Sesekali cobalah arahkan pandanganmu
kearah sebuah gubuk reyot ditengah ladang kering itu. Sepanjang waktu mata kita
sudah terlalu sering disuguhi pemandangan kemewahan yang membuat hati iri.
Indera yang kita gunakan untuk melihat dunia kerapkali ditembusi debu-debu yang
membuat perih, hingga mata kita terus terpejam sebelum segala keinginan kita
terkabulkan. Kita selalu merasa takut melihat keadaan orang lain berada lebih
tinggi posisinya dari kita. Kita takut tersaingi dan kita takkan pernah rela
terkalahkan. Apalagi oleh orang-orang yang kita anggap tak ada apa-apanya.
Namun gubuk reyot itu seakan
memberikan tawaran lain pada pandangan kita. Sungguh, kita sudah sudah sering
melihat pemandangan semacam ini di kota. Kita melihat rumah-rumah kardus
dibangun dilahan-lahan kosong yang entah siapa pemiliknya. Kita sering melihat
orang-orang menggelar tikar dan nonton tv dibawah jembatan saat melintas diatas
jalan layang. Ketika terjebak kemacetan, kita seringpula melihat
orang-orang---tua, muda, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan
perempuan----berlari-lari dijalanan sambil mengulurkan tangan. Kita hanya
melihat mereka, namun tak pernah memperhatikan mereka barang sekedipan matapun.
Pemandangan semacam itu memang tak
enak ditatap mata kita yang terawat ini. Bahkan mungkin tak layak mata kita
mengabadikannya dalam lensanya yang tipis. Mereka telah mengotori lingkungan
sekitar kita, membuatnya kumuh dan semrawut tak beraturan. Namun kita
seringkali bertukar cerita dan perasaan bahwa kita bosan pada orang-orang yang
memperlihatkan kekayaannya, kebanggaannya pada kita. Sementara kita mulai putus
asa untuk menandinginya.
Karena bangkrut dan tak kuat dengan
cibiran orang-orang, kita pun pindah ke sebuah perkampungan terpencil yang jauh
dari hingar bingar metropolitan. Kita yakin tinggal disini barangkali lebih
bisa menenteramkan jiwa dan menjernihkan pikiran, namun aku dan kau sama-sama
tahu kita masih menyimpan dendam pada orang-orang itu.
Untuk mengenal seluk beluk
perkampungan ini, kita berjalan-jalan keliling. Kita mencoba beramah tamah
dengan masyarakat sekitar dengan tersenyum , menyapa, dan melambaikan tangan.
Kita mencoba mempublikasikan wajah metropolitan kita pada orang-orang yang tak
mengerti berdandan. Tiba-tiba langkah kita kehilangan arah pulang. Kita
tersesat. Terpaksa, mata kita yang selama ini terpelihara dari hal-hal kumuh,
kini malah harus bersinggungan dengan apa yang kita benci itu.
Kita dekati gubuk reyot itu, namun
kau begitu enggan. Aku tahu kau jijik, namun aku memberitahu kau harus
terbiasa. Kau tetap tak mau. Tapi akupun tak mau menghadapinya sendirian. Maka
kutarik saja lenganmu sampai langkah kakimu terseret-seret.
Gubuk itu seperti terasing dari perkampungan
penduduk yang kita lewati tadi. Dinding-dinding luar gubuk tersebut terbuat
dari kayu-kayu lapuk yang disusun sedemikian rupa, sebagai pembatas dari alam luar, penghalau
dari hembusan angin atau ancaman hewan liar. Atapnya yang terbuat dari jerami
takkan sanggup menahan kebocoran saat hujan turun. Disekelilingnya berupa lahan
kering yang ditanami pohon singkong. Tak ada tetangga disekitarnya. Orang-orang
seakan sengaja menjauhi bangunan paling rapuh tersebut. Terkecuali, sinar
matahari musim kemarau yang serasa hidup diatas sana, menjadi bola mata yang
paling menyorot menatap gubuk itu seakan pelan-pelan berusaha menghancurkan
gubuk itu dengan gelombang panasnya. Namun, kelihatannya angin saja yang seringkali
bertiup kearah gubuk itu sama sekali tak mampu memporak porandakannya.
