Halaman

Rabu, 02 Mei 2012

KANIBAL KAPITALIS DI GUBUK REYOT


          Sesekali cobalah arahkan pandanganmu kearah sebuah gubuk reyot ditengah ladang kering itu. Sepanjang waktu mata kita sudah terlalu sering disuguhi pemandangan kemewahan yang membuat hati iri. Indera yang kita gunakan untuk melihat dunia kerapkali ditembusi debu-debu yang membuat perih, hingga mata kita terus terpejam sebelum segala keinginan kita terkabulkan. Kita selalu merasa takut melihat keadaan orang lain berada lebih tinggi posisinya dari kita. Kita takut tersaingi dan kita takkan pernah rela terkalahkan. Apalagi oleh orang-orang yang kita anggap tak ada apa-apanya.
         Namun gubuk reyot itu seakan memberikan tawaran lain pada pandangan kita. Sungguh, kita sudah sudah sering melihat pemandangan semacam ini di kota. Kita melihat rumah-rumah kardus dibangun dilahan-lahan kosong yang entah siapa pemiliknya. Kita sering melihat orang-orang menggelar tikar dan nonton tv dibawah jembatan saat melintas diatas jalan layang. Ketika terjebak kemacetan, kita seringpula melihat orang-orang---tua, muda, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan----berlari-lari dijalanan sambil mengulurkan tangan. Kita hanya melihat mereka, namun tak pernah memperhatikan mereka barang sekedipan matapun.
         Pemandangan semacam itu memang tak enak ditatap mata kita yang terawat ini. Bahkan mungkin tak layak mata kita mengabadikannya dalam lensanya yang tipis. Mereka telah mengotori lingkungan sekitar kita, membuatnya kumuh dan semrawut tak beraturan. Namun kita seringkali bertukar cerita dan perasaan bahwa kita bosan pada orang-orang yang memperlihatkan kekayaannya, kebanggaannya pada kita. Sementara kita mulai putus asa untuk menandinginya.
        Karena bangkrut dan tak kuat dengan cibiran orang-orang, kita pun pindah ke sebuah perkampungan terpencil yang jauh dari hingar bingar metropolitan. Kita yakin tinggal disini barangkali lebih bisa menenteramkan jiwa dan menjernihkan pikiran, namun aku dan kau sama-sama tahu kita masih menyimpan dendam pada orang-orang itu.
          Untuk mengenal seluk beluk perkampungan ini, kita berjalan-jalan keliling. Kita mencoba beramah tamah dengan masyarakat sekitar dengan tersenyum , menyapa, dan melambaikan tangan. Kita mencoba mempublikasikan wajah metropolitan kita pada orang-orang yang tak mengerti berdandan. Tiba-tiba langkah kita kehilangan arah pulang. Kita tersesat. Terpaksa, mata kita yang selama ini terpelihara dari hal-hal kumuh, kini malah harus bersinggungan dengan apa yang kita benci itu.
          Kita dekati gubuk reyot itu, namun kau begitu enggan. Aku tahu kau jijik, namun aku memberitahu kau harus terbiasa. Kau tetap tak mau. Tapi akupun tak mau menghadapinya sendirian. Maka kutarik saja lenganmu sampai langkah kakimu terseret-seret.
        Gubuk itu seperti terasing dari perkampungan penduduk yang kita lewati tadi. Dinding-dinding luar gubuk tersebut terbuat dari kayu-kayu lapuk yang disusun sedemikian rupa,  sebagai pembatas dari alam luar, penghalau dari hembusan angin atau ancaman hewan liar. Atapnya yang terbuat dari jerami takkan sanggup menahan kebocoran saat hujan turun. Disekelilingnya berupa lahan kering yang ditanami pohon singkong. Tak ada tetangga disekitarnya. Orang-orang seakan sengaja menjauhi bangunan paling rapuh tersebut. Terkecuali, sinar matahari musim kemarau yang serasa hidup diatas sana, menjadi bola mata yang paling menyorot menatap gubuk itu seakan pelan-pelan berusaha menghancurkan gubuk itu dengan gelombang panasnya. Namun, kelihatannya angin saja yang seringkali bertiup kearah gubuk itu sama sekali tak mampu memporak porandakannya.
