Halaman

Minggu, 25 November 2012

Sebuah Berita Kematian




          Akhir-akhir ini Indra, teman semasa sekolah dulu, kerapkali datang ke rumahku. Kali ini ia datang bersama Deri. Motornya yang agak bergaya semi sport di parkir di pekarangan depan rumahku.
          Selama beberapa menit, bahkan mungkin selama beberapa jam, kami pasti terjebak pada topik pembicaraan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku berharap kehadiran Deri diantara kami dapat memberikan suasana yang lebih segar. Tak seperti hari-hari kemarin yang selalu membicarakan tentang pekerjaan dan rencana-rencana kami kedepan.
          Sebelum aku banyak berbasa-basi, kedua temanku itu sudah duduk di teras depan dan memesan tiga porsi gado-gado yang kebetulan dijual tak jauh dari rumahku. Memang dari kemarin-kemarin Indra sudah ribut-ribut kepengen makan gado-gado. Tapi baru hari ini---keliatannya sekarang ini ia lagi punya banyak duit---ia baru beli bahkan langsung mentraktir kami berdua.
          Obrolan yang keluar diantara kami memang jauh dari tema biasanya, tapi ini sungguh diluar dugaanku. Seperti sebuah kisah yang berada jauh dibatas logikaku.
          “Aku gak nyangka umurnya si Andri itu pendek”, katanya tiba-tiba membuka pembicaraan ini dengan cara yang tak seperti biasanya.
          Aku agak tersentak, namun terlihat diam tenang. Keadaanku stabil terkendali. Namun dibalik kepalaku ini berputar-putar satu pikiran dan satu pertanyaan. Aku berusaha meyakinkan diri ini bahwa aku tak salah dengar, tapi aku juga berharap aku telah salah dengar.
          Andri sudah meninggal? Bagaimana bisa aku sampai tak tahu kabar kematiaan itu? Aku mengingat-ingat entah dimana aku berada saat berita kematian itu disampaikan melalui pengeras suara dari dalam surau kampung. Namun satu hal yang kuingat---mimpi itu!
          Dalam mimpi itu ia mengenakan baju koko putih dipadu kopiah berwarna senada menutupi rambut kepalanya. Ia menatapku dan memegang tanganku. Tatapannya seerat pegangan tangannya. “Fajri, besok aku mau pergi ke pesantren”, ujarnya padaku. “Nanti kamu antar, ya”.
            Aku Cuma menganggukkan kepala.
          Andri memang pernah bilang tentang keinginannya untuk mondok di Cariu selepas sekolah dasar nanti. Tapi pada kenyataannya ia justru meneruskannya ke sekolah madrasah tsanawiyah, lantas melanjutkannya lagi ke SMA biasa di Cibinong.
          Tepat pada waktunya, akhirnya aku mengantarnya. Hanya aku. Tak seorangpun yang mengantarnya selain aku. Andri terus berjalan didepanku. Tanpa menoleh ke belakang apalagi menunggu langkah-langkahku. Dibelakang aku berusaha mengejar ayunan langkahnya. Aku memanggil-manggilnya, namun ia seperti tak mendengar.
          Ketika ada angkot berhenti, ia segera naik tanpa mengacuhkan aku. Ia menyuruh sang sopir untuk segera pergi. Cepat-cepat aku menyetop angkot yang lain. “Bang, tolong kejar angkot yang didepanku”, perintahku pada sang sopir sambil menunjuk-nunjuk kedepan.
     Setelah melintasi jarak yang terlalu pendek untuk adegan kejar-kejaran, akhirnya angkot yang ditumpangi Andri berhenti tepat didepan sebuah kebun kosong.
          Kebun itu ditumbuhi oleh segala macam semak dan tumbuh-tumbuhan liar. Andri berjalan masuk menyusuri jalan setapak didalam kebun kosong tersebut. Buru-buru akupun memasuki kebun itu. Aku teriak-teriak memanggil namanya. Namun jarak kami semakin jauh. Andri semakin tak terjangkau oleh teriakkanku. Ia lenyap dilahap semak-semak serta tetumbuhan liar yang ada disekitarnya. Aku kehilangan jejak. Aku tak tahu apakah harus meneruskan langkah ini atau kembali keluar dari kebun kosong ini. Namun kebingunganku itu terhenti saat aku terbangun dari mimpi itu.