Aku tak tahu. Barangkali pernah satu
dua kali hembusan angin yang cukup kencang merubuhkan bangunan rapuh tersebut.
Namun setiap kali runtuh setiap kali itu pula segera diperbaiki seperti
rumah-rumah kardus dan lapak-lapak liar yang kerap kena gusur aparat.
Dari letaknya yang jauh dari kehidupan
sosial dan kondisi bangunannya yang memprihatinkan, gubuk ini sungguh tak layak
dijadikan tempat tinggal. Tak pantas pula aku mengatakan gubuk ini adalah
kandang hewan. Barangkali gubuk ini dibangun oleh petani setempat sebagai
tempat istirahat setelah lelah mencangkul tanah. Tapi sejauh kita melemparkan
pandangan tak ada tanda-tanda petani tengah sibuk mengolah tanah kering disini.
Aku jadi khawatir. Lebih-lebih dirimu yang terlihat ketakutan, merasa kita akan
mengalami hal paling mengerikan disepanjang hidup kita.
Sekalipun ada penghuninya, kira-kira
orang semacam apa yang bersedia tinggal ditempat yang memprihatihkan begini.
Keajaiban apabila gubuk reyot ini ada yang meninggalinya. Bangunan ini begitu
sederhana, bahkan jauh dibawah sederhana. Takkan sanggup ia melindungi
penghuninya dengan memadai dari segala ancaman disegala waktu dan disegala
kondisi. Apalagi di tempat seterpencil ini, sewaktu-waktu bahaya kerap datang
tak terduga menyelinap masuk dan tak ada orang yang mendengar segala jerit
pertolongan. Terpujilah manusia---apapun jenisnya----yang bertahan ditempat ini.
Tak perlulah dibandingkan dengan warga
kota yang tercecer dipinggiran jalan dan berteduh dibawah jembatan, mereka adalah
korban kehidupan. Barangkali sudah nasib mereka menyandarkan hidup berdasarkan
belas kasihan orang. Dan itu bukanlah keajaiban yang memiliki nilai mukzizat.
Sementara gubuk ini, seburuk-buruknya bentuk dan keadaan, aku merasa, tetaplah
menyimpan kebesaran.
Sebelum-sebelumnya, adalah
kemustahilan aku mau mengetuk pintu tempat tinggal manusia yang jauh dari kesan
mewah. Tapi kini aku harus memaksa diri mengangkat tangan dan mengetuk pintu
yang mungkin saja dengan sekali ketuk pintu itu akan langsung terlepas dari
engselnya. Percayalah, yang aku lakukan ini bukan karena kita butuh
pertolongan. Sudah aku bilang aku merasa gubuk ini menyimpan sebuah kebesaran.
Apabila aku sampai terpaksa mengetuk pintu ini-----kuharap kalian dapat
maklum----itu aku pikir hanyalah sedikit sisa dari kesombongan kami.
Namun ketika aku hendak mengetuk, kau
segera menepisnya. Aku tak tahu harus bagaimana bersikap; apakah harus lega dan
mempersembahkan sujud syukur karena tangan yang terpelihara ini terhindar dari
segala bakteri dan virus yang berkembang biak dimuka pintu? Yang pasti kau
mengeluakan suara desisan dari mulutmu yang mungil. Telingaku pun ikut
bergetar, mendengar suara seorang lelaki dengan nada tinggi dan suara isakan
lemah seorang wanita bersama anak-anaknya. Kentara sekali mereka tengah
bertengkar. Dalam situasi seperti ini
tak selayaknya kita datang bertamu. Kehadiran kita dapat mengganggu
mereka, dan mereka terpaksa harus memendam amarah. Tak baik kiranya amarah
dipendam. Karena seperti kita, banyak-banyak memendam amarah justru menabung
dengki dijiwa. Kecuali maksud kedatangan kita untuk melerai.
Kau menyeretku ke samping gubuk. Aku dapat
mendengar detakan jantung yang menghantam rongga dadamu. Aku tahu pasti raut
mukamu saat ketakutan. Dan pancaran itu semakin akrab pada pandanganku. Kita
yang selalu bermuka angkuh harus merendahkan diri karena nasib hidup, menuruti
perputaran roda takdir yang tak pernah kehabisan pelumas. Kau selalu terlihat
trauma saat melihat orang-orang berani memamerkan taring dan kukunya pada kita,
bahkan sekalipun itu tidak ditujukan sama sekali pada kita. Barangkali mulai
pada saat itulah segala indera yang terpasang dalam ragawi kita mulai tercemar
limbah kemiskinan.
