguhkan kopi cita rasa Amerika itu ramai pengunjung. Kursi dibagian dalam dan luar tampaknya terisi semua. Meskipun rata-rata para pengunjung mengenakan setelan casual, semacam kaos dan jeans, penampilan mereka tampak necis. Mereka bersih dan bahagia. Tak seperti kami, yang menurut perasaanku, pasti terlihat kumal dan kusam.
          Beberapa tengah asyik membuka gadget yang dimilikinya. Sebagian lagi tengah asyik mengobrol bersama teman-teman mereka, atau barangkali rekan bisnis. Mungkin urusan mereka tak jauh-jauh dari persoalan bisnis. Kalau bukan, mungkin mereka tengah mendiskusikan masalah percintaan bahkan sex. Sementara secangkir kopi yang telah dipesan seperti terabaikan diatas meja mereka. Sudah jelas mereka berasal dari golongan kelas apa. Maka, aku tertawa-tawa saat Hendra mengajakku ngopi di Starbuck.
          “Harga secangkirnya seratus ribu”, tandasku. “Gak nyesel buang duit segitu cuma buat secangkir kopi?”.
          “Semahal itu?”
          Aku sendiri tidak tahu harga pastinya. Belum pernah aku merasakan suasana cafe. Tapi dapat diperkirakan, bagi kami yang penghasilannya sudah dipasung berdasarkan UMK kabupaten, jelas pasti harganya jauh dari jangkauan kantong kami. Sekalipun ada uangnya, terlalu sayang kami membuang uang sebesar itu hanya untuk secangkir kopi. Padahal, apabila uang sebesar itu kami belanjakan di warung-warung langganan kami, kami dapat membeli tidak hanya kopinya, sekaligus juga selusin cangkirnya.
          Begitulah kami. Sepertinya kami tidak ditakdirkan untuk hidup konsumtif. Kami hidup untuk dituntut produktif. Masalahnya kami bukan termasuk orang yang kreatif apalagi inovatif. Jadilah hidup kami gak maju-maju, terus primitif.
          Kami melewati pintu kaca memasuki Botani Square. Udara dingin langsung menghembus kearah wajah kami. Orang-orang, laki-perempuan, tua-muda, anak-dewasa, lajang-menikah, berlalu-lalang, kesana-kemari, melihat-lihat barang yang terpajang didalam etalase. Kami lirik kanan-kiri. Tanpa uang, kami tak tahu apa yang bisa kami dapatkan disini meskipun banyak yang dapat kami lihat.
          Kami berhenti didekat sebuah tiang, bersandar diatas pagar besi yang mengelilingi bagian tengah mall tersebut. Kami memandang kebawah. Tepat dilantai dasar, tepat ditengah-tengah lobinya, terdapat diskon besar-besaran. Ada sepatu, pakaian, aksesoris. Orang-orang sibuk memilih. Lalu pandangan kami tertuju pada seorang perempuan dengan riasan tebal, berumur sekitar akhir 30-an atau awal 40-an, didampingi seorang pria yang berumur sekitar awal 20-an. Mereka bergandengan tangan, saling tukar pandang, dan tersenyum.
         “Jri, menurut kamu bagaimana kalau aku jadi gigolo?”, kata Hendra seperti meminta pendapatku.
          Aku tertawa. Aku pandang Hendra lebih serius. Aku pikir ia bercanda.
         “Begini’, dari kata pertama yang diucapkannya itu, aku tahu ia sungguh-sungguh, “awalnya aku mau pinjam uang sama temanku. Temanku bilang sebenarnya aku tak perlu pinjam uang. Tanpa hutang, aku bisa mendapatkan uang lebih besar dari jumlah yang aku pinjam. Aku bisa ikut bisnis dengannya, kalau mau”.
        “Bisnis apa?”
          “Dia gigolo”
         Aku kerutkan kening. “Maksudnya kamu diajak jadi gigolo?”.
          Hendra mengangguk dalam. “Awalnya dari sebuah iklan job fashion yang diselenggarakan di Senayan City. Apabila aku mau ikut ambil bagian dalam acara tersebut, aku mesti menyerahkan fotoku yang telanjang dada. Kebetulan aku di foto pake Blackberry-nya. Dan foto itu diperlihatkan pada lingkungan tante-tante genit di Jakarta”.
          Tahun-tahun belakangan ini Hendra memang rajin ikut casting. Berburu dari satu tempat ke tempat lain. Semuanya gagal. Tak ada yang lolos. Penampilannya memang cukup mengesankan. Tubuhnya tinggi. Saat castingpun ia selalu dibilang wajahnya fotogenic----bagus di kamera. Dilingkungan rumahnya sendiri ia selalu dipanggil oleh bocah-bocah tetangganya mirip Aghan dan dilingkungannya kerjanya ia selalu dibilang mirip Tao Ming Tse, si tokoh utama dalam drama seri Meteor Garden. Tetap saja itu tak membuatnya lantas percaya diri. Menurutnya wajah dan warna kulitnya sama sekali tak mengesankan ala-ala K-Pop. Dan yang tengah laku belakangan ini adalah cowok bermata sipit, rambut disemir pirang, kulit putih kekuning-kuningan.
           Barangkali itulah yang membuatnya butuh waktu berjam-jam di kamar mandi dan betah nongkrong lama-lama didekat jemuran pakaian sambil memicingkan matanya kearah matahari .Aku selalu bilang cowok-cowok Korea itu banci. Lihat saja serbuan komplotan boyband dari sana sama sekali tak mencerminkan dunia laki-laki. Barangkali karena pengaruh merekalah lahir komunitas alay yang dimana melahirkan karakter lelaki Indonesia yang kewanita-wanitaan.
          “Terus?”, kataku lagi
          “Katanya dalam sebulan aku dapat dibayar 20 juta asalkan aku mau melayaninya. Aku sih mau-mau saja kalau sekedar nemenin belanja atau ngobrol, tapi kalau sampai ke urusan ranjang....”, Hendra terhenti seperti memikirkan akhir kalimatnya itu.
          “Menurutku kalau dibayar 20 juta perbulan sampai nemeninnya diatas ranjang terlalu murah”.
          “Kalau layanan aku memuaskan aku bisa dibayar lebih, minta ini-itu, bahkan kontrak bisa diperpanjang”.
          “Jadi ada sistem kontraknya juga?”.
          “Dari jadi gigolo, temanku bisa menyelesaikan S2, punya mobil, apartemen, dan rumah. Dia juga tidak selalu setiap harinya bertemu dengan tante yang mengontraknya itu. Tapi sewaktu-waktu, dalam keadaan mendadak sekalipun, ketika si tante itu membutuhkannya, alasan apapun yang mengendalai, ia harus bisa memenuhi panggilannya. Kalau tidak akibatnya bisa fatal”.
          “Menurutmu kenapa temanmu itu masih jadi gigolo? Padahal dia sudah kaya dan karir yang bagus. Tidakkah ada keinginannya untuk menikah?”.
           “Aku pikir gigolo itu menjadi semacam candu. Sekalinya masuk, akan sulit meninggalkannya. Temanku juga bilang kalau jadi gigolo ada teknik dan strateginya sendiri. Salah satunya kita harus punya dua tempat tinggal. Ia sendiri punya apartemen dan rumah. Tiap kali si tante ingin menemuinya, ia selalu menyuruhnya datang ke apartemen. Sementera alamat rumah ia rahasiakan. Dia bilang kalau kita tidak bisa memuaskan, si tante tak segan untuk marah-marah bahkan memukul. Bahkan apabila kita tak tahan dan ingin lepas dari jeratannya meskipun masa kontraknya telah habis, si tante dapat memburu kita kembali dan meminta kembali dengan paksa atas apa semua yang telah diberikan. Parahnya lagi kalau hubungan terlarang itu sampai ketahuan suaminya”.
