“Spririt!
Spirit!”, itulah yang selalu didengung-dengungkan dalam batin kami diantara
desahan nafas kami yang melemah karena lelah. Tapi, puncak Roti yang selalu
disebut-sebutkan Usup tak kunjung nampak apalagi tertaklukkan. Barangkali
inilah yang dirasakan para pendaki gunung, dan yang paling didamba-damba adalah
puncak. Tapi karena matahari makin condong ke barat, kami memutuskan turun
sebelum berhasil mencapai puncak.
Awalnya tak ada rencana
sama sekali mendaki bukit yang namanya sama dengan kawasan perkebunan teh di
Puncak, Gunung Mas. Usup mengajak kami mengunjungi stand baru food court-nya
BTM, Richesse Factory. Katanya makanan disana enak. Cita rasanya adalah rasa
pedas yang sampai tingkatan tertingginya di level lima. “Tapi belum ada yang
nyoba sampai level lima. Level dua saja pedasnya ekstrem banget. Paling
banter cuma level empat saja. Itupun
jarang-jarang”, tandas Usup menggebu-gebu merekomendasikan.
Aku menolak kesana, karena tiap kali
ada kesempatan tujuanku melulu ke BTM. Apalagi menu pedas yang dimaksud Usup
itu hanya berupa ayam. Lidahku rasanya sudah kelu mencicipi menu berbahan ayam.
Baik di rumah maupun di tempat kerja melulu menunya ayam.
“Kita ke Takol--Taman Koleksi—aja,
yuk!”, ajak Usup lagi. “Sekali-kali lah kita jalan layaknya kaum metropolis”.
Sepertinya Usup sangat terobsesi
dengan gaya konsumtif kaum metropolitan. Selalu yang harus dikunjungi itu mal
dan mal. Setidaknya di tempat-tempat yang dikunjunginya tersebut ada banyak
penjual makanannya. Kali ini justru Erwin yang menolaknya.
“Gimana kita ke bukit Gunung Mas
saja?”, kembali Usup kasih usul. Sepertinya ia selalu punya jalan alternatif
mengajak teman-temannya main, tak mau membuang waktu luang bersama dan
berkumpul begini setelah beberapa bulan tak jumpa. Karena hari juga baru masuk
adzan zhuhur, aku mengangguk setuju. Erwin sedikit terlihat ragu. Tapi karena
tak ada pilihan lain, mau tak mau Erwin ikut juga.
Sebelum melakukan perjalanan kesana,
kami singgah dulu di masjid Al-Huriyyah yang berada dalam kawasan kampus IPB
Darmaga. Shalat zhuhur disana. Lalu dengan sepeda motor yang dikendarai Erwin,
kami menuju destinasi yang telah disepakati.
“Kita beli bekal dulu buat persediaan
mendaki keatas” kataku saat motor hendak memasuki jalan kecil menuju bukit
Gunung Mas itu.
Motor berhenti tepat didepan jalan
itu. Aku dan Usup menyeberang jalan, masuk kedalam toko berlogo mart. Kami membeli tiga botol air
mineral ukuran sedang, roti tawar rasa pandan, coklat meses, dan makaroni. Kami
memilih barang-barang yang harganya paling murah diantara merek-merek lainnya
demi menghemat pengeluaran.
Keluar toko kami merasa belanjaan
kami belum cukup. Melihat rumah makan nasi Padang tak jauh dari toko mart tersebut, akhirnya kami putuskan
kesana. Kami tawari Erwin yang berdiri diseberang jalan menunggui motornya. Ia
menggeleng. Jadilah kami beli cuma dua bungkus saja. Menuku adalah ayam sayur (
ayam lagi? ). Sementara Usup memilih rendang.
“Makanan Padang itu rendang”, ucap
Usup melirik kearahku. Tapi aku selalu tak pernah puas apabila harus melahap
rendang yang hanya sebesar kartu domino itu. Ayam, sesering dan sebosan apapun
aku melahapnya, setidaknya ukurannya lebih besar.
