Halaman

Senin, 08 Oktober 2012

URANG SUNDA FOR PRESIDENT

          Bapak asli Sunda. Ibu pula demikian, tulen. Praktislah aku selaku anaknya ketularan darah meraka, Sunda, tanpa campuran limbah atau polusi segumpal darahpun dari etnis lain.
          Satu cita-cita terbesarku; pemimpin tertinggi di negeri ini, presiden.
          Tak ayal, kedua orangtuaku tertawa geli mendengar keinginanku itu. Tak hanya mereka, tapi juga semua orang disekelilingku menganggap itu mustahil. Bagiku sendiri, alasan mereka menganggap ini aneh adalah sebentuk keanehan juga. Masalahnya bukan aku terlalu tinggi menggantungkan cita-cita, tapi cenderung pada perihal kesukuan.
          “Kita itu orang Sunda, orang yang suka bercanda, orang yang membawa kehidupannya dengan ringan-ringan saja. Bukan orang Jawa yang selalu serius. Dan tentu saja menjadi presiden itu berarti menjadi orang serius. Akan lebih cocok apabila orang Sunda itu menjadi orang panggung; seniman, artis, bahkan pelawak. Diluar dari dunia seni, jadilah orang yang ahli dibidang teknologi”. Begitulah kata orang-orang termasuk pula kedua orangtuaku.
          Niatku tetap tak terpengaruh omongan mereka. Sedari awal menjadi presiden adalah impianku sampai mati. Sekali-kali wajib orang Sunda berperan sebagai pemimpin di negeri ini, karena apabila tak demikian sejarah akan selalu mencatat suku Sunda akan selalu dibawah Jawa.
          Pernah suatu kali salah seorang guruku menyebutkan begini---meskipun dengan nada kelakar; “Kita itu harus hati-hati sama orang Jawa. Jangan macam-macam sama mereka, karena apabila orang Sunda diusir dari Pulau ini kemana pula kita harus lari. Orang Sunda tak punya pulau selain selat. Mau kalian selama hidup berenang di selat sambil menunggu Krakatau kembali meletus sedahsyat mungkin agar laharnya membentuk pulau baru dan dapat kita tempati”.
          Tentu saja karena itu dibawa dengan ringan sama sekali tak membuat para murid berpikir dan mempertanyakannya lebih jauh. Malah kita, para murid, justru tertawa-tawa dengan pandangan guruku itu.
          Tapi ketika aku tumbuh dewasa aku mulai memikirkannya kembali; meskipun kita, Sunda dan Jawa, berada dalam satu kesatuan sebuah negara, apa salahnya juga melawan demi harga diri kesukuan kita? Apakah kita belum puas dengan sejarah kita yang selalu mengalah, bahkan melepaskan atribut kehormatan kita ketika para pemuda kita semasa Mataram berdiri, disandera disana dan di-jawa-kan? Sementara raja-raja kita, setiap tahunnya harus mau bersikap layaknya seorang sudra dengan melakukan pekerjaan tukang kebun di Mataram sana? Apakah ini imbas dari watak kita yang tak menyukai kekerasan, pertumpahan darah? Memikirkan semua itu memang tak layak di tanah yang disebut parahyangan----yang berarti tempat para dewa bersemayam--- terjadi banyak peperangan. Dan memang apa guna pula kekuasaan manusia dibandingkan dengan kekuasaan sang hyang, Tuhan semesta alam. Namun tentu saja kita juga tak boleh memperbudak diri kita kepada manusia seperti halnya kita memperbudak diri terhadap Tuhan.
          Meski suku Sunda terusir dari pulau Jawa, bukankah kawasannya justru Sunda punya; kepulauan Sunda Besar ( Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulewasi ) dan kepulauan Sunda Kecil ( Bali, Nusa Tenggara ), dan entah Sunda macam apapula Maluku dan Papua? Barangkali kelak ketika aku sudah menjabat presiden nanti aku akan menyebut pulau-pulau paling timur itu dengan kepulauan Sunda Sedang-Sedang saja.
           Dari zaman purba hingga era modern ini sejarah Jawa selalu diwarnai dengan perebutan kekuasaan. Ada orang yang berhasil mengambil alih kekuasaan, berarti ada juga orang yang harus bersedia menjadi budaknya. Tak heranlah banyak orang Jawa bersedia membungkuk, menunduk, bahkan mengesot dihadapan para penguasanya. Melihat kenyataan ini aku tahu, sebenarnya masyarakat Jawa  sendiri memiliki perasaan nasib yang sama dengan orang Sunda. Dan, aku tak bisa membiarkan semua ini terus berlanjut hingga anak-cucu kita. Kuncinya, aku tak boleh menyerah meraih cita-citaku ini. Aku takkan membiarkan negeri ini sebagai negeri para budak.
          Selepas SMA aku masuk fakultas politik, melanggar tuntutan orangtua yang menyuruhku masuk fakultas seni atau mendaftar ke ITB. Orangtuaku marah namun akhirnya pasrah. Selain kuliah, aku juga bekerja. Barangkali inilah yang paling disukai oleh kedua orangtuaku; aku mengisi sebuah acara di stasiun tv sebagai pelawak. Kata mereka aku benar-benar seperti orang Sunda murni.