          Aku menganngguk-angguk. Ternyatalah beginilah dibalik dunia tante-tante kesepian. “Jadi sekalinya kita masuk kedalam dunia gigolo, kita ini seperti terikat seumur hidup”, sekali lagi aku menatap Hendra. “Gila”, ujarku lagi. Kali ini dengan geleng-geleng kepala.
        “Selain itu ada juga yang namanya pertukaran berondong. Jadi si tante dapat juga mencoba berondong milik kawan-kawannya”.
          “Kamu minat jadi gigolo?”
          “Pamali, Jri. Dosa”.
          Aku tertawa-tawa. “Kalau mikirin dosa melulu, kita takkan bisa bergerak. Terkadang kita mesti melanggar batas norma apabila ingin berkembang. Toh, manusia diciptakan untuk berdosa, karena ia hidup dituntut untuk menyembah Tuhan. Kalau tidak, adalah sia-sia Tuhan menciptakan neraka”.
          “Setidaknya aku minta izin dulu sama orangtua”.
          Kembali aku tertawa. Sudah menginjak umur dua puluhan saja Hendra seperti anak yang belum berani melangkah sendiri. Segalanya selalu dibutuhkan pertimbangan dari orangtua. Sepertinya tak ada hal apapun yang dilakukannya tanpa sepengetahuan orangtua. Padahal, aku juga tahu, dibandingkan teman-temanku yang lain, Hendra termasuk sosok yang mandiri. Barangkali ini dilakukan semata-semata rasa sayang dan cintanya pada orangtua. Selalu takut membuat orangtuanya khawatir memikirkannya.
          “Jelaslah orangtua kamu gak bakalan kasih izin”, ucapku setelah tawaku reda. “Dikasih tahu juga pasti balik nanya lagi gigolo itu apa. Ini cukup jadi rahasia kamu”.
          Sesaat kami terdiam. Sepertinya Hendra memikirkan kata-kataku kembali.
           “Apa kira-kira yang membuat temanmu itu begitu terbuka sama kamu bahkan mengajakmu mengikuti jejaknya?”, kataku kembali.
          “Barangkali aku polos”.
          Kembali kami melihat seorang tante yang menggandeng ‘piaraannya’ tadi. Kali ini mereka keluar dari sebuah butik. Mereka menjinjing banyak kantong belanja. Berondongnya itu tampak lebih lengket dan senyumnya makin lebar. Begitupula si tantenya. Hidup ini rasanya begitu terjamin tanpa harus menakutkan hal apapun.
          “Dipikir-pikir enak juga jadi gigolo”, selorohku tanpa pikir-pikir. “Menurutmu kira-kira ada gak tante-tante yang minat sama aku? Kenalin dong sama teman kamu itu. Aku mau jadi gigolo. Resiko apapun bagiku itu tak penting”.
          Kali ini Hendra yang justru menertawaiku.

          Bagiku sendiri, gigolo barangkali dapat menjadi jalan keluar untuk memuaskanku atas segala perasaan benci, kecewa, harap, dan cintaku yang terpendam. Sempat terpikirkan pula untuk menyerahkan kepolosan raga ini pada seorang lelaki disorientasi seksual. Tapi setelah mengenal sedikit dunia gigolo aku menggeserkan hasratku ini. Tak seperti gay, menjadi gigolo tidak hanya dapat melepaskanku dari semua perasaan yang tak terlampiaskan dibalik dadaku. Lebih dari itu, aku juga bisa mendapatkan keuntungan materi. Inilah caraku membalas dendam pada kehidupan dan orang-orang yang mengisi kehidupan itu.

Minggu, 16 Juni 2013

Setitik Semangat Dalam Sepotong Roti



          “Spririt! Spirit!”, itulah yang selalu didengung-dengungkan dalam batin kami diantara desahan nafas kami yang melemah karena lelah. Tapi, puncak Roti yang selalu disebut-sebutkan Usup tak kunjung nampak apalagi tertaklukkan. Barangkali inilah yang dirasakan para pendaki gunung, dan yang paling didamba-damba adalah puncak. Tapi karena matahari makin condong ke barat, kami memutuskan turun sebelum berhasil mencapai puncak.
          Awalnya tak ada rencana sama sekali mendaki bukit yang namanya sama dengan kawasan perkebunan teh di Puncak, Gunung Mas. Usup mengajak kami mengunjungi stand baru food court-nya BTM, Richesse Factory. Katanya makanan disana enak. Cita rasanya adalah rasa pedas yang sampai tingkatan tertingginya di level lima. “Tapi belum ada yang nyoba sampai level lima. Level dua saja pedasnya ekstrem banget. Paling banter  cuma level empat saja. Itupun jarang-jarang”, tandas Usup menggebu-gebu merekomendasikan.
          Aku menolak kesana, karena tiap kali ada kesempatan tujuanku melulu ke BTM. Apalagi menu pedas yang dimaksud Usup itu hanya berupa ayam. Lidahku rasanya sudah kelu mencicipi menu berbahan ayam. Baik di rumah maupun di tempat kerja melulu menunya ayam.
          “Kita ke Takol--Taman Koleksi—aja, yuk!”, ajak Usup lagi. “Sekali-kali lah kita jalan layaknya kaum metropolis”.
          Sepertinya Usup sangat terobsesi dengan gaya konsumtif kaum metropolitan. Selalu yang harus dikunjungi itu mal dan mal. Setidaknya di tempat-tempat yang dikunjunginya tersebut ada banyak penjual makanannya. Kali ini justru Erwin yang menolaknya.
          “Gimana kita ke bukit Gunung Mas saja?”, kembali Usup kasih usul. Sepertinya ia selalu punya jalan alternatif mengajak teman-temannya main, tak mau membuang waktu luang bersama dan berkumpul begini setelah beberapa bulan tak jumpa. Karena hari juga baru masuk adzan zhuhur, aku mengangguk setuju. Erwin sedikit terlihat ragu. Tapi karena tak ada pilihan lain, mau tak mau Erwin ikut juga.
          Sebelum melakukan perjalanan kesana, kami singgah dulu di masjid Al-Huriyyah yang berada dalam kawasan kampus IPB Darmaga. Shalat zhuhur disana. Lalu dengan sepeda motor yang dikendarai Erwin, kami menuju destinasi yang telah disepakati.
          “Kita beli bekal dulu buat persediaan mendaki keatas” kataku saat motor hendak memasuki jalan kecil menuju bukit Gunung Mas itu.
          Motor berhenti tepat didepan jalan itu. Aku dan Usup menyeberang jalan, masuk kedalam toko berlogo mart. Kami membeli tiga botol air mineral ukuran sedang, roti tawar rasa pandan, coklat meses, dan makaroni. Kami memilih barang-barang yang harganya paling murah diantara merek-merek lainnya demi menghemat pengeluaran.
          Keluar toko kami merasa belanjaan kami belum cukup. Melihat rumah makan nasi Padang tak jauh dari toko mart tersebut, akhirnya kami putuskan kesana. Kami tawari Erwin yang berdiri diseberang jalan menunggui motornya. Ia menggeleng. Jadilah kami beli cuma dua bungkus saja. Menuku adalah ayam sayur ( ayam lagi? ). Sementara Usup memilih rendang.
          “Makanan Padang itu rendang”, ucap Usup melirik kearahku. Tapi aku selalu tak pernah puas apabila harus melahap rendang yang hanya sebesar kartu domino itu. Ayam, sesering dan sebosan apapun aku melahapnya, setidaknya ukurannya lebih besar.
          Sekembalinya kami dari rumah makan Padang, kami bertiga langsung berangkat. Tas gendongku yang semula hanya berisi sebuah buku dan berkas-berkas kertas yang sudah lusuh kini terasa lebih berat dipunggungku. Padahal belanjaku tadi hanya sedikit, tapi beban dipunggung seperti bertambah berkilo-kilo.