          Aku tak tahu. Barangkali pernah satu dua kali hembusan angin yang cukup kencang merubuhkan bangunan rapuh tersebut. Namun setiap kali runtuh setiap kali itu pula segera diperbaiki seperti rumah-rumah kardus dan lapak-lapak liar yang kerap kena gusur aparat.
          Dari letaknya yang jauh dari kehidupan sosial dan kondisi bangunannya yang memprihatinkan, gubuk ini sungguh tak layak dijadikan tempat tinggal. Tak pantas pula aku mengatakan gubuk ini adalah kandang hewan. Barangkali gubuk ini dibangun oleh petani setempat sebagai tempat istirahat setelah lelah mencangkul tanah. Tapi sejauh kita melemparkan pandangan tak ada tanda-tanda petani tengah sibuk mengolah tanah kering disini. Aku jadi khawatir. Lebih-lebih dirimu yang terlihat ketakutan, merasa kita akan mengalami hal paling mengerikan disepanjang hidup kita.
        Sekalipun ada penghuninya, kira-kira orang semacam apa yang bersedia tinggal ditempat yang memprihatihkan begini. Keajaiban apabila gubuk reyot ini ada yang meninggalinya. Bangunan ini begitu sederhana, bahkan jauh dibawah sederhana. Takkan sanggup ia melindungi penghuninya dengan memadai dari segala ancaman disegala waktu dan disegala kondisi. Apalagi di tempat seterpencil ini, sewaktu-waktu bahaya kerap datang tak terduga menyelinap masuk dan tak ada orang yang mendengar segala jerit pertolongan. Terpujilah manusia---apapun jenisnya----yang bertahan ditempat ini.
       Tak perlulah dibandingkan dengan warga kota yang tercecer dipinggiran jalan dan berteduh dibawah jembatan, mereka adalah korban kehidupan. Barangkali sudah nasib mereka menyandarkan hidup berdasarkan belas kasihan orang. Dan itu bukanlah keajaiban yang memiliki nilai mukzizat. Sementara gubuk ini, seburuk-buruknya bentuk dan keadaan, aku merasa, tetaplah menyimpan kebesaran.
          Sebelum-sebelumnya, adalah kemustahilan aku mau mengetuk pintu tempat tinggal manusia yang jauh dari kesan mewah. Tapi kini aku harus memaksa diri mengangkat tangan dan mengetuk pintu yang mungkin saja dengan sekali ketuk pintu itu akan langsung terlepas dari engselnya. Percayalah, yang aku lakukan ini bukan karena kita butuh pertolongan. Sudah aku bilang aku merasa gubuk ini menyimpan sebuah kebesaran. Apabila aku sampai terpaksa mengetuk pintu ini-----kuharap kalian dapat maklum----itu aku pikir hanyalah sedikit sisa dari kesombongan kami.
          Namun ketika aku hendak mengetuk, kau segera menepisnya. Aku tak tahu harus bagaimana bersikap; apakah harus lega dan mempersembahkan sujud syukur karena tangan yang terpelihara ini terhindar dari segala bakteri dan virus yang berkembang biak dimuka pintu? Yang pasti kau mengeluakan suara desisan dari mulutmu yang mungil. Telingaku pun ikut bergetar, mendengar suara seorang lelaki dengan nada tinggi dan suara isakan lemah seorang wanita bersama anak-anaknya. Kentara sekali mereka tengah bertengkar. Dalam situasi seperti ini  tak selayaknya kita datang bertamu. Kehadiran kita dapat mengganggu mereka, dan mereka terpaksa harus memendam amarah. Tak baik kiranya amarah dipendam. Karena seperti kita, banyak-banyak memendam amarah justru menabung dengki dijiwa. Kecuali maksud kedatangan kita untuk melerai.
         Kau menyeretku ke samping gubuk. Aku dapat mendengar detakan jantung yang menghantam rongga dadamu. Aku tahu pasti raut mukamu saat ketakutan. Dan pancaran itu semakin akrab pada pandanganku. Kita yang selalu bermuka angkuh harus merendahkan diri karena nasib hidup, menuruti perputaran roda takdir yang tak pernah kehabisan pelumas. Kau selalu terlihat trauma saat melihat orang-orang berani memamerkan taring dan kukunya pada kita, bahkan sekalipun itu tidak ditujukan sama sekali pada kita. Barangkali mulai pada saat itulah segala indera yang terpasang dalam ragawi kita mulai tercemar limbah kemiskinan.
