Graha Medika, terlalu kecil untuk disebut
rumah sakit, namun cukup luas sebagai klinik. Dari luar terlihat beberapa orang
tengah duduk di lobi utama yang disulap menjadi ruang tunggu. Para suster
tampak sibuk berlalu lalang dengan langkah terburu-buru dan tergesa. Begitu
masuk aku merasakan aura yang berbeda. Ketika itulah berkelebat di dalam
kepalaku sesosok wajah polos tersenyum padaku, sesosok wajah yang sekian belas
tahun hanya mengambang dalam ingatanku saja.
Dialah
sahabat karibku satu-satunya sewaktu SD, Janharuddin.
Pada
masa itu aku adalah anak yang pendiam. Saking lugunya, seringkali aku menjadi
bahan ejekan dan lelucon anak-anak. Setiap sekolah dan masuk kelas rasanya
seperti terjebak ditengah kehidupan belantara liar----siapa kuat dia dapat,
siapa lemah dia kalah. Janharuddin selalu hadir di dunia antah berantahku. Dia
tak hanya hadir sebagai seorang sahabat, tapi dialah pelindungku juga
pahlawanku.
Tepat
dihari pertama masuk di kelas 2 SD, aku kini tahu saat itulah terakhir kalinya
aku melihat wajah sang sahabat sejati.
Biasanya
dihari pertama masuk tahun ajaran baru, anak-anak rebutan bangku sekolah.
Mereka harus datang sepagi mungkin untuk mendapatkan posisi bangku yang diinginkan.
Beruntung bagi mereka yang rumahnya dekat dengan sekolah. Mereka bisa datang
sepagi-pagi mungkin dari biasanya. Di ruang kelas baru itu meraka hanya tinggal
meletakkan tasnya masing-masing diatas bangku yang telah mereka pilih. Setelah
itu mereka bisa kembali lagi ke rumahnya. Beberapa menit lagi lonceng hendak
berbunyi baru mereka muncul lagi di sekolah.
Diantara rumah para siswa, akulah yang terjauh dari sekolah. Sepagi
apapun aku tiba di sekolah, meskipun jam masuk kelas masih lama, aku terlambat.
Bangku- bangku dibarisan depan telah terisi semua. Tapi tak seorangpun anak
yang tampak. Bahkan diluar sana belum ada keramaian para siswa sekolah yang
datang. Aku berdiri didepan pintu, perlahan-lahan masuk ke dalam kelas. Satu per
satu bangku kuperhatikan, berharap cemas masih ada bangku yang kosong.
Sebuah
sentuhan menepuk bahuku. “Sudah dapat bangkunya, Fajri?”, ucap Janharuddin yang
mendadak berdiri disebelahku.
Dengan
putus asa kugelengkan kepala.
“Ayo
kita cari bangku yang kosong!”, Lekas saja Janharuddin memeriksa setiap meja,
dari baris depan ke belakang dan dari baris kiri ke kanan. Begitu sibuknya ia
bergerak seperti mencari sesuatu benda yang terselip didalam salah satu meja. Ciri
yang menguatkan bahwa bangku itu sudah ada isinya adalah dari tas yang tergeletak
diatas meja tersebut.
Apabila kami adalah anak jahil, kami bisa saja memindahkan salah satu
tas ke bangku lain yang sudah ada penghuninya. Kami tak melakukannya. Kami tahu
, seperti yang sudah-sudah, itu dapat menjadi sumber perselisihan antar siswa.
Lagipula aku bukanlah anak yang pandai kelahi.
Dibangku terakhir, dibagian paling belakang dan pojok, hanya ada satu
tas disana. Itu artinya masih ada satu kursi untuk aku duduk. “Kamu disini
saja, Fajri”, kata Janharuddin. “Tidak apa-apa dibelakang juga daripada tidak
dapat sama sekali”.
Aku
menjawabnya cukup dengan anggukan. Tanpa protes sedikitpun. Meski akupun
bertanya juga dalam hati mengapa Janharuddin tak memberikanku tempat di
sebelahnya, dibangku paling depan itu seperti anak-anak lain yang selalu ingin
sebangku dengan teman akrabnya.
Keesokan harinya tak kulihat lagi wajah Janharuddin. Perjuangan
mendapatkan bangku pun seperti menjadi sebuah kesia-siaan, karena pada akhirnya
wali kelas baru kami justru mengatur kembali tempat duduk kami. Aku mendapatkan
bangku didepan meski cukup jauh dari meja guru. Padahal semua anak mengharapkan
dapat duduk dibangku yang berhadapan langsung dengan meja guru.
Saat wali kelas baru kami mengabsen nama kami satu
per satu dan memanggil nama Janharuddin, salah seorang siswa menjawabnya.
“Janharuddin sakit, Pak”.