          Tepat didepan gerbang SMA 1 Ciampea yang merupakan tempat sekolah Usup dulu kami berhenti. Hari libur begini sekolah tampak sepi. Tak ada seorangpun yang menjaga sekolah ini. Pintu gerbangnya sendiri tak terkunci. Kami tengok kanan-kiri, depan-belakang. Karena tak menemukan seorangpun yang mengaku sebagai penjaga sekolah disini, takut kemungkinan motor Erwin bakal ada yang curi, akhirnya motor itu dititipkan ke salah seorang teman Erwin bernama Iki.
          Selama menunggu Erwin kembali dari rumah temannya, aku dan Usup keliling-keliling mengitari tiap sudut gedung sekolah ini bagai mengenang kembali masa putih abu-abu silam. Terutama bagi Usup, sang alumni dari sekolah ini.
          Arsitektur gedung sekolah ini seperti sekolah-sekolah lain pada umumnya. Pintu-pintu ruang kelas mengelilingi sebuah lapangan basket didalamnya. Dibagian paling depan sekolah, berhadapan langsung dengan pintu gerbang, adalah ruang guru atau ruang BP. Istimewanya, tepat dibelakang sekolah itu menjulang tinggi sebuah bukit yang sebentar lagi bakal kami daki. Bukit Gunung Mas bagai memagari bagian belakang gedung sekolah ini. Rimbunnya pepohonan diatas sana menambah daya tarik yang memusatkan pada rasa penasaran. Begitu megah dan penuh rahasia. Terutama di hari libur begini, banyak monyet-monyet liar yang turun ke bawah bukit mencari makanan.
          Usup berlari-lari mengusir monyet-monyet yang bergelantungan diatas pohon. Monyet-monyet itu melompat-lompat ketakutan ke balik genteng. Tapi saat mengusir salah satu dari monyet tersebut, justru kamilah yang berlari ketakutan. Monyet itu menggeram menuduhkan barisan giginya yang kuning. Monyet yang satu itu ternyata cukup nyali untuk melawan kami. Dicarilah sepotong ranting sebagai senjata. Usup mengacung-acungkan ranting itu hingga monyet itu menghilang ke balik genteng.
          Kami terus menelusuri sepanjang koridor sekolah. Tong-tong sampah dalam posisi terbalik dan isinya berserakan disepanjang koridor. Pasti monyet-monyet itu yang mengobrak-abrik seisi tong sampah itu, berharap didalamnya ditemukan makanan.
          “Sup, proses belajar mengajar disini bagaimana? Memangnya gak ke ganggu banyak monyet begini?”, selorohku diantara hentakan suara langkah kaki kami.
          “Kalau pas hari biasa tidak ada monyet yang berani turun kesini”, tandas Usup. “ Mereka juga takut kalau ada banyak manusia”.
          Usup juga menuduhkan ruang-ruang kelas tempat ia duduk selama tiga tahun di sekolah ini. Tepat dibagian paling belakang terdapat tiga kelas baru yang belum sepenuhnya rampung. Ruang-ruang kelas tersebut berada pada posisi bagian paling tinggi daripada kelas-kelas lainnya, sehingga kami harus menanjak naik, melangkahi satu per satu anak tangga.”Sekarang sudah banyak berubah. Ada banyak kelas-kelas yang baru dibangun”, ucap Usup pelan seakan ada rasa disayangkan dalam nada bicaranya.
          Pandanganku menembus kaca jendela salah satu ruang kelas. Dari balik kaca jendela itu kulihat berumpun-rumpun pohon bambu yang berdiri melengkung ditengah keheningan. Daun-daun kering yang dijatuhkannya berserakan diatas permukaan tanah. Aura dibalik kaca jendela ini terasa suram dan angker. Otakku mulai memikirkan cerita horor dengan setting di sekolah ini. “Sup, disini suka ada yang kesurupan?”, kataku.
          “Sering. Tapi tak ada yang sampai kesurupan massal”, jawabnya santai.
          Setelah puas meneliti dan melihat-lihat bangunan baru itu, kembali kami turun ke bawah. Lalu duduk dikursi kayu depan lobi sekolah, dinaungi oleh atap kanopi.
          Tak lama kemudian Erwin muncul dengan naik ojeg. Tanpa banyak basa-basi lagi kami segera bergerak. Kami jalan berbaris kearah bukit itu. Memikirkan apa yang ada dibalik bukit itu menggelitik rasa penasaranku. Menurut Usup sebagai orang yang pernah mencapai puncaknya bilang bahwa puncak dari bukit ini berbentuk roti. Sebabnya disebut puncak roti. Dan aku mulai membayangkan bagaimana kami menikmati sebungkus nasi Padang ditengah ketinggian. Pasti asyik dan menyenangkan layaknya seorang petualang yang menemukan jalur baru menuju puncak gunung.
          Baru saja berjalan beberapa langkah kami telah disuguhkan barisan pohon-pohon jati. Pohon-pohon jati itu memiliki ketinggian sedang dan daun-daunnya belum terlalu rimbun meski kerapatan pohon-pohon jati itu cukup menghalagi cahaya matahari menerobos masuk permukaan bumi secara leluasa. Menurut Usup dahulu, saat ia mendaki pertama kalinya, belum ada barisan pohon-pohon jati ini. “Gersang”, ucapnya. “Barangkali ini semacam realisasi pemerintah yang iklannya sering tayang di tv. Program sejuta pohon. Banyak pohon banyak rezeki”.
          Kerimbunan suasana disinipun menyentil minat kami untuk berfoto. Erwin mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan lensa kameranya kearah kami. Tiba-tiba saja Usup bilang, “Sebentar! Ngeri foto disini. Temanku saja foto sendirian disini, tapi digambarnya ada dua orang”.
          “Maksud lo kita foto berdua disini nantinya bakal ada tiga orang?”, kecamku.
          Usup cukup mengangkat bahunya. Entah apa itu artinya. Barangkali ini hanya masalah teknologi saja. Zaman makin modern. Tak hanya manusia yang mesti mengikuti perkembangan zaman, makhluk-makhluk di alam lain juga memang rasanya dituntut untuk beradaptasi demikian. Apabila mereka tak mengikuti perkembangan otak manusia, mustahil para setan itu berhasil menjerumuskan manusia. Jadilah mereka muncul dalam gambar-gambar yang dibuat manusia baik dalam bentuk bayangan putih ataupun bayangan hitam. Mereka harus lebih eksis lagi, karena jangankan mereka, Tuhan saja banyak yang mengingkari keberadaan-Nya.
          Bentangan jalan setapak menuju dua arah. Usup menunjuk ke kanan sambil mengingat jalur yang dulu pernah dilewatinya. Karena merasa tak yakin, setelah berjalah kearah tersebut beberapa langkah, kami memutuskan berjalan kearah kiri. Sambil mengingat kembali akhirnya Usup meyakini bahwa inilah jalur yang tepat.
          Jalan mendaki mulai terjal. Kami cukup mengikuti jalan setapak yang tersedia. Sesekali Erwin, sebagai orang yang berjalan paling depan, juga teliti melihat tanda berupa tali rafia yang dililitkan diatas batang-batang pohon.
          Usup dan Erwin sesekali mengeluh karena mengenakan sepatu yang tak sesuai digunakan untuk berjalan mendaki begini. Sementara aku merasa cepat lelah dengan tanggungan isi tas dibelakang punggungku.
          Kendati begitu, kami terus maju. Batang-batang dan akar-akar pohon kami gunakan sebagai penopang langkah kaki kami. Kami genggam erat-erat dan segera mengangkat berat badan kami. Sekali-dua ada tonjolan-tonjolan batu yang menyembul dari permukaan tanah. Batu-batu itu setidaknya cukup membantu  pijakan kaki kami. Dan tiap kali kami melangkah serpihan tanah dan kerikil tergoyahkan, berhamburan turun kebawah. Melangkah naik begini dengan kemiringan yang cukup terjal membuat kami cepat letih. Dua botol air telah habis kami minum. Sisa tinggal sebotol lagi. Kami harus mengirit-irit air minum. Ternyata membawa tiga botol air, yang rencananya tiap kepala punya jatah sebotol. Tidaklah mencukupi.
