Halaman

Selasa, 06 November 2012

TETANUS OH TETANUS



        Graha Medika, terlalu kecil untuk disebut rumah sakit, namun cukup luas sebagai klinik. Dari luar terlihat beberapa orang tengah duduk di lobi utama yang disulap menjadi ruang tunggu. Para suster tampak sibuk berlalu lalang dengan langkah terburu-buru dan tergesa. Begitu masuk aku merasakan aura yang berbeda. Ketika itulah berkelebat di dalam kepalaku sesosok wajah polos tersenyum padaku, sesosok wajah yang sekian belas tahun hanya mengambang dalam ingatanku saja.
          Dialah sahabat karibku satu-satunya sewaktu SD, Janharuddin.
          Pada masa itu aku adalah anak yang pendiam. Saking lugunya, seringkali aku menjadi bahan ejekan dan lelucon anak-anak. Setiap sekolah dan masuk kelas rasanya seperti terjebak ditengah kehidupan belantara liar----siapa kuat dia dapat, siapa lemah dia kalah. Janharuddin selalu hadir di dunia antah berantahku. Dia tak hanya hadir sebagai seorang sahabat, tapi dialah pelindungku juga pahlawanku.
          Tepat dihari pertama masuk di kelas 2 SD, aku kini tahu saat itulah terakhir kalinya aku melihat wajah sang sahabat sejati.
          Biasanya dihari pertama masuk tahun ajaran baru, anak-anak rebutan bangku sekolah. Mereka harus datang sepagi mungkin untuk mendapatkan posisi bangku yang diinginkan. Beruntung bagi mereka yang rumahnya dekat dengan sekolah. Mereka bisa datang sepagi-pagi mungkin dari biasanya. Di ruang kelas baru itu meraka hanya tinggal meletakkan tasnya masing-masing diatas bangku yang telah mereka pilih. Setelah itu mereka bisa kembali lagi ke rumahnya. Beberapa menit lagi lonceng hendak berbunyi baru mereka muncul lagi di sekolah.
          Diantara rumah para siswa, akulah yang terjauh dari sekolah. Sepagi apapun aku tiba di sekolah, meskipun jam masuk kelas masih lama, aku terlambat. Bangku- bangku dibarisan depan telah terisi semua. Tapi tak seorangpun anak yang tampak. Bahkan diluar sana belum ada keramaian para siswa sekolah yang datang. Aku berdiri didepan pintu, perlahan-lahan masuk ke dalam kelas. Satu per satu bangku kuperhatikan, berharap cemas masih ada bangku yang kosong.
          Sebuah sentuhan menepuk bahuku. “Sudah dapat bangkunya, Fajri?”, ucap Janharuddin yang mendadak berdiri disebelahku.
          Dengan putus asa kugelengkan kepala.
          “Ayo kita cari bangku yang kosong!”, Lekas saja Janharuddin memeriksa setiap meja, dari baris depan ke belakang dan dari baris kiri ke kanan. Begitu sibuknya ia bergerak seperti mencari sesuatu benda yang terselip didalam salah satu meja. Ciri yang menguatkan bahwa bangku itu sudah ada isinya adalah dari tas yang tergeletak diatas meja tersebut.
          Apabila kami adalah anak jahil, kami bisa saja memindahkan salah satu tas ke bangku lain yang sudah ada penghuninya. Kami tak melakukannya. Kami tahu , seperti yang sudah-sudah, itu dapat menjadi sumber perselisihan antar siswa. Lagipula aku bukanlah anak yang pandai kelahi.
         Dibangku terakhir, dibagian paling belakang dan pojok, hanya ada satu tas disana. Itu artinya masih ada satu kursi untuk aku duduk. “Kamu disini saja, Fajri”, kata Janharuddin. “Tidak apa-apa dibelakang juga daripada tidak dapat sama sekali”.
          Aku menjawabnya cukup dengan anggukan. Tanpa protes sedikitpun. Meski akupun bertanya juga dalam hati mengapa Janharuddin tak memberikanku tempat di sebelahnya, dibangku paling depan itu seperti anak-anak lain yang selalu ingin sebangku dengan teman akrabnya.
          Keesokan harinya tak kulihat lagi wajah Janharuddin. Perjuangan mendapatkan bangku pun seperti menjadi sebuah kesia-siaan, karena pada akhirnya wali kelas baru kami justru mengatur kembali tempat duduk kami. Aku mendapatkan bangku didepan meski cukup jauh dari meja guru. Padahal semua anak mengharapkan dapat duduk dibangku yang berhadapan langsung dengan meja guru.
          Saat wali kelas baru kami mengabsen nama kami satu per satu dan memanggil nama Janharuddin, salah seorang siswa menjawabnya. “Janharuddin sakit, Pak”.
