Halaman

Selasa, 24 September 2013

Gigolo-Gay Aku Terjebak Diantara Dua Peran

          Setelah dihantam panas terik, sore itu, langit kota Bogor sedikit mendung. Tiupan angin yang semilir sedikit menyejukkan kulit setelah diterpa gerah kepanasan. Tanpa niat memuaskan nafsu konsumtif kami, iseng-iseng kami masuk Botani Square.
          Kami lewati pintu masuk utama mall tersebut. Setelah setengah mengitari bagian luar mall tersebut, barulah kami masuk melalui pintu masuk yang lain.
         “Sekali-kali kita ngopi di Starbuck, yuk”, ajak Hendra ketika kami melintasi didepan bagian luar cafe berlogo wanita berambut keriting panjang itu.
          Cafe yang menyuguhkan kopi cita rasa Amerika itu ramai pengunjung. Kursi dibagian dalam dan luar tampaknya terisi semua. Meskipun rata-rata para pengunjung mengenakan setelan casual, semacam kaos dan jeans, penampilan mereka tampak necis. Mereka bersih dan bahagia. Tak seperti kami, yang menurut perasaanku, pasti terlihat kumal dan kusam.
          Beberapa tengah asyik membuka gadget yang dimilikinya. Sebagian lagi tengah asyik mengobrol bersama teman-teman mereka, atau barangkali rekan bisnis. Mungkin urusan mereka tak jauh-jauh dari persoalan bisnis. Kalau bukan, mungkin mereka tengah mendiskusikan masalah percintaan bahkan sex. Sementara secangkir kopi yang telah dipesan seperti terabaikan diatas meja mereka. Sudah jelas mereka berasal dari golongan kelas apa. Maka, aku tertawa-tawa saat Hendra mengajakku ngopi di Starbuck.
          “Harga secangkirnya seratus ribu”, tandasku. “Gak nyesel buang duit segitu cuma buat secangkir kopi?”.
          “Semahal itu?”
          Aku sendiri tidak tahu harga pastinya. Belum pernah aku merasakan suasana cafe. Tapi dapat diperkirakan, bagi kami yang penghasilannya sudah dipasung berdasarkan UMK kabupaten, jelas pasti harganya jauh dari jangkauan kantong kami. Sekalipun ada uangnya, terlalu sayang kami membuang uang sebesar itu hanya untuk secangkir kopi. Padahal, apabila uang sebesar itu kami belanjakan di warung-warung langganan kami, kami dapat membeli tidak hanya kopinya, sekaligus juga selusin cangkirnya.
          Begitulah kami. Sepertinya kami tidak ditakdirkan untuk hidup konsumtif. Kami hidup untuk dituntut produktif. Masalahnya kami bukan termasuk orang yang kreatif apalagi inovatif. Jadilah hidup kami gak maju-maju, terus primitif.
          Kami melewati pintu kaca memasuki Botani Square. Udara dingin langsung menghembus kearah wajah kami. Orang-orang, laki-perempuan, tua-muda, anak-dewasa, lajang-menikah, berlalu-lalang, kesana-kemari, melihat-lihat barang yang terpajang didalam etalase. Kami lirik kanan-kiri. Tanpa uang, kami tak tahu apa yang bisa kami dapatkan disini meskipun banyak yang dapat kami lihat.
          Kami berhenti didekat sebuah tiang, bersandar diatas pagar besi yang mengelilingi bagian tengah mall tersebut. Kami memandang kebawah. Tepat dilantai dasar, tepat ditengah-tengah lobinya, terdapat diskon besar-besaran. Ada sepatu, pakaian, aksesoris. Orang-orang sibuk memilih. Lalu pandangan kami tertuju pada seorang perempuan dengan riasan tebal, berumur sekitar akhir 30-an atau awal 40-an, didampingi seorang pria yang berumur sekitar awal 20-an. Mereka bergandengan tangan, saling tukar pandang, dan tersenyum.
         “Jri, menurut kamu bagaimana kalau aku jadi gigolo?”, kata Hendra seperti meminta pendapatku.