          Berikutnya aku berjalan memimpin. Tas yang kugendong dari tadi aku serahkan pada Erwin. Kali ini jalan tak hanya terjal, tapi juga licin karena basah. Semak-semak belukar yang tumbuh disekitarnya juga menutupi jalan setapak, sehingga kami mesti lebih berhati-hati lagi melangkah.
          Entah berapa meter kami kini berada diatas permukaan tanah. Jalanan sudah tak seterjal tadi. Namun pohon-pohon makin merapat, menghalagi cahaya matahari yang masuk kesini. Beberapa kali kami terlilit akar-akar dan liatnya batang-batang tanaman sulur, membuat kami hampir terjerembab dan berguling kebawah. Kami juga banyak menemukan batu-batu gunung yang besar dan keras. Diantaranya ada juga yang kuduga sebagai kuburan manusia purba. Bahkan dibalik jiwa petualanganku aku berharap dapat menemukan semacam artefak kuno seperti arca arcopodo di gunung Semeru. Tapi Usup bilang aku terlalu mengada-ngada.
          Walaupun demikian, tiap kali menemukan jalan yang mengarah pada dua jalur atau jalan yang terkesan keramat, Erwin selalu bergumam, “Punten! Punten!”.
          Kembali kami disuguhkan dua arah jalan setapak. Aku tak tahu demikian, padahal jalur-jalur yang kami lewati adalah jalur-jalur semestinya yang sudah ditandai oleh pendaki sebelumnya. Kali ini tak kami temukan tanda itu lagi. Sambil memanjangkan lehernya, mata Erwin menerobos ke balik-balik semak dan pohon didepannya. Lilitan tali rafia yang semula menjadi penunjuk arah kami tetap tak ditemukan.
         “Gimana nih kita lanjut atau turun saja?”, desah Erwin sambil mengelap keringat yang mengalir diwajahnya.
          “Wah, kalau turun tanggung amat”, tukas Uus. Sebenarnya ia sendiri tampak sedikit ragu untuk melanjutkan petualangan ini. “Bentar lagi juga nyampe puncak”.
          “Jam berapa sih sekarang?”, kata Erwin lagi. Ia masih belum mampu menguasai nafasnya kembali yang naik turun.
          Aku keluarkan hp-ku dari saku celana. Hampir jam empat sore. Kami saling berpandangan dan kami tahu apa yang dikatakan oleh hati kami masing-masing. Hari sudah mulai sore. Kami takut kemalaman diatas bukit ini. Kami semua menengok ke bawah. Tanpa banyak debat lagi, kami cepat-cepat turun ke bawah dengan langkah terseok-seok.

Selasa, 26 Maret 2013

DUA HARI DI TOKO MIRAS Part 2




          Barat, begitulah pemilik toko tempat kini aku bekerja kerap dipanggil. Praktis nama tokonya juga dikenal Toko Barat. Barat itu sendiri kependekan dari nama marganya Hutabarat. Dari nama marga dan aksen bicaranya mudah ditebak ia seorang pemuda berdarah Batak. Tapi dikala menunggu tokonya, ia kerap memutar lagu-lagu Benyamin S. Katanya ada darah Betawi pula yang mengalir dalam tubuhnya.
          Dilihat dari posturnya, Barat adalah lelaki yang ideal sebagai lelaki juga dimata para wanita. Besar dan tinggi meski dilihat dari perutnya belumlah terbilang atletis. Tampangnya lumayan ganteng. Karena ia selalu memakai kaos singlet tanpa lengan, jelas sekujur tubuhnya dipenuhi tato dengan warna senada. Dengan berpakaian begitu barangkali ia ingin memperlihatkan keeksisannya sebagai preman dimuka umum atau mungkin sekadar memberitahu bahwa ia memiliki selera seni yang cukup tinggi.
          “Ris, tadi ada cewek datang kemari cari kamu”, katanya menghampiri kami yang tengah sibuk mengemas. “Dia bilang kontrakannya sudah ketemu juga sudah dibayarkan. Siapa cewek itu? Pacar kamu, bukan?”
          “Yang janda itu, Ris?”, tandasku sekonyong-konyong.
           “Pacar kamu janda? Mendingan cari perawan daripada janda”, sarannya.
            “Biar janda yang penting baik, Bang”, selorohku menyindir sambil melirik Aris dengan sudut mataku.
         “Sudah putusin saja”, sarannya lebih ditekankan lagi seperti orangtua yang tak setuju dengan pilihan hidup anaknya.
          “Memangnya kenapa janda, Bang?”, ujar Aris.
           “Sama janda, kamu bakal membesarkan anak orang lain. Bukan anak kamu sendiri”.
          “Sekarang cari perawan sulit, Bang. Orang yang ngaku perawan saja belum tentu benar ia perawan”, sanggah Aris.
          “Sebenarnya ia putus asa, Bang”, kataku kembali ikut nimbrung. “Pernah Aris juga pacaran sama perawan. Tapi pacarnya itu hobinya marah-marah. Sampai digoblok-goblok segala. Beda katanya sama janda----jauh lebih ramah, lebih perhatian”.
           “Janda lebih baik, Bang”, ucap Aris sambil ketawa-tawa.
          “Fajri, pacar kamu siapa?”, kata Barat mengalihkan topiknya padaku seakan-akan ia sudah kalah melawan Aris. Aku cuma mesem-mesem nggak jelas sambil pura-pura sibuk mengemas.
          Lekas perhatian Barat tertuju pada hasil kerjaan kami yang kami letakkan satu persatu didalam karton. Melihat cara kerja kami yang lambat dan cukup banyak hasilnya yang dirasa kurang rapi, kembali ia menuduhkan cara mengemas yang baik dan cepat. “Hal sekecil apapun ada ilmunya. Untuk membuka plastiknya tidak apa-apa ditiup dulu, lalu masukkan kacangnya sekepal-sekepal”, ungkapnya sambil menggenggam butir-butir kacang itu dalam kepalannya dan memasukkannya dalam kantong plastik.
           “Bang, memangnya toko ini sejak kapan berdirinya?”, tanyaku biar dapat lebih dekat bos. Kali saja dapat naik gaji.
          “Toko ini sudah berjalan kurang lebih sembilan tahun lamanya”, jawabnya.
          “Sebelum buka toko ini, memang Bang Barat kerja apa?”, tanyaku lagi seperti orang yang selalu ingin tahu segala hal.
          “Rampok. Di perempatan Cileungsi”, katanya lugas dengan dua kalimat. Jelas, sepasang matanya terbuka lebar kearahku seakan-akan ia telah siap menyanggah segala tindakan dan perkataanku apabila aku melawannya. “Modal toko ini dari hasil merampok”, terangnya melanjutkan.
          Seharusnya memang aku kaget mendengar kejujuran semacam itu, tapi entah kenapa ekspresi wajahku datar-datar saja. Aku merasa apa yang diucapkan Bang Barat barusan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Barangkali hal demikian diluar sana, sering aku lihat dan dengar, sudah menjadi sesuatu yang biasa meski kebanyakan masih ditutup-tutupi. Bukankah berita-berita diberbagai media saja lebih cenderung menginformasikan tentang korupsi?
            Memang juga  sudah seperti seharusnya dan paling tepat uang yang diperoleh dengan cara tak halal dimodalkannya juga untuk hal-hal yang kurang baik.