      Kini, aku mulai menyesali posisiku sebagai kekasihmu. Aku sudah tak sanggup lagi memberikanmu segala keindahan dan kepentingan duniawi. Telapak tangan ini sudah terlihat suram untuk dibaca. Tapi akupun tak mau bilang cepat-cepat akhirat adalah harapan kita satu-satunya yang paling mungkin. Kita tahu, kau dan aku harus sama-sama keras melawannya.
         Sekeras-kerasnya kita bersusah payah, tinggallah mata kita yang dapat dipergunakan untuk menelisik ada apa didalam gubuk. Aku mulai bertindak. Kau masih ketakutan. Terpaksa, mataku yang seringkali terbuka lebar saat menatap kali ini harus memicingkannya, menyesuaikannya dengan celah-celah sempit dinding kayu gubuk ini. Aku melihatnya, diantara keremangan cahaya didalam gubuk, seorang wanita berwajah kusam sambil memeluk keempat anaknya. Usia wanita itu dapat diperkirakan seumuran denganmu. Bedanya, kau tampak terawat. Sementara wanita itu terlihat keriput sebelum waktunya. Barangkali tak punya waktu barang sedetikpun untuk mematut dan memikirkan diri. Ketika seorang wanita mulai beranak pinak, maka yang selalu didahulukan adalah kepentingan anak-anaknya. Dan, kita telah bertahun-tahun menantikan anugerah Tuhan tersebut, berusaha susah payah dan mengikuti segala anjuran para ahli, namun tangisan seorang bayi tak pernah mengusik bising telinga kita.
         Keempat anak itu masih kecil, bahkan terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan dengan dunia imajinasi mereka. Aku pikir wanita berwajah kusam itu melahirkan seorang bayi setahun sekali. Tubuh mereka yang rapuh nan kurus sungguh membutuhkan perlindungan yang mendalam. Mereka menangis dan tersedu sedan bersama-sama. Namun, wanita berwajah kusam itu berusaha menenangkan anak-anaknya itu. Pemandangan yang begitu nelangsa dan butuh perhatian lebih dari sang penguasa.
          Melalui tontonanku dibalik celah dinding gubuk reyot ini aku bertanya, mengapa ditempat yang jauh dari kehangatan dan kesejahteraan seseorang dapat mudah menghasilkan anak dari dalam tubuhnya sendiri? Sementara aku yang sering direpotkan dengan segala obat-obatan dan terapi kesuburan masih saja kewalahan.
          Keherananku semakin bertambah-tambah. Tak kulihat raut wajah seorang lelaki yang telah mengeluarkan suara dengan nada tinggi yang membuatmu tiba-tiba berdesis ketakutan. Pada saat aku mencari-cari sosok itu tiba-tiba suara yang terdengar serupa menjelma dibelakang punggungku, menggebrak ketenangan dadaku. Wajahmu sendiri terlihat seperti orang tercekik melihat sosok itu. Lelaki itu, memiliki kulit yang alot dan keras. Sepasang matanya hendak keluar memelototi kami.
     “Sedang apa kalian disini!”, bentaknya pada kami bukan dengan tanya.
Selanjutnya, kami digiringnya masuk kedalam gubuk reyot itu, dijadikan sandera. Didetik-detik berikutnya kami hanya tahu bahwa kami tengah bernafas dalam ancaman.
***&&***



          Gubuk ini telah dibangun bertahun-tahun lalu. Beberapa kali dipugar seperlunya. Inilah naungan kami satu-satunya, harta warisan leluhur yang dengan setia meneduhi keluargaku dari hujan dan terik panas diatas sana. Entah sudah berapa lama kami tinggal didalam gubuk reyot ini. Disetiap detiknya selalu dipenuhi kepengapan hidup. Tak ada hal lain apapun yang dapat kami tuju selain mencari makan. Sesekali, dalam kesenggangan waktu, kulepaskan bebanku dengan melayangkan diri dalam lamunan. Saat itupula aku seperti lupa memiliki tanggungan. Namun tak lama kemudian, suara-suara berisik mengingatkanku kembali pada kenyataan; semua anak dan istriku bertahan hidup dengan perut keroncongan.