          Pertama kali menginjakkan kiprahku di dunia perlawakan, aku selalu menjadi bulan-bulanan para senior. Namun semakin lama aku berkecimpung di dunia hiburan, sebaliknya justru akulah yang membulan-bulani para juniorku. Dalam lawakanku, agar orang-orang mau tertawa, aku tak segan-segan menjelek-jelekkan bentuk fisik mereka bahkan privasi rekanku sendiri.
          Namun tatkala memasuki dunia kampus kembali aku berpikir apakah benar yang kulakukan dalam lawakanku itu? Ketika aku mulai membuka-buka buku politikku, rasa-rasanya aku tak beradab sekali telah melakukan lawak semacam itu. Apakah dalam tradisi guyon Sunda pun ada lawakan semacam itu?
          Aku sendiri pernah menjadi junior. Aku tahu sekali dua kali, orang-orang yang merendahkan fisikku dalam lawakan sama sekali tak berpengaruh. Namun ketika itu dilakukan berkali-kali, aku selalu bercermin mengapa orang begitu mudahnya menjelek-jelekkan aku. Tapi aku juga tahu itu hanya bercanda, tidak serius. Tapi bagaimanapun juga, sekalipun bentuknya bercanda ternyata itu mampu merasuki perasaanku. Barangkali begitu, dalamnya lautan dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu. Bodohnya, aku telah meniru kelakuan seniorku kepada junior-juniorku.
           Disini aku mulai simpulkan tak ada beda gossip dengan lawakan semacam itu; sama-sama dapat menjadi ghibah. Terkecuali keadaannya; gossip dilakukan dibelakang orangnya, sementara lawakan dilakukan terang-terangan didepan orangnya. Maka aku mulai berpikir, seharusnya sebagai anak kuliahan aku harus bercanda dengan cara yang intelek bukan dengan mengangkat kejelekan orang, karena bercanda itu bukan hanya sekedar tawa dengan cara merendahkan tapi juga dapat membuat orang-orang berpikir kritis dengan cara yang ringan.
          Selepas kuliah, aku tinggalkan dunia lawakan yang telah membesarkan namaku dari anak kampung menjadi manusia metropolis. Sekali lagi aku kembali mengecewakan kedua orangtuaku; aku menikahi seorang gadis Jawa.
            “Apakah kamu sudah seperti orang-orang diluar sana yang menganggap gadis-gadis  kita sebagai perempuan matere?”, begitu omel orangtuaku. “Bahkan sampai menganggap lebih cocok dijadikan permainan---pelacur---ketimbang jadi istri?”
          Ketika itupula keluar dari mulut mereka berbagai mitos lelaki Sunda mengawini perempuan Jawa; pernikahannya akan awet rajet, meski terlihat rukun sebenarnya rumah tangganya dingin, selalu diselingi dengan pertengkaran. Bahkan banyak mitos lain yang tak mampu aku sebutkan disini.
          Bahkan keluarga dari istriku sama tak setujunya dengan hubungan kami. Mereka begitu detail melihat calon suami anaknya ini. Mereka bilang lelaki Sunda itu doyan daun muda alias poligami.
          Walaupun demikian, akhirnya mereka pasrah juga sambil mendoakan yang terbaik untuk kami.
          Keluar dari dunia kampus dan lawak, tentu saja aku meniti karir sesuai dengan pendidikan dan cita-citaku. Aku menjadi seorang kader partai politik. Atas dukungan istriku karirku cepat melesat. Barangkali karena ia seorang Jawa, tahu obsesiku meraih kekuasaan ia terlihat begitu bangga. Meski dari luar orang-orang menganggapnya sebagai perempuan lugu nan kalem.
          Takdir akhirnya memberikanku kesempatan sebagai salah satu kandidat presiden. Tak aneh, para rivalku kebanyakan dari suku Jawa. Seperti sebelum-sebelumnya, boleh dibilang mereka adalah calon presiden S yang akan melanjutkan dinasti presiden S sebelumnya. Dan hanya ada seorang saja, calon presiden yang dari luar pulau Jawa.
          Disaat pencalonan ini, tibalah aku mesti naik panggung, berkampanye mempromosikan diri habis-habisan. Pidatonya sederhana; bermunafik-munafik ria saja. Semuanya serba digratiskan apabila aku terpilih. Namun tak ada orang yang menganggap omonganku itu serius. Sepertinya bukan karena meraka tahu janji-janjiku hanya bualan saja, tapi mereka benar-benar tertawa melihatku.
          Benarkah kata orangtuaku bahwa orang Sunda itu tak pantas menjadi orang yang serius? Bahkan terlihat seriuspun menjadi bahan tertawaan. Kendati begitu, sebisa mungkin aku menyelesaikan pidatoku. Aku turun dari panggung dengan rasa malu yang amat sangat. Ketika itu istriku juga terlihat senyum-senyum, menertawaiku. Ia menunjuk kebawah, memberitahuku dengan berbisik; resleting celanaku belum dikancingi.