          Dari luar penampilan toko ini memang terlihat seperti toko-toko lain pada umumnya. Etalasenya sendiri diisi dengan barang-barang yang umum dijual, seperti rokok dan mie. Dua kulkas yang diletakkan paling depan toko juga berisi minuman yang umum dijual dan banyak diiklankan di tv-tv. Tapi ketika melihat rak-rak yang bersandar dibalik etalase dan tingginya setinggi dinding toko itu sendiri tersimpan kaleng-kaleng bir dengan berbagai merek; Angker Bir, Bintang, Guinnes, Grand Sand, juga arak China. Dibawahnya diletakkan keranjang-keranjang minuman; anggur merah, anggur putih, kolosom, mansion, vodka, intisari, kamput, arak hitam. Daftar harganya juga dicantumkan diatas etalase. Terselip diantara rak dan etalase, ada dua lagi kulkas ukuran satu pintu. Kedua lemari es itu diisi kantong-kantong ciu yang dibuat dengan dua ukuran. Ukuran kecil seharga 10.000 rupiah dan besar 15.000 rupiah.
          Barang yang laris manis disini memang barang-barang demikian, karena memang itulah dagangan utamanya. Barang-barang diluar itu boleh dibilang sekadar topeng saja. Yang paling laku diantara minuman alkohol lainnya adalah ciu karena harganya yang paling murah. Saat ada orang bermobil membeli ciu, Bang Barat mendumel jengkel padaku seperti anak yang mengadu pada orangtuanya.
          “Barangkali ia sopirnya, Bang”, jawabku santai.
          Yang membuatku prihatin justru yang membeli ciu itu adalah anak-anak seumuran sekolah. Bahkan mereka datang kemari masih berseragam lengkap. Kalau begini, generasi masa depan bangsa tengah terancam. Bodohnya, aku adalah bagian dari rusaknya moral para generasi bangsa.
          Menuju malam makin banyak pemuda-pemuda bahkan pria berumur diatas 40 tahun datang kemari. Tepat dipuncak malam menuju dini hari lebih banyak lagi orang berdatangan. Jadilah Aris yang lebih senior tiga hari dariku menjadi bartender melayani mereka. Sementara aku disuruh memperhatikan bagaimana Aris mengoplos minuman dan melayani mereka bagai orang yang telah dipersiapkan untuk menggantikan Aris. Biasanya mereka mengoplos minuman tersebut dengan minuman penambah stamina seperti Kratingdaeng atau Torpedo. Ada juga yang mengoplosnya dengan minuman cola atau air teh dalam kemasan botol/gelas. Tak ada satupun yang minta oplosannya dengan merk atau jenis minuman alkohol lainnya.
          Menurut Aris malam ini pembeli tergolong sedikit. Kemarin, saat malam minggu, sampai pagi pula, pembeli sampai panjang mengantri ke belakang. “Aku sampai nangis, Jri. Capek banget”, keluhnya. Makin jelas saja penderitaannya sebagai anak yang jauh dari orangtua dan rumah bak seorang perantau dari luar pulau.
         Selain jadi bartender, apabila persedian miras habis di toko, ia juga ditugaskan mengambil setoknya di suatu gudang. Saat malam minggu kemarin ia sampai berkali-kali bolak-balik ke gudang miras tersebut. Jaraknya cukup jauh dari toko. Jalan menuju kesana  saat malam hari begitu gelap. Tiba di gudang pula ia masih memerlukan mencari-cari merek dan jenis miras yang diminta. Tapi tugas-tugas itu harus ia lakukan sebaik mungkin.
          Saat ia baru kembali dari gudang penyimpanan membawa dua box karton berisi setengah lusin miras ditiap box-nya, ia teriak-teriak hp-nya jatuh entah dimana. Kali ini, tanpa menggunakan sepeda motor, ia disuruh segera mencari hp-nya itu. Bang Barat sempat menggerutu agar Aris lebih berhati-hati. Tapi akhirnya ia berikan senter pada Aris. Beberapa menit setelah Aris pergi, aku disuruhnya juga menyusul Aris. Tampaknya ia agak khawatir Aris tak kunjung kembali. “Missed call hp-nya biar cepat ketemu”, perintahnya padaku. “Takutnya nanti keburu sama orang lain”.
          Jadilah aku menyusul Aris. Setelah beberpa meter berjalan, keadaan jalan didepan sana makin lengang dan sepi. Karena baru turun hujan, jalan tampak terasa becek bahkan mirip kubangan air. Tak ada lagi rumah atau lampu yang menyala. Sepenuhnya gulita. Tiba-tiba aku teringat dengan anjing-anjing itu. Tak berani lagi aku melangkah maju. Kukerahkan cahaya layar hp-ku untuk menerangi jalan. Tapi itu tak cukup membantu. Jadilah aku teriak-teriak memanggil nama Aris sebagai tanda bahwa aku menyusulnya. Pandanganku mencoba menembus kepekatan malam. Tak lama kemudian, dari balik gelap muncul sesosok bayangan. Ternyata itu Aris yang tengah berlari kearahku. Sama sepertiku, ia juga tampak ketakutan.
           Tak terbayangkan memang, ketika membawa miras dari gudang, tiba-tiba ditengah jalan muncul seorang atau komplotan kriminal. Pastilah Aris yang bertanggung jawab sepenuhnya. Dapat ditebak, mungkin gaji kami yang bakal dipotong. Apabila sudah kejadian entah berapa uang yang kami terima dan entah cukup buat apa.
           Lebih mengerikannya lagi adalah apabila yang mencegat itu adalah orang dari kepolisian. Dan suatu saat nanti aku pasti mendapatkan giliran tugas seperti Aris tersebut.
         “Bang, gudangnya dipindah kesini saja. Dibelakang toko”, usulku ketika kembali ke toko lagi. “Biar tidak capek bolak-balik. Jadi, kalau persediaan sudah habis, tinggal ambil dibelakang. Tak perlu repot-repot lagi”.
          “Tidak bisa”, sergah Barat cepat seakan ini merupakan sistem yang paling benar dan tak bisa ditawar-tawar lagi. “Kalau ada razia polisi bahaya. Lebih aman kalau gudangnya dipisah jauh”.
          “Razia,  Bang?’, ucapku penuh pikir-pikir. Dan memang seharusnya aku tak perlu merasa heran.
          “Makanya tiap hari besar keagamaan toko tutup. Itulah saatnya kita beristirahat”, terang Barat. “Sebenarnya Abang juga tiap bulan bayar ‘pajak’ sama polisi. Tapi kalau ada apa-apa kalian tenang saja. Tak bakal kalian tersentuh”.
          “Kalau mau bayar ‘pajak’, polisi yang datang kemari atau Abang yang ke kantor polisi?”
          “Jelas Abanglah yang datang. Kalau polisi datang kemari bisa ketahuan belangnya”.
          Kembali kulirik potret yang tergantung dekat jam dinding. Potret itu bergambar seorang pria dengan latar berwarna merah dibelakangnya. Pria itu mengenakan seragam polisi. Tubuhnya ditegakkan sehingga bahunya terlihat sejajar dan kukuh. Pandangan lurus kedepan menatap kamera. Pose itu tampak begitu tegang.
          “Kakak Abang kan polisi, bisa saja kan Abang memanfaatkan posisinya”, sekali lagi aku mengusul dengan pikiran nakal.
          “Jenderal saja bisa ditangkap, apalagi kakak Abang yang cuma polisi biasa”, sangggah Barat.
          Cukup ironi aku melihat kenyataan disini. Barat yang dahulunya merupakan perampok ternyata memiliki kakak seorang polisi. Tapi status kakaknya itu tak cukup mampu membuat Barat lebih berpikir manusiawi. Diotaknya barangkali hanya keuntungan-keuntungan materi belaka. Bahkan, kalender yang terpasang didepan toko juga bergambar orang-orang militer yang berpakaian seragam lengkap dengan segala atributnya. Aku tak tahu pasti apakah benar potret polisi itu adalah kakaknya atau hanya topeng semata untuk mengelabui patroli?
          Lokasi toko Barat itu sendiri terletak didalam gang yang jarang dilalui mobil patroli polisi. Bahkan mungkin mobil patroli tak pernah sama sekali melewati gang tempat toko Barat berlokasi. Alasan itulah yang mungkin membuat Barat mendirikan toko miras di kawasan Garapan. Jauh dari keramaian pasar dan perempatan Cileungsi. Tapi juga tak tersembunyi dan terpojokkan dari keadaan masyarakat sekitar.