           Andriana, itulah nama lengkapnya. Seperti terakhir kalinya aku melihat, wajahnya putih dengan beberapa titik bekas jerawat yang tak terlalu kentara terlihat. Rambutnya berwarna kecoklatan dengan warna mata serupa. Senyumnya selalu merekah setiapkali bertemu dan menyapaku. Setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu berisi tentang kekagumannya padaku dan segala puja-puji yang menerbangkan khayal. Tak pernah sekalipun ia merendahkan atau meremehkanku. Untuk beberapa hal kita memiliki banyak kesamaan.
          Wajah itu, senyum itu----selalu kuingat dalam kenanganku. Dan semakin dalam aku memperhatikan wajah dan senyumnya itu, aku sadar aku telah mengenalnya jauh sebelum aku masuk sekolah.
          Ketika itu, aku duduk di pojok ruangan. Duduk bersila disana sambil membuka-buka buku iqra. Hanya membuka-membukanya dan membolak-baliknya. Setiap huruf Arab yang tertera sekilas kuperhatikan. Aku tak mengerti. Aku sama sekali tak bisa membaca huruf-huruf keriting ini.
          Sementara dipojok ruangan sebelahnya, kulihat seorang anak yang seumuran denganku tengah membaca juz amma begitu lancarnya. Ia sudah tahu dan mengerti huruf-huruf Arab itu. Seorang pria dewasa tanggung---usianya sekitar awal dua puluhan---tengan membimbing anak berkulit putih itu membaca ayat-ayat Al-quran. Beberapa surat ia baca samapai selesai. Setiap ada kesalahan, pria itu segera memotong bacaan anak itu. Sampai akhirnya anak itu menutup buku kitab itu dan menciumnya. Lalu, ia bergeser kebelakang dan bersandar diatas dinding dengan perasaan tenang.
          Di sekolah kuketahui anak itu bernama Andriana tanpa kusadari langsung dialah anak yang pandai mengaji itu. Aku sendiri tak ingat pasti di kelas berapa aku mulai mengenalnya dan bagaimana caranya kami mulai berkenalan. Semuanya terasa begitu tiba-tiba tanpa ada yang mengawali. Satu hal yang kurasa; aku merasa aku tak pernah berjabat tangan saat mulai mengenalnya.
          Sampai kini yang kuingat darinya adalah setiap kata kekaguman serta pujiannya padaku. Juga senyumnya. Seulas senyum yang penuh dengan ketulusan. Tak pernah ada yang memberikan senyuman setulus itu padaku. Dan senyuman itu ikut terhenti seiring kecelakaan sepeda motor itu terjadi.
           “Fajri aku pulang dulu”, kata Indra membuyarkan ingatanku.
          “Besok kesini lagi, kan?”, kataku penuh basa-basi
        “Insya Allah, kalau ada umur”, jawabnya sok religi.
          Ya, setiap persoalan memang tak pernah jauh-jauh dari waktu. Dan waktulah yang mengisi setiap umur makhluk hidup. Kita semua hanya tinggal menunggu kapan waktu yang ada diumur kita habis terpakai. Maka selagi ada waktu, persiapanlah yang mesti selalu kita ingat. Tak hanya tentang kenangan apalagi cita-cita.

Selasa, 06 November 2012

TETANUS OH TETANUS



        Graha Medika, terlalu kecil untuk disebut rumah sakit, namun cukup luas sebagai klinik. Dari luar terlihat beberapa orang tengah duduk di lobi utama yang disulap menjadi ruang tunggu. Para suster tampak sibuk berlalu lalang dengan langkah terburu-buru dan tergesa. Begitu masuk aku merasakan aura yang berbeda. Ketika itulah berkelebat di dalam kepalaku sesosok wajah polos tersenyum padaku, sesosok wajah yang sekian belas tahun hanya mengambang dalam ingatanku saja.
          Dialah sahabat karibku satu-satunya sewaktu SD, Janharuddin.