Kini, aku mulai menyesali posisiku
sebagai kekasihmu. Aku sudah tak sanggup lagi memberikanmu segala keindahan dan
kepentingan duniawi. Telapak tangan ini sudah terlihat suram untuk dibaca. Tapi
akupun tak mau bilang cepat-cepat akhirat adalah harapan kita satu-satunya yang
paling mungkin. Kita tahu, kau dan aku harus sama-sama keras melawannya.
Sekeras-kerasnya kita bersusah payah,
tinggallah mata kita yang dapat dipergunakan untuk menelisik ada apa didalam
gubuk. Aku mulai bertindak. Kau masih ketakutan. Terpaksa, mataku yang
seringkali terbuka lebar saat menatap kali ini harus memicingkannya,
menyesuaikannya dengan celah-celah sempit dinding kayu gubuk ini. Aku
melihatnya, diantara keremangan cahaya didalam gubuk, seorang wanita berwajah
kusam sambil memeluk keempat anaknya. Usia wanita itu dapat diperkirakan
seumuran denganmu. Bedanya, kau tampak terawat. Sementara wanita itu terlihat
keriput sebelum waktunya. Barangkali tak punya waktu barang sedetikpun untuk
mematut dan memikirkan diri. Ketika seorang wanita mulai beranak pinak, maka
yang selalu didahulukan adalah kepentingan anak-anaknya. Dan, kita telah
bertahun-tahun menantikan anugerah Tuhan tersebut, berusaha susah payah dan
mengikuti segala anjuran para ahli, namun tangisan seorang bayi tak pernah
mengusik bising telinga kita.
Keempat anak itu masih kecil, bahkan
terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan dengan dunia imajinasi mereka. Aku
pikir wanita berwajah kusam itu melahirkan seorang bayi setahun sekali. Tubuh
mereka yang rapuh nan kurus sungguh membutuhkan perlindungan yang mendalam. Mereka
menangis dan tersedu sedan bersama-sama. Namun, wanita berwajah kusam itu
berusaha menenangkan anak-anaknya itu. Pemandangan yang begitu nelangsa dan
butuh perhatian lebih dari sang penguasa.
Melalui tontonanku dibalik celah
dinding gubuk reyot ini aku bertanya, mengapa ditempat yang jauh dari
kehangatan dan kesejahteraan seseorang dapat mudah menghasilkan anak dari dalam
tubuhnya sendiri? Sementara aku yang sering direpotkan dengan segala
obat-obatan dan terapi kesuburan masih saja kewalahan.
Keherananku semakin bertambah-tambah.
Tak kulihat raut wajah seorang lelaki yang telah mengeluarkan suara dengan nada
tinggi yang membuatmu tiba-tiba berdesis ketakutan. Pada saat aku mencari-cari
sosok itu tiba-tiba suara yang terdengar serupa menjelma dibelakang punggungku,
menggebrak ketenangan dadaku. Wajahmu sendiri terlihat seperti orang tercekik
melihat sosok itu. Lelaki itu, memiliki kulit yang alot dan keras. Sepasang
matanya hendak keluar memelototi kami.
“Sedang apa kalian disini!”, bentaknya
pada kami bukan dengan tanya.
Selanjutnya,
kami digiringnya masuk kedalam gubuk reyot itu, dijadikan sandera.
Didetik-detik berikutnya kami hanya tahu bahwa kami tengah bernafas dalam
ancaman.
***&&***
Gubuk ini telah dibangun
bertahun-tahun lalu. Beberapa kali dipugar seperlunya. Inilah naungan kami
satu-satunya, harta warisan leluhur yang dengan setia meneduhi keluargaku dari
hujan dan terik panas diatas sana. Entah sudah berapa lama kami tinggal didalam
gubuk reyot ini. Disetiap detiknya selalu dipenuhi kepengapan hidup. Tak ada
hal lain apapun yang dapat kami tuju selain mencari makan. Sesekali, dalam
kesenggangan waktu, kulepaskan bebanku dengan melayangkan diri dalam lamunan.