          Toko Barat tutup pukul tiga pagi. Semua pintu ditutup rapat-rapat. Bahkan  pada salah satu daun pintu tertempel selembar kertas yang isinya peringatan akan kedatangan pencuri masuk apabila pintu tak terkunci semua. Menurut Barat, saat kali pertama aku menginjakkan kaki dilantai toko ini, sebenarnya ia masih butuh seorang pegawai lagi. Apabila sudah ada tiga orang pegawai, toko akan buka 24 jam nonstop. Sistem kerjanya akan dibagi menjadi tiga shift. Liburnya juga bergiliran seorang-seorang setiap hari minggu. Sebab itulah, Barat meminta mencarikan orang atau teman kami yang sekiranya mau kerja di toko ini.
          Aku dan Aris sudah mengantuk sedari tadi. Ketika semua pintu toko pasti sudah terkunci semua, kami menggelar tikar diatas lantai. Kami tidur dikelilingi etalase dan rak miras. Selimut kumal yang hanya ada selembar kami rebutkan. Besok kami harus kembali pada keseharian yang mesti mulai dibiasakan. Karena jam tutup toko ini dini hari dan kebanyakan pelanggan membeli malam hari, praktis kami tak perlu bangun pagi-pagi. Toko mulai buka selambat-lambatnya pukul sepuluh menjelang siang.
          Sekonyong ada teriakan dari kamar sebelah tempat Barat tidur yang juga merupakan tempat layar CCTV diletakkan. Karena kami tak mengerti dan tak mengacuhkan teriakan tersebut, Barat keluar kamar. “Tidurnya jangan begitu”, tegurnya pada kami berdua. “Balik arah. Pamali”.
          Kami terpaksa memutar tubuh kami sejauh 180 derajat. Arah kepala kami yang tadi berada di timur menjadi mengarah ke barat. Aku tak tahu kepercayaan apa yang dianutnya. Melihat potret Yesus yang ada didalam kamarnya, aku jadi berpikir apakah dalam ajaran Nasrani tidur dengan kepala mengarah timur adalah sebentuk perbuatan dosa? Atau ini hanya kepercayaan adat Batak saja? Atau mungkin ini kepercayaan lain diluar adat dan agama yang dianutnya?
          Heran juga memang, seorang yang dahulunya perampok dan kini penjual miras menyebut pamali. Aku kira ia orang yang tak kenal apa yang disebut larangan ataupun dosa.
          Saat aku memutar tubuhku mengikuti perintahnya mengatur arah tidur yang menurutnya benar, Barat melihat kepalaku tak bertopi. Sepanjang hari tadi memang topi tak pernah lepas dari kepalaku. Topi baru aku lepas ketika mau tidur. Jadilah, Barat melihat rambutku yang berguguran. Pikiranku lekas bekerja cepat. Hal demikian dapat menjadi alasanku segera keluar dari toko ini.
          “Fajri, kepalamu botak”, ujarnya sambil memperhatikan jidatku sebaik mungkin. ”Kamu sering pakai topi ya?”
          “Bukan, Bang. Ini pengaruh obat”, jawabku beralasan. “Jadi rambutku rontok”.
         “Emangnya kamu sakit apa?”.
          “Paru-paru”.
          “TBC?
          “Bukan”.
          “TB?”.
          Setahuku TBC dan TB adalah penyakit yang itu-itu juga. Bedanya hanya terletak pada huruf C-nya saja. Namun saat Barat menyebutkan penyakit itu dalam pertanyaan terpisah, aku yakin ada perbedaan yang signifikan selain daripada huruf C-nya tersebut.
         “Bronchitis”, itulah nama penyakit yang aku sebut. “Jadi paru-paruku penuh bercak”.
          Mengenai bronchitis sebenarnya aku hanya tahu itu adalah salah satu nama organ yang terdapat didalam paru-paru. Aku yakin nama tersebut terdengar asing di telinga Barat. Walaupun demikian, sepertinya ia tak percaya dengan alasanku itu. Berkali-kali ia masih menuduhkan TBC dan TB padaku. Ia juga seperti memaksaku mengakui bahwa aku pernah muntah-muntah darah.
          “TBC itu penyakitnya orang miskin, Bang”, selorohku demi meyakinkan dia.
          “Jadi kamu orang kaya gitu?”
          Aku cukup ketawa saja.
          “Ya, sudahlah tidur. Nanti jam sepuluh buka toko”.
          Selama terbaring yang kulakukan hanya terpaku menatap jam dinding. Sesekali ku berguling ke kanan dan ke kiri. Mataku sulit dipejamkan. Pikiranku berputar-putar bagaimana caranya aku keluar dari toko ini. Sebaliknya, Aris yang berbaring disebelahku terlihat nyenyak.
          Hari makin terang, tapi kondisi didalam toko seperti baru menginjak waktu shubuh. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan toko buka kembali. Segala jenis pekerjaan rumah kami praktekkan disini. Barat bertindak sebagai mandor, menyuruh kami ini dan itu. Ketika ia melihatku kesulitan menggunakan mesin cuci, ia mengajariku dengan sikap yang agak keras. Semua pekerjaan yang menuntut keahlian ibu rumah tangga akhirnya kami selesaikan.
          “Sekarang, bereskan sampah-sampah toko yang ada dibelakang”, suruh Barat kemudian.
          Sampah-sampah toko itu telah menumpuk memenuhi pekarangan belakang toko. Aku dan Aris mesti memilah-milah sampah tersebut. Sampah-sampah itu terdiri dari karton, botol plastik, botol kaca, kaleng minuman, gelas plastik, juga macam lainnya. Sampah-sampah tersebut disortir dan dimasukkan karung sesuai jenisnya masing-masing. Sampah tutup botol minuman juga dipisahkan secara khusus ditempat terpisah. Kemudian sampah-sampah tersebut bakal dijual kembali.
         Menyortir sampah ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Jari-jari tanganku kotor dan kuku-kukuku kemasukan tanah. Ketika kami memasukkan sampah gelas plastik, Barat serta merta memperingatkan kami. “Sebelum dibuang, kalian gosok-gosok dulu tutup kemasannya. Biasanya minuman kemasan gelas ini suka ada undiannya. Lumayan seribu juga. Kalau dikumpulkan sedikit demi sedikit pasti jadi bukit. Nanti kalau sudah banyak baru kita tukarkan ke agennya”.
          Selain itu, apabila kami menemukan kantong plastik yang menurutnya masih layak harus disimpan kembali. “Tambah kerjaan dan tambah lama saja jadinya”, gerutuku seiring Barat berlalu dari hadapan kami.
          Aneh saja, saat ia melihat sapu tergeletak dilantai dan aku melangkahinya, ia marah. “Sandarkan sapunya dekat pintu”, perintahnya padaku. “Bagaimana dengan sampahnya apabila sapunya saja tergeletak begitu”. Tapi kantong plastik yang sudah masuk tong sampah namun menurutnya masih layak digunakan ia simpan kembali.
          “Dasar Batak pelit!”, gerutu Aris menggumam padaku.
           Tiba-tiba hp-ku bordering. Tak biasanya adikku itu menelepon. Padahal biasanya, biar irit pulsa, SMS saja sudah lebih dari cukup. Lekas saja kuangkat panggilan tersebut. “Fajri, kamu dimana. Lagi kerja apa main. Dari kemarin belum pulang”.
          Aku tahu adikku pasti disuruh telepon oleh ibuku. Beberapa aku jawab dengan jujur, tapi tak aku beritahu di toko apa aku bekerja.
          Tepat aku tutup telepon, Barat muncul dari depan toko. Sepertinya ia memantau terus apa-apa yang kami perbuat lewat kamera CCTV. Tapi aku pikir aku tak perlu ketakutan apalagi gemetaran. Kukantongi kembali hp-ku.
         “Siapa tadi?”, aku tahu dalam hatinya ia agak marah melihat aku menelepon saat kerja.
