Diatas meja telah terseduh secangkir kopi
panas. Uapnya bergoyang-goyang naik ke udara, menghantarkan aroma manis dan
pekat ke indera penciuman. Aku seruput kopi itu sedikit, meresapi rasa dan aroma
kopi tersebut dalam pikiran. Aku mendesah tenang seiring kopi itu menggaruk
permukaan lidahku yang kasar dan mengalir tenang melalui kerongkongan dibalik
leherku. Kandungan kafein dalam kopi tersebut dapat membantuku terjaga
sepanjang malam ini, mengoptimalkan jalan pikiranku yang aku tumpahkan kedalam
bentuk tulisan.
Jari jemariku bergerak teratur diatas tombol-tombol mesin tik sederhana
tersebut. Setiapkali aku menekankan jari tanganku pada tombol-tombol tersebut
terdengar bunyi-bunyi yang dapat menggerahkan telinga siapapun yang terjaga
malam ini. Tapi, didalam kamar yang sumpek nan pengap hanya ada aku seorang
diri. Bunyi-bunyi berisik mesin tik itu menjadi satu-satunya sumber keramaian
dalam kesendirianku.
Ku ketikkan kata per katanya penuh khidmat, berusaha menciptakan
kesakralan dalam serangkaian kalimat yang kubuat. Dibalik maknanya aku sisipkan
perasaan, berharap isi pedalaman jiwa dan pikir yang telah kujelajahi sanggup
menyentuh naluri para insan yang membaca karya-karyaku nanti.
Aku ingat-ingat peristiwa yang telah kubaca dan kulihat dalam berbagai media. Aku ingat-ingat
pula segala kejadian yang pernah menimpaku. Juga tragedi yang pernah menerpa
pribadi diluar diriku sendiri. Lalu, kuracik dan kukembangkan sedemikian rupa
kisah-kisah nyata tersebut kedalam dunia dongengan hasil rekaanku sendiri. Kubayangkan
segala peristiwa baru itu kedalam pikiranku dan kupikirkan jalan ceritanya agar
runtut dan teratur. Namun, ilham yang menghampiriku malam ini seolah enggan menyerahkan
jiwanya begitu saja. Aku tak bisa asal-asalan menuliskan sebuah karya. Saat aku
mulai menjentikkan jemariku diatas tombol-tombol huruf tersebut, tiba-tiba
keleluasaanku seakan menghilang. Entah berapa kali aku melakukan kesalahan,
menghapus kata atau kalimat yang kurasa tak padan. Bahkan sudah
berlembar-lembar kertas yang nasibnya berakhir di tong sampah.
Banyaknya penolakan yang sering kuterima, barangkali, telah mengambil
sedikit peran pada kepercayaan diriku, memaksaku harus lebih teliti dan
seksama. Mengerjakan satu kalimat saja seperti menyelesaikan satu rumusan
matematika yang teramat sulit. Karya-karyaku bersaing dengan penulis yang sudah
punya nama. Hal itu membuatku meragu pada hasil tulisanku sendiri; apakah layak
untuk dibaca umum atau tidak.
Seluruh tulisan dari penulis ternama yang dimuat aku pelajari dan
pahami. Aku baca seteliti mungkin sampai otakku mampu meresapinya. Tak hanya kuperhatikan
dari segi tata bahasa dan alurnya saja, bahkan aku sampai memperkirakan
bagaimana sang penulis ternama tersebut menggerakan jari jemarinya saat menulis
atau mengetik. Kadang, ada beberapa tulisan yang kutemui lebih kering dari apa
yang kutulis. Aku heran mengapa tulisanku sampai kalah bersaing dengan tulisan
picisan begini. Nama, yang seharusnya tak layak dijadikan satu-satunya sumber
jaminan telah menjadi patokan mutu dalam membandingkan kualitas dengan penulis
pemula.
Barangkali juga persangkaanku itu salah. Kurang dari seminggu saja,
beratus-ratus judul kisah fiktif telah tertumpuk dimeja redaksi. Jika
dikalkulasikan, maka dalam setahun akan ada ribuan judul yang terkirim. Tak
mungkin sang redaktur, dalam keterbatasan waktu deadline, membaca satu per satu
tulisan-tulisan itu. Sementara itupula, kolom yang disediakan dan waktu
pemuatannya pun sangat dibatasi. Alhasil namalah yang menjadi acuannya. Tak
peduli isi karya tersebut berkualitas atau tidak.
Lama-lama, memikirkan tentang nama tersebut memberikan jalur batas yang
tak bisa ditembus pikiranku lagi. Sebuah dinding tebal tiba-tiba tumbuh menghalangi
laju daya imajinasiku. Semuanya tertutup. Lenyap. Tanganku berhenti bergerak
diatas tombol-tombol mesin tik tersebut. Sementara pikiranku masih bersusah
payah membobol dinding tebal tersebut.