          Aku tertawa. Aku pandang Hendra lebih serius. Aku pikir ia bercanda.
         “Begini’, dari kata pertama yang diucapkannya itu, aku tahu ia sungguh-sungguh, “awalnya aku mau pinjam uang sama temanku. Temanku bilang sebenarnya aku tak perlu pinjam uang. Tanpa hutang, aku bisa mendapatkan uang lebih besar dari jumlah yang aku pinjam. Aku bisa ikut bisnis dengannya, kalau mau”.
        “Bisnis apa?”
          “Dia gigolo”
         Aku kerutkan kening. “Maksudnya kamu diajak jadi gigolo?”.
          Hendra mengangguk dalam. “Awalnya dari sebuah iklan job fashion yang diselenggarakan di Senayan City. Apabila aku mau ikut ambil bagian dalam acara tersebut, aku mesti menyerahkan fotoku yang telanjang dada. Kebetulan aku di foto pake Blackberry-nya. Dan foto itu diperlihatkan pada lingkungan tante-tante genit di Jakarta”.
          Tahun-tahun belakangan ini Hendra memang rajin ikut casting. Berburu dari satu tempat ke tempat lain. Semuanya gagal. Tak ada yang lolos. Penampilannya memang cukup mengesankan. Tubuhnya tinggi. Saat castingpun ia selalu dibilang wajahnya fotogenic----bagus di kamera. Dilingkungan rumahnya sendiri ia selalu dipanggil oleh bocah-bocah tetangganya mirip Aghan dan dilingkungannya kerjanya ia selalu dibilang mirip Tao Ming Tse, si tokoh utama dalam drama seri Meteor Garden. Tetap saja itu tak membuatnya lantas percaya diri. Menurutnya wajah dan warna kulitnya sama sekali tak mengesankan ala-ala K-Pop. Dan yang tengah laku belakangan ini adalah cowok bermata sipit, rambut disemir pirang, kulit putih kekuning-kuningan.
           Barangkali itulah yang membuatnya butuh waktu berjam-jam di kamar mandi dan betah nongkrong lama-lama didekat jemuran pakaian sambil memicingkan matanya kearah matahari .Aku selalu bilang cowok-cowok Korea itu banci. Lihat saja serbuan komplotan boyband dari sana sama sekali tak mencerminkan dunia laki-laki. Barangkali karena pengaruh merekalah lahir komunitas alay yang dimana melahirkan karakter lelaki Indonesia yang kewanita-wanitaan.
          “Terus?”, kataku lagi
          “Katanya dalam sebulan aku dapat dibayar 20 juta asalkan aku mau melayaninya. Aku sih mau-mau saja kalau sekedar nemenin belanja atau ngobrol, tapi kalau sampai ke urusan ranjang....”, Hendra terhenti seperti memikirkan akhir kalimatnya itu.
          “Menurutku kalau dibayar 20 juta perbulan sampai nemeninnya diatas ranjang terlalu murah”.
          “Kalau layanan aku memuaskan aku bisa dibayar lebih, minta ini-itu, bahkan kontrak bisa diperpanjang”.
          “Jadi ada sistem kontraknya juga?”.
          “Dari jadi gigolo, temanku bisa menyelesaikan S2, punya mobil, apartemen, dan rumah. Dia juga tidak selalu setiap harinya bertemu dengan tante yang mengontraknya itu. Tapi sewaktu-waktu, dalam keadaan mendadak sekalipun, ketika si tante itu membutuhkannya, alasan apapun yang mengendalai, ia harus bisa memenuhi panggilannya. Kalau tidak akibatnya bisa fatal”.
          “Menurutmu kenapa temanmu itu masih jadi gigolo? Padahal dia sudah kaya dan karir yang bagus. Tidakkah ada keinginannya untuk menikah?”.