         Aku memiliki empat orang anak yang kesemuanya masih terlalu dini untuk mengerti hidup dan kehidupannya. Aku dan istriku sendiri tak mengerti bagaimana mendidik anak yang baik. Bahkan, kami sampai tak habis pikir mengapa selalu anak yang dirizkikan pada kami. Mereka begitu mudah tumbuh dalam perut istriku. Hanya ada empat anak yang mampu bertahan. Selebihnya, anak-anakku meninggal dalam kesengsaraan duniawi; kelaparan.
          Sungguh, kami tak memiliki hiburan apapun yang dapat menyuguhkan kebahagiaan pada kami. Setiap kali pulang dari ladang tandus aku hanya terpaku duduk menunggu istri menyediakan makan. Tapi, aku tahu beras masih mewah untuk kami santap. Ketika itu, timbullan rasa frustasiku. Kutatap wajah lesu istriku yang menanggung segala nasib buruk dari suami dan anak-anaknya. Walau lesu aku selalu tergoda. Bukan karena berahi telah merajai nafsu, melainkan karena hanya inilah hiburan satu-satunya yang dapat bantu lepaskan beban penat pikiran barang sebentar. Setelah itu aku yakin, beberapa bulan kemudian, akan ada tangis baru di gubuk ini sebagai rezeki buat kami.
          Setiap hari, sepagi mungkin, aku pergi berladang seorang diri. Gubuk reyot sebagai tempatku kembali pulang ku tinggalkan, berharap bangunan rapuh itu tak runtuh menimpa keluargaku sepeninggalanku mencari penghidupan.
          Ladang ini bertanah tandus dan kering, namun aku masih bersikeras untuk mengolahnya karena tak ada lahan lain yang dapat aku olah. Segala sesuatu yang aku dapatkan dari kehidupan ini hanyalah hasil dari keterpaksaan. Maka terpaksa pula, aku dan keluargaku setiap harinya hanya makan dari umbi-umbi singkong sebesar jari kaki yang tumbuh disekitar ladang kering ini.
          Sungguh sulit hidup terpencil dari masyarakat diluar sana. Tapi aku tak mampu berbuat apa. Semua serba dilakukan sendiri, dan tentu saja kami terjauhkan dari rasa iba yang sepatut diterima oleh orang-orang seperti kami.
         Apakah kami sekeluarga harus mengharapkan iba dan belas kasihan orang-orang? Apakah itu wajar?
          Setiap saban, disetiap detiknya, waktu-waktuku telah dilumat rasa lelah. Sekian ribu tetesan keringat telah keluar menghujani ladang tandus itu. Kulit tubuh ini sudah terlalu legam dan kering digarang bara panas matahari. Apabila kami ditempatkan kedalam orang-orang yang pantas menerima iba, kami tegaskan itu adalah sebentuk pelecehan atas usaha keras hidup kami. Disatu sisi kami pun tak bisa menyimpulkan ini adalah ketidakadilan hidup yang datangnya dari Tuhan. Dalam pandangan kamipun, sebenarnya, kami masih kesulitan memahami apa yang telah dikehendaki Tuhan terhadap kami. Padahal segala proses bersusah payah demi mendapatkan yang lebih baik telah usaha kujalani. Dalam pesimisku aku pernah berujar, barangkali hidup kami dicipta sebagai tumbal. Aku tahu dalam hidup ini mesti ada keseimbangan yang memiliki nilai,status, posisi, dan watak yang saling berseberangan. Kami hanya harus rela apabila kelahiran kami ditempatkan pada keadaan yang terendah dalam kasta maupun strata manusia. Aku meyakini kami telah dijadikan contoh korban agar manusia-manusia lain bersedia berpikir dan memahami bagaimana bersikap yang baik dalam takdir yang telah diatur. Sayangnya, kebanyakan orang tak mau repot-repot belajar memahami. Mereka sudah cukup dengan merasakan kenyang, dan tak pernah cukup ketika hal itu belum berlebihan. Maka, tiba-tiba kehidupan kamipun seperti sebuah kesia-siaan,
          Oleh karena itu keluar dari persoalan ini adalah berani bersikap lain, mengambil keputusan yang tak pernah terduga-duga. Tak peduli itu menerobos norma. Bahkan kalau perlu sampai hilang kewarasan diri.