Buntu.
Aku sandarkan punggungku diatas kursi yang kududuki. Aku tatap
langit-langit kamarku yang rendah. Bidang diatas kepalaku itu tak memberikan
bacaan apapun. Kulirik kanan kiri. Kamar yang sempit dan berantakan. Empat sisi
dinding kamar ini seakan diam-diam hendak menjepitku. Aku sudah lelah memeras
ide-ide diotakku. Aku butuh relaksasi. Semua sisi-sisi yang membentuk kamar ini
terasa membatasi daya kreatifitasku.
Kuatur nafas baik-baik, berusaha menahan ledakan yang mungkin bakal
muncul dari kekalutan jiwaku. Kalau sudah meledak, aku tahu, aku takkan
segan-segan mengacaukan seluruh isi kamar ini. Bahkan aku akan melemparkan
tubuhku sendiri berkali-kali keatas dinding dan menggetok-getok isi kepalaku
sendiri, seakan dengan cara seperti itu seluruh ide yang terpasung dalam otakku
dapat mencair.
Aku ambil sebatang rokok disaku celanaku. Aku nyalakan ujungnya sambil
menghisapnya. Kepulan asap putih berhamburan keluar dari lubang mulut dan
hidungku seiring kuhembuskan nafas ke udara. Bumbungan asap yang keluar dari
dua lubang pernafasanku itu melayang gelisah di udara bagai mencari arah tepat
hingga akhirnya pecah terbawa angin malam. Aku tak peduli lagi pada batuk-batuk
kecil yang kuderita sebagai pertanda penyakit paru-paru mulai menjangkiti organ
pernafasanku. Rokok, adalah satu-satunya hiburan terbaik yang kumiliki.
Saat kupandangi kepulan asap rokok, selalu timbul rasa cemburuku. Aku
mulai memikirkan banyak pengandaian. Betapa asap rokok itu begitu ringan,
terangkat ke udara, melayang bebas kemanapun ia ingin menuju, menemui
kebebasannya. Aku ingin begitu----menjalani kehidupan tanpa banyak beban,
mendapatkan semua apa yang diinginkan tanpa harus lelah putar-putar isi kepala
dan memeras keringat.
Waktu terus merambat. Jam dinding telah menunjukkan waktu dini hari.
Tapi tak ada niat menutup mata barang sebentarpun. Aku bangkit dari dudukku.
Sedikit meregangkan otot-otot pinggangku yang pegal. Aku menuju jendela kecil
disebelahnya dan membukanya. Lekas saja angin malam mendorong wajahku dan
merndinginkan lubang pori-pori disekujur tubuhku. Sepasang mataku memandang
luas permukaan langit dan bumi, hingga akhirnya tertumpu pada satu titik
pandang terjauh yang dapat dijangkau penglihatan mataku. Gelap telah meredam
hingar bingar kesibukan kota, namun dikejauhan kelihatannya keramaian masih
berlangsung. Disekitarku, satu-satunya partikel yang masih berani mengeluarkan
suaranya adalah udara yang bergemerisik
ringan ditelingaku sebagai angin. Lampu-lampu menyala kelap-kelip mereplikakan
taburan bintang dilangit.
Dititik terjauh pandanganku itu,
kucoba mencari-cari sebentuk ilham yang mungkin bersembunyi diantara
tembok-tembok beton gedung pencakar langit. Aku ingin melepaskan segala beban
yang selalu menggelayuti nafas didadaku. Memandang panorama malam di kota
begini dapat membuat pikiranku sedikit tercerahkan kembali. Aku yakin banyak
ilham yang dapat dijadikan sumber ide dibalik rahasia malam yang dapat
kutumpahkan dalam bentuk tulisan. Yang paling patut kusayangkan hanya satu;
langit kota sepi dari taburan bintang. Polusi telah menutupi kemegahan gemerlap
bintang-bintang.
Alam telah sekian lama membantu mengakrabkanku dengan pena. Sayang,
tidak dengan kedua orangtuaku. Mereka melarang anaknya habis-habisan
berkecimpung didunia sastra. Bagi mereka itu sangat diluar rasionalitas. Fokus
mereka hanya terpaku pada kebutuhan materi saja. Apabila aku kedapatan tengah
asyik menulis, segera kobaran api akan menyala diwajah mereka. Mereka takkan
tanggung-tanggung membakar semua karya yang telah kuselesaikan.
“Apa yang dapat kau harapkan dari
menulis? Lihat saja Chairil Anwar! Apakah dia orang kaya! Lihat saja Van Gogh!