Saat itupula aku seperti lupa memiliki tanggungan. Namun tak lama kemudian,
suara-suara berisik mengingatkanku kembali pada kenyataan; semua anak dan
istriku bertahan hidup dengan perut keroncongan.
Aku memiliki empat orang anak yang
kesemuanya masih terlalu dini untuk mengerti hidup dan kehidupannya. Aku dan
istriku sendiri tak mengerti bagaimana mendidik anak yang baik. Bahkan, kami
sampai tak habis pikir mengapa selalu anak yang dirizkikan pada kami. Mereka
begitu mudah tumbuh dalam perut istriku. Hanya ada empat anak yang mampu
bertahan. Selebihnya, anak-anakku meninggal dalam kesengsaraan duniawi;
kelaparan.
Sungguh, kami tak memiliki hiburan
apapun yang dapat menyuguhkan kebahagiaan pada kami. Setiap kali pulang dari
ladang tandus aku hanya terpaku duduk menunggu istri menyediakan makan. Tapi,
aku tahu beras masih mewah untuk kami santap. Ketika itu, timbullan rasa
frustasiku. Kutatap wajah lesu istriku yang menanggung segala nasib buruk dari
suami dan anak-anaknya. Walau lesu aku selalu tergoda. Bukan karena berahi
telah merajai nafsu, melainkan karena hanya inilah hiburan satu-satunya yang
dapat bantu lepaskan beban penat pikiran barang sebentar. Setelah itu aku yakin,
beberapa bulan kemudian, akan ada tangis baru di gubuk ini sebagai rezeki buat
kami.
Setiap hari, sepagi mungkin, aku
pergi berladang seorang diri. Gubuk reyot sebagai tempatku kembali pulang ku
tinggalkan, berharap bangunan rapuh itu tak runtuh menimpa keluargaku
sepeninggalanku mencari penghidupan.
Ladang ini bertanah tandus dan
kering, namun aku masih bersikeras untuk mengolahnya karena tak ada lahan lain
yang dapat aku olah. Segala sesuatu yang aku dapatkan dari kehidupan ini
hanyalah hasil dari keterpaksaan. Maka terpaksa pula, aku dan keluargaku setiap
harinya hanya makan dari umbi-umbi singkong sebesar jari kaki yang tumbuh
disekitar ladang kering ini.
Sungguh sulit hidup terpencil dari
masyarakat diluar sana. Tapi aku tak mampu berbuat apa. Semua serba dilakukan
sendiri, dan tentu saja kami terjauhkan dari rasa iba yang sepatut diterima
oleh orang-orang seperti kami.
Apakah kami sekeluarga harus
mengharapkan iba dan belas kasihan orang-orang? Apakah itu wajar?
Setiap saban, disetiap detiknya,
waktu-waktuku telah dilumat rasa lelah. Sekian ribu tetesan keringat telah
keluar menghujani ladang tandus itu. Kulit tubuh ini sudah terlalu legam dan
kering digarang bara panas matahari. Apabila kami ditempatkan kedalam
orang-orang yang pantas menerima iba, kami tegaskan itu adalah sebentuk
pelecehan atas usaha keras hidup kami. Disatu sisi kami pun tak bisa menyimpulkan
ini adalah ketidakadilan hidup yang datangnya dari Tuhan. Dalam pandangan
kamipun, sebenarnya, kami masih kesulitan memahami apa yang telah dikehendaki
Tuhan terhadap kami. Padahal segala proses bersusah payah demi mendapatkan yang
lebih baik telah usaha kujalani. Dalam pesimisku aku pernah berujar, barangkali
hidup kami dicipta sebagai tumbal. Aku tahu dalam hidup ini mesti ada
keseimbangan yang memiliki nilai,status, posisi, dan watak yang saling
berseberangan. Kami hanya harus rela apabila kelahiran kami ditempatkan pada
keadaan yang terendah dalam kasta maupun strata manusia. Aku meyakini kami
telah dijadikan contoh korban agar manusia-manusia lain bersedia berpikir dan
memahami bagaimana bersikap yang baik dalam takdir yang telah diatur. Sayangnya,
kebanyakan orang tak mau repot-repot belajar memahami. Mereka sudah cukup
dengan merasakan kenyang, dan tak pernah cukup ketika hal itu belum berlebihan.
