Akhir-akhir ini Indra, teman semasa sekolah dulu, kerapkali datang ke
rumahku. Kali ini ia datang bersama Deri. Motornya yang agak bergaya semi sport
di parkir di pekarangan depan rumahku.
Selama
beberapa menit, bahkan mungkin selama beberapa jam, kami pasti terjebak pada
topik pembicaraan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku berharap
kehadiran Deri diantara kami dapat memberikan suasana yang lebih segar. Tak
seperti hari-hari kemarin yang selalu membicarakan tentang pekerjaan dan
rencana-rencana kami kedepan.
Sebelum aku banyak berbasa-basi, kedua temanku itu sudah duduk di teras
depan dan memesan tiga porsi gado-gado yang kebetulan dijual tak jauh dari
rumahku. Memang dari kemarin-kemarin Indra sudah ribut-ribut kepengen makan
gado-gado. Tapi baru hari ini---keliatannya sekarang ini ia lagi punya banyak
duit---ia baru beli bahkan langsung mentraktir kami berdua.
Obrolan yang keluar diantara kami memang jauh dari tema biasanya, tapi
ini sungguh diluar dugaanku. Seperti sebuah kisah yang berada jauh dibatas
logikaku.
“Aku
gak nyangka umurnya si Andri itu pendek”, katanya tiba-tiba membuka pembicaraan
ini dengan cara yang tak seperti biasanya.
Aku
agak tersentak, namun terlihat diam tenang. Keadaanku stabil terkendali. Namun
dibalik kepalaku ini berputar-putar satu pikiran dan satu pertanyaan. Aku
berusaha meyakinkan diri ini bahwa aku tak salah dengar, tapi aku juga berharap
aku telah salah dengar.
Andri
sudah meninggal? Bagaimana bisa aku sampai tak tahu kabar kematiaan itu? Aku
mengingat-ingat entah dimana aku berada saat berita kematian itu disampaikan
melalui pengeras suara dari dalam surau kampung. Namun satu hal yang
kuingat---mimpi itu!
Dalam
mimpi itu ia mengenakan baju koko putih dipadu kopiah berwarna senada menutupi
rambut kepalanya. Ia menatapku dan memegang tanganku. Tatapannya seerat
pegangan tangannya. “Fajri, besok aku mau pergi ke pesantren”, ujarnya padaku.
“Nanti kamu antar, ya”.
Aku Cuma menganggukkan kepala.
Andri
memang pernah bilang tentang keinginannya untuk mondok di Cariu selepas sekolah
dasar nanti. Tapi pada kenyataannya ia justru meneruskannya ke sekolah madrasah
tsanawiyah, lantas melanjutkannya lagi ke SMA biasa di Cibinong.
Tepat
pada waktunya, akhirnya aku mengantarnya. Hanya aku. Tak seorangpun yang
mengantarnya selain aku. Andri terus berjalan didepanku. Tanpa menoleh ke
belakang apalagi menunggu langkah-langkahku. Dibelakang aku berusaha mengejar
ayunan langkahnya. Aku memanggil-manggilnya, namun ia seperti tak mendengar.
Ketika
ada angkot berhenti, ia segera naik tanpa mengacuhkan aku. Ia menyuruh sang
sopir untuk segera pergi. Cepat-cepat aku menyetop angkot yang lain. “Bang, tolong
kejar angkot yang didepanku”, perintahku pada sang sopir sambil menunjuk-nunjuk
kedepan.
Setelah
melintasi jarak yang terlalu pendek untuk adegan kejar-kejaran, akhirnya angkot
yang ditumpangi Andri berhenti tepat didepan sebuah kebun kosong.
Kebun itu ditumbuhi oleh segala macam
semak dan tumbuh-tumbuhan liar. Andri berjalan masuk menyusuri jalan setapak
didalam kebun kosong tersebut. Buru-buru akupun memasuki kebun itu. Aku
teriak-teriak memanggil namanya. Namun jarak kami semakin jauh. Andri semakin tak
terjangkau oleh teriakkanku. Ia lenyap dilahap semak-semak serta tetumbuhan
liar yang ada disekitarnya. Aku kehilangan jejak. Aku tak tahu apakah harus
meneruskan langkah ini atau kembali keluar dari kebun kosong ini. Namun
kebingunganku itu terhenti saat aku terbangun dari mimpi itu.
Andriana, itulah nama lengkapnya. Seperti terakhir kalinya aku melihat,
wajahnya putih dengan beberapa titik bekas jerawat yang tak terlalu kentara
terlihat. Rambutnya berwarna kecoklatan dengan warna mata serupa. Senyumnya
selalu merekah setiapkali bertemu dan menyapaku. Setiap kata yang keluar dari
bibirnya selalu berisi tentang kekagumannya padaku dan segala puja-puji yang
menerbangkan khayal. Tak pernah sekalipun ia merendahkan atau meremehkanku.
Untuk beberapa hal kita memiliki banyak kesamaan.
Wajah
itu, senyum itu----selalu kuingat dalam kenanganku. Dan semakin dalam aku
memperhatikan wajah dan senyumnya itu, aku sadar aku telah mengenalnya jauh
sebelum aku masuk sekolah.
Ketika
itu, aku duduk di pojok ruangan. Duduk bersila disana sambil membuka-buka buku
iqra. Hanya membuka-membukanya dan membolak-baliknya. Setiap huruf Arab yang
tertera sekilas kuperhatikan. Aku tak mengerti. Aku sama sekali tak bisa
membaca huruf-huruf keriting ini.
Sementara dipojok ruangan sebelahnya, kulihat seorang anak yang seumuran
denganku tengah membaca juz amma begitu lancarnya. Ia sudah tahu dan mengerti
huruf-huruf Arab itu. Seorang pria dewasa tanggung---usianya sekitar awal dua
puluhan---tengan membimbing anak berkulit putih itu membaca ayat-ayat Al-quran.
Beberapa surat ia baca samapai selesai. Setiap ada kesalahan, pria itu segera
memotong bacaan anak itu. Sampai akhirnya anak itu menutup buku kitab itu dan
menciumnya. Lalu, ia bergeser kebelakang dan bersandar diatas dinding dengan
perasaan tenang.
Di
sekolah kuketahui anak itu bernama Andriana tanpa kusadari langsung dialah anak
yang pandai mengaji itu. Aku sendiri tak ingat pasti di kelas berapa aku mulai
mengenalnya dan bagaimana caranya kami mulai berkenalan. Semuanya terasa begitu
tiba-tiba tanpa ada yang mengawali. Satu hal yang kurasa; aku merasa aku tak
pernah berjabat tangan saat mulai mengenalnya.
Sampai
kini yang kuingat darinya adalah setiap kata kekaguman serta pujiannya padaku.
Juga senyumnya. Seulas senyum yang penuh dengan ketulusan. Tak pernah ada yang
memberikan senyuman setulus itu padaku. Dan senyuman itu ikut terhenti seiring
kecelakaan sepeda motor itu terjadi.
“Fajri aku pulang dulu”, kata Indra membuyarkan ingatanku.
“Besok
kesini lagi, kan?”, kataku penuh basa-basi
“Insya
Allah, kalau ada umur”, jawabnya sok religi.
Ya,
setiap persoalan memang tak pernah jauh-jauh dari waktu. Dan waktulah yang
mengisi setiap umur makhluk hidup. Kita semua hanya tinggal menunggu kapan waktu
yang ada diumur kita habis terpakai. Maka selagi ada waktu, persiapanlah yang
mesti selalu kita ingat. Tak hanya tentang kenangan apalagi cita-cita.