“Sakit
apa?”.
“Kakinya tertusuk paku, Pak”.
Aku
pikir sakitnya tidak parah. Barang satu atau dua hari pasti sembuh meski jalan
dengan terpincang-pincang. Namun sudah seminggu dia belum masuk juga. Dari desas-desus
yang kudengar sakitnya semakin parah saja. Sudah beberapa kali ia dibawa ke
puskesmas bahkan klinik setempat namun kondisinya malah semakin memburuk.
Tubuhnya seringkali kedapatan menggigil dengan keringat dingin. Tak usah sesuap
nasi, setetes airpun sudak tak masuk lagi kedalam mulutnya. Bahkan katanya
bicara saja ia sudah tak bisa. Separah itukah penyakit yang menerpanya?
“Tetanus”, begitu nama penyakit yang kudengar dari para siswa yang
membicarakan tentang Janharuddin. Saat mengucapkan nama penyakit itu seperti
terpancar pula keprihatinan amat mendalam dalam wajah mereka. Aku sendiri tak
bisa membayangkannya; betapa sakitnya yang dialami Janharudin.
Tak
lama kemudian muncul berita Janharuddin meninggal. Aku tak menangis. Aku hanya
terdiam dipojok sekolah, memikirkan bagaimana rasanya harus masuk kedalam
lubang yang sempit diusia semuda itu.
Penyakit serupa kini menjangkiti guru
mengajiku. Sudah beberapa hari ini ia terkapar di klinik Graha Medika. Sore itu
kami berdua, aku dan kakakku, berniat menjenguknya.
Kami
datangi meja resepsionis. “Bu, ruang isolasi disebelah mana ya?”, tanya Kakaku.
“Masuk saja ke dalam koridor in”, tunjuk resepsionis itu menerangkan, “lalu
naik tangga diujung koridor”.
Kamipun mengikuti arah yang ditunjukkan oleh resepsinos itu. Dilantai
atas aroma menyengat yang khas makin kentara dihidung. Beberpa pintu kamar
terbuka lebar-lebar. Kami dapat melihat ranjang yang berantakan, pasien yang tengah terbaring dan orang yang
menjenguknya. Sebagai tempat untuk merawat kesehatan, klinik in jauh dari standar
kebersihan. Keadaannya tak teratur dengan baik.
Kepada
cleaning service yang tengah sibuk mengepel lantai dengan langkah mundur, kami
kembali bertanya dengan pertanyaan sama pada resepsionos dibawah tadi
Lelaki cleaning service itu menunjuk sebuah pintu disebalahnya. Diantara
pintu-pintu kamar lainnya, pintu yang paling ujung inilah yang tertutup
rapat-rapat. Diatas daun pintu pu ditempel kertas berisi kalimat semacam
peringatan. Tanpa mengetuk, kakakku membuka pintu tersebut, berusaha sepelan
mungkin agar tak mengeluarkan suara deritan sekecila apapun itu.
Sebelum kami melangkah masuk bahkan menengok kedalam, langkah kami
langsung dicegat dengan tatapan tawar Khoer
dari dalam. Sekilas kami dapat melihat keadaan didalam ruangan begitu gelap dan
sunyi. Tirai-tirai kaca secara sengaja ditutup serapat mungkin. Sesaat kami
membicarakan keadaan terkini guru mengajiku tersebut. Selain itu, ia juga tidak
sendiri menjaga guru mengajiku, tapi bersama Rusda anak dari guru mengajiku.
Kamipun meminta agar dapat berbicara dengannya.
Dari
balik pintu ia tersenyum manyambut kami. Wajahnya tenang seakan tak ada apapun
yang patut dikahawatirkan. Darinya kami tahu mengapa mengapa lampu dipadamkan
dan tirai-tirai ditutup.
“Bapak
sensitive kena cahaya dan suara”, katanya begitu pelan dan hati-hati. “Kena
cahaya sedikit saja tubuhnya mengejang. Seperti kesakitan”.
“Kok
bisa?”, ucapku dengan keprihatinan mendalam.
“Syarafnya….”. kata Rusda sambil menggerakan tangan didepan lehernya
seakan-akan hendak menarik dagunya kebawah.
Aku
sendiri Cuma menganggukkan kepala. Entah bagaimana rasa sakitnya ketika
Janharuddin menggeram nyeri. Pasti ia menahan rasa sakit berlipat-lipat. Ia tak
dirawat di ruang isolasi. Ia hanya berbaring didalam kamarnya bersama orangtua
yang selalu berada disampingnya. Orangtuanya hanya tahu tetanus sama saja
dengan penyakit demam biasa.
Ya Allah , berikanlah kesembuhan kepada hamba mu yang ber-taqwa kepadaMu .
BalasHapusdan hanya Engkau lah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Jangan lupa followbalik blog saya.