Halaman

Sabtu, 07 April 2012

SENSASI AKU DAN PENA


 Diatas meja telah terseduh secangkir kopi panas. Uapnya bergoyang-goyang naik ke udara, menghantarkan aroma manis dan pekat ke indera penciuman. Aku seruput kopi itu sedikit, meresapi rasa dan aroma kopi tersebut dalam pikiran. Aku  mendesah tenang seiring kopi itu menggaruk permukaan lidahku yang kasar dan mengalir tenang melalui kerongkongan dibalik leherku. Kandungan kafein dalam kopi tersebut dapat membantuku terjaga sepanjang malam ini, mengoptimalkan jalan pikiranku yang aku tumpahkan kedalam bentuk tulisan.
    Jari jemariku bergerak teratur diatas tombol-tombol mesin tik sederhana tersebut. Setiapkali aku menekankan jari tanganku pada tombol-tombol tersebut terdengar bunyi-bunyi yang dapat menggerahkan telinga siapapun yang terjaga malam ini. Tapi, didalam kamar yang sumpek nan pengap hanya ada aku seorang diri. Bunyi-bunyi berisik mesin tik itu menjadi satu-satunya sumber keramaian dalam kesendirianku.
    Ku ketikkan kata per katanya penuh khidmat, berusaha menciptakan kesakralan dalam serangkaian kalimat yang kubuat. Dibalik maknanya aku sisipkan perasaan, berharap isi pedalaman jiwa dan pikir yang telah kujelajahi sanggup menyentuh naluri para insan yang membaca karya-karyaku nanti.
    Aku ingat-ingat peristiwa yang telah  kubaca dan kulihat dalam berbagai media. Aku ingat-ingat pula segala kejadian yang pernah menimpaku. Juga tragedi yang pernah menerpa pribadi diluar diriku sendiri. Lalu, kuracik dan kukembangkan sedemikian rupa kisah-kisah nyata tersebut kedalam dunia dongengan hasil rekaanku sendiri. Kubayangkan segala peristiwa baru itu kedalam pikiranku dan kupikirkan jalan ceritanya agar runtut dan teratur. Namun, ilham yang menghampiriku malam ini seolah enggan menyerahkan jiwanya begitu saja. Aku tak bisa asal-asalan menuliskan sebuah karya. Saat aku mulai menjentikkan jemariku diatas tombol-tombol huruf tersebut, tiba-tiba keleluasaanku seakan menghilang. Entah berapa kali aku melakukan kesalahan, menghapus kata atau kalimat yang kurasa tak padan. Bahkan sudah berlembar-lembar kertas yang nasibnya berakhir di tong sampah.
    Banyaknya penolakan yang sering kuterima, barangkali, telah mengambil sedikit peran pada kepercayaan diriku, memaksaku harus lebih teliti dan seksama. Mengerjakan satu kalimat saja seperti menyelesaikan satu rumusan matematika yang teramat sulit. Karya-karyaku bersaing dengan penulis yang sudah punya nama. Hal itu membuatku meragu pada hasil tulisanku sendiri; apakah layak untuk dibaca umum atau tidak.
    Seluruh tulisan dari penulis ternama yang dimuat aku pelajari dan pahami. Aku baca seteliti mungkin sampai otakku mampu meresapinya. Tak hanya kuperhatikan dari segi tata bahasa dan alurnya saja, bahkan aku sampai memperkirakan bagaimana sang penulis ternama tersebut menggerakan jari jemarinya saat menulis atau mengetik. Kadang, ada beberapa tulisan yang kutemui lebih kering dari apa yang kutulis. Aku heran mengapa tulisanku sampai kalah bersaing dengan tulisan picisan begini. Nama, yang seharusnya tak layak dijadikan satu-satunya sumber jaminan telah menjadi patokan mutu dalam membandingkan kualitas dengan penulis pemula.
    Barangkali juga persangkaanku itu salah. Kurang dari seminggu saja, beratus-ratus judul kisah fiktif telah tertumpuk dimeja redaksi. Jika dikalkulasikan, maka dalam setahun akan ada ribuan judul yang terkirim. Tak mungkin sang redaktur, dalam keterbatasan waktu deadline, membaca satu per satu tulisan-tulisan itu. Sementara itupula, kolom yang disediakan dan waktu pemuatannya pun sangat dibatasi. Alhasil namalah yang menjadi acuannya. Tak peduli isi karya tersebut berkualitas atau tidak.