          Pada masa itu aku adalah anak yang pendiam. Saking lugunya, seringkali aku menjadi bahan ejekan dan lelucon anak-anak. Setiap sekolah dan masuk kelas rasanya seperti terjebak ditengah kehidupan belantara liar----siapa kuat dia dapat, siapa lemah dia kalah. Janharuddin selalu hadir di dunia antah berantahku. Dia tak hanya hadir sebagai seorang sahabat, tapi dialah pelindungku juga pahlawanku.
          Tepat dihari pertama masuk di kelas 2 SD, aku kini tahu saat itulah terakhir kalinya aku melihat wajah sang sahabat sejati.
          Biasanya dihari pertama masuk tahun ajaran baru, anak-anak rebutan bangku sekolah. Mereka harus datang sepagi mungkin untuk mendapatkan posisi bangku yang diinginkan. Beruntung bagi mereka yang rumahnya dekat dengan sekolah. Mereka bisa datang sepagi-pagi mungkin dari biasanya. Di ruang kelas baru itu meraka hanya tinggal meletakkan tasnya masing-masing diatas bangku yang telah mereka pilih. Setelah itu mereka bisa kembali lagi ke rumahnya. Beberapa menit lagi lonceng hendak berbunyi baru mereka muncul lagi di sekolah.
          Diantara rumah para siswa, akulah yang terjauh dari sekolah. Sepagi apapun aku tiba di sekolah, meskipun jam masuk kelas masih lama, aku terlambat. Bangku- bangku dibarisan depan telah terisi semua. Tapi tak seorangpun anak yang tampak. Bahkan diluar sana belum ada keramaian para siswa sekolah yang datang. Aku berdiri didepan pintu, perlahan-lahan masuk ke dalam kelas. Satu per satu bangku kuperhatikan, berharap cemas masih ada bangku yang kosong.
          Sebuah sentuhan menepuk bahuku. “Sudah dapat bangkunya, Fajri?”, ucap Janharuddin yang mendadak berdiri disebelahku.
          Dengan putus asa kugelengkan kepala.
          “Ayo kita cari bangku yang kosong!”, Lekas saja Janharuddin memeriksa setiap meja, dari baris depan ke belakang dan dari baris kiri ke kanan. Begitu sibuknya ia bergerak seperti mencari sesuatu benda yang terselip didalam salah satu meja. Ciri yang menguatkan bahwa bangku itu sudah ada isinya adalah dari tas yang tergeletak diatas meja tersebut.
          Apabila kami adalah anak jahil, kami bisa saja memindahkan salah satu tas ke bangku lain yang sudah ada penghuninya. Kami tak melakukannya. Kami tahu , seperti yang sudah-sudah, itu dapat menjadi sumber perselisihan antar siswa. Lagipula aku bukanlah anak yang pandai kelahi.
         Dibangku terakhir, dibagian paling belakang dan pojok, hanya ada satu tas disana. Itu artinya masih ada satu kursi untuk aku duduk. “Kamu disini saja, Fajri”, kata Janharuddin. “Tidak apa-apa dibelakang juga daripada tidak dapat sama sekali”.
          Aku menjawabnya cukup dengan anggukan. Tanpa protes sedikitpun. Meski akupun bertanya juga dalam hati mengapa Janharuddin tak memberikanku tempat di sebelahnya, dibangku paling depan itu seperti anak-anak lain yang selalu ingin sebangku dengan teman akrabnya.
          Keesokan harinya tak kulihat lagi wajah Janharuddin. Perjuangan mendapatkan bangku pun seperti menjadi sebuah kesia-siaan, karena pada akhirnya wali kelas baru kami justru mengatur kembali tempat duduk kami. Aku mendapatkan bangku didepan meski cukup jauh dari meja guru. Padahal semua anak mengharapkan dapat duduk dibangku yang berhadapan langsung dengan meja guru.
          Saat wali kelas baru kami mengabsen nama kami satu per satu dan memanggil nama Janharuddin, salah seorang siswa menjawabnya. “Janharuddin sakit, Pak”.
          “Sakit apa?”.
          “Kakinya tertusuk paku, Pak”.