Maka, tiba-tiba kehidupan kamipun seperti sebuah kesia-siaan,
Oleh karena itu keluar dari persoalan
ini adalah berani bersikap lain, mengambil keputusan yang tak pernah
terduga-duga. Tak peduli itu menerobos norma. Bahkan kalau perlu sampai hilang
kewarasan diri.
Suatu kali pernah terbersit meninggalkan tempat gersang ini, mengajak
serta istri dan semua anak. Lalu, kami berjalan melewati batas-batas,
melepaskan pandang kesegala arah melihat kehijauan alam, memupuki otak dalam
pikiran dengan kesegaran-kesegaran baru. Namun semua itu ada tuntutannya. Tak
bisa lekas mendapatkan semua yang kami harapkan. Setiap langkah yang diambil
mestilah dihitung dengan berbagai pertimbangan dan perencanaan. Apabila kurang
matang, tetap sajalah binasa diri ini.
Dari desas-desus orang-orang yang
sesekali melewati gubuk kami, aku pernah mendengar mereka membicarakan tentang
demokrasi. Aku sendiri tak tahu arti kata itu, bahkan lebih banyak kata yang
mereka obrolkan yang begitu asing ditelinga. “Demokrasi yang dianut oleh bangsa
ini terlalu kebarat-baratan, mengusung bahkan mendewakan kapitalisme dan
liberalisme. Orang-orang saling bersaing demi mendapatkan kebesaran dan
kebanggaannya. Sementara peraturan mainnya mudah diotak-atik dengan kemampuan
modal, hanya memiliki keberpihakkan pada kubu tertentu saja. Akhirnya, saking
ketatnya persaingan malah melahirkan orang-orang yang berbuat curang dan saling
sikut. Hukum kapitalis dan liberal tak memandang kaum yang lemah dan kalah,
bahkan orang yang bersih sekalipun karena kecurangan telah dianggapnya semacam
bentuk kebebasan demi meraih kesuksesan. Orang-orang seperti kita akan selalu
kekurangan. Maka dari itu, telah kuikhlaskan istri dan anak perempuanku bekerja
sampai malam demi mencukupi kebutuhan hidup”.
Kini, tiba-tiba saja ada sepasang
manusia, laki-laki dan perempuan, datang ke gubuk kami yang terpencil ini.
Penampilan mereka tak sama dengan orang-orang yang terkadang melewati tempat
tinggal kami. Mereka begitu terawat dan rapi. Pastinya apa-apa yang melekat
ditubuh mereka adalah barang-barang bermutu tinggi. Juga pastinya mereka bukan
berasal dari kampung sekitar. Namun raut wajah mereka terlihat begitu
ketakutan. Mereka seakan telah terperangkap dialam yang tak pernah mereka
kenal. Lekas saja kusuruh istriku untuk menyuguhkan segelas air putih kepada
mereka. Hanya air putih. Tak ada persediaan lain di gubuk ini selain yang dapat
diminum tersebut.
Setelah kami persilahkan minum, wajah mereka
terlihat lebih tenang. lantas saja mereka bertanya, “Bisakah Anda menunjukkan
kami jalan pulang untuk keluar dari tempat ini?”
“Kalian tersesat?”
Dua-duanya
mengangguk bersamaan. Aku tahu kekompakkan itu menandakan mereka tak nyaman
berada ditempat seperti ini, disebuah gebuk reyot yang pengap yang diliari
anak-anak kecoa. Kiranya, kehidupan mereka diluar sana penuh dengan kemewahan.
Tak terbiasa dengan keadaan yang serba menjijikan begini.
Kendati begitu, ada baiknya juga aku
menahan mereka disini untuk beberapa lama. Seyakinnya aku percaya sepasang
manusia ini mungkin diutus Tuhan untuk menolong kami. Terutama membantuku
memecahkan kata-kata misteri yang seringkali kudengar dari obrolan
orang-orang yang lalu lalang. Akan
kukorek dari mereka bagaimana kehidupan diluar sana. Dengan segala pengetahuan
yang kuperoleh dari mereka nanti, aku berharap dapat menentukan langkah yang
tepat untuk berjalan kedepan, biar keluargaku tak semakin tersesat dalam
keterpurukan hidup di dunia.
