Setelah dihantam panas terik, sore
itu, langit kota Bogor sedikit mendung. Tiupan angin yang semilir sedikit
menyejukkan kulit setelah diterpa gerah kepanasan. Tanpa niat memuaskan nafsu
konsumtif kami, iseng-iseng kami masuk Botani Square.
Kami lewati pintu masuk utama mall
tersebut. Setelah setengah mengitari bagian luar mall tersebut, barulah kami
masuk melalui pintu masuk yang lain.
“Sekali-kali kita ngopi di Starbuck,
yuk”, ajak Hendra ketika kami melintasi didepan bagian luar cafe berlogo wanita
berambut keriting panjang itu.
Cafe yang menyuguhkan kopi cita rasa
Amerika itu ramai pengunjung. Kursi dibagian dalam dan luar tampaknya terisi
semua. Meskipun rata-rata para pengunjung mengenakan setelan casual, semacam
kaos dan jeans, penampilan mereka tampak necis. Mereka bersih dan bahagia. Tak
seperti kami, yang menurut perasaanku, pasti terlihat kumal dan kusam.
Beberapa tengah asyik membuka gadget yang dimilikinya. Sebagian lagi
tengah asyik mengobrol bersama teman-teman mereka, atau barangkali rekan
bisnis. Mungkin urusan mereka tak jauh-jauh dari persoalan bisnis. Kalau bukan,
mungkin mereka tengah mendiskusikan masalah percintaan bahkan sex. Sementara secangkir
kopi yang telah dipesan seperti terabaikan diatas meja mereka. Sudah jelas
mereka berasal dari golongan kelas apa. Maka, aku tertawa-tawa saat Hendra
mengajakku ngopi di Starbuck.
“Harga secangkirnya seratus ribu”,
tandasku. “Gak nyesel buang duit segitu cuma buat secangkir kopi?”.
“Semahal itu?”
Aku sendiri tidak tahu harga
pastinya. Belum pernah aku merasakan suasana cafe. Tapi dapat diperkirakan,
bagi kami yang penghasilannya sudah dipasung berdasarkan UMK kabupaten, jelas
pasti harganya jauh dari jangkauan kantong kami. Sekalipun ada uangnya, terlalu
sayang kami membuang uang sebesar itu hanya untuk secangkir kopi. Padahal,
apabila uang sebesar itu kami belanjakan di warung-warung langganan kami, kami
dapat membeli tidak hanya kopinya, sekaligus juga selusin cangkirnya.
Begitulah kami. Sepertinya kami tidak
ditakdirkan untuk hidup konsumtif. Kami hidup untuk dituntut produktif.
Masalahnya kami bukan termasuk orang yang kreatif apalagi inovatif. Jadilah
hidup kami gak maju-maju, terus primitif.
Kami melewati pintu kaca memasuki
Botani Square. Udara dingin langsung menghembus kearah wajah kami. Orang-orang,
laki-perempuan, tua-muda, anak-dewasa, lajang-menikah, berlalu-lalang,
kesana-kemari, melihat-lihat barang yang terpajang didalam etalase. Kami lirik
kanan-kiri. Tanpa uang, kami tak tahu apa yang bisa kami dapatkan disini
meskipun banyak yang dapat kami lihat.
Kami berhenti didekat sebuah tiang,
bersandar diatas pagar besi yang mengelilingi bagian tengah mall tersebut. Kami
memandang kebawah. Tepat dilantai dasar, tepat ditengah-tengah lobinya,
terdapat diskon besar-besaran. Ada sepatu, pakaian, aksesoris. Orang-orang
sibuk memilih. Lalu pandangan kami tertuju pada seorang perempuan dengan riasan
tebal, berumur sekitar akhir 30-an atau awal 40-an, didampingi seorang pria
yang berumur sekitar awal 20-an. Mereka bergandengan tangan, saling tukar
pandang, dan tersenyum.
“Jri, menurut kamu bagaimana kalau aku
jadi gigolo?”, kata Hendra seperti meminta pendapatku.
Aku tertawa. Aku pandang Hendra lebih
serius. Aku pikir ia bercanda.