Sekembalinya kami dari rumah makan
Padang, kami bertiga langsung berangkat. Tas gendongku yang semula hanya berisi
sebuah buku dan berkas-berkas kertas yang sudah lusuh kini terasa lebih berat
dipunggungku. Padahal belanjaku tadi hanya sedikit, tapi beban dipunggung seperti
bertambah berkilo-kilo.
Tepat didepan gerbang SMA 1 Ciampea
yang merupakan tempat sekolah Usup dulu kami berhenti. Hari libur begini
sekolah tampak sepi. Tak ada seorangpun yang menjaga sekolah ini. Pintu
gerbangnya sendiri tak terkunci. Kami tengok kanan-kiri, depan-belakang. Karena
tak menemukan seorangpun yang mengaku sebagai penjaga sekolah disini, takut
kemungkinan motor Erwin bakal ada yang curi, akhirnya motor itu dititipkan ke
salah seorang teman Erwin bernama Iki.
Selama menunggu Erwin kembali dari
rumah temannya, aku dan Usup keliling-keliling mengitari tiap sudut gedung
sekolah ini bagai mengenang kembali masa putih abu-abu silam. Terutama bagi
Usup, sang alumni dari sekolah ini.
Arsitektur gedung sekolah ini seperti
sekolah-sekolah lain pada umumnya. Pintu-pintu ruang kelas mengelilingi sebuah
lapangan basket didalamnya. Dibagian paling depan sekolah, berhadapan langsung
dengan pintu gerbang, adalah ruang guru atau ruang BP. Istimewanya, tepat
dibelakang sekolah itu menjulang tinggi sebuah bukit yang sebentar lagi bakal
kami daki. Bukit Gunung Mas bagai memagari bagian belakang gedung sekolah ini.
Rimbunnya pepohonan diatas sana menambah daya tarik yang memusatkan pada rasa
penasaran. Begitu megah dan penuh rahasia. Terutama di hari libur begini,
banyak monyet-monyet liar yang turun ke bawah bukit mencari makanan.
Usup berlari-lari mengusir
monyet-monyet yang bergelantungan diatas pohon. Monyet-monyet itu
melompat-lompat ketakutan ke balik genteng. Tapi saat mengusir salah satu dari
monyet tersebut, justru kamilah yang berlari ketakutan. Monyet itu menggeram
menuduhkan barisan giginya yang kuning. Monyet yang satu itu ternyata cukup
nyali untuk melawan kami. Dicarilah sepotong ranting sebagai senjata. Usup
mengacung-acungkan ranting itu hingga monyet itu menghilang ke balik genteng.
Kami terus menelusuri sepanjang
koridor sekolah. Tong-tong sampah dalam posisi terbalik dan isinya berserakan
disepanjang koridor. Pasti monyet-monyet itu yang mengobrak-abrik seisi tong
sampah itu, berharap didalamnya ditemukan makanan.
“Sup, proses belajar mengajar disini
bagaimana? Memangnya gak ke ganggu banyak monyet begini?”, selorohku diantara
hentakan suara langkah kaki kami.
“Kalau pas hari biasa tidak ada
monyet yang berani turun kesini”, tandas Usup. “ Mereka juga takut kalau ada
banyak manusia”.
Usup juga menuduhkan ruang-ruang
kelas tempat ia duduk selama tiga tahun di sekolah ini. Tepat dibagian paling
belakang terdapat tiga kelas baru yang belum sepenuhnya rampung. Ruang-ruang
kelas tersebut berada pada posisi bagian paling tinggi daripada kelas-kelas
lainnya, sehingga kami harus menanjak naik, melangkahi satu per satu anak
tangga.”Sekarang sudah banyak berubah. Ada banyak kelas-kelas yang baru
dibangun”, ucap Usup pelan seakan ada rasa disayangkan dalam nada bicaranya.