    Lama-lama, memikirkan tentang nama tersebut memberikan jalur batas yang tak bisa ditembus pikiranku lagi. Sebuah dinding tebal tiba-tiba tumbuh menghalangi laju daya imajinasiku. Semuanya tertutup. Lenyap. Tanganku berhenti bergerak diatas tombol-tombol mesin tik tersebut. Sementara pikiranku masih bersusah payah membobol dinding tebal tersebut.
    Buntu.
    Aku sandarkan punggungku diatas kursi yang kududuki. Aku tatap langit-langit kamarku yang rendah. Bidang diatas kepalaku itu tak memberikan bacaan apapun. Kulirik kanan kiri. Kamar yang sempit dan berantakan. Empat sisi dinding kamar ini seakan diam-diam hendak menjepitku. Aku sudah lelah memeras ide-ide diotakku. Aku butuh relaksasi. Semua sisi-sisi yang membentuk kamar ini terasa membatasi daya kreatifitasku.
    Kuatur nafas baik-baik, berusaha menahan ledakan yang mungkin bakal muncul dari kekalutan jiwaku. Kalau sudah meledak, aku tahu, aku takkan segan-segan mengacaukan seluruh isi kamar ini. Bahkan aku akan melemparkan tubuhku sendiri berkali-kali keatas dinding dan menggetok-getok isi kepalaku sendiri, seakan dengan cara seperti itu seluruh ide yang terpasung dalam otakku dapat mencair.
    Aku ambil sebatang rokok disaku celanaku. Aku nyalakan ujungnya sambil menghisapnya. Kepulan asap putih berhamburan keluar dari lubang mulut dan hidungku seiring kuhembuskan nafas ke udara. Bumbungan asap yang keluar dari dua lubang pernafasanku itu melayang gelisah di udara bagai mencari arah tepat hingga akhirnya pecah terbawa angin malam. Aku tak peduli lagi pada batuk-batuk kecil yang kuderita sebagai pertanda penyakit paru-paru mulai menjangkiti organ pernafasanku. Rokok, adalah satu-satunya hiburan terbaik yang kumiliki.
    Saat kupandangi kepulan asap rokok, selalu timbul rasa cemburuku. Aku mulai memikirkan banyak pengandaian. Betapa asap rokok itu begitu ringan, terangkat ke udara, melayang bebas kemanapun ia ingin menuju, menemui kebebasannya. Aku ingin begitu----menjalani kehidupan tanpa banyak beban, mendapatkan semua apa yang diinginkan tanpa harus lelah putar-putar isi kepala dan memeras keringat.
    Waktu terus merambat. Jam dinding telah menunjukkan waktu dini hari. Tapi tak ada niat menutup mata barang sebentarpun. Aku bangkit dari dudukku. Sedikit meregangkan otot-otot pinggangku yang pegal. Aku menuju jendela kecil disebelahnya dan membukanya. Lekas saja angin malam mendorong wajahku dan merndinginkan lubang pori-pori disekujur tubuhku. Sepasang mataku memandang luas permukaan langit dan bumi, hingga akhirnya tertumpu pada satu titik pandang terjauh yang dapat dijangkau penglihatan mataku. Gelap telah meredam hingar bingar kesibukan kota, namun dikejauhan kelihatannya keramaian masih berlangsung. Disekitarku, satu-satunya partikel yang masih berani mengeluarkan suaranya adalah udara yang  bergemerisik ringan ditelingaku sebagai angin. Lampu-lampu menyala kelap-kelip mereplikakan taburan bintang dilangit.
    Dititik terjauh pandanganku itu, kucoba mencari-cari sebentuk ilham yang mungkin bersembunyi diantara tembok-tembok beton gedung pencakar langit. Aku ingin melepaskan segala beban yang selalu menggelayuti nafas didadaku. Memandang panorama malam di kota begini dapat membuat pikiranku sedikit tercerahkan kembali. Aku yakin banyak ilham yang dapat dijadikan sumber ide dibalik rahasia malam yang dapat kutumpahkan dalam bentuk tulisan. Yang paling patut kusayangkan hanya satu; langit kota sepi dari taburan bintang. Polusi telah menutupi kemegahan gemerlap bintang-bintang.
    Alam telah sekian lama membantu mengakrabkanku dengan pena. Sayang, tidak dengan kedua orangtuaku. Mereka melarang anaknya habis-habisan berkecimpung didunia sastra. Bagi mereka itu sangat diluar rasionalitas. Fokus mereka hanya terpaku pada kebutuhan materi saja. Apabila aku kedapatan tengah asyik menulis, segera kobaran api akan menyala diwajah mereka. Mereka takkan tanggung-tanggung membakar semua karya yang telah kuselesaikan.