           “Aku pikir gigolo itu menjadi semacam candu. Sekalinya masuk, akan sulit meninggalkannya. Temanku juga bilang kalau jadi gigolo ada teknik dan strateginya sendiri. Salah satunya kita harus punya dua tempat tinggal. Ia sendiri punya apartemen dan rumah. Tiap kali si tante ingin menemuinya, ia selalu menyuruhnya datang ke apartemen. Sementera alamat rumah ia rahasiakan. Dia bilang kalau kita tidak bisa memuaskan, si tante tak segan untuk marah-marah bahkan memukul. Bahkan apabila kita tak tahan dan ingin lepas dari jeratannya meskipun masa kontraknya telah habis, si tante dapat memburu kita kembali dan meminta kembali dengan paksa atas apa semua yang telah diberikan. Parahnya lagi kalau hubungan terlarang itu sampai ketahuan suaminya”.
          Aku menganngguk-angguk. Ternyatalah beginilah dibalik dunia tante-tante kesepian. “Jadi sekalinya kita masuk kedalam dunia gigolo, kita ini seperti terikat seumur hidup”, sekali lagi aku menatap Hendra. “Gila”, ujarku lagi. Kali ini dengan geleng-geleng kepala.
        “Selain itu ada juga yang namanya pertukaran berondong. Jadi si tante dapat juga mencoba berondong milik kawan-kawannya”.
          “Kamu minat jadi gigolo?”
          “Pamali, Jri. Dosa”.
          Aku tertawa-tawa. “Kalau mikirin dosa melulu, kita takkan bisa bergerak. Terkadang kita mesti melanggar batas norma apabila ingin berkembang. Toh, manusia diciptakan untuk berdosa, karena ia hidup dituntut untuk menyembah Tuhan. Kalau tidak, adalah sia-sia Tuhan menciptakan neraka”.
          “Setidaknya aku minta izin dulu sama orangtua”.
          Kembali aku tertawa. Sudah menginjak umur dua puluhan saja Hendra seperti anak yang belum berani melangkah sendiri. Segalanya selalu dibutuhkan pertimbangan dari orangtua. Sepertinya tak ada hal apapun yang dilakukannya tanpa sepengetahuan orangtua. Padahal, aku juga tahu, dibandingkan teman-temanku yang lain, Hendra termasuk sosok yang mandiri. Barangkali ini dilakukan semata-semata rasa sayang dan cintanya pada orangtua. Selalu takut membuat orangtuanya khawatir memikirkannya.
          “Jelaslah orangtua kamu gak bakalan kasih izin”, ucapku setelah tawaku reda. “Dikasih tahu juga pasti balik nanya lagi gigolo itu apa. Ini cukup jadi rahasia kamu”.
          Sesaat kami terdiam. Sepertinya Hendra memikirkan kata-kataku kembali.
           “Apa kira-kira yang membuat temanmu itu begitu terbuka sama kamu bahkan mengajakmu mengikuti jejaknya?”, kataku kembali.
          “Barangkali aku polos”.
          Kembali kami melihat seorang tante yang menggandeng ‘piaraannya’ tadi. Kali ini mereka keluar dari sebuah butik. Mereka menjinjing banyak kantong belanja. Berondongnya itu tampak lebih lengket dan senyumnya makin lebar. Begitupula si tantenya. Hidup ini rasanya begitu terjamin tanpa harus menakutkan hal apapun.
          “Dipikir-pikir enak juga jadi gigolo”, selorohku tanpa pikir-pikir. “Menurutmu kira-kira ada gak tante-tante yang minat sama aku? Kenalin dong sama teman kamu itu. Aku mau jadi gigolo. Resiko apapun bagiku itu tak penting”.
          Kali ini Hendra yang justru menertawaiku.

          Bagiku sendiri, gigolo barangkali dapat menjadi jalan keluar untuk memuaskanku atas segala perasaan benci, kecewa, harap, dan cintaku yang terpendam. Sempat terpikirkan pula untuk menyerahkan kepolosan raga ini pada seorang lelaki disorientasi seksual. Tapi setelah mengenal sedikit dunia gigolo aku menggeserkan hasratku ini. Tak seperti gay, menjadi gigolo tidak hanya dapat melepaskanku dari semua perasaan yang tak terlampiaskan dibalik dadaku. Lebih dari itu, aku juga bisa mendapatkan keuntungan materi. Inilah caraku membalas dendam pada kehidupan dan orang-orang yang mengisi kehidupan itu.