           Suatu kali pernah terbersit meninggalkan tempat gersang ini, mengajak serta istri dan semua anak. Lalu, kami berjalan melewati batas-batas, melepaskan pandang kesegala arah melihat kehijauan alam, memupuki otak dalam pikiran dengan kesegaran-kesegaran baru. Namun semua itu ada tuntutannya. Tak bisa lekas mendapatkan semua yang kami harapkan. Setiap langkah yang diambil mestilah dihitung dengan berbagai pertimbangan dan perencanaan. Apabila kurang matang, tetap sajalah binasa diri ini.
          Dari desas-desus orang-orang yang sesekali melewati gubuk kami, aku pernah mendengar mereka membicarakan tentang demokrasi. Aku sendiri tak tahu arti kata itu, bahkan lebih banyak kata yang mereka obrolkan yang begitu asing ditelinga. “Demokrasi yang dianut oleh bangsa ini terlalu kebarat-baratan, mengusung bahkan mendewakan kapitalisme dan liberalisme. Orang-orang saling bersaing demi mendapatkan kebesaran dan kebanggaannya. Sementara peraturan mainnya mudah diotak-atik dengan kemampuan modal, hanya memiliki keberpihakkan pada kubu tertentu saja. Akhirnya, saking ketatnya persaingan malah melahirkan orang-orang yang berbuat curang dan saling sikut. Hukum kapitalis dan liberal tak memandang kaum yang lemah dan kalah, bahkan orang yang bersih sekalipun karena kecurangan telah dianggapnya semacam bentuk kebebasan demi meraih kesuksesan. Orang-orang seperti kita akan selalu kekurangan. Maka dari itu, telah kuikhlaskan istri dan anak perempuanku bekerja sampai malam demi mencukupi kebutuhan hidup”.
          Kini, tiba-tiba saja ada sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, datang ke gubuk kami yang terpencil ini. Penampilan mereka tak sama dengan orang-orang yang terkadang melewati tempat tinggal kami. Mereka begitu terawat dan rapi. Pastinya apa-apa yang melekat ditubuh mereka adalah barang-barang bermutu tinggi. Juga pastinya mereka bukan berasal dari kampung sekitar. Namun raut wajah mereka terlihat begitu ketakutan. Mereka seakan telah terperangkap dialam yang tak pernah mereka kenal. Lekas saja kusuruh istriku untuk menyuguhkan segelas air putih kepada mereka. Hanya air putih. Tak ada persediaan lain di gubuk ini selain yang dapat diminum tersebut.
          Setelah kami persilahkan minum, wajah mereka terlihat lebih tenang. lantas saja mereka bertanya, “Bisakah Anda menunjukkan kami jalan pulang untuk keluar dari tempat ini?”
      “Kalian tersesat?”
Dua-duanya mengangguk bersamaan. Aku tahu kekompakkan itu menandakan mereka tak nyaman berada ditempat seperti ini, disebuah gebuk reyot yang pengap yang diliari anak-anak kecoa. Kiranya, kehidupan mereka diluar sana penuh dengan kemewahan. Tak terbiasa dengan keadaan yang serba menjijikan begini.
         Kendati begitu, ada baiknya juga aku menahan mereka disini untuk beberapa lama. Seyakinnya aku percaya sepasang manusia ini mungkin diutus Tuhan untuk menolong kami. Terutama membantuku memecahkan kata-kata misteri yang seringkali kudengar dari obrolan orang-orang  yang lalu lalang. Akan kukorek dari mereka bagaimana kehidupan diluar sana. Dengan segala pengetahuan yang kuperoleh dari mereka nanti, aku berharap dapat menentukan langkah yang tepat untuk berjalan kedepan, biar keluargaku tak semakin tersesat dalam keterpurukan hidup di dunia.
