Halaman

Minggu, 16 Juni 2013

Setitik Semangat Dalam Sepotong Roti



          “Spririt! Spirit!”, itulah yang selalu didengung-dengungkan dalam batin kami diantara desahan nafas kami yang melemah karena lelah. Tapi, puncak Roti yang selalu disebut-sebutkan Usup tak kunjung nampak apalagi tertaklukkan. Barangkali inilah yang dirasakan para pendaki gunung, dan yang paling didamba-damba adalah puncak. Tapi karena matahari makin condong ke barat, kami memutuskan turun sebelum berhasil mencapai puncak.
          Awalnya tak ada rencana sama sekali mendaki bukit yang namanya sama dengan kawasan perkebunan teh di Puncak, Gunung Mas. Usup mengajak kami mengunjungi stand baru food court-nya BTM, Richesse Factory. Katanya makanan disana enak. Cita rasanya adalah rasa pedas yang sampai tingkatan tertingginya di level lima. “Tapi belum ada yang nyoba sampai level lima. Level dua saja pedasnya ekstrem banget. Paling banter  cuma level empat saja. Itupun jarang-jarang”, tandas Usup menggebu-gebu merekomendasikan.
          Aku menolak kesana, karena tiap kali ada kesempatan tujuanku melulu ke BTM. Apalagi menu pedas yang dimaksud Usup itu hanya berupa ayam. Lidahku rasanya sudah kelu mencicipi menu berbahan ayam. Baik di rumah maupun di tempat kerja melulu menunya ayam.
          “Kita ke Takol--Taman Koleksi—aja, yuk!”, ajak Usup lagi. “Sekali-kali lah kita jalan layaknya kaum metropolis”.
          Sepertinya Usup sangat terobsesi dengan gaya konsumtif kaum metropolitan. Selalu yang harus dikunjungi itu mal dan mal. Setidaknya di tempat-tempat yang dikunjunginya tersebut ada banyak penjual makanannya. Kali ini justru Erwin yang menolaknya.
          “Gimana kita ke bukit Gunung Mas saja?”, kembali Usup kasih usul. Sepertinya ia selalu punya jalan alternatif mengajak teman-temannya main, tak mau membuang waktu luang bersama dan berkumpul begini setelah beberapa bulan tak jumpa. Karena hari juga baru masuk adzan zhuhur, aku mengangguk setuju. Erwin sedikit terlihat ragu. Tapi karena tak ada pilihan lain, mau tak mau Erwin ikut juga.
          Sebelum melakukan perjalanan kesana, kami singgah dulu di masjid Al-Huriyyah yang berada dalam kawasan kampus IPB Darmaga. Shalat zhuhur disana. Lalu dengan sepeda motor yang dikendarai Erwin, kami menuju destinasi yang telah disepakati.
          “Kita beli bekal dulu buat persediaan mendaki keatas” kataku saat motor hendak memasuki jalan kecil menuju bukit Gunung Mas itu.
          Motor berhenti tepat didepan jalan itu. Aku dan Usup menyeberang jalan, masuk kedalam toko berlogo mart. Kami membeli tiga botol air mineral ukuran sedang, roti tawar rasa pandan, coklat meses, dan makaroni. Kami memilih barang-barang yang harganya paling murah diantara merek-merek lainnya demi menghemat pengeluaran.
          Keluar toko kami merasa belanjaan kami belum cukup. Melihat rumah makan nasi Padang tak jauh dari toko mart tersebut, akhirnya kami putuskan kesana. Kami tawari Erwin yang berdiri diseberang jalan menunggui motornya. Ia menggeleng. Jadilah kami beli cuma dua bungkus saja. Menuku adalah ayam sayur ( ayam lagi? ). Sementara Usup memilih rendang.
          “Makanan Padang itu rendang”, ucap Usup melirik kearahku. Tapi aku selalu tak pernah puas apabila harus melahap rendang yang hanya sebesar kartu domino itu. Ayam, sesering dan sebosan apapun aku melahapnya, setidaknya ukurannya lebih besar.
          Sekembalinya kami dari rumah makan Padang, kami bertiga langsung berangkat. Tas gendongku yang semula hanya berisi sebuah buku dan berkas-berkas kertas yang sudah lusuh kini terasa lebih berat dipunggungku. Padahal belanjaku tadi hanya sedikit, tapi beban dipunggung seperti bertambah berkilo-kilo.
          Tepat didepan gerbang SMA 1 Ciampea yang merupakan tempat sekolah Usup dulu kami berhenti. Hari libur begini sekolah tampak sepi. Tak ada seorangpun yang menjaga sekolah ini. Pintu gerbangnya sendiri tak terkunci. Kami tengok kanan-kiri, depan-belakang. Karena tak menemukan seorangpun yang mengaku sebagai penjaga sekolah disini, takut kemungkinan motor Erwin bakal ada yang curi, akhirnya motor itu dititipkan ke salah seorang teman Erwin bernama Iki.
          Selama menunggu Erwin kembali dari rumah temannya, aku dan Usup keliling-keliling mengitari tiap sudut gedung sekolah ini bagai mengenang kembali masa putih abu-abu silam. Terutama bagi Usup, sang alumni dari sekolah ini.