          “Sakit apa?”.
          “Kakinya tertusuk paku, Pak”.
          Aku pikir sakitnya tidak parah. Barang satu atau dua hari pasti sembuh meski jalan dengan terpincang-pincang. Namun sudah seminggu dia belum masuk juga. Dari desas-desus yang kudengar sakitnya semakin parah saja. Sudah beberapa kali ia dibawa ke puskesmas bahkan klinik setempat namun kondisinya malah semakin memburuk. Tubuhnya seringkali kedapatan menggigil dengan keringat dingin. Tak usah sesuap nasi, setetes airpun sudak tak masuk lagi kedalam mulutnya. Bahkan katanya bicara saja ia sudah tak bisa. Separah itukah penyakit yang menerpanya?
         “Tetanus”, begitu nama penyakit yang kudengar dari para siswa yang membicarakan tentang Janharuddin. Saat mengucapkan nama penyakit itu seperti terpancar pula keprihatinan amat mendalam dalam wajah mereka. Aku sendiri tak bisa membayangkannya; betapa sakitnya yang dialami Janharudin.
          Tak lama kemudian muncul berita Janharuddin meninggal. Aku tak menangis. Aku hanya terdiam dipojok sekolah, memikirkan bagaimana rasanya harus masuk kedalam lubang yang sempit diusia semuda itu.
          Penyakit serupa kini menjangkiti guru mengajiku. Sudah beberapa hari ini ia terkapar di klinik Graha Medika. Sore itu kami berdua, aku dan kakakku, berniat menjenguknya.
           Kami datangi meja resepsionis. “Bu, ruang isolasi disebelah mana ya?”, tanya Kakaku.
           “Masuk saja ke dalam koridor in”, tunjuk resepsionis itu menerangkan, “lalu naik tangga diujung koridor”.
          Kamipun mengikuti arah yang ditunjukkan oleh resepsinos itu. Dilantai atas aroma menyengat yang khas makin kentara dihidung. Beberpa pintu kamar terbuka lebar-lebar. Kami dapat melihat ranjang yang berantakan, pasien  yang tengah terbaring dan orang yang menjenguknya. Sebagai tempat untuk merawat kesehatan, klinik in jauh dari standar kebersihan. Keadaannya tak teratur dengan baik.
          Kepada cleaning service yang tengah sibuk mengepel lantai dengan langkah mundur, kami kembali bertanya dengan pertanyaan sama pada resepsionos dibawah tadi
           Lelaki cleaning service itu menunjuk sebuah pintu disebalahnya. Diantara pintu-pintu kamar lainnya, pintu yang paling ujung inilah yang tertutup rapat-rapat. Diatas daun pintu pu ditempel kertas berisi kalimat semacam peringatan. Tanpa mengetuk, kakakku membuka pintu tersebut, berusaha sepelan mungkin agar tak mengeluarkan suara deritan sekecila apapun itu.
           Sebelum kami melangkah masuk bahkan menengok kedalam, langkah kami langsung dicegat dengan tatapan tawar   Khoer dari dalam. Sekilas kami dapat melihat keadaan didalam ruangan begitu gelap dan sunyi. Tirai-tirai kaca secara sengaja ditutup serapat mungkin. Sesaat kami membicarakan keadaan terkini guru mengajiku tersebut. Selain itu, ia juga tidak sendiri menjaga guru mengajiku, tapi bersama Rusda anak dari guru mengajiku. Kamipun meminta agar dapat berbicara dengannya.
          Dari balik pintu ia tersenyum manyambut kami. Wajahnya tenang seakan tak ada apapun yang patut dikahawatirkan. Darinya kami tahu mengapa mengapa lampu dipadamkan dan tirai-tirai ditutup.
          “Bapak sensitive kena cahaya dan suara”, katanya begitu pelan dan hati-hati. “Kena cahaya sedikit saja tubuhnya mengejang. Seperti kesakitan”.
          “Kok bisa?”, ucapku dengan keprihatinan mendalam.
          “Syarafnya….”. kata Rusda sambil menggerakan tangan didepan lehernya seakan-akan hendak menarik dagunya kebawah.
           Aku sendiri Cuma menganggukkan kepala. Entah bagaimana rasa sakitnya ketika Janharuddin menggeram nyeri. Pasti ia menahan rasa sakit berlipat-lipat. Ia tak dirawat di ruang isolasi. Ia hanya berbaring didalam kamarnya bersama orangtua yang selalu berada disampingnya. Orangtuanya hanya tahu tetanus sama saja dengan penyakit demam biasa.

1 komentar:

  1. Ya Allah , berikanlah kesembuhan kepada hamba mu yang ber-taqwa kepadaMu .
    dan hanya Engkau lah yang maha pengasih lagi maha penyayang.

    Jangan lupa followbalik blog saya.

    BalasHapus