“Begini’, dari kata pertama yang
diucapkannya itu, aku tahu ia sungguh-sungguh, “awalnya aku mau pinjam uang
sama temanku. Temanku bilang sebenarnya aku tak perlu pinjam uang. Tanpa
hutang, aku bisa mendapatkan uang lebih besar dari jumlah yang aku pinjam. Aku
bisa ikut bisnis dengannya, kalau mau”.
“Bisnis apa?”
“Dia gigolo”
Aku kerutkan kening. “Maksudnya kamu diajak
jadi gigolo?”.
Hendra mengangguk dalam. “Awalnya
dari sebuah iklan job fashion yang
diselenggarakan di Senayan City. Apabila aku mau ikut ambil bagian dalam acara
tersebut, aku mesti menyerahkan fotoku yang telanjang dada. Kebetulan aku di
foto pake Blackberry-nya. Dan foto itu diperlihatkan pada lingkungan
tante-tante genit di Jakarta”.
Tahun-tahun belakangan ini Hendra
memang rajin ikut casting. Berburu dari satu tempat ke tempat lain. Semuanya
gagal. Tak ada yang lolos. Penampilannya memang cukup mengesankan. Tubuhnya
tinggi. Saat castingpun ia selalu dibilang wajahnya fotogenic----bagus di
kamera. Dilingkungan rumahnya sendiri ia selalu dipanggil oleh bocah-bocah
tetangganya mirip Aghan dan dilingkungannya kerjanya ia selalu dibilang mirip
Tao Ming Tse, si tokoh utama dalam drama seri Meteor Garden. Tetap saja itu tak
membuatnya lantas percaya diri. Menurutnya wajah dan warna kulitnya sama sekali
tak mengesankan ala-ala K-Pop. Dan yang tengah laku belakangan ini adalah cowok
bermata sipit, rambut disemir pirang, kulit putih kekuning-kuningan.
Barangkali itulah yang membuatnya butuh waktu berjam-jam di kamar mandi
dan betah nongkrong lama-lama didekat jemuran pakaian sambil memicingkan
matanya kearah matahari .Aku selalu bilang cowok-cowok Korea itu banci. Lihat
saja serbuan komplotan boyband dari
sana sama sekali tak mencerminkan dunia laki-laki. Barangkali karena pengaruh
merekalah lahir komunitas alay yang dimana melahirkan karakter lelaki Indonesia
yang kewanita-wanitaan.
“Terus?”, kataku lagi
“Katanya dalam sebulan aku dapat
dibayar 20 juta asalkan aku mau melayaninya. Aku sih mau-mau saja kalau sekedar
nemenin belanja atau ngobrol, tapi kalau sampai ke urusan ranjang....”, Hendra
terhenti seperti memikirkan akhir kalimatnya itu.
“Menurutku kalau dibayar 20 juta
perbulan sampai nemeninnya diatas ranjang terlalu murah”.
“Kalau layanan aku memuaskan aku bisa
dibayar lebih, minta ini-itu, bahkan kontrak bisa diperpanjang”.
“Jadi ada sistem kontraknya juga?”.
“Dari jadi gigolo, temanku bisa
menyelesaikan S2, punya mobil, apartemen, dan rumah. Dia juga tidak selalu
setiap harinya bertemu dengan tante yang mengontraknya itu. Tapi sewaktu-waktu,
dalam keadaan mendadak sekalipun, ketika si tante itu membutuhkannya, alasan
apapun yang mengendalai, ia harus bisa memenuhi panggilannya. Kalau tidak
akibatnya bisa fatal”.
“Menurutmu kenapa temanmu itu masih
jadi gigolo? Padahal dia sudah kaya dan karir yang bagus. Tidakkah ada
keinginannya untuk menikah?”.