          “Bang, aku mau keluar saja”, kataku langsung pada titik sasaran. Berikutnya telepon tadi aku jadikan alasan yang kuat. “Tadi ibuku bilang ditelepon, kalau jaga tokonya sampai larut malam lebih baik jangan. Penyakitku bisa-bisa kambuh lagi. Bang Barat tahu sendiri, tak baik udara malam bagi penderita paru-paru”.
          “Benar kata ibumu itu”, katanya memperlihatkan sedikit antusiasmenya biar tak kelihatan berlebihan. “Sebenarnya Abang juga mau ngomong begitu sama kamu, tapi Abang takut kamu tersinggung. Kalau keputusan keluarmu sudah bulat, pasti Abang izinkan”.
          Sejak semalam tadi, aku pikir, Barat sudah khawatir dengan penyakit yang kureka-reka ini. Bahkan, pagi tadi saat Aris mencuci piring, ia juga menyuruhku memilih satu piring dan satu gelas demi mengindari penularan penyakit yang kuderita pada yang lain. “Bukannya Abang jijik sama kamu. Ini hanya bentuk kewaspadaan saja. Jadi piring dan gelasmu jangan sampai terpakai oleh yang lainnya”.
          Selain itu, aku tahu ia juga khawatir takut-takut barang dagangannya ikut tercemar oleh virus yang tengah aku idap. Mungkin fatal akibatnya apabila salah seorang pelanggan toko Barat tahu kalau salah satu pegawainya menderita penyakit paru-paru.
          Karena aku cuma bekerja di toko ini selama dua hari, aku cukup diberikan sekaleng susu kental juga uang sebesar 20.000 rupiah.
          Tiba di rumah aku merasa sangat lega. Namun aku tinggalkan Aris disana sendirian. Sebenarnya aku sempat merasa jengkel dan marah juga karena Aris tak menyebutkan sebelumnya di toko macam apa aku akan bekerja. Ia bersikap demikian karena tahu aku pasti bakal menolak dan ia merasa sepi disini tanpa seorang teman. Terakhir ia mengeluh padaku karena tak punya mitra kerja lagi. Nasehatku lebih baik ia juga segera keluar dari toko ini dan ikut gabung kembali bersama teman-teman Alto lainnya. Di pihak lain aku juga tahu, yang paling ia butuhkan saat jauh dari rumah dan orangtua adalah uang.
          Tiba di rumah keluargaku sedikit kaget ketika aku beritahu bahwa aku kerja di toko miras. Lantas, mereka menyebutkan keputusanku tepat keluar dari toko tersebut. Kedepannya, barangkali aku akan ikut berjuang kembali bersama teman-teman berdemo memperjuang hak-hak kami buruh PT. Tri Banyan Tirta alias Alto.

Sabtu, 16 Maret 2013

DUA HARI DI TOKO MIRAS PART 1




           Frustasi, itulah mungkin kata yang paling tepat untukku saat ini. Tak hanya soal kata, juga apa yang bergejolak dibalik pikir. Semua serba stress dan stress.
         Kurang lebih selama dua bulan aku tak punya pekerjaan. Aksi demo karyawan tempat pabrik aku bekerja sudah berlangsung dua minggu. Dimulai sejak akhir Januari lalu. Tetapi rencana dan rapat-rapat sudah berlangsung sebelum tahun baru. Praktis, aku tak punya penghasilan alias gaji.
          Keseharianku akhir-akhir ini hanya berkumpul dan beraksi didepan pintu gerbang pabrik. Berbagai persoalan yang menghimpit tak kunjung tuntas. Sebelas tuntutan yang diajukan tak kunjung dipenuhi. Titik cerah keputusan seakan timbul tenggelam tanpa kepastian.
          Pihak perusahaan juga seakan-akan sengaja mengulur-ngulur waktu. Sebenarnya, sebelum melakukan aksi massa begini, pihak buruh yang digawangi FB HUKATAN KSBSI dari Tangerang, telah melayangkan surat pada pihak perusahaan. Jawabannya cukup mengecewakan; para karyawan dilarang berserikat dan diharapkan keluar dari serikat buruh yang bermarkas di Tangerang tersebut. Akhirnya kembali beberapa surat dilayangkan namun tak ditanggapi sama sekali. Karena dirasa tak ada itikad baik dari pihak perusahaan, demo-lah jalan terakhir yang mesti kami tempuh.
          Selama sebulan lebih kami, para buruh, dirumahkan tanpa jaminan. Hingga keputusan demo dibuat, nasib saya sebagai buruh PT. Tri Banyan Tirta yang memproduksi air minum dalam kemasan dengan merk ALTO, terkatung-katung. Juga demikian dengan teman-teman lainnya. Padahal saya sendiri, apapun keputusan yang diambil oleh pihak perusahaan, sudah siap dengan lapang dada. Setidaknya, meski keputusannya adalah PHK, saya tak perlu lagi membuang-buang waktu lagi dengan berdemo.
          Oleh sebab belum ada kesepakatan antara pihak buruh dengan perusahaan, selain berdemo, disela-sela waktu menganggur itu aku sempatkan mencari lowongan baik melalui media massa ataupun info dari mulut seseorang.
         Sekonyong harapku bagai menjadi kenyataan. Datang pesan SMS dari salah seorang temanku, Aris Munandar.
          “Fajri, mau kerja di toko tidak?”
          Setitik depresi dari sekian titik yang tumbuh lenyap. Segera saja kubalas;
          “Mau banget. Kerja di toko apa? Gajinya berapa?”
          Aris kembali membalas SMS-ku. Namun isi pesannya sama sekali tak menjawab keseluruhan pertanyaanku barusan. Begini isi pesannya;
          “Kalau mau, nanti aku jemput kamu di rumah”.
          Sebenarnya untuk urusan gaji, berapapun upahnya tak masalah. Bagiku asalkan ada penghasilan yang masuk kantong itu sudah cukup. Apalagi sebagai penjaga toko pasti upahnya dibawah standar, bahkan lebih rendah daripada gaji sebagai buruh pabrik.
          Aris memang temanku sepekerjaan yang juga berstatus buruh di PT. Tri Banyan Tirta alias Alto. Namun tak pernah sekalipun ia hadir dalam rapat-rapat serikat buruh apalagi saat aksi demo digelar. Mungkin ketika teman-teman lain tahu atas selalu absennya ia, Aris pasti dianggap sebagai sosok yang tak setia kawan. Tak ikut berjuang demi perbaikan nasib.
          Tapi aku cukup maklum padanya. Pasalnya rumahnya jauh di Sentul. Selama bekerja pulang pergi menempuh jarak yang lumayan panjang. Hingga pada akhirnya ia memutuskan mengontrak kamar yang lokasinya tak jauh dari tempat ia bekerja. Namun semenjak dirumahkan, karena biaya kontrakan tak terbayarkan, ia keluar.
           Meski begitu ia sama sekali tak pulang ke rumahnya di Sentul. Ia justru tinggal dengan seorang janda yang ia sebut-sebut sebagai pacarnya. Janda itu sendiri tinggal dikomplek perumahan Grand Kahuripan. Berita terakhir yang kudengar ia kini tinggal di rumah kontrakan yang berada dalam kawasan Graha Garuda. Pada masa kejayaannya, Graha Garuda merupakan satu-satunya hotel di Cileungsi. Kini kawasan itu tak terawat, bahkan pada malam hari seperti bangunan yang tak berpenghuni. Padahal petak-petak kamar dalam bangunan hotel Graha Garuda itu dijadikan kamar-kamar kontrakan bagi perantau. Terutama perantau dari luar Pulau Jawa.
          Kepindahan Aris ke kontrakan Graha Garuda itu juga menegaskan putusnya hubungan cinta dengan janda Grand Kahuripan. Kini, ia beralih ke janda lain yang juga tinggal di kontrakan Graha Garuda. Menurut pengakuannya pula, janda-janda itu kini berselisih karena memperebutkannya. Bahkan saat tidur, percaya atau tidak, katanya kini ia satu ranjang beserta tiga perempuan lainnya.