“Apa yang dapat kau harapkan dari menulis? Lihat saja Chairil Anwar! Apakah dia orang kaya! Lihat saja Van Gogh! Apakah dia orang berbahagia! Yang namanya seniman, entah itu penulis atau pelukis, hidupnya pasti sengsara. Masa depannya suram. Kau mau seperti itu? Ingat, Nak, tak ada keturunan moyang kita yang jadi penulis. Menulis itu pekerjaan pengecut!”.
    Kata-kata yang dibumbui oleh amarah itu terasa benar menusuk pedalaman kalbuku. Namun, aku tahu itu sebentuk perhatian kedua orangtuaku demi kebaikan buah hatinya. Walaupun demikian, aku tetap bersikeras pada prinsipku. Pandangan orangtuaku terhadap seni terlalu kolot. Ini lebih sekedar dari uang. Ini adalah tentang sebuah jalan hidup yang mesti  kutempuh dalam mengenali kesejatian diri.
    Akhirnya, pertentangan dengan orangtuaku itu membangkitkan semangat kemandirianku. Aku kabur. Diatas meja didalam kamarku, kutinggalkan selembar surat. Aku berharap orangtuaku tak mengkhawatirkan kepergianku dan tak perlu repot-repot mencariku. Yang paling penting dari itu semua, aku berharap orangtuaku dapat mengerti makna dibalik keminggatan diriku ini.
    Aku akui kata-kata terakhir orangtuaku yang menyebutkan kepengecutan seorang penulis sangat menyakitkan hatiku. Aku merasa rendah dengan talentaku ini. Salah satu maksud aku minggat dari rumah ini adalah ingin membuktikan pada dunia dan orangtuaku bahwa apa yang kulakukan dan kuusahakan ini adalah memang sebuah kepantasan yang layak. Huruf-huruf merupakan simbol dari peradaban, maka aku yakin menulis dapat menjadikanku selalu hidup dalam sejarah diberbagai masa.
    Seorang Chairil memang bukan orang yang dianugerahkan limpahan harta benda, tapi melalui kekuatan penanya, meskipun setelah matinya, ia berhasil melewati keadaan berbagai zaman dan kaya dalam ingatan para generasi selanjutnya. Begitupula seorang Van Gogh. Karya-karyanya yang tergores indah dalam kanvas masih begitu dipuja-puja dalam daya inspirasi generasi kini. Meskipun dalam menjalani kegalauan hidup, aku sendiri takkan melakukan hal tragis seekstrim Van Gogh memotong telinganya.
    Maka akhirnya, langkah kaki ini membawaku pada  tempat dan suasana baru. Disudut kota, terjauhkan dari glamornya kehidupan metropolis, diantara gang-gang sempit yang berkelok-kelok, aku menyewa sebuah kamar. Disinilah kini aku bertempat tinggal, berteduh dari terik panas dan hujan.
    Awalnya cukup sulit menyesuaikan diri dilingkungan padat dengan luas lahan yang tak sesuai dengan jumlah penduduknya. Setidaknya kondisi sempit dan sesak disini justru membuatku dapat sedikit bernafas lega. Aku tak perlu lagi mendengar komentar buruk, keluhan, atau amarah orangtuaku sendiri. Aku merasa bebas dan leluasa mengembangkan ambisiku ini.
    Memang tinggal diantara gang-gang sempit sangat menyesakkan. Saking sempitnya, apabila terjadi kebakaran atau banjir akan sulit menyelamatkan diri, apalagi menyelamatkan harta benda. Tata ruangnya sangat memprihatinkan. Rumah-rumah dibangun diatas lahan yang sangat terbatas, saling berdempetan dan berdesakan. Untuk menyiasati kekurangan lahan tersebut, biasanya warga meninggikan bangunan rumahnya. Salah satunya menyulap loteng menjadi kamar.
    Dikamar loteng ini pulalah aku kini tengah berdiri memandang keluar menikmati semilir angin malam. Hidup ditengah-tengah masyarakat baru memberikan sedikit ruang dalam pikiranku. Aku merasa semakin didekatkan pada dimensi kehidupan urban yang berbeda, yang sesungguhnya. Ide-ide segar kerapkali menghampiri diriku, meski terkadang, seperti saat ini, tiba-tiba semuanya buntu. Memang sampai saat ini, aku belum berhasil menelurkan karya satupun. Sudah dikatakan tadi aku terganjal nama.
    Biasanya nama seseorang dapat besar karena prestasinya. Sementara aku justru dihadapkan pada kondisi sebaliknya.  Sebenarnya ada satu cara yang dapat membuat namaku dikenal banyak orang; menjadi artis. Barangkali dengan nama keartisanku nanti aku akan mudah mempublikasikan karya-karyaku nanti. Jalan pintas dari semua ini adalah ikut casting.