Halaman

Minggu, 12 Februari 2012

MALAIKAT CEROBOH



          Peristiwa ini aku alami sekitar setahun yang lalu. Sabtu itu aku berencana pergi ke kampus IPB di Dermaga. Jujur, aku tak tahu ada kampus IPB di Dermaga. Setahuku kampus IPB itu berada dekat terminal Baranang Siang. Apalagi, aku sama sekali belum pernah ke daerah bernama Dermaga tersebut, meskipun nama kabupaten itu cukup akrab ditelingaku.
       Tujuanku ke IPB bukanlah untuk mendaftar kuliah atau hal apapun yang ada kaitannya dengan perkuliahan ditempat tersebut, melainkan ada pertemuan perdana atas perekrutan anggota baru FLP Bogor. Pertemuan itu tepatnya dilaksanakan di masjid Al-Hurriyah yang berada di kawasan kampus tersebut.
        Sebagai orang yang belum mengenal daerah tersebut, tentunya aku tanya sana-sini kepada orang yang kupikir mengetahuinya. Terutama pada sopir angkot yang lebih tahu jalan dan pastinya juga yang mengantarku sampai tempat tujuan. Aku tak menyangka ternyata jarak tempuh kampus IPB Dermaga dari terminal Baranang Siang cukup menguras emosi dan tenaga. Aku mesti turun di dua terminal dan mengganti sopir tiga kali----sekali naik bis dan dua kali naik angkot. Barangkali ini kali pertamanya aku kesana aku merasa jaraknya sangat jauh----atau benar memang jauh. Apalagi aku diburu-buru waktu.
         Sesampainya di kawasan kampus IPB aku kebingungan. Tapi, menurut SMS yang kuterima sehari sebelumnya, aku disarankan untuk naik ojeg. Karena sudah jauh terlambat, kuturuti saja saran tersebut. Dengan naik ojeg aku tak perlu lagi tanya sana-sini seperti orang tersesat. Akhirnya, aku tiba juga di masjid Al-Huriyyah.
         Tapi justru didalam masjid ini aku baru benar-benar merasakan apa yang namanya tersesat. Aku bertanya pada salah seorang pemuda yang tengah sibuk membuka-buka bukunya. Sialnya ia pun tak tahu dimana ruang Abu Bakar itu, tempat pertemuan perdana berlangsung disana. Jadilah, aku sisir masjid itu, berkeliling dengan langkah yang gak jelas mau kemana.
       Tiba-tiba seorang perempuan berkerudung memanggilku dengan sebutan Mas. Barangkali karena ia heran melihatku bolak-balik atau mencurigaiku sebagai teroris, ia pun merasa harus bertindak dan menegurku. Aku menceritakan tujuanku kemari apa adanya. “Oh, ruang Abu Bakar itu ada di lantai atas”, tunjuknya. Atas petunjuknya itu aku berterima kasih dan langsung naik ke lantai atas.
        Tapi ruang Abu Bakar tak segera kutemui. Aku baru sadar bangunan masjid ini begitu besar. Tak ada masjid sebesar ini dikampungku dan sekitarnya. Pada beberapa orang aku kembali bertanya. Orang terakhir yang kutanyai langsung mengacungkan telunjuknya pada sebuah bilik yang terletak dibalik mimbar masjid. Langsung saja aku dihadapkan pada sebuah koridor yang gelap dan sunyi. Kususuri koridor tersebut dan kulihat jejeran ruang-ruang yang bertuliskan nama-nama Khulafur Rasyidin. Akhirnya kutemukan juga ruang Abu Bakar itu.
         Namun pintunya tertutup rapat. Sementara aku tak berani mengetuk. Aku terlambat  cukup lama dan orang-orang sudah mulai berkumpul didalam sana sambil menghadap pada satu titik, pada seorang perempuan berkerudung dengan kacamatanya yang tebal. Mungkin ia tengah memberikan pengarahan atau sejarah awal berdirinya FLP itu.
         Walaupun demikian, aku tak mau perjuanganku kesini berakhir sia-sia dan kekecewaan. Aku sudah lama mengenal nama FLP itu. Sejak aku masih duduk dibangku SMA. Aku tahu FLP itu dari sebuah artikel di surat kabar yang mengangkat sebuah tokoh Muhammad Irfan Hidayatullah yang kala itu baru diangkat menjadi ketua FLP pusat. Karena aku hobi menulis dan ingin mengenal banyak orang dengan kesukaan yang sama, maka kucari-cari alamat markas dari FLP tersebut dan bagaimana cara bergabung menjadi anggotanya.
          Kebetulan aku tak sengaja beli buku kumpulan cerpen “Lelaki paling romantis Sedunia” karya Nurfahmi El Sha’b alias Kang Topik Mulyana. Ia adalah salah seorang dari FLP Bandung. Dari dia aku disarankan untuk masuk FLP daerah dimana aku bertempat tinggal ( namun setelah aku menjadi anggota FLP Bogor angkatan keempat, ternyata aku baru tahu saat aku disarankan ikut FLP didaerah sendiri, justru FLP Bogor belumlah lahir ).
        Saat di warnet pula aku mencari info tentang FLP Bogor, akhirnya aku temui juga nomor-nomor orang FLP yang biasa aku hubungi. Jadilah, aku SMS-an dengan Zaki Fathurohman, Haris Wahid, dan Bu Erna. Hingga akhirnya membawaku ke masjid Al-Huriyyah yang berada ditengah-tengah kawasan kampus IPB Dermaga. Tapi aku terlambat. Apabila aku tak masuk FLP sekarang berarti aku harus menunggu tahun depan lagi.
          Kupencet saja nomor telepon Zaki Fathurohman---yang kelak nanti kuketahui dialah ketua dari FLP Bogor tersebut. Ternyata dia pun belum datang, dan pastinya lebih terlamabat dari saya. Aku sampaikan keluhanku pada dia, meskipun kami belum pernah sekalipun bertatap muka.
     “Gak apa-apa, Jri”, kata Kak Zaki dibalik telepon.
    “Memangnya Kak Zaki ada dimana? Sudah ada didalam, ya”, kataku sambil mengintip ke dalam ruang Abu Bakar tersebut, sementara aku tak melihat ada seorang pria yang tengah menggenggam hp-nya. Hanya ada beberapa anak laki-laki saja yang kira-kira seumuran denganku, dengan wajah terkonsenterasi kedepan.
       “Saya juga belum nyampe. Kejebak macet”.
    “Ooh”, aku menutup hp dan akhirnya memberanikan diri untuk masuk. Saat aku mengucapkan salam, mereka semua yang ada didalam hanya menyambutku dengan senyum. Tak ada kejadian apapun sampai aku duduk dan acara berakhir. Namun, Kak Zaki yang kuharap akan datang pada pertemuan perdana itu sama sekali tak terlihat.
***###***