Pandanganku menembus kaca jendela
salah satu ruang kelas. Dari balik kaca jendela itu kulihat berumpun-rumpun
pohon bambu yang berdiri melengkung ditengah keheningan. Daun-daun kering yang
dijatuhkannya berserakan diatas permukaan tanah. Aura dibalik kaca jendela ini
terasa suram dan angker. Otakku mulai memikirkan cerita horor dengan setting di
sekolah ini. “Sup, disini suka ada yang kesurupan?”, kataku.
“Sering. Tapi tak ada yang sampai
kesurupan massal”, jawabnya santai.
Setelah puas meneliti dan
melihat-lihat bangunan baru itu, kembali kami turun ke bawah. Lalu duduk
dikursi kayu depan lobi sekolah, dinaungi oleh atap kanopi.
Tak lama kemudian Erwin muncul dengan
naik ojeg. Tanpa banyak basa-basi lagi kami segera bergerak. Kami jalan
berbaris kearah bukit itu. Memikirkan apa yang ada dibalik bukit itu
menggelitik rasa penasaranku. Menurut Usup sebagai orang yang pernah mencapai
puncaknya bilang bahwa puncak dari bukit ini berbentuk roti. Sebabnya disebut
puncak roti. Dan aku mulai membayangkan bagaimana kami menikmati sebungkus nasi
Padang ditengah ketinggian. Pasti asyik dan menyenangkan layaknya seorang
petualang yang menemukan jalur baru menuju puncak gunung.
Baru saja berjalan beberapa langkah
kami telah disuguhkan barisan pohon-pohon jati. Pohon-pohon jati itu memiliki
ketinggian sedang dan daun-daunnya belum terlalu rimbun meski kerapatan
pohon-pohon jati itu cukup menghalagi cahaya matahari menerobos masuk permukaan
bumi secara leluasa. Menurut Usup dahulu, saat ia mendaki pertama kalinya,
belum ada barisan pohon-pohon jati ini. “Gersang”, ucapnya. “Barangkali ini
semacam realisasi pemerintah yang iklannya sering tayang di tv. Program sejuta
pohon. Banyak pohon banyak rezeki”.
Kerimbunan suasana disinipun
menyentil minat kami untuk berfoto. Erwin mengeluarkan ponselnya dan
mengarahkan lensa kameranya kearah kami. Tiba-tiba saja Usup bilang, “Sebentar!
Ngeri foto disini. Temanku saja foto sendirian disini, tapi digambarnya ada dua
orang”.
“Maksud lo kita foto berdua disini
nantinya bakal ada tiga orang?”, kecamku.
Usup cukup mengangkat bahunya. Entah
apa itu artinya. Barangkali ini hanya masalah teknologi saja. Zaman makin
modern. Tak hanya manusia yang mesti mengikuti perkembangan zaman,
makhluk-makhluk di alam lain juga memang rasanya dituntut untuk beradaptasi
demikian. Apabila mereka tak mengikuti perkembangan otak manusia, mustahil para
setan itu berhasil menjerumuskan manusia. Jadilah mereka muncul dalam
gambar-gambar yang dibuat manusia baik dalam bentuk bayangan putih ataupun
bayangan hitam. Mereka harus lebih eksis lagi, karena jangankan mereka, Tuhan
saja banyak yang mengingkari keberadaan-Nya.
Bentangan jalan setapak menuju dua
arah. Usup menunjuk ke kanan sambil mengingat jalur yang dulu pernah
dilewatinya. Karena merasa tak yakin, setelah berjalah kearah tersebut beberapa
langkah, kami memutuskan berjalan kearah kiri. Sambil mengingat kembali
akhirnya Usup meyakini bahwa inilah jalur yang tepat.
Jalan mendaki mulai terjal. Kami
cukup mengikuti jalan setapak yang tersedia. Sesekali Erwin, sebagai orang yang
berjalan paling depan, juga teliti melihat tanda berupa tali rafia yang
dililitkan diatas batang-batang pohon.
