Peristiwa ini aku alami sekitar
setahun yang lalu. Sabtu itu aku berencana pergi ke kampus IPB di Dermaga.
Jujur, aku tak tahu ada kampus IPB di Dermaga. Setahuku kampus IPB itu berada
dekat terminal Baranang Siang. Apalagi, aku sama sekali belum pernah ke daerah
bernama Dermaga tersebut, meskipun nama kabupaten itu cukup akrab ditelingaku.
Tujuanku ke IPB bukanlah untuk mendaftar
kuliah atau hal apapun yang ada kaitannya dengan perkuliahan ditempat tersebut,
melainkan ada pertemuan perdana atas perekrutan anggota baru FLP Bogor.
Pertemuan itu tepatnya dilaksanakan di masjid Al-Hurriyah yang berada di
kawasan kampus tersebut.
Sebagai orang yang belum mengenal
daerah tersebut, tentunya aku tanya sana-sini kepada orang yang kupikir
mengetahuinya. Terutama pada sopir angkot yang lebih tahu jalan dan pastinya
juga yang mengantarku sampai tempat tujuan. Aku tak menyangka ternyata jarak
tempuh kampus IPB Dermaga dari terminal Baranang Siang cukup menguras emosi dan
tenaga. Aku mesti turun di dua terminal dan mengganti sopir tiga kali----sekali
naik bis dan dua kali naik angkot. Barangkali ini kali pertamanya aku kesana
aku merasa jaraknya sangat jauh----atau benar memang jauh. Apalagi aku
diburu-buru waktu.
Sesampainya di kawasan kampus IPB aku
kebingungan. Tapi, menurut SMS yang kuterima sehari sebelumnya, aku disarankan
untuk naik ojeg. Karena sudah jauh terlambat, kuturuti saja saran tersebut.
Dengan naik ojeg aku tak perlu lagi tanya sana-sini seperti orang tersesat.
Akhirnya, aku tiba juga di masjid Al-Huriyyah.
Tapi justru didalam masjid ini aku
baru benar-benar merasakan apa yang namanya tersesat. Aku bertanya pada salah
seorang pemuda yang tengah sibuk membuka-buka bukunya. Sialnya ia pun tak tahu
dimana ruang Abu Bakar itu, tempat pertemuan perdana berlangsung disana.
Jadilah, aku sisir masjid itu, berkeliling dengan langkah yang gak jelas mau
kemana.
Tiba-tiba seorang perempuan berkerudung
memanggilku dengan sebutan Mas. Barangkali karena ia heran melihatku
bolak-balik atau mencurigaiku sebagai teroris, ia pun merasa harus bertindak
dan menegurku. Aku menceritakan tujuanku kemari apa adanya. “Oh, ruang Abu
Bakar itu ada di lantai atas”, tunjuknya. Atas petunjuknya itu aku berterima
kasih dan langsung naik ke lantai atas.
Tapi ruang Abu Bakar tak segera
kutemui. Aku baru sadar bangunan masjid ini begitu besar. Tak ada masjid
sebesar ini dikampungku dan sekitarnya. Pada beberapa orang aku kembali
bertanya. Orang terakhir yang kutanyai langsung mengacungkan telunjuknya pada
sebuah bilik yang terletak dibalik mimbar masjid. Langsung saja aku dihadapkan
pada sebuah koridor yang gelap dan sunyi. Kususuri koridor tersebut dan kulihat
jejeran ruang-ruang yang bertuliskan nama-nama Khulafur Rasyidin. Akhirnya
kutemukan juga ruang Abu Bakar itu.
Namun pintunya tertutup rapat.
Sementara aku tak berani mengetuk. Aku terlambat cukup lama dan orang-orang sudah mulai
berkumpul didalam sana sambil menghadap pada satu titik, pada seorang perempuan
berkerudung dengan kacamatanya yang tebal. Mungkin ia tengah memberikan
pengarahan atau sejarah awal berdirinya FLP itu.
Walaupun demikian, aku tak mau
perjuanganku kesini berakhir sia-sia dan kekecewaan. Aku sudah lama mengenal
nama FLP itu. Sejak aku masih duduk dibangku SMA. Aku tahu FLP itu dari sebuah
artikel di surat kabar yang mengangkat sebuah tokoh Muhammad Irfan Hidayatullah
yang kala itu baru diangkat menjadi ketua FLP pusat. Karena aku hobi menulis
dan ingin mengenal banyak orang dengan kesukaan yang sama, maka kucari-cari
alamat markas dari FLP tersebut dan bagaimana cara bergabung menjadi
anggotanya.
Kebetulan aku tak sengaja beli buku
kumpulan cerpen “Lelaki paling romantis Sedunia” karya Nurfahmi El Sha’b alias
Kang Topik Mulyana. Ia adalah salah seorang dari FLP Bandung. Dari dia aku
disarankan untuk masuk FLP daerah dimana aku bertempat tinggal ( namun setelah
aku menjadi anggota FLP Bogor angkatan keempat, ternyata aku baru tahu saat aku
disarankan ikut FLP didaerah sendiri, justru FLP Bogor belumlah lahir ).