       Orang yang pertama kali aku kenal dipertemuan FLP itu adalah Erwin. Saat itupula kita pulang bareng. Sedikit banyak kita bertukar cerita tentang pribadi masing-masing. Tentu saja, aku masih berusaha menjaga jarak dengannya.
***###***

       Mungkin kalian membaca kisahku ini bertele-tele. Gak nyambung dengan judulnya. Aku sendiri gak tahu bagaimana menyambungkannya, karena aku bukanlah ahli dunia pesinetronan yang meskipun gak nyambung tetap disambung-sambungkan.
        Tapi justru aku merasa mesti menceritakannya dari awal, karena kecerobohanku berasal dari rasa capek. Dan rasa capek itu, yang aku yakini, karena dari perjalanan penuh perjuangan ke IPB Dermaga ini.
       Saat aku berada di terminal Baranang Siang lagi untuk pulang, aku langsung naik bus jurusan Bekasi-Bogor. Tanpa bertanya-tanya aku langsung duduk dibangku bagian belakang. Saat aku melihat kedepan ternyata tepat diatas kepala sopir dipasang sebuah tv. Aku heran sekaligus curiga. Biasanya bis jurusan Bekasi-Bogor itu pasti jelek, terlihat seperti bis rongsokan yang sebenarnya tak layak operasi lagi. Sebaliknya, bis yang aku tumpangi ini lebih bagus bahkan ada tv-nya. Setelah masuk tol dan sopir menagih ongkos barulah aku tahu ternyata aku salah bis meskipun jurusannya benar.
     “Aduh Mas, bis ini tidak lewat Gunung Putri apalagi Cileungsi”,
    “Tapi ini jurusan Bekasi-Bogor, kan?”
    “Iya. Tapi bis ini langsung melaju kearah Bekasi Timur. Jadi gak pake acara jalan lewat Gunung Putri atau Cileungsi”.
         Untungnya aku tak sendirian. Didepan sang kondektur mendapati kembali salah seorang yang senasib denganku. Dia adalah seorang ibu-ibu dengan pakaian dan kerudung berwarna merah. Kami berduapun diturunkan didekat pintu keluar tol Citeureup. Kuakui nasib ibu itu lebih parah daripada saya.
      “Kenek itu sialan”, umpat ibu itu padaku. “Ia tidak mau lagi mengembalikan ongkos ibu. Padahal ibu sudah tidak punya uang lagi. Untung masih ada orang yang baik hati. Ia memberikan ibu lima ribu buat ongkos pulang. Kira-kira ongkos segini cukup gak, ya, untuk sampai rumah?”.
    “Memangnya rumah ibu dimana?”
    “Di Cicadas”
    “Cukup. Cuma sekali naik angkot saja dari sini”
     “Dimana ada angkot. Kita sekarang ada ditengah-tengah jalan tol”.
     “Tenang saja, Bu. Kita jalan kesana”, tunjukku sambil berjalan menuju pintu keluar tol Citeureup. Aku yakin kecerobohanku ini adalah cara Tuhan untuk menolong seorang ibu yang salah naik bis. Tapi bisa juga sebaliknya. Si Ibu itu diutus untukku agar tak terlalu merasa malu dan sendirian saat para penumpang bis memandangiku waktu turun dari bis tersebut. Lantas, siapa yang jadi malaikat ceroboh itu?