“Biarlah kalian tinggal dulu di gubuk
kami ini”, ucapku beralasan. “Matahari sudah mulai tenggelam. Selalu ada yang
bersembunyi dibalik gelap. Entah itu orang kelaparan ataupun lubang tempua. Tak
baik kiranya berjalan ditengah kelam. Bisa-bisa kalian semakin kehilangan arah,
bahkan mungkin kehilangan nyawa”.
“Tapi….”
Aku menempelkan
telunjukku diatas bibirku, berdesis memberikan peringatan terakhir pada mereka.
Tatapan mereka semakin awas memandang, dan seluruh anggota keluargaku memandang
mereka penuh kekosongan dengan mulut menganga.
“Disini daerah tertutup. Takkan ada yang
mencium bau busuk meskipun bangkai tergeletak ditengah jalan”.
Suasana kembali menghening.
Suara-suara seperti menyurutkan diri kedalam lubang-lubang semut. Namun tatkala
seekor nyamuk terbang didekat kepala, suara itu seakan mulai berani berdengung
ditelinga. Disusul kemudian oleh suara-suara jangkrik dan tokek yang mencari
makan. Keheninganpun berubah mencekam, melahirkan kekahwatiran dalam jiwa.
Semua pandangan yang ada dalam gubuk ini tertuju pada pelita kecil yang
menerangi ruangan.
Aku berdehem. Aku mulai mempertanyakan arti kata-kata
yang kudengar dari obrolan orang-orang lalu lalang tersebut. Tiba-tiba saja
raut muka mereka bak tersengat listrik. Terkejut sampai menimbulkan keheranan.
Barangkali mereka merasa mustahil ada orang yang hidup terpencil menyebutkan
kata-kata yang lazim digunakan dikota besar. Namun mereka secara terpaksa
memberitahuku. Kedengaranya arti kata-kata itu penuh dengan semangat dan
kegemilangan, namun aku dapat menangkap kata-kata tersebut menyimpan sebentuk
kekejian. Aku merasa kekejian itu sebisa mungkin tersimpan ditempat yang
terkunci dalam makna kata, biar tak keluar sembarangan. Apabila kekejian itu tetap tersimpan ditempat
rahasianya, pastilah orang-orang kecil bakal menunduk sesedia mungkin bahkan
sampai leher mereka terbelit.
“Lantas apa yang kami perlukan agar
dapat bergabung dan bertahan dalam tata cara hidup seperti itu?”, lanjutku
bertanya.
“Cuma modal”
Aku kerutkan
sedikit keningku tanda belum paham benar. “Modal apa?”
“Kalian harus memiliki uang sebanyak
mungkin”
Tak pernah
tanganku ini mengenggam uang, tapi aku pernah melihatnya. Uang hanyalah
lembaran-lembaran kertas bergambar seperti mainan anak-anak. Mudah robek,
rusak, bahkan terbakar. Kini aku tahu ternyata benda itulah yang justru teramat
berharga diluar sana. Pantas saja orang-orang diluar sana begitu rela
menukarkan bahan makanan dengan lembaran kertas bergambar tersebut. Harusnya
sedari dulu aku mencari uang bukan mengolah ladang tandus, keluargaku pasti
takkan pernah kekurangan. Ini sungguh menarik. Lekas saja aku kembali dengarkan
kata-kata orang kota tersebut. “Dengan uang kalian dapat membeli kejujuran,
singgasana, topeng, berahi, dan atau hewan qurban. Namun ketika semua yang kau
miliki tak mampu melindungimu lagi dari berbagai masalah dan kekurangan, maka
belilah hewan qurban sebanyak mungkin”.
“Kalau butuh banyak lebih baik beternak
daripada membeli”, sergahku.
“Hewan qurban ini tak bisa diternak,
karena memang tak ada ilmu untuk membudidayakannya”.
Aku mengangguk. Bukan karena mengerti
melainkan menuruti saja apa kata mereka.
“ Biasanya orang-orang lebih suka
kambing dengan warna hitam pekat sebagai qurban. Karena hewan tersebut lebih
mudah disembelih”.
Segera saja,
dengan cepat, aku kembali bertanya, “Bagaimana cara mendapatkan uang itu?”