          “Lu pegang-pegang mereka, dong! Lu pernah gituan ya sama si janda itu”, simpulku namun masih berada dalam batas percaya atau tidak pada setiap katanya.
           Aris malah cengar-cengir. “Nggaklah. Gue cuma numpang merem aja”.
          “Nggak mungkin banget. Lu punya banyak kesempatan disana”.
          Maka dari itu, disertai penasaran yang menggebu-gebu, pagi itu aku habiskan dengan menunggu kedatangan Aris ke rumahku.
          Tengah hari baru ia muncul didepan rumahku. Mungkin ia terlalu sibuk menjaga toko dan ia gunakan istirahat siang itu untuk menjemputku di rumah.
          “Sudah siap? Bawa pakaian dan celana?”.
          Karena aku sudah menebak kalau bekerja di toko pasti juga harus tinggal disana, aku tuduhkan tas ranselku yang penuh dihadapan Aris. Kalaupun memang tak tinggal disana, upah sebagai penjaga toko pasti hanya cukup untuk biaya ongkos saja.
          Yang membuatku heran dan tak habis pikir justru ketika Aris meminta ijazah asliku. Padahal saat melamar kerja ke pabrik pun, orang-orang hanya melampirkan foto copy-nya saja. Ini sangat tak biasa. Biasanya, bekerja sebagai penjaga toko sudah cukup dengan menuduhkan KTP saja. Lagipula apakah bekerja di toko tersebut membutuhkan pendidikan tingkat tinggi?
          Karena Aris mendesak-desak, akhirnya kubawa juga ijazah asliku itu.
         Semula aku berpikir, kami akan bekerja di toko sembako tak jauh dari pasar Cileungsi, perempatan, atau ruko-ruko di Kenari. Ternyata Aris membelokkan motornya ke sebuah gang lebar berbatu. Gang ini terletak tepat diseberang jalan Graha Garuda. Aku tak tahu persis nama kampung yang tengah kulewati ini. Tapi Aris menyebutkan wilayah ini sebagai Garapan (ditulisnya entah dengan G atau g, tapi sepertinya lebih baik pakai G karena ini terkait nama tempat). Walau disebut Garapan, tempat ini bukanlah lahan kosong yang siap digarap untuk bertani. Rumah-rumah serta kamar-kamar kontrakan berdiri disana-sini, disamping kanan-kiri jalan yang kami lalui. Kawasan ini tidak terlalu padat juga tidak terlalu renggang. Yang paling menakutkanku dari kawasan ini adalah banyaknya anjing-anjing berkeliaran disekitar jalan yang kami lalui. Saking banyaknya aku jadi berpikir, sepertinya jumlah warga di kawasan ini sama banyaknya dengan jumlah anjing yang berkeliaran
           “Anjing-anjing itu sengaja dipelihara buat keamanan di kawasan kampung ini”, jawab Aris setelah aku bertanya padanya mengenai anjing-anjing tersebut. Kuakui aku bukanlah orang penyuka anjing. Sebaliknya, aku takut pada hewan itu. Apalagi kalau sampai melihat juluran lidahnya yang terkadang meneteskan air liur. Maka dari itu aku tak percaya anjing-anjing itu ada yang memeliharanya. Sebagian besar dari anjing-anjing itu tampak kotor tak terawat. Lebih mirip anjing tak bertuan. Apabila semua anjing ini ada yang memeliharanya, melihat jumlahnya saja, dapat dipastikan setiap rumah memelihara lebih dari seekor.
        Herannya lagi, rumah-rumah disini tidaklah terbilang mewah. Sama saja dengan rumah-rumah lain seumumnya di kampungku. Bahkan tak satupun rumah yang terlihat mentereng diantara rumah-rumah lainnya. Yang artinya, aku perkirakan, warga di Garapan ini bukanlah orang-orang dari kalangan ekonomi tinggi. Entah harta macam apa yang mereka lindungi sementara di kampungku saja yang tak ada satu wargapun memelihara anjing keadaan santai-santai saja.
          Tiba di toko yang dimaksud baru aku sadar ternyata Aris mengajakku berkeliling dahulu di kawasan Garapan tersebut, karena letak toko yang bakal menjadi tempat kerjaku hanya berjarak sepuluh meter saja didalam gang dari jalan raya. Padahal aku sudah khawatir saja letak toko ini jauh masuk kedalam gang. Seandainya aku memerlukan keluar pasti aku akan menjumpai banyak anjing disepanjang jalan. Tentu saja karena aku benci anjing aku takkan berani seorang diri berjalan kaki.
          Kemungkinan paling buruk adalah apabila aku tak betah kerja di toko tersebut. bagaimana caranya aku bisa pulang sementara kalau jalan kaki sendirian situasinya mirip berada ditengah-tengah kumpulan ular berbisa yang tengah berkembang-biak.


          Diterima kerja disitu, ijazah asli langsung ditahan dan dimasukkan dalam lemari besi terkunci. Sebenarnya aku ragu menyerahkan ijazah asliku. Tapi karena aku sudah berada disini dan kemauan buat kerja juga begitu besar, aku tak bisa mengelak. Aku sendiri tak mengerti apa maksud si pemilik toko menahan ijazah asliku. Barangkali, dengan ditahannya ijazahku dalam lemari besi terkunci, akan memperkecil kemungkinan buruk terjadi. Aku takkan berani macam-macam.
          Meskipun toko ini persis seperti toko-toko lainnya di kampungku, keamanan didalam toko ini sangat ketat. Toko ini tidaklah cukup besar bahkan toko sembakonya Haji Dadang saja lebih besar dari ini. Letaknya juga jauh dari strategis dan keramaian sekitar. Tapi kamera CCTV mengintai disetiap sudut ruang. Aku sendiri melihat layar tv-nya yang memperlihatkan gambar-gambar terkini dari setiap ruang yang terpantau CCTV. Setidaknya dengan adanya CCTV aku sedikit lega, karena artinya toko ini tak memelihara anjing. Hanya saja saat aku berjalan kebelakang toko, seekor monyet terikat disana.
          Ketatnya aturan dan keamanan disini tak seimbang dengan upah yang diberikan. Pada masa awal-awal kerja kami cuma dibayar 500.000 rupiah. Kedepannya, apabila kami kerjanya bagus dan rajin, upah naik 200.000 rupiah. “Dapat makan tiga kali sehari. Juga sebungkus rokok tiap harinya. Kalau tidak merokok diganti dengan susu”, begitulah selengkapnya yang kami dapatkan dari pemilik toko ini.
          Pertama-tama yang aku kerjakan di toko ini adalah menumpuk cemilan yang terbuat dari berbagai jenis kacang-kacangan. Cemilan-cemilan kacang itu ditumpuk dalam satu ruang dengan tv yang memperlihatkan gambar dari pantauan CCTV. Setelah itu kami mengemas dua kantong besar kacang telor kedalam bungkusan-bungkusan kecil plastik yang dijual seharga seribu rupiah. Ditengah kesibukan mengemas itulah, tiap kali ada pembeli, tercium bau yang begitu kuat diudara. Aromanya begitu menyerap dan merangsang indera penciumanku. Seolah-olah udara telah menguapkan semacam zat kimia. Aku sedikit pasti merasa pernah mencium aroma ini sebelumnya. Akhirnya setelah mencium untuk ketiga kalinya, aku bertanya pada Aris.
          “Itu anggur merah”, jawabnya sambil nyengir. Aku menengok kedepan, menunda sesaat kesibukanku mengemas. Barat, yang merupakan nama pemilik toko ini, tengah menuangkan sebotol minuman beralkohol kedalam kantong plastik. Pada saat itulah, aku melihat lebih banyak lagi botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang tersimpan dalam rak serta keranjang yang sebelumnya luput dari perhatianku.