          Arsitektur gedung sekolah ini seperti sekolah-sekolah lain pada umumnya. Pintu-pintu ruang kelas mengelilingi sebuah lapangan basket didalamnya. Dibagian paling depan sekolah, berhadapan langsung dengan pintu gerbang, adalah ruang guru atau ruang BP. Istimewanya, tepat dibelakang sekolah itu menjulang tinggi sebuah bukit yang sebentar lagi bakal kami daki. Bukit Gunung Mas bagai memagari bagian belakang gedung sekolah ini. Rimbunnya pepohonan diatas sana menambah daya tarik yang memusatkan pada rasa penasaran. Begitu megah dan penuh rahasia. Terutama di hari libur begini, banyak monyet-monyet liar yang turun ke bawah bukit mencari makanan.
          Usup berlari-lari mengusir monyet-monyet yang bergelantungan diatas pohon. Monyet-monyet itu melompat-lompat ketakutan ke balik genteng. Tapi saat mengusir salah satu dari monyet tersebut, justru kamilah yang berlari ketakutan. Monyet itu menggeram menuduhkan barisan giginya yang kuning. Monyet yang satu itu ternyata cukup nyali untuk melawan kami. Dicarilah sepotong ranting sebagai senjata. Usup mengacung-acungkan ranting itu hingga monyet itu menghilang ke balik genteng.
          Kami terus menelusuri sepanjang koridor sekolah. Tong-tong sampah dalam posisi terbalik dan isinya berserakan disepanjang koridor. Pasti monyet-monyet itu yang mengobrak-abrik seisi tong sampah itu, berharap didalamnya ditemukan makanan.
          “Sup, proses belajar mengajar disini bagaimana? Memangnya gak ke ganggu banyak monyet begini?”, selorohku diantara hentakan suara langkah kaki kami.
          “Kalau pas hari biasa tidak ada monyet yang berani turun kesini”, tandas Usup. “ Mereka juga takut kalau ada banyak manusia”.
          Usup juga menuduhkan ruang-ruang kelas tempat ia duduk selama tiga tahun di sekolah ini. Tepat dibagian paling belakang terdapat tiga kelas baru yang belum sepenuhnya rampung. Ruang-ruang kelas tersebut berada pada posisi bagian paling tinggi daripada kelas-kelas lainnya, sehingga kami harus menanjak naik, melangkahi satu per satu anak tangga.”Sekarang sudah banyak berubah. Ada banyak kelas-kelas yang baru dibangun”, ucap Usup pelan seakan ada rasa disayangkan dalam nada bicaranya.
          Pandanganku menembus kaca jendela salah satu ruang kelas. Dari balik kaca jendela itu kulihat berumpun-rumpun pohon bambu yang berdiri melengkung ditengah keheningan. Daun-daun kering yang dijatuhkannya berserakan diatas permukaan tanah. Aura dibalik kaca jendela ini terasa suram dan angker. Otakku mulai memikirkan cerita horor dengan setting di sekolah ini. “Sup, disini suka ada yang kesurupan?”, kataku.
          “Sering. Tapi tak ada yang sampai kesurupan massal”, jawabnya santai.
          Setelah puas meneliti dan melihat-lihat bangunan baru itu, kembali kami turun ke bawah. Lalu duduk dikursi kayu depan lobi sekolah, dinaungi oleh atap kanopi.
          Tak lama kemudian Erwin muncul dengan naik ojeg. Tanpa banyak basa-basi lagi kami segera bergerak. Kami jalan berbaris kearah bukit itu. Memikirkan apa yang ada dibalik bukit itu menggelitik rasa penasaranku. Menurut Usup sebagai orang yang pernah mencapai puncaknya bilang bahwa puncak dari bukit ini berbentuk roti. Sebabnya disebut puncak roti. Dan aku mulai membayangkan bagaimana kami menikmati sebungkus nasi Padang ditengah ketinggian. Pasti asyik dan menyenangkan layaknya seorang petualang yang menemukan jalur baru menuju puncak gunung.
          Baru saja berjalan beberapa langkah kami telah disuguhkan barisan pohon-pohon jati. Pohon-pohon jati itu memiliki ketinggian sedang dan daun-daunnya belum terlalu rimbun meski kerapatan pohon-pohon jati itu cukup menghalagi cahaya matahari menerobos masuk permukaan bumi secara leluasa. Menurut Usup dahulu, saat ia mendaki pertama kalinya, belum ada barisan pohon-pohon jati ini. “Gersang”, ucapnya. “Barangkali ini semacam realisasi pemerintah yang iklannya sering tayang di tv. Program sejuta pohon. Banyak pohon banyak rezeki”.
          Kerimbunan suasana disinipun menyentil minat kami untuk berfoto. Erwin mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan lensa kameranya kearah kami. Tiba-tiba saja Usup bilang, “Sebentar! Ngeri foto disini. Temanku saja foto sendirian disini, tapi digambarnya ada dua orang”.