“Aku pikir gigolo itu menjadi
semacam candu. Sekalinya masuk, akan sulit meninggalkannya. Temanku juga bilang
kalau jadi gigolo ada teknik dan strateginya sendiri. Salah satunya kita harus
punya dua tempat tinggal. Ia sendiri punya apartemen dan rumah. Tiap kali si
tante ingin menemuinya, ia selalu menyuruhnya datang ke apartemen. Sementera
alamat rumah ia rahasiakan. Dia bilang kalau kita tidak bisa memuaskan, si
tante tak segan untuk marah-marah bahkan memukul. Bahkan apabila kita tak tahan
dan ingin lepas dari jeratannya meskipun masa kontraknya telah habis, si tante
dapat memburu kita kembali dan meminta kembali dengan paksa atas apa semua yang
telah diberikan. Parahnya lagi kalau hubungan terlarang itu sampai ketahuan
suaminya”.
Aku menganngguk-angguk. Ternyatalah
beginilah dibalik dunia tante-tante kesepian. “Jadi sekalinya kita masuk kedalam
dunia gigolo, kita ini seperti terikat seumur hidup”, sekali lagi aku menatap
Hendra. “Gila”, ujarku lagi. Kali ini dengan geleng-geleng kepala.
“Selain itu ada juga yang namanya
pertukaran berondong. Jadi si tante dapat juga mencoba berondong milik
kawan-kawannya”.
“Kamu minat jadi gigolo?”
“Pamali,
Jri. Dosa”.
Aku tertawa-tawa. “Kalau mikirin dosa
melulu, kita takkan bisa bergerak. Terkadang kita mesti melanggar batas norma
apabila ingin berkembang. Toh, manusia diciptakan untuk berdosa, karena ia
hidup dituntut untuk menyembah Tuhan. Kalau tidak, adalah sia-sia Tuhan
menciptakan neraka”.
“Setidaknya aku minta izin dulu sama
orangtua”.
Kembali aku tertawa. Sudah menginjak
umur dua puluhan saja Hendra seperti anak yang belum berani melangkah sendiri.
Segalanya selalu dibutuhkan pertimbangan dari orangtua. Sepertinya tak ada hal
apapun yang dilakukannya tanpa sepengetahuan orangtua. Padahal, aku juga tahu,
dibandingkan teman-temanku yang lain, Hendra termasuk sosok yang mandiri.
Barangkali ini dilakukan semata-semata rasa sayang dan cintanya pada orangtua.
Selalu takut membuat orangtuanya khawatir memikirkannya.
“Jelaslah orangtua kamu gak bakalan
kasih izin”, ucapku setelah tawaku reda. “Dikasih tahu juga pasti balik nanya
lagi gigolo itu apa. Ini cukup jadi rahasia kamu”.
Sesaat kami terdiam. Sepertinya
Hendra memikirkan kata-kataku kembali.
“Apa kira-kira yang membuat temanmu
itu begitu terbuka sama kamu bahkan mengajakmu mengikuti jejaknya?”, kataku
kembali.
“Barangkali aku polos”.
Kembali kami melihat seorang tante
yang menggandeng ‘piaraannya’ tadi. Kali ini mereka keluar dari sebuah butik.
Mereka menjinjing banyak kantong belanja. Berondongnya itu tampak lebih lengket
dan senyumnya makin lebar. Begitupula si tantenya. Hidup ini rasanya begitu
terjamin tanpa harus menakutkan hal apapun.
“Dipikir-pikir enak juga jadi
gigolo”, selorohku tanpa pikir-pikir. “Menurutmu kira-kira ada gak tante-tante
yang minat sama aku? Kenalin dong sama teman kamu itu. Aku mau jadi gigolo.
Resiko apapun bagiku itu tak penting”.
Kali ini Hendra yang justru
menertawaiku.
Bagiku sendiri, gigolo barangkali
dapat menjadi jalan keluar untuk memuaskanku atas segala perasaan benci,
kecewa, harap, dan cintaku yang terpendam. Sempat terpikirkan pula untuk
menyerahkan kepolosan raga ini pada seorang lelaki disorientasi seksual. Tapi
setelah mengenal sedikit dunia gigolo aku menggeserkan hasratku ini. Tak
seperti gay, menjadi gigolo tidak hanya dapat melepaskanku dari semua perasaan
yang tak terlampiaskan dibalik dadaku. Lebih dari itu, aku juga bisa
mendapatkan keuntungan materi. Inilah caraku membalas dendam pada kehidupan dan
orang-orang yang mengisi kehidupan itu.