      “Biarlah kalian tinggal dulu di gubuk kami ini”, ucapku beralasan. “Matahari sudah mulai tenggelam. Selalu ada yang bersembunyi dibalik gelap. Entah itu orang kelaparan ataupun lubang tempua. Tak baik kiranya berjalan ditengah kelam. Bisa-bisa kalian semakin kehilangan arah, bahkan mungkin kehilangan nyawa”.
     “Tapi….”
Aku menempelkan telunjukku diatas bibirku, berdesis memberikan peringatan terakhir pada mereka. Tatapan mereka semakin awas memandang, dan seluruh anggota keluargaku memandang mereka penuh kekosongan dengan mulut menganga.
      “Disini daerah tertutup. Takkan ada yang mencium bau busuk meskipun bangkai tergeletak ditengah jalan”.
          Suasana kembali menghening. Suara-suara seperti menyurutkan diri kedalam lubang-lubang semut. Namun tatkala seekor nyamuk terbang didekat kepala, suara itu seakan mulai berani berdengung ditelinga. Disusul kemudian oleh suara-suara jangkrik dan tokek yang mencari makan. Keheninganpun berubah mencekam, melahirkan kekahwatiran dalam jiwa. Semua pandangan yang ada dalam gubuk ini tertuju pada pelita kecil yang menerangi ruangan.
           Aku berdehem. Aku mulai mempertanyakan arti kata-kata yang kudengar dari obrolan orang-orang lalu lalang tersebut. Tiba-tiba saja raut muka mereka bak tersengat listrik. Terkejut sampai menimbulkan keheranan. Barangkali mereka merasa mustahil ada orang yang hidup terpencil menyebutkan kata-kata yang lazim digunakan dikota besar. Namun mereka secara terpaksa memberitahuku. Kedengaranya arti kata-kata itu penuh dengan semangat dan kegemilangan, namun aku dapat menangkap kata-kata tersebut menyimpan sebentuk kekejian. Aku merasa kekejian itu sebisa mungkin tersimpan ditempat yang terkunci dalam makna kata, biar tak keluar sembarangan. Apabila  kekejian itu tetap tersimpan ditempat rahasianya, pastilah orang-orang kecil bakal menunduk sesedia mungkin bahkan sampai leher mereka terbelit.
        “Lantas apa yang kami perlukan agar dapat bergabung dan bertahan dalam tata cara hidup seperti itu?”, lanjutku bertanya.
         “Cuma modal”
Aku kerutkan sedikit keningku tanda belum paham benar. “Modal apa?”
        “Kalian harus memiliki uang sebanyak mungkin”
Tak pernah tanganku ini mengenggam uang, tapi aku pernah melihatnya. Uang hanyalah lembaran-lembaran kertas bergambar seperti mainan anak-anak. Mudah robek, rusak, bahkan terbakar. Kini aku tahu ternyata benda itulah yang justru teramat berharga diluar sana. Pantas saja orang-orang diluar sana begitu rela menukarkan bahan makanan dengan lembaran kertas bergambar tersebut. Harusnya sedari dulu aku mencari uang bukan mengolah ladang tandus, keluargaku pasti takkan pernah kekurangan. Ini sungguh menarik. Lekas saja aku kembali dengarkan kata-kata orang kota tersebut. “Dengan uang kalian dapat membeli kejujuran, singgasana, topeng, berahi, dan atau hewan qurban. Namun ketika semua yang kau miliki tak mampu melindungimu lagi dari berbagai masalah dan kekurangan, maka belilah hewan qurban sebanyak mungkin”.
       “Kalau butuh banyak lebih baik beternak daripada membeli”, sergahku.
       “Hewan qurban ini tak bisa diternak, karena memang tak ada ilmu untuk membudidayakannya”.
          Aku mengangguk. Bukan karena mengerti melainkan menuruti saja apa kata mereka.
         “ Biasanya orang-orang lebih suka kambing dengan warna hitam pekat sebagai qurban. Karena hewan tersebut lebih mudah disembelih”.
Segera saja, dengan cepat, aku kembali bertanya, “Bagaimana cara mendapatkan uang itu?”