          “Maksud lo kita foto berdua disini nantinya bakal ada tiga orang?”, kecamku.
          Usup cukup mengangkat bahunya. Entah apa itu artinya. Barangkali ini hanya masalah teknologi saja. Zaman makin modern. Tak hanya manusia yang mesti mengikuti perkembangan zaman, makhluk-makhluk di alam lain juga memang rasanya dituntut untuk beradaptasi demikian. Apabila mereka tak mengikuti perkembangan otak manusia, mustahil para setan itu berhasil menjerumuskan manusia. Jadilah mereka muncul dalam gambar-gambar yang dibuat manusia baik dalam bentuk bayangan putih ataupun bayangan hitam. Mereka harus lebih eksis lagi, karena jangankan mereka, Tuhan saja banyak yang mengingkari keberadaan-Nya.
          Bentangan jalan setapak menuju dua arah. Usup menunjuk ke kanan sambil mengingat jalur yang dulu pernah dilewatinya. Karena merasa tak yakin, setelah berjalah kearah tersebut beberapa langkah, kami memutuskan berjalan kearah kiri. Sambil mengingat kembali akhirnya Usup meyakini bahwa inilah jalur yang tepat.
          Jalan mendaki mulai terjal. Kami cukup mengikuti jalan setapak yang tersedia. Sesekali Erwin, sebagai orang yang berjalan paling depan, juga teliti melihat tanda berupa tali rafia yang dililitkan diatas batang-batang pohon.
          Usup dan Erwin sesekali mengeluh karena mengenakan sepatu yang tak sesuai digunakan untuk berjalan mendaki begini. Sementara aku merasa cepat lelah dengan tanggungan isi tas dibelakang punggungku.
          Kendati begitu, kami terus maju. Batang-batang dan akar-akar pohon kami gunakan sebagai penopang langkah kaki kami. Kami genggam erat-erat dan segera mengangkat berat badan kami. Sekali-dua ada tonjolan-tonjolan batu yang menyembul dari permukaan tanah. Batu-batu itu setidaknya cukup membantu  pijakan kaki kami. Dan tiap kali kami melangkah serpihan tanah dan kerikil tergoyahkan, berhamburan turun kebawah. Melangkah naik begini dengan kemiringan yang cukup terjal membuat kami cepat letih. Dua botol air telah habis kami minum. Sisa tinggal sebotol lagi. Kami harus mengirit-irit air minum. Ternyata membawa tiga botol air, yang rencananya tiap kepala punya jatah sebotol. Tidaklah mencukupi.
          Berikutnya aku berjalan memimpin. Tas yang kugendong dari tadi aku serahkan pada Erwin. Kali ini jalan tak hanya terjal, tapi juga licin karena basah. Semak-semak belukar yang tumbuh disekitarnya juga menutupi jalan setapak, sehingga kami mesti lebih berhati-hati lagi melangkah.
          Entah berapa meter kami kini berada diatas permukaan tanah. Jalanan sudah tak seterjal tadi. Namun pohon-pohon makin merapat, menghalagi cahaya matahari yang masuk kesini. Beberapa kali kami terlilit akar-akar dan liatnya batang-batang tanaman sulur, membuat kami hampir terjerembab dan berguling kebawah. Kami juga banyak menemukan batu-batu gunung yang besar dan keras. Diantaranya ada juga yang kuduga sebagai kuburan manusia purba. Bahkan dibalik jiwa petualanganku aku berharap dapat menemukan semacam artefak kuno seperti arca arcopodo di gunung Semeru. Tapi Usup bilang aku terlalu mengada-ngada.
          Walaupun demikian, tiap kali menemukan jalan yang mengarah pada dua jalur atau jalan yang terkesan keramat, Erwin selalu bergumam, “Punten! Punten!”.
          Kembali kami disuguhkan dua arah jalan setapak. Aku tak tahu demikian, padahal jalur-jalur yang kami lewati adalah jalur-jalur semestinya yang sudah ditandai oleh pendaki sebelumnya. Kali ini tak kami temukan tanda itu lagi. Sambil memanjangkan lehernya, mata Erwin menerobos ke balik-balik semak dan pohon didepannya. Lilitan tali rafia yang semula menjadi penunjuk arah kami tetap tak ditemukan.
         “Gimana nih kita lanjut atau turun saja?”, desah Erwin sambil mengelap keringat yang mengalir diwajahnya.
          “Wah, kalau turun tanggung amat”, tukas Uus. Sebenarnya ia sendiri tampak sedikit ragu untuk melanjutkan petualangan ini. “Bentar lagi juga nyampe puncak”.
          “Jam berapa sih sekarang?”, kata Erwin lagi. Ia masih belum mampu menguasai nafasnya kembali yang naik turun.
          Aku keluarkan hp-ku dari saku celana. Hampir jam empat sore. Kami saling berpandangan dan kami tahu apa yang dikatakan oleh hati kami masing-masing. Hari sudah mulai sore. Kami takut kemalaman diatas bukit ini. Kami semua menengok ke bawah. Tanpa banyak debat lagi, kami cepat-cepat turun ke bawah dengan langkah terseok-seok.