Kedua orang kota itu malah saling
bertukar pandang. Diantara kebingungan mereka, kudengar suara keroncongan perut
mereka. Telingaku memang sudah peka menangkap nada-nada suara begini. Dalam
keadaan lapar begini memang selalu membuat pikiran kacau dan enggan untuk
bergerak. Mulut sekalipun lebih baik tertutup rapat kecuali untuk mengunyah.
Sedari pagi tadi, barangkali mereka belum makan apapun. Tapi digubuk ini tak
ada apapun lagi yang dapat dimakan, bahkan sekedar untuk mengganjal perut.
Keluargaku saja sudah cukup lama menahan lapar begini.
Kendati begitu, kedua orang kota ini
adalah tamuku. Sebagai tuan rumah, sudah sepatutnya kami melayani mereka dengan
baik. Apalagi mereka telah memberikan banyak berita penting buat kami.
Ada sebuah ide yang tiba-tiba
terlintas dalam kepalaku. Kutatapi satu per satu wajah anakku yang muram.
Keremangan cahaya didalam gubuk ini semakin menambah kemuraman mereka. Kudekati
istriku dan kubisikkan ide itu
ditelinganya. Ia tetap membisu. Tak menyetujui atau menolak ideku itu.
Wajahnya seperti kehabisan darah dan syaraf-syaraf disekujur tubuhnya seperti
kehilangan berkah.
Kugendong anak terkecil kami keluar.
Anak inipun menurut saja, pasrah saja apapun yang akan dilakukan oleh bapaknya.
Aku tahu ini ide konyol. Tapi anggap
saja ini sebagai latihan dalam mempersiapkan diri untuk kehidupan diluar sana.
Kentara sekali dan begitu jelas sekali apabila ingin sukses diluar sana. Aku
harus melakukan keputusan tak terduga-duga. Tak peduli itu menerobos
norma-norma, bahkan sampai kehilangan waras diri.
Aku memang harus berani bertindak
gila-gilaan. Pilihanku jatuh pada anak terkecilku. Aku tahu yang namanya anak
adalah rizki bagi orangtuanya. Setahuku juga, rezeki adalah hal-hal yang mampu
mengenyangkan perut. Maka dari itu, tak ada salahnya juga aku menjadikan anak
terkecilku sebagai ambisi gila pertamaku. Toh, seberapapun berharganya anak ini
tumbuh takkan ada yang peduli betul dengan kehidupannya hingga kematiannya pun,
kapanpun itu terjadi, pasti dengan perut kelaparan. Maka seberapapun kejamnya
tindakanku terhadap anak kecilku, takkan ada orang yang mengungkitnya bahkan
mengurai kasusnya.
Kuambil parang yang telah terasah
halus. Kuletakkan lehernya diatas batu besar. Anakku itu tetap terdiam.
Benar-benar patuh. Rela serela-relanya dan ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Namuan
raut wajahnya begitu hampa. Tak ada lagi sinar redup dalam bola matanya.
Dibawah sinar rembulan purnama yang seredup senja, aku sembelih anakku itu.
Darah segar memancar memberikan ketakjuban pada diri ini. Tak ada jeritan.
Hanya suara lenguhan kecil tanda kepasrahan.
***##***
Aku kira kitalah orang kota pertama
yang menginjakkan kaki di gubuk reyot ini. Sebelum-sebelumnya pasti tak ada,
karena takkan pernah terpikirkan seorang bermartabat tinggi sudi memasuki
tempat tinggal serupa sarang kuntilanak. Sungguh memalukan nan menyakitkan
ketika kita tanpa segan menyapa dan melepaskan senyum pada mereka. Entah apa
yang bakal didesas-desuskan dunia tentang kita nanti. Para pesaing kita pasti
akan semakin terdengar keras bahaknya, semantara kita semakin tersuruk ke pojok
dunia.
Disamping itu, sungguh luar biasa, kita
yang telah terbiasa dimanja santapan berkolesterol dan berlemak, tiba-tiba
hanya disuguhi segelas air putih. Warna airnya pun tak bening benar. Ada
titik-titik kecil yang melayang-layang didalam air. Kau dan aku melihatnya saja
sudah bergidik. Bagaimana ceritanya kalau gelas itu menempel dibibir kita dan
kita mereguk airnya dalam-dalam?