         Kedua orang kota itu malah saling bertukar pandang. Diantara kebingungan mereka, kudengar suara keroncongan perut mereka. Telingaku memang sudah peka menangkap nada-nada suara begini. Dalam keadaan lapar begini memang selalu membuat pikiran kacau dan enggan untuk bergerak. Mulut sekalipun lebih baik tertutup rapat kecuali untuk mengunyah. Sedari pagi tadi, barangkali mereka belum makan apapun. Tapi digubuk ini tak ada apapun lagi yang dapat dimakan, bahkan sekedar untuk mengganjal perut. Keluargaku saja sudah cukup lama menahan lapar begini.
          Kendati begitu, kedua orang kota ini adalah tamuku. Sebagai tuan rumah, sudah sepatutnya kami melayani mereka dengan baik. Apalagi mereka telah memberikan banyak berita penting buat kami.
         Ada sebuah ide yang tiba-tiba terlintas dalam kepalaku. Kutatapi satu per satu wajah anakku yang muram. Keremangan cahaya didalam gubuk ini semakin menambah kemuraman mereka. Kudekati istriku dan kubisikkan ide itu  ditelinganya. Ia tetap membisu. Tak menyetujui atau menolak ideku itu. Wajahnya seperti kehabisan darah dan syaraf-syaraf disekujur tubuhnya seperti kehilangan berkah.
        Kugendong anak terkecil kami keluar. Anak inipun menurut saja, pasrah saja apapun yang akan dilakukan oleh bapaknya.
          Aku tahu ini ide konyol. Tapi anggap saja ini sebagai latihan dalam mempersiapkan diri untuk kehidupan diluar sana. Kentara sekali dan begitu jelas sekali apabila ingin sukses diluar sana. Aku harus melakukan keputusan tak terduga-duga. Tak peduli itu menerobos norma-norma, bahkan sampai kehilangan waras diri.
           Aku memang harus berani bertindak gila-gilaan. Pilihanku jatuh pada anak terkecilku. Aku tahu yang namanya anak adalah rizki bagi orangtuanya. Setahuku juga, rezeki adalah hal-hal yang mampu mengenyangkan perut. Maka dari itu, tak ada salahnya juga aku menjadikan anak terkecilku sebagai ambisi gila pertamaku. Toh, seberapapun berharganya anak ini tumbuh takkan ada yang peduli betul dengan kehidupannya hingga kematiannya pun, kapanpun itu terjadi, pasti dengan perut kelaparan. Maka seberapapun kejamnya tindakanku terhadap anak kecilku, takkan ada orang yang mengungkitnya bahkan mengurai kasusnya.
         Kuambil parang yang telah terasah halus. Kuletakkan lehernya diatas batu besar. Anakku itu tetap terdiam. Benar-benar patuh. Rela serela-relanya dan ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Namuan raut wajahnya begitu hampa. Tak ada lagi sinar redup dalam bola matanya. Dibawah sinar rembulan purnama yang seredup senja, aku sembelih anakku itu. Darah segar memancar memberikan ketakjuban pada diri ini. Tak ada jeritan. Hanya suara lenguhan kecil tanda kepasrahan.
***##***

          Aku kira kitalah orang kota pertama yang menginjakkan kaki di gubuk reyot ini. Sebelum-sebelumnya pasti tak ada, karena takkan pernah terpikirkan seorang bermartabat tinggi sudi memasuki tempat tinggal serupa sarang kuntilanak. Sungguh memalukan nan menyakitkan ketika kita tanpa segan menyapa dan melepaskan senyum pada mereka. Entah apa yang bakal didesas-desuskan dunia tentang kita nanti. Para pesaing kita pasti akan semakin terdengar keras bahaknya, semantara kita semakin tersuruk ke pojok dunia.
       Disamping itu, sungguh luar biasa, kita yang telah terbiasa dimanja santapan berkolesterol dan berlemak, tiba-tiba hanya disuguhi segelas air putih. Warna airnya pun tak bening benar. Ada titik-titik kecil yang melayang-layang didalam air. Kau dan aku melihatnya saja sudah bergidik. Bagaimana ceritanya kalau gelas itu menempel dibibir kita dan kita mereguk airnya dalam-dalam?