Usup dan Erwin sesekali mengeluh
karena mengenakan sepatu yang tak sesuai digunakan untuk berjalan mendaki
begini. Sementara aku merasa cepat lelah dengan tanggungan isi tas dibelakang
punggungku.
Kendati begitu, kami terus maju.
Batang-batang dan akar-akar pohon kami gunakan sebagai penopang langkah kaki
kami. Kami genggam erat-erat dan segera mengangkat berat badan kami. Sekali-dua
ada tonjolan-tonjolan batu yang menyembul dari permukaan tanah. Batu-batu itu
setidaknya cukup membantu pijakan kaki
kami. Dan tiap kali kami melangkah serpihan tanah dan kerikil tergoyahkan,
berhamburan turun kebawah. Melangkah naik begini dengan kemiringan yang cukup
terjal membuat kami cepat letih. Dua botol air telah habis kami minum. Sisa
tinggal sebotol lagi. Kami harus mengirit-irit air minum. Ternyata membawa tiga
botol air, yang rencananya tiap kepala punya jatah sebotol. Tidaklah mencukupi.
Berikutnya aku berjalan memimpin. Tas
yang kugendong dari tadi aku serahkan pada Erwin. Kali ini jalan tak hanya
terjal, tapi juga licin karena basah. Semak-semak belukar yang tumbuh
disekitarnya juga menutupi jalan setapak, sehingga kami mesti lebih
berhati-hati lagi melangkah.
Entah berapa meter kami kini berada
diatas permukaan tanah. Jalanan sudah tak seterjal tadi. Namun pohon-pohon
makin merapat, menghalagi cahaya matahari yang masuk kesini. Beberapa kali kami
terlilit akar-akar dan liatnya batang-batang tanaman sulur, membuat kami hampir
terjerembab dan berguling kebawah. Kami juga banyak menemukan batu-batu gunung
yang besar dan keras. Diantaranya ada juga yang kuduga sebagai kuburan manusia
purba. Bahkan dibalik jiwa petualanganku aku berharap dapat menemukan semacam
artefak kuno seperti arca arcopodo di gunung Semeru. Tapi Usup bilang aku
terlalu mengada-ngada.
Walaupun demikian, tiap kali
menemukan jalan yang mengarah pada dua jalur atau jalan yang terkesan keramat,
Erwin selalu bergumam, “Punten! Punten!”.
Kembali kami disuguhkan dua arah
jalan setapak. Aku tak tahu demikian, padahal jalur-jalur yang kami lewati
adalah jalur-jalur semestinya yang sudah ditandai oleh pendaki sebelumnya. Kali
ini tak kami temukan tanda itu lagi. Sambil memanjangkan lehernya, mata Erwin
menerobos ke balik-balik semak dan pohon didepannya. Lilitan tali rafia yang
semula menjadi penunjuk arah kami tetap tak ditemukan.
“Gimana nih kita lanjut atau turun
saja?”, desah Erwin sambil mengelap keringat yang mengalir diwajahnya.
“Wah, kalau turun tanggung amat”,
tukas Uus. Sebenarnya ia sendiri tampak sedikit ragu untuk melanjutkan
petualangan ini. “Bentar lagi juga nyampe puncak”.
“Jam berapa sih sekarang?”, kata
Erwin lagi. Ia masih belum mampu menguasai nafasnya kembali yang naik turun.
Aku keluarkan hp-ku dari saku celana.
Hampir jam empat sore. Kami saling berpandangan dan kami tahu apa yang
dikatakan oleh hati kami masing-masing. Hari sudah mulai sore. Kami takut
kemalaman diatas bukit ini. Kami semua menengok ke bawah. Tanpa banyak debat
lagi, kami cepat-cepat turun ke bawah dengan langkah terseok-seok.