Saat tuan rumah mempersilahkan kita
minum, terpaksa kita pura-pura meminumnya. Tak lebih. Setelahnya kita mendesah
melepas sedikit beban. Sungguh, meskipun disekeliling kita hanya dibatasi
bilik, namun rasanya seperti terperangkap dibalik tembok beton. Apalagi saat
mereka tak bersedia menunjukkan jalan keluar dari sini karena malam, kita
benar-benar sulit bergerak selain bulu kuduk yang leluasa meremang gigil.
Mereka mengajak kita mengobrol, mencoba
mendekatkan dan mengakrabkan diri pada kita. Namun, itu semakin menambah
bayangan seram kita. Banyak sekali pertanyaan yang mereka lontarkan. Tak
terkira mereka bertanya tentang politik dan sistem kehidupan diluar sana.
Setidaknya, hal itu, mampu melunakkan tegangnya suasana. Kita pun menjawabnya
sehati-hati mungkin.
Saat mereka mempertanyakan cara
mendapatkan uang kita terdiam. Pertanyaan itu seperti memiliki rumus khusus
sebagai jawabannya. Untuk saat ini, apapun yang berkaitan dengan uang, belum
bisa kita pecahkan. Kita saling tatap. Kita tahu kita tengah krisis. Persaingan
diluar sana telah berhasil memporak-porandakan selurus asset kita. Namun
tiba-tiba perut kita berbunyi kelaparan seakan ingin ikut memberikan jawaban.
Lalu lelaki berkulit alot itu
mendekati istrinya. Ia berbisik ditelinga istrinya dan menuntun anak
terkecilnya keluar rumah. Wajah istrinya yang muram berubah penuh kepucatan
seakan bisikan suaminya telah mencerabut nyawannya keras-keras. Kembali kita
saling tatap, menukar cahaya pandangan mata kita. Lantas, mengikuti arah kemana
bapak dan anak itu pergi.
Lekas saja kita dibuatnya terkejut.
Dibawah sinar purnama yang muram semuram wajah penghuni gubuk reot ini, sang
ayah menyembelih kepala anaknya. Darah yang memancar dari leher sang anak itu
menggambarkan rasa nyeri yang tak terkira. Saat lenguhan anak kecil itu
melayang-layang diudara seperti tak tahu arah, sang ibu sendiri mendesah lemah
dan jatuh pingsan. Saudara-saudaranya menangis lirih selirih suara perut yang
jarang terisi, sambil memeluk tubuh ibunya. Sementara kau, istriku sendiri,
menatapku. Aku melihat dibalik sinar bola matamu ada hikmah yang tak terkira
jumlahnya. Kau begitu terpukau menyaksikan peristiwa pemenggalan itu. Bibirmu
bergetar mengucap, “Inilah neo liberalisme! Inilah neo kapitalisme!”.
Akupun menjawab parau, “Benarlah rasaku
tadi. Tempat ini memang menyimpan kebesaran”.
Cukup lama kita membisu setelah melihat
peristiwa pemenggalan itu, akhirnya kami disuguhi makanan. Tentunya hasil dari
penyembelihan tadi. Namun entah kenapa, tiba-tiba rasa lapar hilang. Perut ini
seperti malu telah memberontak dan meminta tuntutan untuk segera terisi.
“Apa kalian sering melakukan aksi-aksi
semacam ini?”, tanyaku dengan bibir gemetar ketakutan. Dia, sama anaknya saja
berani memenggal kepalanya apalagi pada orang yang baru dikenalnya beberapa jam
lalu. Kita waspada. Tak boleh saat tubuh kita keluar dari sini hanya tinggal
nama yang tersisa.
“Sekali ini saja”, katanya. “Untuk
menghormati kalian. Tamu kami”.
Aku menatap kau kembali, istriku. Ketakutan
yang sedari tadi kita rasakan seakan menemukan celah untuk keluar dari jiwa dan
pikiran, berubah menjadi peluang langka untuk kita. Peluang untuk melampiaskan
dendam kita. Peluang untuk menyingkirkan para pesaing kita yang
berani-beraninya memojokkan kita. Sikap hati-hati kita longgarkan mesti tetap
awas.
“Anda pernah bertanya bagaimana cara
mencari uang itu, bukan?”
“Ya”
“Maukah Anda menjadi pembunuhan bayaran?
Kami akan sewa Anda?”.