          Aku pikir sakitnya tidak parah. Barang satu atau dua hari pasti sembuh meski jalan dengan terpincang-pincang. Namun sudah seminggu dia belum masuk juga. Dari desas-desus yang kudengar sakitnya semakin parah saja. Sudah beberapa kali ia dibawa ke puskesmas bahkan klinik setempat namun kondisinya malah semakin memburuk. Tubuhnya seringkali kedapatan menggigil dengan keringat dingin. Tak usah sesuap nasi, setetes airpun sudak tak masuk lagi kedalam mulutnya. Bahkan katanya bicara saja ia sudah tak bisa. Separah itukah penyakit yang menerpanya?
         “Tetanus”, begitu nama penyakit yang kudengar dari para siswa yang membicarakan tentang Janharuddin. Saat mengucapkan nama penyakit itu seperti terpancar pula keprihatinan amat mendalam dalam wajah mereka. Aku sendiri tak bisa membayangkannya; betapa sakitnya yang dialami Janharudin.
          Tak lama kemudian muncul berita Janharuddin meninggal. Aku tak menangis. Aku hanya terdiam dipojok sekolah, memikirkan bagaimana rasanya harus masuk kedalam lubang yang sempit diusia semuda itu.
          Penyakit serupa kini menjangkiti guru mengajiku. Sudah beberapa hari ini ia terkapar di klinik Graha Medika. Sore itu kami berdua, aku dan kakakku, berniat menjenguknya.
           Kami datangi meja resepsionis. “Bu, ruang isolasi disebelah mana ya?”, tanya Kakaku.
           “Masuk saja ke dalam koridor in”, tunjuk resepsionis itu menerangkan, “lalu naik tangga diujung koridor”.
          Kamipun mengikuti arah yang ditunjukkan oleh resepsinos itu. Dilantai atas aroma menyengat yang khas makin kentara dihidung. Beberpa pintu kamar terbuka lebar-lebar. Kami dapat melihat ranjang yang berantakan, pasien  yang tengah terbaring dan orang yang menjenguknya. Sebagai tempat untuk merawat kesehatan, klinik in jauh dari standar kebersihan. Keadaannya tak teratur dengan baik.
          Kepada cleaning service yang tengah sibuk mengepel lantai dengan langkah mundur, kami kembali bertanya dengan pertanyaan sama pada resepsionos dibawah tadi
           Lelaki cleaning service itu menunjuk sebuah pintu disebalahnya. Diantara pintu-pintu kamar lainnya, pintu yang paling ujung inilah yang tertutup rapat-rapat. Diatas daun pintu pu ditempel kertas berisi kalimat semacam peringatan. Tanpa mengetuk, kakakku membuka pintu tersebut, berusaha sepelan mungkin agar tak mengeluarkan suara deritan sekecila apapun itu.
           Sebelum kami melangkah masuk bahkan menengok kedalam, langkah kami langsung dicegat dengan tatapan tawar   Khoer dari dalam. Sekilas kami dapat melihat keadaan didalam ruangan begitu gelap dan sunyi. Tirai-tirai kaca secara sengaja ditutup serapat mungkin. Sesaat kami membicarakan keadaan terkini guru mengajiku tersebut. Selain itu, ia juga tidak sendiri menjaga guru mengajiku, tapi bersama Rusda anak dari guru mengajiku. Kamipun meminta agar dapat berbicara dengannya.
          Dari balik pintu ia tersenyum manyambut kami. Wajahnya tenang seakan tak ada apapun yang patut dikahawatirkan. Darinya kami tahu mengapa mengapa lampu dipadamkan dan tirai-tirai ditutup.
          “Bapak sensitive kena cahaya dan suara”, katanya begitu pelan dan hati-hati. “Kena cahaya sedikit saja tubuhnya mengejang. Seperti kesakitan”.
          “Kok bisa?”, ucapku dengan keprihatinan mendalam.
          “Syarafnya….”. kata Rusda sambil menggerakan tangan didepan lehernya seakan-akan hendak menarik dagunya kebawah.
           Aku sendiri Cuma menganggukkan kepala. Entah bagaimana rasa sakitnya ketika Janharuddin menggeram nyeri. Pasti ia menahan rasa sakit berlipat-lipat. Ia tak dirawat di ruang isolasi. Ia hanya berbaring didalam kamarnya bersama orangtua yang selalu berada disampingnya. Orangtuanya hanya tahu tetanus sama saja dengan penyakit demam biasa.