Saat di warnet pula aku mencari info
tentang FLP Bogor, akhirnya aku temui juga nomor-nomor orang FLP yang biasa aku
hubungi. Jadilah, aku SMS-an dengan Zaki Fathurohman, Haris Wahid, dan Bu Erna.
Hingga akhirnya membawaku ke masjid Al-Huriyyah yang berada ditengah-tengah
kawasan kampus IPB Dermaga. Tapi aku terlambat. Apabila aku tak masuk FLP
sekarang berarti aku harus menunggu tahun depan lagi.
Kupencet saja nomor telepon Zaki Fathurohman---yang kelak nanti
kuketahui dialah ketua dari FLP Bogor tersebut. Ternyata dia pun belum datang,
dan pastinya lebih terlamabat dari saya. Aku sampaikan keluhanku pada dia,
meskipun kami belum pernah sekalipun bertatap muka.
“Gak
apa-apa, Jri”, kata Kak Zaki dibalik telepon.
“Memangnya Kak Zaki ada dimana? Sudah ada
didalam, ya”, kataku sambil mengintip ke dalam ruang Abu Bakar tersebut,
sementara aku tak melihat ada seorang pria yang tengah menggenggam hp-nya.
Hanya ada beberapa anak laki-laki saja yang kira-kira seumuran denganku, dengan
wajah terkonsenterasi kedepan.
“Saya juga belum nyampe. Kejebak macet”.
“Ooh”, aku menutup hp dan akhirnya
memberanikan diri untuk masuk. Saat aku mengucapkan salam, mereka semua yang
ada didalam hanya menyambutku dengan senyum. Tak ada kejadian apapun sampai aku
duduk dan acara berakhir. Namun, Kak Zaki yang kuharap akan datang pada
pertemuan perdana itu sama sekali tak terlihat.
***###***
Orang yang pertama kali aku kenal
dipertemuan FLP itu adalah Erwin. Saat itupula kita pulang bareng. Sedikit
banyak kita bertukar cerita tentang pribadi masing-masing. Tentu saja, aku
masih berusaha menjaga jarak dengannya.
***###***
Mungkin kalian membaca kisahku ini
bertele-tele. Gak nyambung dengan judulnya. Aku sendiri gak tahu bagaimana
menyambungkannya, karena aku bukanlah ahli dunia pesinetronan yang meskipun gak
nyambung tetap disambung-sambungkan.
Tapi justru aku merasa mesti
menceritakannya dari awal, karena kecerobohanku berasal dari rasa capek. Dan
rasa capek itu, yang aku yakini, karena dari perjalanan penuh perjuangan ke IPB
Dermaga ini.
Saat aku berada di terminal Baranang
Siang lagi untuk pulang, aku langsung naik bus jurusan Bekasi-Bogor. Tanpa bertanya-tanya
aku langsung duduk dibangku bagian belakang. Saat aku melihat kedepan ternyata
tepat diatas kepala sopir dipasang sebuah tv. Aku heran sekaligus curiga.
Biasanya bis jurusan Bekasi-Bogor itu pasti jelek, terlihat seperti bis
rongsokan yang sebenarnya tak layak operasi lagi. Sebaliknya, bis yang aku
tumpangi ini lebih bagus bahkan ada tv-nya. Setelah masuk tol dan sopir menagih
ongkos barulah aku tahu ternyata aku salah bis meskipun jurusannya benar.
“Aduh Mas, bis ini tidak lewat Gunung Putri
apalagi Cileungsi”,
“Tapi ini jurusan Bekasi-Bogor, kan?”
“Iya. Tapi bis ini langsung melaju kearah
Bekasi Timur. Jadi gak pake acara jalan lewat Gunung Putri atau Cileungsi”.
Untungnya aku tak sendirian. Didepan
sang kondektur mendapati kembali salah seorang yang senasib denganku. Dia
adalah seorang ibu-ibu dengan pakaian dan kerudung berwarna merah. Kami
berduapun diturunkan didekat pintu keluar tol Citeureup. Kuakui nasib ibu itu
lebih parah daripada saya.
“Kenek itu sialan”, umpat ibu itu padaku.
“Ia tidak mau lagi mengembalikan ongkos ibu. Padahal ibu sudah tidak punya uang
lagi. Untung masih ada orang yang baik hati. Ia memberikan ibu lima ribu buat
ongkos pulang. Kira-kira ongkos segini cukup gak, ya, untuk sampai rumah?”.
“Memangnya rumah ibu dimana?”
“Di Cicadas”
“Cukup. Cuma sekali naik angkot saja dari
sini”
“Dimana ada angkot. Kita sekarang ada
ditengah-tengah jalan tol”.
“Tenang saja, Bu. Kita jalan kesana”,
tunjukku sambil berjalan menuju pintu keluar tol Citeureup. Aku yakin
kecerobohanku ini adalah cara Tuhan untuk menolong seorang ibu yang salah naik
bis. Tapi bisa juga sebaliknya. Si Ibu itu diutus untukku agar tak terlalu
merasa malu dan sendirian saat para penumpang bis memandangiku waktu turun dari
bis tersebut. Lantas, siapa yang jadi malaikat ceroboh itu?