         Saat tuan rumah mempersilahkan kita minum, terpaksa kita pura-pura meminumnya. Tak lebih. Setelahnya kita mendesah melepas sedikit beban. Sungguh, meskipun disekeliling kita hanya dibatasi bilik, namun rasanya seperti terperangkap dibalik tembok beton. Apalagi saat mereka tak bersedia menunjukkan jalan keluar dari sini karena malam, kita benar-benar sulit bergerak selain bulu kuduk yang leluasa meremang gigil.
        Mereka mengajak kita mengobrol, mencoba mendekatkan dan mengakrabkan diri pada kita. Namun, itu semakin menambah bayangan seram kita. Banyak sekali pertanyaan yang mereka lontarkan. Tak terkira mereka bertanya tentang politik dan sistem kehidupan diluar sana. Setidaknya, hal itu, mampu melunakkan tegangnya suasana. Kita pun menjawabnya sehati-hati mungkin.
          Saat mereka mempertanyakan cara mendapatkan uang kita terdiam. Pertanyaan itu seperti memiliki rumus khusus sebagai jawabannya. Untuk saat ini, apapun yang berkaitan dengan uang, belum bisa kita pecahkan. Kita saling tatap. Kita tahu kita tengah krisis. Persaingan diluar sana telah berhasil memporak-porandakan selurus asset kita. Namun tiba-tiba perut kita berbunyi kelaparan seakan ingin ikut memberikan jawaban.
         Lalu lelaki berkulit alot itu mendekati istrinya. Ia berbisik ditelinga istrinya dan menuntun anak terkecilnya keluar rumah. Wajah istrinya yang muram berubah penuh kepucatan seakan bisikan suaminya telah mencerabut nyawannya keras-keras. Kembali kita saling tatap, menukar cahaya pandangan mata kita. Lantas, mengikuti arah kemana bapak dan anak itu pergi.
          Lekas saja kita dibuatnya terkejut. Dibawah sinar purnama yang muram semuram wajah penghuni gubuk reot ini, sang ayah menyembelih kepala anaknya. Darah yang memancar dari leher sang anak itu menggambarkan rasa nyeri yang tak terkira. Saat lenguhan anak kecil itu melayang-layang diudara seperti tak tahu arah, sang ibu sendiri mendesah lemah dan jatuh pingsan. Saudara-saudaranya menangis lirih selirih suara perut yang jarang terisi, sambil memeluk tubuh ibunya. Sementara kau, istriku sendiri, menatapku. Aku melihat dibalik sinar bola matamu ada hikmah yang tak terkira jumlahnya. Kau begitu terpukau menyaksikan peristiwa pemenggalan itu. Bibirmu bergetar mengucap, “Inilah neo liberalisme! Inilah neo kapitalisme!”.
     Akupun menjawab parau, “Benarlah rasaku tadi. Tempat ini memang menyimpan kebesaran”.
        Cukup lama kita membisu setelah melihat peristiwa pemenggalan itu, akhirnya kami disuguhi makanan. Tentunya hasil dari penyembelihan tadi. Namun entah kenapa, tiba-tiba rasa lapar hilang. Perut ini seperti malu telah memberontak dan meminta tuntutan untuk segera terisi.
        “Apa kalian sering melakukan aksi-aksi semacam ini?”, tanyaku dengan bibir gemetar ketakutan. Dia, sama anaknya saja berani memenggal kepalanya apalagi pada orang yang baru dikenalnya beberapa jam lalu. Kita waspada. Tak boleh saat tubuh kita keluar dari sini hanya tinggal nama yang tersisa.
     “Sekali ini saja”, katanya. “Untuk menghormati kalian. Tamu kami”.
        Aku menatap kau kembali, istriku. Ketakutan yang sedari tadi kita rasakan seakan menemukan celah untuk keluar dari jiwa dan pikiran, berubah menjadi peluang langka untuk kita. Peluang untuk melampiaskan dendam kita. Peluang untuk menyingkirkan para pesaing kita yang berani-beraninya memojokkan kita. Sikap hati-hati kita longgarkan mesti tetap awas.
       “Anda pernah bertanya bagaimana cara mencari uang itu, bukan?”
       “Ya”
       “Maukah Anda menjadi pembunuhan bayaran? Kami akan sewa Anda?”.