Apakah dia orang berbahagia! Yang namanya seniman, entah itu penulis atau
pelukis, hidupnya pasti sengsara. Masa depannya suram. Kau mau seperti itu?
Ingat, Nak, tak ada keturunan moyang kita yang jadi penulis. Menulis itu
pekerjaan pengecut!”.
Kata-kata yang dibumbui oleh amarah itu terasa benar menusuk pedalaman
kalbuku. Namun, aku tahu itu sebentuk perhatian kedua orangtuaku demi kebaikan
buah hatinya. Walaupun demikian, aku tetap bersikeras pada prinsipku. Pandangan
orangtuaku terhadap seni terlalu kolot. Ini lebih sekedar dari uang. Ini adalah
tentang sebuah jalan hidup yang mesti kutempuh
dalam mengenali kesejatian diri.
Akhirnya, pertentangan dengan orangtuaku itu membangkitkan semangat
kemandirianku. Aku kabur. Diatas meja didalam kamarku, kutinggalkan selembar
surat. Aku berharap orangtuaku tak mengkhawatirkan kepergianku dan tak perlu
repot-repot mencariku. Yang paling penting dari itu semua, aku berharap
orangtuaku dapat mengerti makna dibalik keminggatan diriku ini.
Aku akui kata-kata terakhir orangtuaku yang menyebutkan kepengecutan
seorang penulis sangat menyakitkan hatiku. Aku merasa rendah dengan talentaku
ini. Salah satu maksud aku minggat dari rumah ini adalah ingin membuktikan pada
dunia dan orangtuaku bahwa apa yang kulakukan dan kuusahakan ini adalah memang
sebuah kepantasan yang layak. Huruf-huruf merupakan simbol dari peradaban, maka
aku yakin menulis dapat menjadikanku selalu hidup dalam sejarah diberbagai
masa.
Seorang Chairil memang bukan orang yang dianugerahkan limpahan harta
benda, tapi melalui kekuatan penanya, meskipun setelah matinya, ia berhasil
melewati keadaan berbagai zaman dan kaya dalam ingatan para generasi
selanjutnya. Begitupula seorang Van Gogh. Karya-karyanya yang tergores indah
dalam kanvas masih begitu dipuja-puja dalam daya inspirasi generasi kini.
Meskipun dalam menjalani kegalauan hidup, aku sendiri takkan melakukan hal
tragis seekstrim Van Gogh memotong telinganya.
Maka akhirnya, langkah kaki ini membawaku pada tempat dan suasana baru. Disudut kota,
terjauhkan dari glamornya kehidupan metropolis, diantara gang-gang sempit yang
berkelok-kelok, aku menyewa sebuah kamar. Disinilah kini aku bertempat tinggal,
berteduh dari terik panas dan hujan.
Awalnya cukup sulit menyesuaikan diri dilingkungan padat dengan luas lahan
yang tak sesuai dengan jumlah penduduknya. Setidaknya kondisi sempit dan sesak
disini justru membuatku dapat sedikit bernafas lega. Aku tak perlu lagi
mendengar komentar buruk, keluhan, atau amarah orangtuaku sendiri. Aku merasa
bebas dan leluasa mengembangkan ambisiku ini.
Memang tinggal diantara gang-gang sempit sangat menyesakkan. Saking
sempitnya, apabila terjadi kebakaran atau banjir akan sulit menyelamatkan diri,
apalagi menyelamatkan harta benda. Tata ruangnya sangat memprihatinkan. Rumah-rumah
dibangun diatas lahan yang sangat terbatas, saling berdempetan dan berdesakan.
Untuk menyiasati kekurangan lahan tersebut, biasanya warga meninggikan bangunan
rumahnya. Salah satunya menyulap loteng menjadi kamar.
Dikamar loteng ini pulalah aku kini tengah berdiri memandang keluar
menikmati semilir angin malam. Hidup ditengah-tengah masyarakat baru memberikan
sedikit ruang dalam pikiranku. Aku merasa semakin didekatkan pada dimensi
kehidupan urban yang berbeda, yang sesungguhnya. Ide-ide segar kerapkali
menghampiri diriku, meski terkadang, seperti saat ini, tiba-tiba semuanya buntu.
Memang sampai saat ini, aku belum berhasil menelurkan karya satupun. Sudah
dikatakan tadi aku terganjal nama.
Biasanya nama seseorang dapat besar karena prestasinya. Sementara aku
justru dihadapkan pada kondisi sebaliknya.
Sebenarnya ada satu cara yang dapat membuat namaku dikenal banyak orang;
menjadi artis. Barangkali dengan nama keartisanku nanti aku akan mudah
mempublikasikan karya-karyaku nanti. Jalan pintas dari semua ini adalah ikut
casting.